• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN DAMPAK INTERAKSI MONSUN ASIA, COLD SURGE, MJO TERHADAP DINAMIKA ATMOSFER DAN CURAH HUJAN DI BENUA MARITIM INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN DAMPAK INTERAKSI MONSUN ASIA, COLD SURGE, MJO TERHADAP DINAMIKA ATMOSFER DAN CURAH HUJAN DI BENUA MARITIM INDONESIA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

KAJIAN DAMPAK INTERAKSI MONSUN ASIA, COLD SURGE, MJO

TERHADAP DINAMIKA ATMOSFER DAN CURAH HUJAN

DI BENUA MARITIM INDONESIA

Agita Vivi Wijayanti1,2, Widada Sulistya2 1

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta 2

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta Email : agitavivi@gmail.com

Abstrak

Monsun Asia, cold surge, dan MJO adalah fenomena yang akrab dan sering terjadi di wilayah Indonesia. Secara umum, keberadaan Monsun Asia, cold surge, dan MJO memberikan kecenderungan peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia. Meskipun demikian, pengaruh interaksi antara ketiga fenomena tersebut belum banyak diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak yang dihasilkan interaksi ketiga fenomena tersebut terhadap dinamika atmosfer dan curah hujan di wilayah Indonesia. Penelitian ini mengkaji interaksi ketiga fenomena tersebut dalam tiga periode kasus, yaitu interaksi Monsun Asia – cold surge, Monsun Asia – MJO, dan Monsun Asia – cold surge – MJO, yang diidentifikasi dari data reanalysis angin zonal 850 mb, suhu udara permukaan Hongkong, gradien tekanan Gushi – Hongkong, dan indeks RMM. Analisis pada ketiga periode kasus tersebut menunjukkan bahwa interaksi Monsun Asia, cold surge, dan MJO meningkatkan nilai RH, meningkatkan kekuatan angin Baratan dan angin northerly, meningkatkan kecepatan naiknya udara, serta meningkatkan persebaran dan intensitas curah hujan dengan dampak maksimum terjadi pada interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO, diikuti oleh interkasi Monsun Asia – MJO, dan Monsun Asia – cold surge.

Kata kunci : Monsun Asia, cold surge, MJO

Abstract

Phenomena of Asian Monsoon, cold surge, and MJO are kind of often over Indonesia. Generally, the occurance of Asian Monsoon, cold surge, and MJO tend to increase rainfall over Indonesia. Nevertheless, the effect of the interaction among those three phenomena had not been broadly known. Therefore, this research set the goal to study the interaction among those three phenomena to the atmospheric dynamics and rainfall over Indonesia. This research studied those interaction by identify the time period between interaction of Asian Monsoon – cold surge, Asian Monsoon – MJO, and Asian Monsoon – cold surge – MJO from 850 mb reanalysis zonal wind, surface temperature in Hongkong, pressure gradient between Gushi – Hongkong, and RMM Index. Analysis from those three time periods led to the increasing of RH, increasing the strength of westerly and northerly wind, increasing the rate of air lifted, and increasing intensity as well as distribution of rainfall over Indonesia, where the maximum impact can be seen in the interaction of Asian Monsoon – cold surge – MJO, followed by the interaction of Asian Monsoon – MJO, and the last was the interaction of Asian Monsoon – cold surge.

Keywords : Asian Monsoon, cold surge, MJO

1. PENDAHULUAN

Letak Benua Maritim Indonesia yang berada di wilayah tropis serta diapit oleh Benua Asia – Australia dan Samudera Pasifik

– Hinda, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pola dan sirkulasi cuaca di wilayah Indonesia. Pengaruh tersebut dapat dilihat dengan bertiupnya Monsun Asia – Australia secara periodik dalam satu tahun, cold surge dari daratan Asia, dan juga osilasi

(2)

2 Timur – Barat yang disebut MJO. Pada saat

berada dalam periode Monsun Asia, cold surge, maupun MJO, wilayah Indonesia umumnya memiliki atmosfer labil dengan kecenderungan peningkatan curah hujan (Mulyana, 2002; Aldrian dan Utama, 2007; Xavier, 2014). Meskipun demikian, interaksi antara tiga fenomena tersebut belum banyak diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak interaksi Monsun Asia, cold surge, dan MJO terhadap dinamika atmosfer dan curah hujan di wilayah Indonesia.

