• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Panduan Kuliah Lapangan Geologi Regional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Buku Panduan Kuliah Lapangan Geologi Regional"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BUKU PANDUAN

EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL (S2)

DAN ANALISIS GEOLOGI REGIONAL

(S3)

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

(2)

2016

BAB I

PENDAHULUAN

Mata kuliah Ekskursi Geologi Regional (S2) dan Analisis Geologi Regional (S3) merupakan mata kuliah pada Program Pascasarjana Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran. Mata kuliah ini bersifat kegiatan lapangan, dengan tujuan untuk mengenal zonasi fisiografi, urutan stratigrafi, pola struktur geologi, kaitannya terhadap sejarah geologi regional, potensi sumber daya geologi dan aspek bencana geologi. Kegiatan Ekskursi Geologi Regional ini dilaksanakan pada tanggal 13-14 Desember 2016. Lokasi yang dipilih untuk kegiatan ekskursi ini adalah zona Pegunungan Selatan Jawa Barat.

Bagi seorang geologist, kuliah lapangan atau ekskursi merupakan sarana pembelajaran terbaik karena menggambarkan secara nyata kondisi geologi dari pengamatan singkapan (outcrop). Dengan adanya kegiatan ekskursi ini diharapkan peserta dapat menambah wawasan dan mempertajam analisa pada saat mengeksplorasi kondisi geologi suatu daerah. Pada saat ini hampir seluruh kegiatan

(3)

yang berkaitan dengan bumi seperti pembangunan fisik, ekplorasi dan eksploitasi sumberdaya geologi, serta mitigasi bencana geologi membutuhkan data geologi dan pemahaman konsep geologi yang saling berintegrasi.

1.1 Peralatan Lapangan

Untuk kelancaran Ekskursi Geologi Regional ini peralatan yang perlu dipersiapkan antara lain :

1. Keperluan pribadi untuk dua hari 2. Sepatu lapangan

3. Topi 4. Ponco

5. Tas Lapangan

6. Obat-obatan pribadi

7. Buku catatan lapangan dan alat tulis 8. Clipboard 9. Lup 10. Kompas geologi 11. Palu geologi 12. HCl 13. GPS 14. Trash Bag

1.2 Panduan Keselamatan, Keamanan dan

Kesehatan (K3) Kerja Lapangan

1. Sebelum keberangkatan:

 Pastikan penggunaan sepatu lapangan yang aman dan nyaman.

(4)

 Pastikan topi untuk perlindungan terhadap sinar matahari.

 Bawalah persediaan minum yang cukup.

 Bawalah obat-obatan pribadi yang sekiranya diperlukan.

 Apabila musim hujan bawalah mantel.

 Masukkan semua barang bawaan di dalam tas yang aman, kuat, dan nyaman.

 Pisahkan dokumen (peta, buku, dll) dalam tempat tersendiri yang aman.

 Berilah identitas pada setiap barang secara jelas. 2. Selama dalam kendaraan:

 Letakkan barang bawaan di dalam bagasi atau di bawah tempat dudukvsecara rapi.

 Ingatkan sopir apabila mengendarai secara serampangan/ugal-ugalan.

 Dilarang bersikap/berbicara yang mengakibatkan terganggunya kenyamanan kru kendaraan dalam menjalankan tugasnya dengan baik.

 Dilarang mengeluarkan anggota tubuh dari dalam kendaraan.

 Periksalah letak alat pemecah kaca darurat dan gunakan sewaktu diperlukan (kecelakaan, kebakaran, dll) dengan hati-hati.

 Pada kondisi kendaraan tidak stabil (kendaraaan oleng/terbalik)

(5)

 bersikaplah menunduk dan gunakan kedua tangan untuk berpegangan secara kuat pada bahu kursi di depan anda.

 Dilarang membuang sesuatu apapun keluar kendaraan selama perjalanan.

 Pada saat anda merasa akan buang air kecil maupun besar segera

 beritahukan kepada kru kendaraan agar dicarikan tempat pemberhentian.

 Ingatlah teman yang duduk di depan anda dan pastikan tidak tertinggal sebelum kendaraan menuju lokasi yang baru, dan segera beritahu panitia apabila ada yang tertinggal

3. Selama di Lapangan

 Apabila mengamati singkapan di pinggir jalan, pastikan posisi aman dari kendaraan yang melaju, setidaknya 2 meter dari bahu jalan.

 Perhatikan kemungkinan jatuhnya tebing di lokasi pengamatan. Cari lokasi yang terlindung dan tidak licin.

 Pada saat mengambil contoh batuan pastikan teman-teman anda pada jarak yang aman terhadap kemungkinan terkena pecahan batuan atau terlepasnya palu (setidaknya berjarak 2 meter) dan

(6)

pada saat menggunakan palu pastikan tidak ada teman di belakang anda.

 Selama di lapangan pastikan minum yang cukup untuk menghindari dehidrasi.

 Apabila menjumpai kasus darurat segera ditangani dan berikan pertolongan pertama, namun apabila kasus berat segera beitahukan kepada panitia agar segera dibawa ke rumah sakit terdekat.

