• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH BERBAGAI BAHAN PERENDAM PADA PROSES PENGOLAHAN TEPUNG SALAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH BERBAGAI BAHAN PERENDAM PADA PROSES PENGOLAHAN TEPUNG SALAK"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

“PENGARUH BERBAGAI

BAHAN PERENDAM

PADA PROSES PENGOLAHAN

TEPUNG SALAK”

Oleh

Dwi Ari Cahyani, STP, MSc dan Lukmanul Hakim, STP, MSc POLITEKNIK BANJARNEGARA

Email: d.aricahyani@yahoo.com

ABSTRAK

Salak (Salacca) merupakan salah

satu produk komoditas unggulan Kabupaten Banjarnegara. Pengolahan tepung salak diharapkan dapat memperbanyak diversifikasi produk olahan salak tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses pengolahan salak menjadi tepung salak dengan variasi perlakuan perendaman menggunakan berbagai bahan tambahan dalam proses perendaman. Penelitian menerapkan metode penelitian eksperimen. Bahan yang digunakan adalah salak pondoh nglumut yang merupakan salak khas Banjarnegara dengan variasi perendaman menggunakan Natrium metabisulfit, Kalsium hidroksida dan asam sitrat. Analisis data menggunakan One Way Annova. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa salak yang direndam menggunakan Natrium metabisulfit mempunyai kadar karbohidrat paling tinggi sebesar 59,21 % dan mempunyai kadar serat paling tinggi sebesar 17,34 %. Perendaman salak menggunakan kalsium hidroksida menghasilkan serbuk salak dengan kadar lemak tertinggi sebesar 1,91 %. Perendaman menggunakan asam sitrat

menghasilkan serbuk salak dengan kadar protein tertinggi sebsesar 1,18 %.

Kata Kunci; salak, tepung, pengolahan, diversifikasi produk, perendaman

ABSTRACT

The Influence Of Various Soaking Ingredients On Salacca Flour

Processing

Salacca is one of the leading commodity products in Banjarnegara Regency. Salacca flour processing is expected to increase the diversification of salacca processed products. The aim of this research is to learn the process of salacca processing into salacca flour by using kinds of soaking treatment and kinds of additive in soaking process. This research applied experiment research. The material is “salak pondoh nglumut” which is special salacca in Banjarnegara, by using sodium metabisulfite, calcium hydroxide, and citric acid. Data analysis used One Way Annova. The result shows that salacca which is soaked using sodium metabisulfite has the highest carbohydrate (59.21%), and the highest fiber (17.34%). Salacca soaking using calcium hydroxide produces salacca powder with the highest fat (1.91%). Salacca soaking using citric acid produces salacca powder with the highest protein (1.18%).

Key word: salacca, flour, processing, product diversification, soaking

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu sentra pertanian di Jawa Tengah dengan dengan hampir 75%

(2)

luas wilayahnya berupa lahan pertanian subur yang dapat dikembangkan untuk budidaya berbagai komoditas pertanian. Salah satu komoditas pertanian unggulan yang menjadi ciri khas Kabupaten Banjarnegara adalah tanaman salak (Salacca). Data Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Banjarnegara menunjukkan bahwa terdapat 7 kecamatan sentra produksi salak, yaitu Kecamatan Madukara, Sigaluh, Banjarmangu, Pagentan, Wanayasa, Wanadadi dan Punggelan. Pada tahun 2010, jumlah produksi salak Kabupaten Banjarnegara mencapai 70680,90 ton (BPS, 2010). Salak yang banyak dibudidayakan di Kabupaten Banjarnegara merupakan salak pondoh jenis nglumut atau lebih dikenal dengan salak nglumut. Salak jenis ini tergolong unggul karena produktivitasnya yang tinggi, resisten terhadap penyakit dan mudah dalam perawatan. Produktivitas buah salak pada tahun 2001-2005 mencapai 25-26 ton/ha/tahun (Deptan, 2007). Kelebihan salak pondoh dibandingkan salak lain yaitu rasa buahnya yang manis meskipun belum matang, memiliki kandungan air yang cukup, berbuah sepanjang tahun, masa simpan buah lebih dari 20 hari, bila dimakan dalam jumlah banyak tidak menimbulkan rasa tidak enak di perut,

dan harga jual relatif lebih tinggi (Purnomo, 2001).

