• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kebudayaan Cina terhadap Arsitektur Masjid Mantingan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Kebudayaan Cina terhadap Arsitektur Masjid Mantingan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 207

Pengaruh Kebudayaan Cina terhadap Arsitektur Masjid

Mantingan

Hasna Anindyta

hasny ndit@gmail.com

Program Studi A rsitektur, Sekolah A rsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SA PPK), Insitut Teknologi Bandung

Abstrak

Berbagai kebudayaan yang masuk ke Indonesia sedikit banyak mempengaruhi desain suatu bangunan. Dari deretan bangunan yang ada, bangunan peribadatan seperti masjid, menjadi salah satu yang mendapat pengaruh dari kebudayaan lain. Selain kebudayaan dari penduduknya, masjid -masjid di Pulau Jawa juga banyak mendapat pengaruh dari budaya Hindu dan Cina. Tidak hanya mempengaruhi bentuk, kebudayaan tersebut juga mempengaruhi ornamen-ornamen yang ada di dalam masjid. Seperti halnya yang terjadi pada Masjid Mantingan. Berlokasi di selatan kota Jepara, masjid ini bisa dibilang termasuk ke dalam masjid kuno. Tidak banyak orang yang tahu bahwa ornamen-ornamen yang ada pada Masjid Mantingan—berupa ukiran yang menempel di kanan kiri dinding–merupakan hasil dari akulturasi antara budaya Jawa dan Cina. Artikel ini merupakan studi awal untuk menunjukkan bahwa kebudayaan Hindu bukanlah satu-satunya yang mempengaruhi terbangunnya Masjid Mantingan.

Kata kunci: budaya, cina, jawa, jepara, masjid, relief

Pendahuluan

Keberadaan masjid sebagai tempat ibadah erat kaitannya dengan awal masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Terdapat tiga teori yang menjelaskan awal mula masuknya Islam ke Indonesia: teori gujarat, teori persia, dan teori mekkah. Teori gujarat yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan J.Pijnapel menjelaskan bahwa masuknya Islam ke Indonesia dibawa oleh pedagang yang berasal dari Gujarat dan mulai masuk sejak abad ke 8. Dalam teori yang dicetuskan Hoessein Djajadiningrat, yaitu teori persia, dijelaskan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang berasal dari Persia (Iran) yang masuk pada abad ke 12. Sedangkan teori mekkah menjelaskan bahwa Islam di Indonesia dibawa oleh orang-orang yang berasal dari Arab, yaitu Mekkah dan Madinah pada abad pertama Hijriah atau pada abad ke 71.

Teori yang menjelaskan tentang masuknya Islam ke Indonesia ternyata tidak hanya sebatas pada tiga teori di atas saja. Ada juga yang berpendapat bahwa masuknya Islam ke Indonesia adalah akibat dari datangnya orang-orang yang berasal dari Cina. Hal ini jarang diungkapkan karena sejarah diibaratkan sebagai interpretasi peristiwa yang terjadi di masa lampau sehingga apabila latar belakang penafsir berbeda maka hasil interpretasinya pun berbeda. Selain itu, menurut Graaf (1985) sejarah biasanya ditulis o leh pihak yang menang. Maka dari itu dianjurkan adanya penulisan sejarah Jawa dari sudut pandang ‘pesisir’ bukan hanya dari sudut pandang ‘pedalaman’ saja2.

1 Sidi Ibrahim Boechari, Sejarah masukny a Islam dan beberapa teori Islamisasi di Indonesia, Sekolah Tinggi A gama (STIA I)

“Publistik Thaw alib”, 2001, hlm.45.

(2)

A 208 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Gambar 1. Site plan Kompleks Masjid Mantingan Sumber: Demak, Kudus, and Jepara Mosque, A study of Architectural

Syncretism, Laporan Penelitian Laboratorium Sejarah Arsitektur Universitas Gajah Mada, Yogyakarya.

Dalam teori cina dikatakan bahwa sekitar abad ke 15 imigran Cina muslim yang sebagian besar berasal dari Guang Dong dan Fujian mendarat di Nusantara. Dengan berlatarbelakang pedagang, petani, dan tukang, mereka menyebarkan agama Islam. Kedatangan masyarakat asing di suatu daerah akan membawa pengaruh besar terhadap daerah itu sendiri. Seperti halnya pesisir Jawa yang menjadi daerah persinggahan imigran Cina. Adanya interaksi antara etnis Cina dengan pribumi lambat laun menyebabkan terjadinya akulturasi budaya Cina-Jawa.