 Apabila anda tertinggal oleh rombongan segera hubungi panitia dan sebutkan lokasi anda secara jelas.  Pastikan tidak ada peralatan yang tertinggal sebelum

meninggalkan lokasi pengamatan.

BAB II

GEOLOGI REGIONAL

Pulau Jawa terletak di bagian selatan dari Paparan Sunda dan terbentuk dari batuan yang berasosiasi dengan suatu aktif margin dari lempeng yang konvergen. Pulau tersebut terdiri dari komplek busur pluton-vulkanik, accretionary

prism, zona subduksi, dan batuan sedimen.

Pada Zaman Kapur, Paparan Sunda yang merupakan bagian tenggara dari Lempeng Eurasia mengalami konvergensi dengan Lempeng Pasifik. Kedua lempeng ini

(7)

saling bertumbukan yang mengakibatkan Lempeng Samudra menunjam di bawah Lempeng Benua. Zona tumbukan (subduction zone) membentuk suatu sistem palung busur yang aktif (arc trench system). Di dalam palung ini terakumulasi berbagai jenis batuan yang terdiri atas batuan sedimen laut dalam (pelagic sediment), batuan metamorfik (batuan ubahan), dan batuan beku berkomposisi basa hingga ultra basa (ofiolit). Percampuran berbagai jenis batuan di dalam palung ini dikenal sebagai batuan bancuh (batuan campur-aduk) atau batuan melange. Singkapan batuan melange dari paleosubduksi ini dapat dilihat di Ciletuh (Sukabumi, Jawa Barat), Karangsambung (Kebumen, Jawa Tengah), dan Pegunungan Jiwo di Bayat (Yogyakarta). Batuan tersebut berumur Kapur dan merupakan salah satu batuan tertua di Jawa yang dapat diamati secara langsung karena tersingkap di permukaan.

2.1 Fisiografi Regional

Aktifitas geologi Jawa Barat menghasilkan beberapa zona fisiografi yang satu sama lain dapat dibedakan berdasarkan morfologi, petrologi, dan struktur geologinya.

(8)

Van Bemmelen (1949), membagi daerah Jawa Barat ke dalam 4 besar zona fisiografi, masing-masing dari utara ke selatan adalah Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan

Gambar 2.1 Fisiografi Regional Jawa Barat (Van

Bemmelen,1949)

Zona Dataran Pantai Jakarta menempati bagian utara Jawa membentang barat-timur mulai dari Serang, Jakarta, Subang, Indramayu, hingga Cirebon. Daerah ini bermorfologi dataran dengan batuan penyusun terdiri atas aluvium sungai/pantai dan endapan gunungapi muda.

Zona Bogor terletak di sebelah selatan Zona Dataran Pantai Jakarta, membentang mulai dari Tangerang, Bogor,

(9)

Purwakarta, Sumedang, Majalengka, dan Kuningan. Zona Bogor umumnya bermorfologi perbukitan yang memanjang barat-timur dengan lebar maksimum sekitar 40 km. Batuan penyusun terdiri atas batuan sedimen Tersier dan batuan beku baik intrusif maupun ekstrusif. Morfologi perbukitan terjal disusun oleh batuan beku intrusif, seperti yang ditemukan di Komplek Pegunungan Sanggabuana, Purwakarta. Van Bemmelen (1949), menamakan morfologi perbukitannya sebagai antiklinorium kuat yang disertai oleh pensesaran.

Zona Bandung yang letaknya di bagian selatan Zona Bogor, memiliki lebar antara 20 km hingga 40 km, membentang mulai dari Pelabuhanratu, menerus ke timur melalui Cianjur, Bandung hingga Kuningan. Sebagian besar Zona Bandung bermorfologi perbukitan curam yang dipisahkan oleh beberapa lembah yang cukup luas. Van Bemmelen (1949) menamakan lembah tersebut sebagai depresi di antara gunung yang prosesnya diakibatkan oleh tektonik (intermontane depression). Batuan penyusun di dalam zona ini terdiri atas batuan sedimen berumur Neogen yang ditindih secara tidak selaras oleh batuan vulkanik

(10)

berumur Kuarter. Akibat tektonik yang kuat, batuan tersebut membentuk struktur lipatan besar yang disertai oleh pensesaran. Zona Bandung merupakan puncak dari Geantiklin Jawa Barat yang kemudian runtuh setelah proses pengangkatan berakhir (van Bemmelen, 1949).

Zona Pegunungan Selatan terletak di bagian selatan Zona Bandung. Pannekoek (1946) menyatakan bahwa batas antara kedua zona fisiografi tersebut dapat diamati di Lembah Cimandiri, Sukabumi. Perbukitan bergelombang di Lembah Cimandiri yang merupakan bagian dari Zona Bandung berbatasan langsung dengan dataran tinggi (plateau) Zona Pegunungan Selatan. Morfologi dataran tinggi atau plateau ini, oleh Pannekoek (1946) dinamakan sebagai Plateau Jampang.

