Analisis Novel tarian Bumi Karya Oka Rusmini
Tarian Bumi: Gugatan Feminisme Oka Rusmini
Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini pertama kali diterbitkan pada tahun 2007 oleh
penerbit Indonesiatera. Dalam novel ini, Oka Rusmini menyoroti masalah sosial dan adat istiadat
di Bali yang digambarkan dengan spesifik sehingga mampu memberikan pegetahuan baru bagi
pembacanya tentang sisi lain pulau Bali yang tidak pernah muncul ke permukaan. Sebagaimana
yang dimuat pada sampul belakang novel ini.
”Jika novelis Inggris, Graham Greene merasa menemukan India yang sebenarnya justru
dalam novel dan cerita-cerita pendek yang ditulis R.K Narayan, maka tak berlebihan jika kita
pun merasa telah menemukan Bali yang sebenarnya melalui novel ini.” (Horison, Juli 2011)
Masalah sosial yang ditampilkan oleh Oka Rusmini dalam Tarian Bumi yakni masalah
perempuan dan kehidupan yang melingkupi perempuan Bali: kasta dan perkawinan.
***
Sinopsis
Novel Tarian Bumi mengisahkan seorang perempuan sudra bernama Luh Sekar, yang
memiliki ambisi untuk menikah dengan lelaki brahmana karena bosan hidup dalam kemiskinan
dan tidak memiliki kedudukan di masyarakat. Untuk mewujudkan keinginannya itu, ia
mengawali langkahnya menjadi seorang penari dan ia tidak henti-hentinya berdoa kepada para
Dewa agar keinginannya terwujud. Akhirnya ambisinya untuk menikah dengan lelaki brahmana
pun terwujud. Ia menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, akan tetapi Ida Ayu Sagra Pidada,
ibu dari Ida Bagus Ngurah Pidada sangat membenci Sekar, karena ia menginginkan anaknya
menikah dengan seoarang Ida Ayu, bukan dengan perempuan Sudra. Karena kebenciannya pada
Sekar, Ida Ayu Sagra Pidada selalu memaki-maki Sekar, apalagi ketika anaknya pulang dengan
keadaan mabuk berat. Sampai akhirnya Ida Bagus Ngurah Pidada meninggal, baru Ibunya
mertuanya tidak lagi memaki Sekar, dan tidak lama kemudian ia juga meninggal.
Dari pernikahannya tersebut Sekar dikaruniai seorang anak, Ida Ayu Telaga Pidada. Sama
seperti dulu, Sekar sangat keras kepala. Ia mengharuskan Telaga menikah dengan seorang Ida
Bagus. Telaga juga harus menjadi wanita tercantik dan menjadi penari, sampai-sampai ia
memanggil guru tari yang terhebat, Luh Kambren, seorang guru tari yang sangat teguh
memegang adat istiadat Bali sampai ajal memanggilnya. Rupanya tidak sia-sia. Telaga bisa
menjadi seorang penari, dan dikaruniai taksu-taksu yang dulu melekat pada diri Luh Kambren.
Keinginan Luh Sekar (Jero Kenanga) untuk menikahkan Telaga dengan lelaki brahmana
tidak sedikit pun dipedulikan oleh Telaga. Telaga justru tertarik dengan lelaki sudra yang sering
menjadi bahan perbincangan para Ida Ayu di Griya, dan merupakan pasangannya ketika menari
oleg, Wayan Sasmitha namanya. Beruntung, cinta Telaga tidak bertepuk sebelah tangan. Dengan
keberanian yang besar, ia memutuskan untuk menikah dengan Wayan Sasmitha. Tentunya
keinginan mereka tidak begitu saja diterima, karena merupakan sebuah malapetaka jika seorang
perempuan brahmana menikah dengan laki-laki sudra. Tetapi karena cinta Wayan dan Telaga
yang sangat besar, membuat mereka berani mengarungi hidup berumah tangga tanpa restu dari
orang tua masing-masing. Setelah menikah, mereka dikaruniai seorang anak perempuan, Luh
Sari. Namun, tak berapa lama kemudian Wayan meninggal di studio lukisnya. Selepas ditinggal
suaminya, Telaga kerap kali di ganggu oleh adik iparnya yang membuat hidup telaga tidak
tenang. Akhirnya ibu mertua Telaga, Luh Gumbreg menyarankan dia untuk melakukan Upacara
Patiwangi untuk melepaskan statusnya sebagai brahmana dan agar terbebas dari segala kesialan.