Yulihastin (2011) membagi wilayah Indonesia ke dalam dua indeks monsun, yaitu Indeks I untuk wilayah Belahan Bumi Utara (BBU) dan Indeks II untuk wilayah Belahan Bumi Selatan (BBS). Kedua daerah indeks tersebut didapatkan dari analisis klimatologi angin zonal pada ketinggian 850 mb. Beberapa penelitian terkait interaksi monsun dan MJO menunjukkan peningkatan curah hujan, sebagaimana menurut Lorenz dan Hartmann (2006) dalam kajian tentang pengaruh MJO terhadap Monsun Amerika Utara menyimpulkan bahwa anomali angin zonal di Pasifik Tropis bagian Timur yang berhubungan dengan MJO memberikan dampak kenaikan intensitas presipitasi hingga melebihi normal di wilayah Amerika Utara yang terpengaruh monsun selama beberapa hari atau seminggu setelahnya. Selain itu, Wu dkk. (2006) dalam kajian yang berjudul Seasonality and Meridional Propagation of the MJO juga menyebutkan bahwa anomali presipitasi memiliki orientasi Timur – Barat dan simetris terhadap ekuator selama musim dingin di BBU (Monsun Asia) namun cenderung memiliki struktur Utara – Selatan saat musim panas di BBU (Monsun Australia).

2. DATA DAN METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data suhu udara permukaan stasiun Meteorologi Hongkong pukul 00, 06, 12, dan 18 UTC dalam periode empat tahun, yaitu tahun 2012 – 2015; data pengamatan tekanan udara permukaan stasiun Gushi dan Hongkong pukul 00, 06, 12, dan 18 UTC dalam periode empat tahun, yaitu tahun 2012 – 2015; data RMM yang meliputi indeks RMM1, indeks RMM2, fase, dan magnitudo Bulan Juni 1974 – Februari 2016; data

reanalysis suhu udara, kelembapan relatif (RH), angin zonal, angin meridional, dan kecepatan vertikal (omega) pukul 00, 06, 12, dan 18 UTC untuk tanggal 5 – 20 Maret 2012, 1 – 8 Maret 2013, dan 1 – 7 Januari 2015; dan data sebaran curah hujan harian di wilayah Indonesia tanggal 13 Maret 2012, 3 Maret 2013, dan 2 Januari 2015.

Penelitian ini difokuskan pada tiga periode waktu dimana terjadi interaksi Monsun Asia – cold surge, Monsun Asia – MJO, dan Monsun Asia – cold surge – MJO. Ketiga periode waktu tersebut didapatkan dari analisis indeks monsun tahun 2012 – 2015, nilai penurunan suhu udara permukaan di Hongkong dalam periode 24 – 48 jam, gradien tekanan udara permukaan Gushi – Hongkong yang lebih dari 10 mb, dan indeks RMM. Namun sebelumnya, perlu dipastikan bahwa ENSO dan IOD sedang dalam keadaan netral.

Gambar 1. Diagram alir

Setelah didapatkan tiga periode waktu untuk masing-masing interaksi, selanjutnya dilakukan analisis terhadap nilai suhu udara, RH, angin zonal dan meridional, serta omega

(3)