2.2 Struktur Geologi Regional

Di daerah Jawa Barat terdapat banyak pola kelurusan bentang alam yang diduga merupakan hasil proses pensesaran. Jalur sesar tersebut umumnya berarah barat-timur, utara-selatan, timurlaut-baratdaya, dan baratlaut-tenggara. Secara regional, struktur sesar berarah

(11)

timurlaut-baratdaya dikelompokkan sebagai Pola Meratus, sesar berarah utara-selatan dikelompokkan sebagai Pola Sunda, dan sesar berarah barat-timur dikelompokkan sebagai Pola Jawa. Struktur sesar dengan arah barat-timur umumnya berjenis sesar naik, sedangkan struktur sesar dengan arah lainnya berupa sesar mendatar. Sesar normal umum terjadi dengan arah bervariasi.

Dari sekian banyak struktur sesar yang berkembang di Jawa Barat, ada tiga struktur regional yang memegang peranan penting, yaitu Sesar Cimandiri, Sesar Baribis, dan Sesar Lembang. Ketiga sesar tersebut untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh van Bemmelen (1949) dan diduga ketiganya masih aktif hingga sekarang.

Sesar Cimandiri merupakan sesar paling tua (berumur Kapur), membentang mulai dari Teluk Pelabuhanratu menerus ke timur melalui Lembah Cimandiri, Cipatat-Rajamandala, Gunung Tanggubanperahu-Burangrang dan diduga menerus ke timurlaut menuju Subang. Secara keseluruhan, jalur sesar ini berarah timurlaut-baratdaya dengan jenis sesar mendatar hingga oblique (miring). Oleh

(12)

Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini dikelompokkan sebagai Pola Meratus.

Sesar Baribis yang letaknya di bagian utara Jawa merupakan sesar naik dengan arah relatif barat-timur, membentang mulai dari Purwakarta hingga ke daerah Baribis di Kadipaten-Majalengka (Bemmelen, 1949). Bentangan jalur Sesar Baribis dipandang berbeda oleh peneliti lainnya. Martodjojo (1984), menafsirkan jalur sesar naik Baribis menerus ke arah tenggara melalui kelurusan Lembah Sungai Citanduy, sedangkan oleh Simandjuntak (1986), ditafsirkan menerus ke arah timur hingga menerus ke daerah Kendeng (Jawa Timur). Penulis terakhir ini menamakannya sebagai “Baribis-Kendeng Fault Zone”. Secara tektonik, Sesar Baribis mewakili umur paling muda di Jawa, yaitu pembentukannya terjadi pada periode Plio-Plistosen. Selanjutnya oleh Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini dikelompokkan sebagai Pola Jawa.

Sesar Lembang yang letaknya di utara Bandung, membentang sepanjang kurang lebih 30 km dengan arah barat-timur. Sesar ini berjenis sesar normal (sesar turun) dimana blok bagian utara relatif turun membentuk morfologi

(13)

pedataran (Pedataran Lembang). Van Bemmelen (1949), mengaitkan pembentukan Sesar Lembang dengan aktifitas Gunung Sunda (G. Tangkubanperahu merupakan sisa-sisa dari Gunung Sunda), dengan demikian struktur sesar ini berumur relatif muda yaitu Plistosen.

Struktur sesar yang termasuk ke dalam Pola Sunda umumnya berkembang di utara Jawa (Laut Jawa). Sesar ini termasuk kelompok sesar tua yang memotong batuan dasar (basement) dan merupakan pengontrol dari pembentukan cekungan Paleogen di Jawa Barat.

Mekanisme pembentukan struktur geologi Jawa Barat terjadi secara simultan di bawah pengaruh aktifitas tumbukan Lempeng Hindia-Australia dengan Lempeng Eurasia yang beralangsung sejak Zaman Kapur hingga sekarang. Posisi jalur tumbukan (subduction zone) dalam kurun waktu tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada awalnya subduksi purba (paleosubduksi) terjadi pada umur Kapur, dimana posisinya berada pada poros tengah Jawa sekarang. Jalur subduksinya berarah relatif barat-timur melalui daerah Ciletuh-Sukabumi, Jawa Barat menerus ke timur memotong daerah

(14)

Karangsambung-Kebumen, Jawa Tengah. Jalur paleosubduksi ini selanjutnya menerus ke Laut Jawa hingga mencapai Meratus, Kalimantan Timur (Katili, 1973).

Peristiwa subduksi Kapur diikuti oleh aktifitas magmatik yang menghasilkan endapan gunungapi berumur Eosen. Di Jawa Barat, endapan gunungapi Eosen diwakili oleh Formasi Jatibarang dan Formasi Cikotok. Formasi Jatibarang menempati bagian utara Jawa dan pada saat ini sebarannya berada di bawah permukaan, sedangkan Formasi Cikotok tersingkap di daerah Bayah dan sekitarnya.

Jalur gunungapi (vulcanic arc) yang umurnya lebih muda dari dua formasi tersebut di atas adalah Formasi Jampang. Formasi ini berumur Miosen yang ditemukan di Jawa Barat bagian selatan. Dengan demikian dapat ditafsirkan telah terjadi pergeseran jalur subduksi dari utara ke arah selatan.