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri. (Koentjaraningrat, 1974: 152)

Akulturasi itulah konon yang melahirkan konstruksi Mesjid Demak (terutama pada soko tatalnya), hiasan piring, dan ornamen lainnya pada Masjid Menara Kudus, elemen-elemen pada keraton Cirebon, dan ukiran batu pada Masjid Mantingan, yang kesemuanya ini menunjukkan adan ya pengaruh kebudayaan Cina yang kental sekali.

Selama ini tidak banyak yang menulis pengaruh kebudayaan Cina terhadap arsitektur Masjid Mantingan. Karena kebanyakan orang hanya mengetahui Masjid Mantingan terpengaruh kebudayaan Hindu seperti yang terlihat pada gapura yang menjadi gerbang utama masjid ini. Artikel ini merupakan sebuah studi awal yang meneliti seberapa besar dan sejauh mana budaya Cina berpengaruh terhadap masjid kuno yang ada di Jawa, khususnya pada Masjid Mantingan.

Objek dan Persoalan

Masjid Mantingan terletak di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah dan termasuk ke dalam masjid kuno yang didirikan pada masa Kesultanan Demak. Masjid ini satu kompleks dengan makam yang berlokasi di sebelah barat masjid. Menurut sejarah, ada tiga tokoh yang memprakasai pembangunan masjid ini. Mereka adalah Ratu Kalimanyat, Sultan Hadlirin, dan dibantu oleh Cie Gwi Gan. Masjid ini diperkirakan selesai dibangun pada tahun 1559 dilihat dari prasasti yang ada di bagian mihrab. Bunyi prasasti itu adalah rupa brahmana warnasari yang berarti 1481 Saka atau 1559 Masehi (Bosch, 1930:52). Dahulu Masjid Mantingan dijadikan sebagai pusat aktivitas penyebaran agama Islam di pesisir utara Pulau Jawa.

(3)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 209 Masjid ini banyak diketahui sebagai salah satu bukti peninggalan akulturasi kebudayaan Jawa dan Hindu. Dibuktikan dengan bentuk atap masjid yang bertumpuk mengerucut berjumlah tiga tingkatan dan dengan adanya gapura di kompleks masjid. Kedua hal tersebut merupakan ciri masjid yang dibangun pada masa peralihan Hindu-Islam. Pengaruh Hindu pada ornamen-ornamen masjid ini muncul supaya masyarakat Jawa tidak kaget dengan budaya agama baru yang akan disebarkan oleh Sultan Hadlirin.

Rupanya Hindu bukanlah satu-satunya kebudayaan yang mempengaruhi terbangunnya Masjid Mantingan. Ukiran-ukiran yang berada di kanan kiri dinding masjid menjadi bukti bahwa budaya Cina juga memiliki pengaruh pada masjid ini. Ukiran pada dinding masjid yang terbuat dari batu padas kuning merupakan motif Cina. Bukti lainnya tercatat dalam kumpulan cerita R.A. Kartini, Kartini, Door Duisternis (1911). Dalam bukunya, Kartini mengatakan beliau pernah mengunjungi tempat pemakaman Sultan Mantingan, yaitu Pangeran Hadiri. Di dalam pemakaman tersebut terdapat banyak ukiran dan rumah-rumahan yang bercorak Cina.

Hal yang menarik perhatian ialah adanya mitos tentang hadirnya ayah angkat Sunan Hadiri dari negeri Cina, Tjie Wie Gwan, yang disebut Sungging Badar Duwung. Nama sungging sendiri sudah mencerminkan keahliannya di bidang seni. Seni yang dimaksud adalah seni lukis, seni ukir, dan seni pahat3. Diketahui bahwa Tjie Wie Gwan merupakan tokoh yang membuat ukiran-ukiran yang ada pada dinding masjid. Adanya hubungan sejarah dengan Cina memperkuat dugaan bahwa motif yang ada pada ukiran pun mendapat pengaruh dari kebudayaan Cina.

Pembahasan

Mesjid Mantingan didirikan dengan lantai tinggi ditutup dengan ubin bikinan Tiongkok , dan demikian juga dengan undak-undakannya. Semua didatangkan dari Makao. Bangunan atap termasuk bubungan adalah gaya Tiongkok. Dinding luar dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru. Sedang dinding sebelah tempat imam dan khatib dihiasi dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa, dan penari-penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua. Pengawas pekerjaan baik

3 SENI, BP ISI, 1996, hlm. 339

Gambar 2. Desain pintu masuk pada Masjid Mantingan masih kental dengan kebudayaan Hindu

Sumber: Demak, Kudus, and Jepara Mosque, A study of Architectural Syncretism, Laporan Penelitian Laboratorium Sejarah Arsitektur Universitas Gajah Mada, Yogyakarya.