3 pada masing-masing periode waktu. Dari

nilai-nilai tersebut, diidentifikasi hari dimana atmosfer berada dalam kondisi paling signifikan yang diasumsikan sebagai hari dengan dampak maksimum. Pola dan distribusi curah hujan pada hari dengan dampak maksimum dalam tiga periode waktu interaksi tersebut selanjutnya dianalisis dan dibandingkan satu sama lain untuk mengidentifikasi dampak yang paling signifikan terhadap dinamika atmosfer dan curah hujan di wilayah Indonesia dalam interaksi Monsun Asia, cold surge, dan MJO. Alur dalam penelitian ini tersaji secara lebih detail dalam diagram alir penelitian pada gambar 1.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari analisis data angin zonal lapisan 850 mb untuk periode ENSO dan IOD netral, terlihat bahwa monsun Asia terjadi pada bulan Maret 2012, Januari – Maret 2013, Januari – Februari 2012, dan Januari 2015. Pada periode – periode tersebut, diperoleh periode waktu interaksi Monsun Asia – cold surge (MJO tidak aktif) pada tanggal 1 – 8 Maret 2013, interaksi Monsun Asia – MJO (cold surge tidak aktif) pada tanggal 1 – 7 Januari 2015, dan interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO pada tanggal 7 – 16 Maret 2012.

Nilai rata-rata suhu udara untuk wilayah Indonesia pada masing-masing periode kasus di gambar 2 tidak menunjukkan pola maupun nilai yang signifikan. Hal ini berbeda dengan parameter RH pada gambar 3, angin zonal pada gambar 4, angin meridional pada gambar 5, dan omega pada gambar 6.

Pada gambar 3a, nilai RH di wilayah Indonesia sejak penurunan suhu udara permukaan di Hongkong tanggal 1 Maret 2013 berkisar antara 60 – 90% dengan nilai maksimum di lapisan bawah dan atas, dan nilai minimum di lapisan menengah. Pada tanggal 3 Maret 2013, lapisan basah dari atas meluas ke bawah dan mencapai nilai maksimum hingga lapisan 600 mb sebagaimana ditunjukkan pada lingkaran hitam. Sebaliknya, pada tanggal 5 Maret 2013, lapisan basah dari bawah meluas ke atas hingga 500 mb. Meskipun demikian, mulai tanggal 6 Maret 2013, terlihat nilai RH yang lebih rendah yang mencapai 50% pada lapisan 350 mb dan selanjutnya meluas hingga lapisan 500 mb.

Gambar 2. Penampang vertikal rata-rata suhu udara Indonesia (6°LU–11°LS; 95–145°BT) pada a) interaksi Monsun Asia – cold surge 1 – 8 Maret 2013, b) interaksi Monsun Asia – MJO 1 – 7

Januari 2015, dan c) interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO 7 – 16 Maret 2012

Pada gambar 3b, rata-rata RH di wilayah Indonesia juga berkisar antara 60 – 90%, dengan pola yang serupa sebagaimana pada gambar 3a. Meskipun demikian, pada tanggal 2 Januari 2015, terlihat adanya RH yang lebih tinggi, yaitu antara 90 – 100% pada lapisan 1000 mb. Hal ini diiringi dengan meluasnya nilai RH antara 80 – 90% pada lapisan atas hingga lapisan menengah sebagaimana ditunjukkan dalam lingkaran hitam. Namun hal ini berkebalikan dengan munculnya RH lebih rendah mulai tanggal 5 hingga 7 Januari 2015 pada lapisan 600 – 750 mb. a . b . c .

(4)

4 Gambar 3. Penampang vertikal rata-rata

kelembapan relatif Indonesia (6°LU–11°LS; 95– 145°BT) pada a) interaksi Monsun Asia – cold surge 1 – 8 Maret 2013, b) interaksi Monsun Asia

– MJO 1 – 7 Januari 2015, dan c) interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO 7 – 16 Maret

2012

Nilai RH pada gambar 3c menunjukkan lapisan basah yang sangat tebal, yaitu dari 1000 mb hingga 300 mb. Dalam lapisan basah tersebut terlihat adanya nilai RH yang lebih rendah terpusat pada lapisan menengah sekitar 700 mb dan 400 mb. Meskipun demikian, RH yang lebih rendah pada lapisan sekitar 400 mb tersebut berangsur meningkat hingga mencapai 100% pada tanggal 13 Maret 2012 sebagaimana terlihat pada lingkaran hitam, sedangkan nilai RH rendah pada lapisan sekitar 700 mb

berangsur meluas hingga lapisan 900 mb dan 600 mb pada tanggal 16 Maret 2012.