Untuk ketiga kalinya, jalur subduksi ini berubah lagi. Pada saat sekarang, posisi jalur subduksi berada Samudra Hindia dengan arah relatif barat-timur. Kedudukan jalur subduksi ini menghasilkan aktifitas magmatik berupa pemunculan sejumlah gunungapi aktif. Beberapa gunungapi

(15)

aktif yang berkaitan dengan aktifitas subduksi tersebut, antara lain G. Salak, G. Gede, G. Malabar, G. Tanggubanperahu, dan G. Ciremai.

Walaupun posisi jalur subduksi berubah-ubah, namun jalur subduksinya relatif sama, yaitu berarah barat-timur. Posisi tumbukan ini selanjutnya menghasilkan sistem tegasan (gaya) berarah utara-selatan.

Aktifitas tumbukan lempeng di Jawa Barat, menghasilkan sistem tegasan (gaya) berarah utara-selatan.

Bagian utara didominasi oleh struktur ekstensi, sedangkan struktur kompresi sedikit sekali. Sesar-sesar yang terbentuk yaitu sesar-sesar berarah baratlaut-tenggara, utara dan timur laut membentuk rift dan beberapa cekungan pengendapan yang dikenal sebagai Sub-cekungan Arjuna Utara, Sub-cekungan Arjuna Tengah dan Sub-cekungan Arjuna Selatan, serta Sub-cekungan Jatibarang dan sesar-sesar geser menganan berarah baratlaut-tenggara.

Fase rifting pada Eosen-Oligosen memiliki arah ekstensi utama berarah timurlaut-baratdaya hingga barat-timur. Cekungan ini tidak terbentuk sebagai cekungan busur belakang, namun sebagai pull-apart. Hamilton (1979)

(16)

menyebutkan dua alasan yang dapat menjelaskan hal tersebut yaitu pertama, arah ekstensi cekungan hampir tegak lurus dengan zona subduksi saat ini, dan kedua, kerak benua yang tebal terlihat dalam pembentukan struktur rift cekungan tersebut.

Terdiri atas dua grup sedimen, yaitu syn rift sedimen yang didominasi oleh non marin/sedimen darat dan post rift sedimen (sag) yang didominasi oleh sikuen endapan marin dan transisi.

Batuan dasar cekungan merupakan batuan dasar Pra-Tersier yang mewakili kerak benua Daratan Sunda, terdiri atas batuan beku dan metamorf berumur Kapur atau lebih tua dan juga endapan klastik dan gamping yang terbentuk pada awal Tersier.

Endapan syn rift diawali oleh pengendapan Formasi Jatibarang (di Cekungan Sunda diendapkan Formasi Banuwati), dicirikan oleh perselingan volkanik-klastik dan sedimen lakustrin.

Endapan Post rift/sag basin fill (Miosen Awal-Plistosen) merupakan fase transgresif di daerah Laut Jawa. Pada

(17)

endapan Post-rift tersebut diendapkan secara selaras setara batugamping Formasi Baturaja. Pengendapan selanjutnya berupa endapan laut dangkal Formasi Cibulakan Atas dan Formasi Parigi. Pengendapan terakhir adalah Formasi Cisubuh yang berada di bawah endapan aluvial yang terjadi saat ini.

Gambar 2.2 Peta pola struktur regional Jawa Barat

berdasarkan data lapangan, data gravimetri, dan data seismik (Martodjojo, 1984)

(18)

BAB III

LOKASI PENGAMATAN

1. Holcim Educational Forest (Formasi Walat

dan Formasi Rajamandala)

Pengamatan batuan Formasi Walat dan Formasi Rajamandala dilakukan pada lokasi milik P.T Holcim, yang terletak di daerah Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Formasi Walat (Formasi Batupasir Kuarsa Walat, Equivalent Formasi Bayah) merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah Pasir Bongkok. Terdiri dari batupasir kuarsa konglomeratan di bagian bawah, diikuti dengan batupasir kuarsa dengan sisipan batulanau dan batulempung karbonan di bagian tengah, sedangkan bagian teratas adalah batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung dan lapisan tipis batubara. Proses sedimentasi berlangsung mulai dari sungai, lakustrin-delta, rawa-floodplain hingga ke arah pantai (estuarine).

Di banyak lokasi singkapan pada Daerah Gunung Walat, lithofacies utama batupasir konglomeratan memperlihatkan pelapisan cukup baik dengan ketebalan

(19)

lapisan berkisar antara dari 50 cm–lebih dari 2 m. Secara makroskopis bentuk detritus penyusun batupasir ini mempunyai butiran membulat-membulat tanggung, terpilah moderat dengan variasi butiran berukuran pasir kasar hingga kerikil-kerakal. Kuarsa merupakan komponen yang terbanyak dijumpai dalam batuan ini disamping fragmen litik dan feldspar. Lithofacies lainnya adalah interbed batupasir dengan sisipan batulanau dan batulempung karbonan, serta batulempung berlaminasi tipis (shales), batulempung kaolinitik dan konglomerat.