Akhirnya ia melaksanakan upacara itu di Griya, dan ia pun berubah menjadi perempuan Sudra
seutuhnya.
***
Di dalam novel Tarian Bumi terdapat beberapa tokoh perempuan, yaitu Ida Ayu Telaga
Pidada sebagai tokoh utama, Luh Sekar/Jero Kenanga, Ida Ayu Sagra Pidada, dan Luh Kambren
sebagai tokoh perempuan yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian Telaga. Mereka
merupakan empat tokoh perempuan central. Ida Bagus Tugur (kakek Telaga), Ida Bagus Ngurah
Pidada (ayah Telaga), Wayan Sasmitha (Suami Telaga), Luh Sari (anak Telaga), Luh Gumbreg
(ibu Mertua Telaga), Luh Dalem (ibu Luh Sekar), Luh Sadri (adik Wayan), Luh Kenten (teman
Luh Sekar), Putu Sarma (suami Luh Sadri), Ida Bagus Ketu Pidada (orang yang dituakan di
Griya), Kerta dan Kerti (Adik Luh Sekar), Luh Dampar (teman Luh Kambren), dan Luh Kendran
(teman Luh Sadri) sebagai tokoh pendukung.
Ida Ayu Telaga Pidada adalah anak dari keluarga Brahmana yang sangat membenci
aturan-aturan yang ada di Griya. Ia menginginkan kebebasan dan kebahagiaan dengan pilihan hidupnya
sendiri. Telaga menghendaki adanya emansipasi, ia mau kesejajaran antar individu, ia kesal
terhadap kaum lelaki yang maunya enak sendiri.
Luh Sekar/Jero kenanga adalah seorang dari kalangan Sudra yang sangat ambisius untuk
menjadi penari tercantik dan menikah dengan seorang Brahmana untuk menaikkan derajatnya.
Sifat kerasnya ini muncul karena ia adalah anak dari seorang PKI, sehingga ia tidak mendapat
tempat di dalam masyarakat.
Ida Ayu Sagra Pidada adalah perempuan Brahmana yang tercantik di desanya, tutur bahasanya
lembut dan tidak sombong sehingga banyak lelaki griya yang tertarik padanya.
Luh Kambren adalah seorang guru tari terbaik dan termahal di desanya. Luh Kambren menjadi
tokoh perempuan penting dalam novel ini. Ia berjuang sebagai perempuan Bali dengan
mempertahakan yang menjadi pusaka Bali yaitu berupa tarian. Meskipun ia telah mendapat
berbagai penghargaan, namun Kambren tetap hidup menderita dalam kemiskinan karena ia tak
pernah mendapat hasil yang pantas untuk pengabdiannya itu.
Alur yang digunakan dalam novel Tarian Bumi ini adalah alur campuran. Pada awal cerita
dibuka dengan kisah masa kini, lalu kemudian Telaga menyibak tabir misteri masa lalu yang
menjadi inti permasalahan cerita, setelah itu diakhiri dengan kehidupan telaga di masa kini.
Novel Tarian Bumi berlatar tempat di Bali, sedangkan latar sosialnya yaitu permasalahan kasta di
Bali. Sudut pandang dalam novel Tarian Bumi adalah orang ketiga maha tahu, yakni penulis
serba tahu segala kejadian dan perasaan serta perwatakan setiap tokohnya. Hal ini tergambar
dalam kutipan berikut.