Gambar 4. Penampang vertikal rata-rata angin zonal Indonesia (6°LU–11°LS; 95–145°BT)

pada a) interaksi Monsun Asia – cold surge 1 – 8 Maret 2013, b) interaksi Monsun Asia – MJO 1 – 7

Januari 2015, dan c) interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO 7 – 16 Maret 2012

Penampang vertikal angin zonal pada gambar 4a menunjukkan adanya pelemahan angin Baratan di wilayah Indonesia. Pada tanggal 1 – 4 Maret 2013, sebagaimana dibatasi oleh lingkaran hitam, kecepatan angin Baratan pada lapisan bawah hingga menengah mencapai lebih dari 6 ms-1. Nilai ini melemah mulai tanggal 5 Maret 2013 hingga hanya mencapai 4 ms-1 pada tanggal 8 Maret 2013. Pelemahan angin Baratan ini juga diikuti dengan pelemahan kecepatan angin Timuran a . b . c . a . b . c .

(5)

5 pada lapisan atas dimana pada awal Maret

kecepatan angin Timuran didominasi oleh nilai di atas 6 ms-1, sedangkan pada tanggal 8 Maret 2013, dominasi tersebut tidak lagi signifikan.

Sebagaimana gambar 4a, pada gambar 4b juga terlihat dominasi angin Baratan di lapisan bawah atmosfer. Pada tanggal 1 Januari 2015, kecepatan angin Baratan maksimum di wilayah Indonesia mencapai 5 ms-1, yaitu pada lapisan 700 – 900 mb. Kecepatan angin Baratan tersebut selanjutnya mengalami peningkatan hingga mencapai nilai maksimum pada tanggal 5 – 7 Januari 2015 dengan kecepatan lebih dari 6 ms-1 sebagaimana ditunjukkan dalam lingkaran hitam. Berkebalikan dengan angin Baratan yang semakin menguat, angin Timuran yang mendominasi atmosfer Indonesia bagian atas justru mengalami pelemahan. Angin Timuran yang pada tangal 1 Januari 2015 berada pada lapisan 200 – 500 mb semakin menipis hingga pada tanggal 7 Januari 2015 hanya berada pada lapisan 200 – 400 mb.

Pola yang sama juga masih terlihat pada interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO pada gambar 4c. Terlihat jelas dominasi angin Baratan pada lapisan bawah dan angin Timuran pada lapisan atas. Kecepatan angin Baratan terlihat menurun pada tanggal 9, lalu meningkat kembali pada tanggal 12 hingga mencapai nilai maksimum lebih dari 6 ms-1 pada tanggal 16 Maret 2012 sebagaimana pada lingkaran hitam. Kekuatan angin Baratan juga terlihat pada kemampuannya mengangkat angin Timuran ke lapisan yang lebih tinggi. Pada tanggal 7 Maret, angin Timuran terlihat pada lapisan 700 – 200 mb, namun ketebalan lapisan angin Timuran ini berangsur menurun hingga pada tanggal 16 Maret 2012, angin Timuran hanya terlihat dari lapisan 300 – 200 mb.

Diagram Hovmoller rata-rata angin meridional di wilayah Indonesia disajikan dalam penampang vertikal lapisan 1000 mb – 200 mb sebagaimana pada gambar 5. Pada interaksi Monsun Asia – cold surge yang ditunjukkan gambar 5a, wilayah Indonesia umumnya didominasi oleh angin dari arah Utara (northerly) untuk lapisan bawah dan angin dari Selatan (southerly) untuk lapisan atas. Pada awal penurunan suhu udara permukaan di Hongkong, ketebalan lapisan yang didominasi oleh angin northerly

umumnya tidak terlalu tinggi, yaitu dari 1000 – 800 mb. Namun ketebalan lapisan yang terpengaruh angin northerly ini terus meningkat hingga mencapai lapisan 350 mb pada tanggal 4 Maret 2013. Senada dengan hal tersebut, kecepatan angin northerly maksium pada lapisan bawah terjadi pada tanggal 3 – 5 Maret 2013, sebagaimana ditunjukkan dalam lingkaran hitam, dengan kecepatan mencapai 4 ms-1.