A. REGIONAL GEOLOGI & IKHTISAR STRATIGRAFI

Formasi Walat yang tersingkap di Sukabumi, adalah equivalent dari Formasi Bayah menurut Martodjojo (1984). Nama Bayah diberikan oleh Koolhoven (1933) terhadap batuan tertua di daerah Banten Selatan. Lokasitipe formasi ini adalah kota kecamatan Bayah yang terletak pada 106°20’ B.T., 6° 48’ L.S. Batuan sedimen ini di Daerah Bayah-Banten terdiri dari pasir kasar, sering konglomeratan berselang-seling dengan lempung yang mengandung batubara. Beberapa penyelidik sesudah Koolhoven seperti Musper (1939, 1940) juga memakai nama Formasi Bayah untuk satuan tersebut.

(20)

Dari hasil penyelidikan ini, beberapa singkapan lain dari batuan berciri serta dianggap genesanya sama dan berhubungan dinamakan juga sebagai Formasi Bayah. Singkapan pasir kwarsa di G. Walat, Pasir Bongkok, Cinyomplong dan pasir kwarsa yang terletak diatas Formasi Ciletuh di Ciletuh, dimasukkan ke dalam Formasi Bayah. Penyelidik terdahulu yang memberikan nama seperti Formasi Walat (Effendi, 1974; LEMIGAS, 1972) untuk singkapan di G. Walat dan Pasir Bongkok; serta Formasi Rajamandala (Soekamto, 1975) untuk singkapan di Cinyomplong.

Penyebaran singkapan Formasi Bayah di Jawa Barat pada umumnya tidak menerus. Singkapan terluas terdapat di daerah Bayah, memanjang hampir sekitar 25 km dari kota kecamatan Bayah ke Sungai Cihara, sepanjang pantai selatan Banten. Singkapan lain yang cukup luas terdapat di Teluk Ciletuh. Disini Formasi Bayah tersebar di tepi Amphitheater Ciletuh membatasi Formasi Ciletuh di bawah dan Formasi Jampang diatasnya.

Singkapan lain dari Formasi Bayah terdapat di sekitar selatan kota Sukabumi. Yang terluas adalah di G. Walat dan Pasir (Bukit) Bongkok. Singkapan di kedua lokasi ini sangat

(21)

baik, di beberapa tempat ditambang untuk keperluan pabrik semen di Bogor. Singkapan kecil dari Formasi Bayah terdapat di desa Cinyomplong, selatan Sungai Cimandiri, dekat Pelabuhan Ratu.

Ketebalan Formasi ini di daerah tipenya di Bayah sekitar 1500 m (Ziegler, 1918). Penentuan ketebalan formasi secara tepat sulit dilakukan, mengingat banyaknya sesar serta lipatan yang terdapat di daerah ini. Dari pengukuran Sungai Cimandiri di Bayah, didapatkan ketebalan melebihi 700 m (Shodikin, 1979). Di selatan Sukabumi, singkapan terluas terdapat di G. Walat. Ketebalan minimum dari satuan ini sekitar 700 m (Baumann, 1972).

(22)

Gambar 3.1 Kerangka stratigrafi lokasi pengamatan 1

2. Ciletuh

2. 1 Geomorfologi

Berdasarkan karakteristik morfologi di lapangan, maka kawasan Ciletuh yang meliputi Komplek Gunung Beas,

(23)

Komplek Gunung Badak dan sekitarnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) bentukan asal, yaitu morfologi bentukan asal struktur, morfologi bentukan asal fluvial, morfologi bentukan asal laut.

a. Morfologi Bentukan Asal Struktur; Mofologi ini membentuk lahan berupa perbukitan berpuncak agak membundar dan perbukitan agak meruncing, serta morfologi amfiteater dan dataran tinggi Jampang. Morfologi perbukitan ini terdapat di bagian utara hingga kawasan selatan, yang menempati sekitar 65% dari kawasan Ciletuh. Umumnya, morfologi ini ditempati oleh berbagai jenis batuan seperti ultrabasa, serpih, breksi dan filit, serta Formasi Jampang, yang dirtutupi oleh vegetasi antara lain tanaman keras, semak belukar. Kawasan ini umumnya berada dalam kawasan BKSDA dan Hutan Produksi.

b. Morfologi Bentukan Asal Fluvial; Morfologi ini dicirikan oleh bentuk lahan berupa dataran aluvial.Sebaran dari morfologi ini terdapat pada bagian timurlaut hingga selatan di sekitar kawasan aliran Sungai Ciletuh, menutupi sekitar 25% kawasan penelitian. Litologi yang menempati morfologi ini adalah endapan aluvial, terdiri atas lempung

(24)

dan pasir berbutir halus hingga kasar. Wilayah bermorfologi seperti ini dimanfaatkan sebagai permukiman, lahan pesawahan tadah hujan dan tambak udang dan sawah , vegetasi yang didominasi oleh semak belukar.

c. Morfologi Bentukan Asal Laut; Bentuk lahan pasir pantai

menempati sekitar 10 % kawasan penelitian merupakan ciri khas dari satuan morfologi ini berupa gundukan pasir (sand dune) yang memnanjang di kawasan pantai, menempati kawasan yang berbatasan dengan kawasan-pantai Teluk Ciletuh. Setempat kawasan ini tertutup oleh tanaman perintis berupa semak belukar dan tumbuhan khas pantai,di beberapa tempat didirikan bangunan untuk pengeringan ikan laut atau pengasinan.