Salak merupakan buah tropika yang produksinya melimpah saat panen raya di kabupaten Banjarnegara. Melimpahnya ketersediaan salak menyebabkan jatuhnya harga salak dan tidak memberikan nilai tambah bagi petani. Sebagai komoditi hasil pertanian salak merupakan produk yang bersifat mudah rusak. Sedangkan umur simpannya juga sangat terbatas, sehingga diperlukan penggunaan teknologi yang tepat guna untuk mengolah salak menjadi produk makanan yang lebih meningkat nilai tambah dan daya tahannya. Saat ini produk olahan salak dalam bentuk makanan ringan telah banyak berkembang dan mulai digemari oleh masyarakat. Mulai dari selai salak, dodol, keripik, sirup dan brownies salak. Produk olahan salak umumnya tidak mempunyai umur simpan yang lama. Produk olahan salak yang diproses dengan menggunakan teknologi sederhana adalah pembuatan tepung salak. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan alternatif pengolahan lain yang dapat memberikan nilai tambah yaitu mengolah salak menjadi tepung salak.

2. Masalah

Salah satu tantangan lain yang dihadapi dalam pengembangan makanan

(3)

pokok selain beras adalah adanya kandungan karbohidrat yang relatif tinggi pada produk tersebut yang beresiko memunculkan berbagai penyakit degeneratif apabila konsumsi makanan tersebut dilakukan secara tidak berimbang. Untuk mengatasi hal tersebut maka mulai banyak dilakukan pengembangan pangan kaya serat yang dikalim dapat mengimbangi dan meminimalisir dampak negatif dari berlebihnya asupan karbohidrat. Serat pangan telah terbukti mampu melancarkan proses pencernaan dan dengan konsumsi yang rutin mampu mengurangi resiko terserang berbagai penyakit degeneratif yang diakibatkan karena berlebihnya konsumsi karbohidrat serta lemak. Buah salak segar dapat dibuat manisan, dikalengkan, sebagai perlengkapan dekorasi, dan disajikan sebagai buah segar. Buah segar yang diperdagangkan biasanya masih dalam tandan atau telah dilepas. Kandungan gizi dalam setiap 100 g buah salak yang dapat dimakan terdapat 77 kalori, 74 g air, 20.9 g karbohidrat, 1.8 g fosfor, 0.42 g zat besi, 0.4 protein, 0.2 g vitamin C dan 0.004 g vitamin B (Rukmana 1999). 3. Tujuan

Tujuan penelitian ini secara umum yaitu untuk mempelajari proses pengolahan salak menjadi serbuk salak

instan dengan variasi perlakuan perendaman dengan berbagai bahan tambahan dalam proses perendaman. Target luaran dari penelitian diharapkan dapat ditemukan alternative pengolahan salak yaitu menjadi minuman instant. Selain itu juga bertujuan untuk diversifikasi produk olahan pangan berbahan baku salak sehingga dapat mengangkat potensi lokal Banjarnegara.

METODE PENELITIAN

Bahan utama dalam penelitian ini adalah salak yang diperoleh di Kabupaten Banjarnegara. Adapun sampelnya berupa salak jenis nglumut yang diperoleh dari Pasar Banjarnegara. Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan secara purpossive random sampling yang didasarkan atas pertimbangan peneliti sendiri dengan kriteria salak masih dalam keadaan segar dan belum matang.