Gambar 5. Penampang vertikal rata-rata angin meridional Indonesia (6°LU–11°LS; 95– 145°BT) pada a) interaksi Monsun Asia – cold surge 1 – 8 Maret 2013, b) interaksi Monsun Asia

– MJO 1 – 7 Januari 2015, dan c) interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO 7 – 16 Maret

2012

Pada gambar 5b, terlihat bahwa pada periode interaksi Monsun Asia – MJO, wilayah Indonesia juga dominasi oleh angin

a . b . c .

(6)

6 dari arah Utara (northerly) pada lapisan

bawah dan angin dari Selatan (southerly) pada lapisan atas. Angin northerly yang cukup kuat terlihat pada tanggal 2 – 3 Januari 2015 dan 7 Januari 2015 dengan kecepatan mencapai 3 ms-1, sebagaimana ditunjukkan dalam lingkaran hitam.

Pada gambar 5c, terlihat angin dari arah Selatan mulai menyebar hingga ke atmosfer bawah pada akhir periode kasus. Meskipun demikian, mulai tanggal 8, angin northerly mendominasi atmosfer lapisan bawah hingga menengah, yaitu dari 1000 mb hingga 400 mb. Ketebalan lapisan dengan angin northerly ini kembali menurun pada tanggal 11 Maret 2012, dan kembali naik hingga lapisan 300 mb pada tanggal 15 Maret 2012. Terlihat pula kecepatan angin northerly mulai menguat hingga mencapai 5 ms-1 pada tanggal 13 – 15 Maret 2012 sebagaimana terlihat dalam lingkaran hitam.

Penampang vertikal omega dalam interaksi Monsun Asia – cold surge pada gambar 6a menunjukkan bahwa wilayah Indonesia umumnya didominasi oleh nilai omega negatif yang menandakan gerakan naik, kecuali pada lapisan 1000 mb yang didominasi oleh nilai omega positif sebagai indikasi adanya gerakan turun. Nilai omega signifikan terlihat pada tanggal 2 – 4 Maret 2013 pada lapisan 200 – 500 mb sebagaimana ditunjukkan dalam lingkaran hitam, dimana nilai omega mencapai -0,09 Pa s-1.

Nilai omega negatif juga masih mendominasi periode interaksi Monsun Asia – MJO dan Monsun Asia – cold surge – MJO pada gambar 6b dan 6c. Meskipun demikian, masih terlihat nilai omega positif yang mengindikasikan gerakan turun pada gambar 6b yang hanya terlihat pada lapisan atmosfer bawah, yaitu sekitar 1000 mb, sejak tanggal 1 Januari 2015 hingga 7 Januari 2015. Nilai omega yang signifikan terlihat pada lapisan tengah atmosfer, dari lapisan 300 mb hingga 600 mb, yang mencapai -0,12 Pa s-1 pada tanggal 1 – 2 Januari 2015 sebagaimana ditunjukkan dalam lingkaran hitam. Meskipun demikian, nilai omega yang mencapai -0,12 Pa s-1 ini berangsur melemah, hingga pada tanggal 6 Januari 2015, nilai omega yang berkisar antara -0,09 – 0,12 Pa s-1 tersebut hanya berada pada lapisan 300 – 400 mb.