(25)

2.2 Stratigrafi

Kawasan Ciletuh ini stratigrafinya dapat dikelompokan dalam dua kategori umur, yaitu kelompok batuan yang berumur Pra-Tersier dan Tersier (Sukamto, 1975). Kelompok Pra-Tersier terdiri atas batuan melange yang merupakan campuran batuan metamorfik, basa, ultrabasa dan Formasi Citireum. Kelompok batuan Tersier terdiri atas Formasi Ciletuh, Formasi Bayah dan Formasi Jampang. Batuan berumur paling muda adalah berupa endapan aluvium yang berumur Resen

A. Basement pra-Tersier (Melange)

Terdiri atas kerabat ofiolit (peridotit, gabro, basal), batuan metamorfik (serpentinit, sekis, filit, kuarsit), dan batuan sedimen (rijang, serpih hitam, graywacke, batugamping numulites). Seluruh batuan ini berupa bongkah-bongkah yang tercampur secara tektonik (mélange) dalam matriks serpih tergerus. Umur Kelompok batuan ini adalah Pra-Eosen Tengah (Suhaeli dkk., 1977). Batuan kelompok melange ini di kawasan Ciletuh tersingkap cukup baik di daerah Gunung Badak dan sekitarnya, Gunung Beas, Pasir Luhur, Sungai

(26)

Citisuk, Cikopo, Cikepuh dan Citireum. Singkapan lain juga dijumpai di sekitar Tegal Cicalung, Tegal Butak yang kesemuanya didominasi oleh batuan peridotit, gabro, lava basalt berstruktur bantal, batulempung merah, filit, sekis dan greywacke (Thayyib dkk, 1977).

Peridotit merupakan masif-masif besar dan kecil, batuan ultra basa terbentuk sebagai intrusi secara genetika saja, belum dapat diklasifikasikan apakah sill, dike atau bentuk lain. Pada batas tubuh masif ini sering terlihat batuan yang hancur karena gesekan, biasanya merupakan punggungan bukit kecil yang ditumbuhi rumput-rumput kecil, tidak terdapat alang-alang atau tanaman pohon besar.

Jejak tektonik berupa penggerusan secara kuat yang ditandai oleh kekar-kekar yang membentuk jaring dan diisi oleh kuarsa atau kalsit, terutama pada gabro di kawasan Ujung Sodong, peridotit dan lava bantal di kawasan Gunung Badak.

B. Formasi Ciletuh

Bagian terbawah Formasi Ciletuh; tersingkap sangat baik di sekitar Gunung Badak, desa Cikadal (stratotipe). Di daerah

(27)

ini bagian terbawah dicirikan oleh endapan turbidit, mengandung foraminifera plangton. Satuan ini terdiri atas lempung, serpih hitam, berlapis tipis, berselingan dengan batupasir graywacke yang berwarna abu-abu.Di atasnya didapatkan lapisan breksi, terpilah sangat jelek, komponen berukuran pasir hingga bongkah, terdiri atas fragmen peridotit dan filit, fragmen kuarsa, kalsedon yang membundar,bongkah-bongkah gamping yang banyak mengandung fosil foram besar seperti Assiliona, Discocyclina

dispansa, Alveolina serta Numulites berukuran kecil, yang

menunjukkan umur Eosen Awal sampai Tengah (Hudaya, 1978). Semakin ke atas batuannya didominasi oleh konglomerat. Pola perlipatan akibat tektonik dari Formasi Ciletuh terlihat pada bagian bawah yang kontak dengan basement, sangat terlipat kuat dan semakin berkurang ke arah atas. Terdapat perbedaan penafsiran, Bemmelen (1949) menyebutkan kontak tidak selaras sedangkan Martodjojo (19984) menyebutkan hubungan stratigrafi keduanya adalah selaras, hal tersebut berkaitan dengan kesimpulan bahwa mekanisme subduksi tidak pernah berhenti.

(28)

Gambar 3.3 Kolom stratigrafi Formasi Ciletuh (Martodjojo,

(29)

dalam Martodjojo, 1984)

C. Formasi Bayah

Nama Bayah (Koolhoven, 1933) dipilih untuk endapan batupasir kuarsa, sering konglomeratan, berselang-seling dengan batulempung yang mengandung batubara, merupakan batuan tertua di daerah Banten Selatan. Sinonim dengan Formasi Bayah adalah adalah Formasi Walat (Effendi, 1975) di G. Walat, Sukabumi; Formasi Rajamandala (Soekamto, 1975) di Cinyomplong, Sukabumi Selatan; dan Formasi Ciletuh (Sukamto, 1975) untuk pasir kuarsa di teluk Ciletuh. Bagian bawah merupakan singkapan endapan gosong pasir yang cukup tebal (20 meter), merupakan transisi dari Formasi Ciletuh yang berlingkungan marin ke Formasi Bayah yang berlingkungan fluviatil sampai delta. Formasi Bayah merupakan pendangkalan dari sistem prisma akresi di depan busur volkanik.