(4)

A 210 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Gambar 3. Ornamen yang terdapat pada dinding Masjid Mantingan

Sumber: Demak, Kudus, and Jepara Mosque, A study of Architectural Syncretism, Laporan Penelitian Laboratorium Sejarah Arsitektur Universitas Gajah Mada, Yogyakarya.

di Welahan maupun Mantingan tidak lain adalah babah Liem Mo Han (Pramudya Ananta Toer, 1995:453)4

Ukiran yang ada di masjid ini menjadi kekhasan tersendiri. Menurut Knabel yang mengunjungi Masjid Mantingan pada tahun 1910 (ROC:166-167), pada dinding Masjid Mantingan terdapat relief rendah dalam panel-panel yang terbuat dari batu padas kuning. Pada setiap bidang tembok terdapat tujuh panel berelief yang tersusun dari atas ke bawah, sehingga dalam empat bidang seluruhnya ada 28 panel. Di kiri kanan ada deretan panel berelief bergambarkan kelelawar. Demikian pula di tiap-tiap pintunya sehingga jumlah seluruhnya 64 buah. Ukiran yang berbentuk fauna dalam sebuah masjid memang agak janggal, karena ornamen pada suatu masjid yang menggambarkan makhluk bernyawa adalah makruh hukumnya. Oleh sebab itu, biasanya hiasan pada bangunan masjid diwujudkan dengan bentuk-bentuk bermotif flora atau geometris.

Ukiran pada dinding Masjid Mantingan berbentuk panel medalion (bulat), roset, bujur sangkar, empat persegi panjang dengan kedua sisinya berbentuk kurung kurawal, dan ada pula yang berbentuk kelelawar. Panel-panel ini menunjukkan:

1. Binatang yang distilir seperti angsa, burung, kuda, ular, kijang, gajah kera, ketam, sehingga bentuknya tidak lagi persis seperti aslinya 2. Tumbuh-tumbuhan daun dan bunga teratai,

sulur-suluran, labu air, pandan, kangkung, nipah, bambu, paku, kelapa, keben, sagu, dan kamboja

3. Gunung dan matahari 4. Motif makara yang distilir 5. Anyaman (jalinan)

6. Rumah panggung, pagar, gapura, dan bentar.

Beberapa motif pada panel ini memiliki kemiripan dengan motif wadasan yang berbentuk karang -karang pada bagian dasar motif. Di mana motif wadasan diyakini sebagai motif yang dipengaruhi kebudayaan Cina khususnya dari faham Taoisme yang banyak ditemui di Cirebon. Kesimpulan ini muncul karena motif wadasan yang ada pada ragam kerajinan Cirebon serupa dengan motif yang ada pada ragam hias khas Cina seperti giok dan pahatan-pahatan batu lainnya5.

Terjadi beberapa kali perubahan pada masjid Mantingan. Pada tahun 1927 dilakukan pemugaran pada dindingnya dengan mengganti material menggunakan semen dan kapur. Alhasil keaslian dari bangunan ini menjadi hilang. Panel ukiran yang berasal dari masjid lama ditempel pada kanan -kiri atas tiga pintu yang terdapat pada serambi masjid. Beberapa dipasang di dinding bawah, dinding

4 Pramoedy a A nantaToer, A rus Balik: Sebuah Epik Maritim Nusantara, Wira Kary a, 1995, hlm. 453.

5 Labib Ilmi, Makna Motif Mega Mendung dan Wadasan pada Keraton di C irebon, Skripsi Jurusan A rsitektur Univ ersitas Indonesia,

(5)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 211 luar, dan sudut-sudut bangunan. Pada tahun 1978-1981 dilakukan pemugaran kembali. Pemugaran kali ini membuahkan hasil, yaitu dengan ditemukannya enam panel berelief di kedua belah sisi, sejumlah besar balok-balok putih, dan juga suatu fondasi dari bangunan kuno.