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Agroteknologi Politeknik Banjarnegara pada bulan Juni - Oktober 2014. Penelitian ini menerapkan metode penelitian eksperimen dengan berbagai perlakuan perendaman. Bahan Perendam yang digunakan meliputi Natrium Metabisulfit, Kalsium Hidroksida dan Asam sitrat dengan waktu perendaman selama 10 menit, 20 menit dan 30 menit. Analisis data menggunakan One Way

(4)

Anova.. Hasil akhir tepung salak yang diperoleh dilakukan analisis kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar dan karbohidrat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tepung dapat menjadi salah satu alternatif olahan bahan pangan. Tepung banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dalam pembuatan roti, kue, mie dan lain-lain. Proses pembuatan tepung salak meliputi proses pengupasan dan pembuangan bagian yang tidak dibutuhkan, pencucian, pengecilan ukuran, pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Salah satu masalah yang dihadapi dalam pembuatan tepung salak adalah terjadinya browning pada saat pembuatan tepung. Hal ini menyebabkan tepung mempunyai warna kecoklatan dan kurang diminati masyarakat. Browning pada tepung salak terjadi karena adanya pemanasan yang menyebabkan asam amino bereaksi dengan gula pereduksi, sehingga membentuk melanoidin yang berwarna coklat. Salah satu cara untuk mencegah terjadinya perubahan warna dapat dilakukan perlakuan pendahuluan pada salak. Perlakuan pendahuluan yang dilakukan dapat berupa blanching dan perendaman dengan natrium metabisulfit (Na2S2O5, ), Asam Sitrat dan Kalsium hidroksida.

Proses pembuatan tepung salak yang dilakukan melalui beberapa tahap yaitu pengupasan kulit, pembuangan biji, pengecilan ukuran, perendaman, pengeringan, penepungan, pengayakan dan pengemasan. Salak segar yang dibutuhkan dalam satu kali proses sebanyak 2kg akan menghasilkan rata-rata 1 kg salak bersih tanpa kulit dan biji. Setelah melalui proses perendaman, pengeringan, penepungan dan pengayakan akan dihasilkan kurang lebih 65 gram tepung salak. Diagram alir proses pembuatan tepung salak dapat dilihat pada Gambar 1.

Pada proses pembuatan tepung sering terjadi proses pencoklatan baik secara enzimatis maupun secara non enzimatis pada saat pemotongan dan pengeringan umbi. Salah satu upaya untuk mencegah pencoklatan yaitu, dilakukan dengan cara merendam potongan umbi dalam waktu tertentu di dalam larutan natrium metabisulfit. Menurut penelitian Heriyanto et al., (2001), pada pengolahan ubi jalar menjadi tepung hanya memerlukan teknologi yang sederhana. Caranya ubi jalar dikupas kemudiian dicuci bersih selanjutnya dipotong tipis-tipis atau disawut dengan pisau atau alat pemotong lainnya. Chips kemudian dijemur di bawah sinar matahari atau menggunakan

(5)

alat pengering dengan suhu maksimum 60

0

C selama ± 5 jam kemudian digiling. Tepung bisa dimasukkan kantung plastik atau toples 7 kaleng tertutup rapat yang tahan disimpan dalam waktu enam bulan.Pemotongan umbi, terjadi perusakan jaringan bahan, yang mengakibatkan terjadinya oksidasi dan dapat mengakibatkan browning (pencoklatan). Untuk menghasilkan tepung berkualitas baik, sawut atau irisan umbi sebelum dijemur atau dikeringkan direndam terlebih dahulu dalam larutan natrium metabisulfit untuk mencegah browning pada bahan.

Natrium metabisulfit merupakan bahan tambahan yang sering digunakan dalam pengolahan pangan yang berfungsi sebagai pemutih bahan pangan digunakan untuk mencegah kerusakan karena reaksi browning yang enzimatis serta bekerja sebagai zat antioksidan (Winarno, 1993). Pemakaiannya dalam pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mencegah proses pencoklatan serta untuk mempertahankan warna bahan agar tetap menarik. Penggunaannya maksimum 2000-3000 ppm (Margono, Suryati dan Hartinah, 1993).