“Bagi Telaga, cintanya yang dalam Wayan hanya untuk dirinya sendiri. Perasaan itu terlalu
menguasai dirinya. Setiap kali kerinduan mengintip, Telaga hanya bisa menatap wajahnya
dengan bantal. Menangis sepuasnya!” (Rusmini, 2007:133)
Atmosfer yang tercipta dari novel ini yaitu salah satunya kesakralan adat istiadat di bali, di
mana ketika adat itu dilanggar akan mengganggu keseimbangan hidup manusia yang
bersangkutan.
***
Feminisme adalah sebuah gerakan perlawanan dari kaum perempuan untuk melawan
segala bentuk ketidakadilan, khususnya yang terjadi pada perempuan. Begitu lah yang dilakukan
oleh Oka Rusmini dengan novel ini. Ia ingin melawan segala bentuk ketidakadilan yang terjadi
pada masyarakat Bali, khususnya perempuan di Bali. Novel Tarian Bumi merupakan gugatan
yang sangat keras terhadap kemapanan nilai-nilai lama yang tertutup dan angkuh.
Perempuan-perempuan yang digambarkan oleh Oka Rusmini tidak hanya menjadi sebuah kritikan yang keras
terhadap sistem patriarki, sistem yang selama ini merugikan kaum tersebut. Oka Rusmini bahkan
menawarkan sebuah pemberontakan dengan sebuah pemikiran, bahwa perempuan tidaklah hanya
untuk dipilih, tapi juga berhak untuk memilih.
Berdasarkan kajian penelitian maka hasil rumusan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Unsur-unsur struktural dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini a. Tema
Tarian Bumi mengangkat tema mengenai kedudukan perempuan dalam adat. Adat yang dimaksud di sini yaitu adat kebudayaan Bali terutama mengenai kasta. Novel ini menceritakan potret pemberontakan perempuan Bali terhadap praktik budaya yang menindas dengan caranya sendiri, serta perjuangan perempuan dalam mencapai kebahagiaan dan menghadapi realitas sosial budaya di sekelilingnya.
b. Penokohan dan Perwatakan
1. Ida Ayu Telaga Pidada Telaga adalah tokoh utama dalam novel ini. Ia adalah seorang perempuan keturunan brahmana yang cantik dan pandai menari. Tetapi, meskipun ia berasal dari kaum bangsawan ia tidak pernah mengagungkan darah bangsawan yang dimilikinya. Ia adalah seorang perempuan yang sabar dan tegar dalam menghadapi hidupnya.
2. Kenanga (Luh Sekar) Sekar berasal dari kaum sudra, Akan tetapi ia terlalu mengagungkan nilai-nilai kebangsawanan. Ia adalah seorang perempuan ambisius yang pantang menyerah untuk mendapatkan keinginannya. Selain itu Sekar adalah seorang perempuan yang mempunyai watak keras kepala dan egois. Apa yang menjadi keinginannya harus dituruti oleh semua orang.
3. Ida Bagus Ngurah Pidada Ida Bagus Ngurah Pidada adalah seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya, hanya bersenang- senang dan tidak mau bekerja. Ia juga seorang laki-laki yang egois, suka mengamuk dan menyalahkan orang lain untuk menutupi ketololannya.
4. Nenek (Ida Ayu Sagrah Pidada) Nenek adalah orang selalu bersikap lembut dan tidak sombong. Nenek terlahir sebagai seorang perempuan brahmana yang cantik dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat budayanya, ia juga perempuan yang sangat menghormati cinta, baginya cinta adalah sesuatu yang sakral. Dengan segala yang terjadi dalam hidupnya, nenek adalah wanita yang sangat tegar dan bijaksana dalam menghadapi hidup.
5. Kakek (Ida Bagus Tugur) Kakek merupakan seorang yang sangat terpelajar. Ia adalah pemuda miskin yang berambisi dalam memperoleh kedudukan.
6. Wayan Sasmitha Wayan adalah seorang pemuda yang tampan, gagah dan banyak dikagumi oleh seluruh dayu. Ia juga pandai menari dan melukis. Wayan seorang yang berani, karena ia siap menanggung resiko apapun saat mengambil keputusan untuk menikah dengan Telaga, demi cintanya pada Telaga yang seorang perempuan berdarah bangsawan.