Gambar 6. Penampang vertikal rata-rata omega Indonesia (6°LU–11°LS; 95–145°BT) pada a) interaksi Monsun Asia – cold surge 1 – 8 Maret

2013, b) interaksi Monsun Asia – MJO 1 – 7 Januari 2015, dan c) interaksi Monsun Asia – cold

surge – MJO 7 – 16 Maret 2012

Pada gambar 6c, omega dari lapisan 1000 mb hingga 200 mb berkisar antara -0,15 – 0,03 Pa s-1

. Omega positif yang menandakan gerakan turun umumnya hanya terlihat pada lapisan 1000 mb. Meskipun demikian, nilai omega positif ini terus berkembang pada lapisan yang lebih tinggi, hingga mencapai lapisan 850 mb pada tanggal 16 Maret 2012. Seiring bertambahnya ketinggian, nilai omega umumnya semakin rendah, dengan nilai minimum berkisar antara -0,15 – (-0,12) Pa s-1 pada lapisan 300 – 500 mb. Lapisan dengan nilai omega negatif terkuat terjadi pada tanggal 11 – 14 Maret 2012 sebagaimana ditunjukkan dalam lingkaran hitam, dimana nilai omega antara -0,15 – (-0,12) Pa s-1

a . b . c .

(7)

7 terlihat dari lapisan 250 – 600 mb. Hal ini

menunjukkan adanya gerakan naik yang sangat kuat di wilayah Indonesia secara umum pada waktu tersebut.

Perbandingan nilai maksimum dan minimum rata-rata suhu udara, RH, angin zonal, angin meridional, dan omega pada masing-masing periode interaksi dapat dilihat dalam tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan nilai maksimum dan minimum masing-masing parameter cuaca pada ketiga periode waktu, yaitu pada periode interaksi Monsun Asia – cold surge, interaksi Monsun Asia – MJO, dan interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO. Nilai

maksimum dan minimum suhu udara pada tiga periode tersebut terlihat sama, dimana nilai maksimum mencapai lebih dari 20 °C dan minimum kurang dari –35 °C. Pada parameter RH, nilai maksimum dan minimum pada tiga periode waktu tersebut bervariasi, dimana RH paling signifikan terlihat pada interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO, diikuti oleh interaksi Monsun Asia – MJO, dan interaksi Monsun Asia – cold surge. Nilai maksimum dan minimum angin zonal tidak jauh berbeda antara satu periode dengan periode yang lain, yaitu maksimum lebih dari 6 ms-1 dan minimum kurang dari – 5 ms-1.

Tabel 1 Perbandingan nilai T, RH, u, v, ω pada kondisi normal, interaksi Monsun Asia – cold surge, Monsun Asia – MJO, dan Monsun Asia – cold surge – MJO

No. Parameter Monsun Asia – cold surge Monsun Asia - MJO

Monsun Asia – cold surge – MJO 1 Suhu udara (°C) Maks >20 >20 >20 Min < -35 < -35 < -35 2 Kelembapan udara (%) Maks 90 100 100 Min 50 60 70 3 Angin zonal (ms-1) Maks >6 >6 >6 Min < -5 < -5 < -5 4 Angin meridional (ms-1) Maks >5 >5 >5 Min -4 -3 -5 5 Omega (Pa s-1) Maks 0,03 0,03 0,03 Min -0,09 -0,12 -0,15

Nilai minimum pada parameter angin meridional lebih bervariasi jika dibandingkan pada nilai maksimumnya. Nilai maksimum angin meridional umumnya mencapai lebih dari 5 ms-1, sedangkan nilai minimum paling rendah mencapai -5 ms-1 terjadi pada periode interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO, diikuti oleh periode interaksi Monsun Asia – cold surge dengan nilai –4 ms-1, dan interaksi Monsun Asia – MJO dengan nilai –3 ms-1. Sebagaimana pada nilai maksimum angin zonal dan meridional, nilai maksimum omega juga tidak menunjukkan variasi yang signifikan pada ketiga periode tersebut. Pada ketiga periode kasus interaksi tersebut, nilai omega maksimum mencapai 0,03 Pa s-1. Hal ini berbeda pada nilai omega minimum, dimana nilai omega paling signifikan terjadi pada interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO dengan omega mencapai –0,15 Pa s-1,

diikuti dengan periode interaksi antara Monsun Asia – MJO dengan omega mencpai –0,12 Pa s-1

, dan periode interaksi Monsun Asia – cold surge dengan omega mencapai – 0,09 Pa s-1.