Pada bagian terbawah terdapat batupasir kuarsa, tebal 112 meter, putih kuning kecoklatan, kompak, berlapis baik, dengan sisipan napal berwarna abu-abu muda. Diatasnya ditutupi perselingan tipis batupasir dan batulempung. Pada bagian tengah batuannya lebih bersifat konglomeratan,

(30)

yang menunjukkan pola seperti endapan sungai teranyam. Pada bagian atas menunjukkan perselingan batulempung berwarna coklat, abu-abu dan batupasir . Batas bawah Formasi Bayah terlihat di Ciletuh, menunjukkan perubahan berangsur dari perselingan yang kerap batupasir kuarsa dan batulempung yang berwarna abu-abu kemerahan ke dominan batulempung abu - abu dari Formasi Ciletuh. Umur dari Formasi Bayah antara Eosen Tengah sampai Eosen Akhir, mungkin juga sampai Oligosen Awal (Martodjojo, 1984). Lingkungan pengendapan menurut Adinegoro (1973) menyebutkan ”Fluviatile-lacustrine system” sedangkan Hadiwisastra (1973) menyimpulkan sebagai endapan laut dangkal sampai delta.

Berdasarkan dua pendapat di atas, bahwa Formasi Bayah (Formasi Walat) merupakan endapan fase synrift seperti tipe endapan kontinen pada umumnya di cekungan Indonesia bagian barat dalam kerangka tektonik fore-arc

basin. Data paleontologi pada lapisan batulempung tipis di

Cicareuh selatan Cibadak menunjukkan hadirnya fosil

Catapsydrax pera, Globigerina boweri, Globigerina spinuloinfata, Globigerina yeguensis, Globorotalia

(31)

angualisuturalis, Globorotalia centralis, Globorotalia opima opima dan Chilloguembelina, hal ini mengindikasikan

lingkungan transisi-marine (Siregar dan Hadiwisastra, 1982) dengan umur relatif Eosen Tengah – Oligosen Awal. Suparka (1991), berdasarkan analisis petrografi menyatakan bahwa batupasir kuarsa dalam Formasi Bayah (Walat) termasuk kedalam jenis arenit kuarsa dar reycled orogen provenance, pembentukkannya merupakan mixed orogens sands bersumber dari arc orogen dan kompleks penunjaman. Data tersebut ditunjang dengan data paleocurrent yang menunjukkan bahwa dominasi sedimentasi berasal dari utara ke selatan.

(32)

Gambar 3.4 Penampang stratigrafi utara-selatan Cekungan

Jawa Barat (Martodjojo, 1984)

(33)

2.3 Struktur Geologi

Kawasan Ciletuh, secara struktural merupakan

kawasan yang dihasilkan oleh adanya kegiatan

tektonik berupa tumbukan antar lempeng di bagian

selatan, dimana kumpulan batuannya juga

mencerminkan proses tersebut, seperti adanya

struktur melange (batuan campur aduk). Walaupun

ada sebagian peneliti berpendapat bahwa kumpulan

batuan tersebut terjadi bukan karena adanya proses

subduksi, tetapi kumpulan batuan tersebut lebih

mencerminkan komposisi batuan basement yang

menjadi dasar dari Cekungan Jawa Barat, dimana

satuan yang lebih muda, Formasi Jampang yang

menutupinya mengalami suatu mega slump atau

longsoran yang cukup besar, sehingga

menggakibatkan batuan yang menutup basement

tersebut masuk ke dalam laut dan menyebabkan

batuan basement menjadi tersingkap. Hal ini sangat

jelas terllihat dari hasil citra landsat yang

(34)

memperlihatkan bentuk amphyteater dari Teluk

Ciletuh dengan latar belakang tinggian (perbukitan

Jampang) yang berbentuk cekungmemanjang dari

arah barat hingga ke arah timur .

Gambar 3.5

Citra Landsat TM 2003,

memperlihatkan

morfologi

amphitheatre Gunung Badak-Teluk

Ciletuh, dengan Plateau Jampang di

bagian timurlaut

Secara regional daerah Gunung Badak juga telah terkena pengaruh struktur sesar mendatar (Martodjojo, 1984) yang terjadi setelah pengendapan batuan melange.

(35)

Kemungkinan sesar ini terjadi seiring dengan adanya terobosan berupa retas-retas dike oleh gabro.