7. Kenten Kenten mencintai sesama perempuan, yaitu Sekar. Ia sangat membenci laki-laki karena ia tidak ingin dibohongi laki-laki. Karena itu ia tidak ingin menikah dengan laki-laki.
8. Luh Sadri Luh Sadri memiliki watak yang kurang baik. Ia selalu iri pada Telaga, karena ia merasa Telaga memiliki kecantikan yang sempurna.
9. Luh Dalem Luh Dalem adalah seorang yang penyabar dan pekerja keras. Ia adalah perempuan Bali yang tidak pernah mengeluh dalam menjalani hidupnya. 10. Luh Gumbreg Luh Gumbreg adalah seorang yang sangat patuh pada adat, ia percaya pada mitos bahwa perempuan brahmana yang menikah dengan laki-laki sudra akan mendatangkan kesialan. Karenanya ia sangat menentang pernikahan anaknya, Wayan Sasmitha dengan Telaga.
11. luh Kambren Luh Kambren adalah seorang perempuan sudra yang menjadi guru tari terbaik dan termahal di seluruh desa, ia sangat menjunjung tinggi adat. Luh kambren tidak menikah. Hidupnya hanyalah untuk menari.
c. Latar
Latar tempat dalam novel ini secara umum terdapat Bali, yaitu di Sanggah yang merupakan Pura keluarga yang biasa digunakan untuk tempat ibadah, kemudian yang kedua adalah di Griya yang merupakan tempat tinggal bagi mereka yang berkasta brahmana. Latar waktu dalam novel ini yaitu keadaan pada pagi hari, siang, sore, dan malam. Berkisar antara tahun 1952-1990 dimana hukuman maselong untuk wanita berkasta brahmana yang menikah dengan laki- laki berkasta sudra tidak lagi diberlakukan, seperti yang pengarang gambarkan dalam novel ini. Sedangkan untuk latar sosial yang terdapat dalam novel ini adalah mengenai adat budaya yang terjadi di Bali. Misalnya kebiasaan laki-laki di Bali yang tidak pernah bekerja dan mengandalkan hidup pada perempuan, juga tentang upacara-upacara adat yang berlangsung di Bali dan sistem perkawinan di Bali berdasarkan kasta. d. Alur Alur dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini menggunakan alur bolak-Balik atau flash back. Alur flash back tersebut memberikan gambaran tentang feminisme liberal yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel ini. e. Amanat Amanat yang terdapat dalam novel Tarian Bumi adalah, bahwa untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup tidaklah mudah, perlu perjuangan yang keras, pegangan kuat serta keyakinan dalam hatinya dan sikap pantang menyerah. Karena dalam hidup manusia tidak akan pernah tau terlahir sebagai apa dan siapa, jadi apapun yang Tuhan berikan hendaknya dijalani dengan sebaik- baiknya dan penuh tanggung jawab. Meskipun hidup terkadang tak semudah yang kita bayangkan, dan kenyataan tak seperti yang kita impikan.
2. Figur Tokoh Perempuan dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini
Figur tokoh perempuan dalam novel ini adalah figur perempuan Bali yang hidup dalam kebudayaan Bali yang patriarki. Mereka adalah perempuan yang menjunjung tinggi nilai- nilai kebangsawanan dalam adat budayanya, sebagian perempuan Bali dalam novel ini adalah perempuan yang patuh pada adat, namun ada juga beberapa tokoh yang melakukan pemberontakan pada adat terutama
dalam sistem perkawinan. Figur perempuan Bali digambarkan sebagai perempuan yang memiliki kecantikan khas, pandai menari, patuh pada suami, bahkan sebagai perempuan pekerja keras baik secara fisik dan batin demi kelangsungan hidup mereka tanpa harus bergantung pada laki- laki, perempuan Bali dalam novel ini juga digambarkan sebagai obyek penderita akan tetapi mereka tidak pernah mengeluh karena baginya ini adalah takdir. Figur perempuan Bali yang melakukan pemberontakan pada adat terlihat pada sosok Telaga, Luh sekar, dan Kenten. Tokoh tersebut malakukan pemberontakan pada adat terutama dalam sistem perkawinan. Perempuan Bali masih sangat taat pada adat yang sebagian besar merugikannya. Seharusnya mereka bisa lebih maju agar mereka juga dapat merasakan kebahagiaan dan persamaan hak dengan kaum laki- laki tanpa harus terbelenggu adat budayanya sendiri.