Nilai RH, angin zonal, angin meridional, dan omega menunjukkan kondisi atmosfer paling signifikan dalam periode interaksi Monsun Asia – cold surge pada tanggal 3 Maret 2013, interaksi Monsun Asia – MJO pada tanggal 2 Januari 2015, dan interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO pada tanggal 13 Maret 2012.

Dalam waktu 24 jam, sejak tanggal 3 Maret 2013 jam 00 UTC hingga 4 Maret 2013 jam 00 UTC, telah terjadi hujan di beberapa wilayah Indonesia, terutama Indonesia bagian Barat seperti Sumatera dan Jawa. Hujan dengan intensitas lebih dari 100 mm terjadi di Rote; hujan dengan intensitas berkisar antara

(8)

8 50 – 100 mm terjadi di Sumatera Selatan,

Banten, NTT, dan Kepulauan Maluku; dan hujan dengan intensitas antara 20 – 50 mm terjadi di sebagian wilayah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan NTT.

Gambar 7. Intensitas curah hujan harian Indonesia pada a) interaksi Monsun Asia – cold surge 3 Maret 2013, b) interaksi Monsun Asia – MJO 2 Januari 2015, dan c) interaksi Monsun Asia

– cold surge – MJO 13 Maret 2012

Pola curah hujan yang cukup signifikan juga terlihat pada tanggal 2 Januari 2015 pada gambar 7b. Akumulasi curah hujan 24 jam sejak tanggal 2 Januari 2015 jam 00 UTC hingga tanggal 3 Januari 2015 jam 00 UTC di wilayah Indonesia memperlihatkan persebaran curah hujan yang hampir merata di seluruh wilayah Indonesia, baik bagian Barat maupun bagian Timur. Terlihat wilayah dengan warna merah dengan akumulasi curah hujan antara 50 – 100 mm terjadi di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, NTT, dan Papua bagian Utara. Wilayah dengan intensitas hujan antara 20 – 50 mm adalah sebagian Sumatera Utara, Jawa Tengah, sebagian kecil Kalimantan Tengah, NTB, NTT, sebagian Sulawesi Selatan, Kepulauan Maluku, dan Papua bagian Utara.

Pada gambar 7c, terlihat pula sebaran curah hujan yang hampir merata di seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 13 Maret 2012. Intensitas hujan lebih dari 100 mm terjadi di Bali, NTB, NTT, Sulawesi bagian tengah, dan Papua bagian Tengah. Intensitas antara 20 – 50 mm terjadi di Riau bagian Timur, Kalimantan bagian Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, sebagian besar Sulawesi, Maluku, Papua Barat, dan Papua, sedangkan sisanya memiliki curah hujan antara 0 – 20 mm.

4. KESIMPULAN

Interaksi Monsun Asia – cold surge, Monsun Asia – MJO, dan Monsun Asia – cold surge – MJO pada kasus tanggal 1 – 8 Maret 2013, 1 – 7 Januari 2015, dan 7 – 16 Maret 2012 menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap kondisi dinamika atmosfer di Benua Maritim Indonesia. Pada masing-masing periode, umumnya terlihat kenaikan nilai RH, penguatan angin Baratan dan angin dari arah Utara, penurunan omega, serta distribusi curah hujan yang menyebar hampir merata di wilayah Indonesia.

Pada ketiga kasus interaksi yang dikaji dalam penelitian ini, kondisi atmosfer paling signifikan terlihat pada interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO, yang diikuti oleh interaksi Monsun Asia – MJO, dan Monsun Asia – cold surge secara berturut-turut. Curah hujan yang terjadi di wilayah Indonesia saat terjadi interaksi Monsun Asia – cold surge – MJO juga lebih menyebar dan meluas jika dibandingkan dengan curah hujan pada interaksi antara Monsun Asia – cold surge yang lebih terpusat pada wilayah Indonesia bagian Barat maupun interaksi Monsun Asia – MJO.