Struktur geologi yang berkembang di blok Citisuk-Cikepuh bagian tengah Ciletuh dapat dilihat pada kontak antara batuan ofiolit dan melange serta batuan sedimen dari Formasi Ciletuh. Umumnya berupa sesar-sesar mendatar yang berarah baratlaut tenggara dan sesar-sesar naik yang berarah baratdaya timurlaut serta antiklin dan sinklin yang berarah hampir sama dengan sesar naik. Dimana sesar-sesar tersebut menjadi batas kontak antara satuan batuan kompleks melange yang berumur Pra-Tersier dengan batuan fasies daratan yang berupa batupasir hingga konglomerat yang merupakan bagian dari Formasi Ciletuh dan Formasi Bayah

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen van, 1949. The Geology of Indonesia. Government Printing Office, Den Haag, Vol I, IA and IB, 732 hal.

Martodjojo, S, 1984, Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat. Institut Teknologi Bandung. Disertasi, tidak dipublikasi. Martodjojo, S., Suparka S., Hadiwisastra, S., 1978, Status

Formasi Ciletuh Dalam Evolusi Jawa Barat. Geologi

Indonesia Vol 5. (2)

Satyana, A. H., 1989, Geologi dan Kerabat Ofiolit Gunung

Badak. Jurusan Geologi MIPA UNPAD. Skripsi, Tidak

dipublikasi

Schiller, D.M., Garrard, R.A., Prasetyo Ludi, 1991, Eocene

Submarine fan sedimentation in Southwest Java.

Proceedings IPA ke 20, Jakarta.

Suhaeli, E.T., et al., 1977, The status of the melange complex

in Ciletuh area, Southwest Java: Proceeding Indonesia

Petroleum Assoc., 6th annual conv., hal 241-253.

Sukamto, Rab, 1975: Geologi Lembar Jampang dan

Balekambang, Skala 1:100.000. Direktorat Geologi

Bandung

Thayyib S. Endang, Said S.E., Siswoyo, Prijomarsono S., 1977: The status of the Melange Complex in Ciletuh

(37)

Tim Jurusan Geologi, 2006. Paleogene of West Java. BP-MIGAS Field Trip guide. Jurusan Geologi. FMIPA-UNPAD, Bandung.

Rosana, M. F., 2006: Merajut Ciletuh : Geologi eksotik Jawa

Barat. Proceding workshop ”Integrasi aspek

kegeologian dalam pembangunan daerah di Jawa Barat : Apa dan bagimana?. Distamben, Jawa Barat.

Rosana, M.F., Mardiana, U., Syafri, I., Sulaksana, N., Haryanto, I., 2006. Geologi Kawasan Ciletuh. Karakteristik, Keunikan dan Implikasinya. Procceding Lokakarya Penelitian Unggulan dan Pengembangan Program Pascasarjana FMIPA-UNPAD, Bandung.

Rosana, M.F., Syafri, I., Mardiana, U., Sulaksana, N., 2006. Petrology of Pre-Tertiary Melange Complex of Gunung Badak, Sukabumi, West Java. Kumpulan Extended Abstract Persidangan Bersama Geosains ITB-UKM” Geosains dalam Pembangunan Ekonomi & Kesejahteraan Serantau, Langkawi-Malaysia

Rosana, M.F., Mardiana, U., Syafri, I., Sulaksana, N., 2006. Kajian karakteristik batuan pra-Tersier dalam

penentuan kawasan konservasi geologi di Gunung Badak, Kabupaten Sukabumi. Laporan Akhir Penelitian Andalan UNPAD, Lembaga Penelitian, Universitas Padjadjaran, Bandung

Gambar

Gambar 2.1 Fisiografi Regional Jawa Barat (Van
Gambar 2.2 Peta pola struktur regional Jawa Barat berdasarkan data lapangan, data gravimetri, dan data
Gambar 3.1 Kerangka stratigrafi lokasi pengamatan 1
Gambar 3.2 Morfologi tinggian Jampang - amfiteater Ciletuh
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai media online di Kota Semarang, website magazine “Pranala” membuka kolom iklan kepada siapa saja yang ingin bekerja sama untuk mengiklankan produk atau jasa mereka

Yang dimaksud dengan titik lembek adalah suhu pada saat bola baja, dengan berat tertentu, mendesak turun suatu lapisan aspal yang tertahan dalam cincin berukuran tertentu,

Semakin banyak konsentrasi suatu ion dalam larutan maka semakin besar nilai daya hantarnya karena semakin banyak ion-ion dari larutan yang menyentuh konduktor dan

- Pada proses penyimpanan, terjadi resiko barang tidak disimpan pada suhu ataupun kelembaban yang memenuhi persyaratan, sehingga dapat mengurangi kualitas dari

Pati Thailand dengan tingkat kristalinitas yang lebih rendah serta kadar abu, lemak dan amilosa yang lebih tinggi memiliki suhu pasting terendah.. Suhu pasting

Evaluasi teknis dilakukan terhadap peserta yang memenuhi persyaratan administrasi. Unsur-unsur yang dievaluasi harus sesuai dengan yang ditetapkan sebagaimana

Most successful learning takes place outside the classroom and not everything can be taught in classroom. kebanyakan pembelajar yang sukses adalah pembelajar mandiri

Temuan-temuan artefak yang berwujud terakota mendominasi temuan di daerah Trowulan, yang diidentifikasi oleh para ahli bahwa temuan tersebut berasal dari periode