3. Perjuangan Tokoh Perempuan dalam Mewujudkan Feminisme dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini.
Perempuan seringkali dihadapkan pada persoalan yang cukup rumit yang diakibatkan dari situasi hubungan laki-laki dengan perempuan yang tidak sejajar. Pola relasi ini mengakibatkan perempuan mendapatkan banyak ketidakadilan. Perempuan menanggapinya dengan berbagai cara dan sikap. Ada yang menyadari dan menumbuhkan kesadaran kritis yang berlanjut pada keberanian sikap menentang segala bentuk ketidakadilan tersebut, tetapi banyak juga yang tidak menyadari. Hal ini diakibatkan dari sosialisasi masyarakat dan keluarga sehingga perempuan sendiri menganggapnya sebagai sebuah kodrat.
Melalui novelnya, Oka Rusmini menguraikan tokoh perjuangan perempuan tersebut dengan melihat sisi lain perempuan, yaitu dari sisi kebebasan perempuan dalam memilih pasangan hidup. Tokoh Telaga juga digambarkan Oka sebagai seorang perempuan yang menentang adat yang berlaku di Bali. Telagapun harus menerima hukum adat yang berlaku. Ia akhirnya dibuang oleh keluarganya dan tidak dianggap lagi sebagai perempuan Brahmana karena menikah dengan laki-laki Sudra. Kisah perjuangan Telaga dan beberapa wanita Bali lainnya dalam mencapai kebahagiaan dan menghadapi realitas sosial budaya di sekelilingnya itulah yang diangkat oleh Oka Rusmini dalam novelnya tersebut. Feminisme adalah perjuangan perempuan dalam mewujudkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat Bali terkenal dengan sistem kasta, yaitu pengelompokan kelas- kelas sosial brdasarkan kelahiran, hal ini berdampak dalam sistem perkawinan dan berbagai peraturan adat budayanya yang justru membelenggu perempuan Bali itu sendiri. Padahal pada dasarnya semua manusia itu terlahir sama, mereka dilahirkan dengan hak yang sama pula. sehingga akan dirasa tidak adil jika terdapat pengelompokan kelas-kelas sosial dalam masyarakat seperti yang terdapat di Bali. Menjadi seorang kasta brahmana, kasta tertinggi di Bali, selalu dianggap terhormat, sedangakan mereka yang terlahir sebagai kasta sudra, kasta terendah di Bali, harus selalu hormat dan mengabdikan diri pada mereka yang terlahir sebagai bangsawan. Feminisme sosialis adalah yang diperjuangkan oleh Telaga dan Luh Sekar dalam novel ini. Feminisme sosialis memahami penindasan terhadap perempuan melalui kelompok atau kelas- kelas sosial tertentu. Mereka menentang adat terutama dalam sistem perkawinan dengan harapan akan mendapatkan kebahagiaan atas pilihan hidupnya
tersebut, walaupun mereka harus menanggung resiko yang berat. Telaga yang terlahir sebagai kasta brahmana menikah dengan Wayan Sasmitha, seorang laki-laki sudra. Sedangkan Luh Sekar yang terlahir sebagai perempuan sudra berusaha agar bisa menikah dengan laki- laki brahmana agar dihormati dan dihargai. Disinilah terlihat jelas perjuangan dan usaha mereka dalam menyesuaikan diri dengan kebiasaan barunya serta berusaha agar diterima oleh keluarga barunya pula.