Kesimpulan

Pengaruh kebudayaan Cina pada bangunan atau ornamen Islam seringkali dilupakan. Hal ini dikarenakan pandangan masyarakat yang hanya menyakini masuknya agama Islam dibawa oleh pedagang dari Gujarat atau Arab saja. Padahal Komunitas Cina Islam telah ada di Jawa pada abad pertengahan (pada abad ke 15-16) sesuai dengan pernyataan Loedewicks. Bukti-bukti adanya umat muslim Cina di Indonesia ditunjukkan dengan peninggalan-peninggalan berupa ukiran padas di masjid Mantingan, arsitektur keraton Cirebon, Konstruksi soko tatal serta lambing kura-kura, masjid pecinan di Banten, dll.

Pengaruh kebudayaan Cina pada Masjid Mantingan sendiri cukup besar, ditandai dengan adanya ukiran-ukiran yang berada di dinding masjid. Ukiran tersebut sengaja tidak berbentuk makhluk hidup karena hal tersebut tidak diperbolehkan oleh Islam.

Sebuah sejarah haruslah di lestarikan dengan baik. Karena sejarah merupakan suatu hal yang dapat menjadi patokan sebuah bangsa agar menjadi bangsa yang lebih maju. Selain itu sejarah juga dapat membantu kita dalam mencari bukti peradaban. Sama seperti awal bahasan yang ada pada jurnal ini. Jika tidak ada bukti sejarah yang menyatakan bahwa komunitas Islam Cina merupakan salah satu faktor tersebarnya agama Islam di Nusantara pastilah pemikiran masyarakat di Indonesia tetap sama: Islam dibawa hanya oleh bangsa Gujarat atau Arab saja. Namun berkat kesaksian beberapa tokoh dan penemuan berbagai macam barang khas Cina yang berada di situs sejarah Islam, maka masyarakat pun akhirnya tahu bahwa Cina juga termasuk bangsa penyebar agama Islam khususnya di Pulau Jawa.

Penulis merasa banyak sekali kekurangan pada jurnal ini. Salah satunya adalah masih kurang lengkapnya informasi yang penulis dapatkan mengenai perkembangan budaya Cina di Indonesia, khususnya mengenai Masjid Mantingan ini. Oleh karena itu penulis berharap jurnal saya dapat menjadi bahan pelajaran agar penulis selanjutnya--yang akan menulis topik yang sama--dapat melengkapi informasi yang ada di jurnal saya secara lebih mendetail.

Ucapan Terima kasih

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Bambang Setia Budi selaku dosen pengampu Mata Kuliah Sejarah Arsitektur Islam yang bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi mengenai topik yang penulis ambil untuk jurnal kali ini dan senantiasa memberikan pelajaran yang menarik di setiap minggunya.

Daftar Pustaka

Al Qurtuby, S. (2003). Arus Cina-Islam-Jawa. Jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya Press. Anom, I. dkk. (1996). Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat Jakarta.

Anonim. (2015). Pengaruh Akulturasi Budaya Cina Jawa. Dilansir dari:

http://chinalibraryindonesia.blogspot.co.id/2015/04/pengaruh-akulturasi-budaya-cina-jawa.html. Diakses pada 26 Maret 2017 pukul 09.00.

Atnadi, P. & Ismudiyanto. (1987). Demak, Kudus, and Jepara Mosque, A study of Architectural Syncretism, Laporan Penelitian Laboratorium Sejarah Arsitektur Universitas Gajah Mada, Yogyakarya.

De Graaf , H.J. & Pigeaud, Th.G.Th. (1974). De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java. KITLV. Hartono, S. & Handinoto. (2007). “Pengaruh Pertukangan Cina pada Bangunan Masjid Kuno di

(6)

A 212 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Jawa Abad 15-15”. Laporan Penelitian, Staff Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra. Dilansir dari: http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/Dimensi1.pdf

Ilmi, L.( 2012). Makna Motif Mega Mendung dan Wadasan pada Keraton di Cirebon, Skripsi

Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia. Dilansir dari: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20312116-S43398-Makna%20motif.pdf

Karmadi, A.D. dkk. (1989). Arsitektur Tradisonal Daerah Pantai Utara Jawa Tengah. Jawa

Tengah: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah.

Gambar

Gambar 1. Site plan Kompleks Masjid Mantingan  Sumber: Demak, Kudus, and Jepara Mosque, A study of Architectural
Gambar 2. Desain  pintu masuk pada Masjid Mantingan masih kental  dengan kebudayaan Hindu
Gambar  3.  Ornamen  yang  terdapat  pada  dinding Masjid Mantingan

Referensi

Dokumen terkait