Dengan mempertimbangkan atmosfer yang memiliki sifat sangat dinamis, kondisi udara pada suatu kasus interaksi Monsun Asia, cold surge, dan MJO tidak selalu sama jika dibandingkan dengan kondisi kasus serupa yang lain. Oleh karena itu, interaksi Monsun Asia, cold surge, dan MJO, serta dampaknya terhadap Benua Maritim Indonesia perlu dikaji lebih lanjut dalam beberapa periode kasus lain untuk memperoleh gambaran interaksi Monsun Asia, cold surge, dan MJO, serta dampak yang diakibatkan di wilayah Indonesia secara lebih baik. a . b . c .

(9)

9

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E., dan Utama, G. S. A. 2007. Identifikasi dan Karakteristik Seruak Dingin {Cold Surge} Tahun 1995 – 2003. ITB. Bandung.

Lorenz, D. J., dan Hartmann, D. L. 2006. The Effect of The MJO on The North American Monsoon. American Meteorological Society. Vol 19, hal: 333 – 343.

Mulyana, E. 2002. Analisis Angin Zonal di Indonesia Selama Periode ENSO, Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca. Vol 3, hal: 115 – 120.

Wu, M.-L. C., Schubert, S. D., Suarez, M. J., Pegion, P. J., dan Waliser, D. E. 2006. Seasonality and Meridional Propagation of The MJO. American Meteorological Society. Vol 19, hal: 1901 – 1921. Xavier, P., Rahman, R., Cheong, W. K., dan

Wallace, E. 2014. Influence of Madden-Julian Oscillation on Southeast Asia Rainfall Extremes: Observation and Predictability. Geophysical Research Letters. American Geophysical Union. Yulihastin, E. 2011. Penentuan Indeks

Monsun Indonesia Berdasarkan Angin Zonal. Jurnal Teknologi Indonesia. Vol 34, hal: 98 – 107.

Gambar

Gambar 1. Diagram alir
Gambar 2. Penampang vertikal rata-rata  suhu udara Indonesia (6°LU–11°LS; 95–145°BT)  pada a) interaksi Monsun Asia – cold surge 1 – 8  Maret 2013, b) interaksi Monsun Asia – MJO 1 – 7
Gambar 4. Penampang vertikal rata-rata  angin zonal Indonesia (6°LU–11°LS; 95–145°BT)
Diagram  Hovmoller  rata-rata  angin  meridional  di  wilayah  Indonesia  disajikan  dalam penampang vertikal lapisan 1000 mb  –  200  mb  sebagaimana  pada  gambar  5
+4

Referensi

Dokumen terkait

dalam pembelajaran. Implikasi penulisan ini diantaranya adalah pendidikan seni akan mendapat perhatian besar di sekolah, guru atau pendidik lebih mengetahui suasana

 Tingkat Kesiapterapan Teknologi (Technology Readiness Level) yang selanjutnya disingkat dengan TKT adalah tingkat kondisi kematangan atau kesiapterapan suatu hasil penelitian

Sesuai dengan analisis data yang dilakukan, 6 responden atau 100 persen responden menjawab pernah melihat Guru PKn menjalin hubungan yang baik terhadap

DAS Blorong merupakan Daerah Aliran Sungai yang melintasi 2 kabupaten di Jawa Tengah yaitu Kabupaten Kendal dan Kabupaten Kota Semarang. Perubahan penggunaan DAS Blorong, dimana

Fa ktor ya ng mempenga ruhi motiva si dibedakan menja di fa ktor ekstrinsik da n intrinsik.. Ragam Motivasi Atlet dalam Berprestasi

rekaman, dalam proses penelitian ini merupakan sumber data utama, dengan menggunakan teknik sampling, yaitu dengan cara mewawancarai kepada pihak kepala madrasah sebagai

Pendampingan pastoral merupakan suatu hal yang baru, menyebabkan majelis jemaat mengalami kendala yang bersifat tehnis yaitu kurangnya pemahaman akan pastoral,

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka program pemberdayaan yang perlu dilakukan agar kemandirian sosial ekonomi alumni dapat optimal adalah : Membentuk Kelompok