Asam sitrat adalah asam organik yang biasa ditambahkan dalam bahan makanan sebagai bahan pengawet karena

mudah dicerna, mempunyai rasa asam, tidak beracun, dan mudah larut. Dalam reaksi enzim PPO asam sitrat berfungsi sebagai penurun pH dan chelatting agent (Hutchings, 1994). Sebagai chelatting agent, asam sitrat mengkelat yang dapat mengikat logamlogam divalen seperti Cu2+, Mn2+, Mg2+, dan Fe2+. Proses pengikatan logam merupakan proses keseimbangan pembentukan kompleks ion logam dengan sukuestran. Secara umum keseimbangan itu dapat dituliskan sebagai berikut : L + S LS dengan L = ion logam , S = Sukuestran , dan LS = kompleks ligan Asam sitrat merupakan suku estran yang dapat mengikat logam dalam bentuk ikatan komples sehingga mengalahkan sifat dan pengaruh logam yang buruk terhadap bahan pangan dan dapat menstabilkan warna, cita rasa, dan tekstur ( Winarno, 1992).

Asam sitrat merupakan senyawa intermediet dari asam organik yang berbentuk kristal atau serbuk putih. Sifat-sifat asam sitrat antara lain: mudah larut dalam air, spiritus, dan etanol, tidak berbau, rasanya sangat asam, serta jika dipanaskan akan meleleh kemudian terurai yang selanjutnya akan terbakar sampai menjadi arang. Asam sitrat menghambat terjadinya pencoklatan karena dapat mengkompleks ion tembaga yang dalam hal ini berperan sebagai

(6)

katalis dalam reaksi pencoklatan. Selain itu asam sitrat juga dapat menghambat pencoklatan dengan cara menurunkan pH sehingga enzim polifenolase (PPO) menjadi inaktif (Winarno, 1997)

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Salak

Perendaman salak dalam larutan natrium metabisulfit, kalsium hidroksida

dan asam sitrat sebesar 1 persen dengan lama waktu perendaman 30 menit berpengaruh terhadap kandungan kadar lemak, protein, serat kasar dan karbohidrat pada proses pengolahan tepung salak. Kadar lemak tertinggi diperoleh pada perendaman menggunakan kalsium hidroksida sebesar 1,91 persen. Hasil analisis perendaman salak menggunakan Natrium Metabisulfit mempunyai kadar lemak sebesar 1,89 persen. Kadar lemak terendah diperoleh dengan perendaman salak menggunakan asam sitrat. Suprapto (2006), menyatakan bahwa perendaman natrium metabisulfit tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar lemak tepung pisang. Hal ini diduga karena perendaman natrium metabisulfit lebih berperan dalam menginaktifkan enzim penyebab pencoklatan sehingga tidak sampai berdampak pada perubahan kadar lemak suatu produk. Proses sulfitasi dapat menyebabkan sel-sel jaringan pada bahan menjadi berlubang-lubang sehingga diduga menyebabkan lemak memecah menjadi asam-asam lemak yang terdeteksi pada saat proses analisis kadar lemak.

Kadar protein tertinggi diperoleh dengan perendaman asam sitrat sebesar 1,18 persen. Perendaman dengan Natrium metabisulfit mempunyai kadar Salak

Pembuangan bagian yang tidak terpakai

Pengecilan Ukuran

Pengayakan

Perendaman Na-Bisulfit, Asam Sitrat, Kalium Hidroksida (1;1,5;2 gram

selama 10,20,30 menit)

Pengeringan (suhu 50 dan 60˚C)

Penepungan

Pengemasan

(7)

protein sebesar 0,98 persen. Kadar protein terendah sebesar 0,93 persen diperoleh tepung salak pada perendaman menggunakan kalsium hidroksida. Menurut Widiyowati (2007), makin tinggi kadar natrium metabisulfit dalam larutan perendaman akan meningkatkan jumlah natrium metabisulfit yang masuk ke dalam jaringan bahan. Peningkatan jumlah natrium metabisulfit akan menekan reaksi pencoklatan non-enzimatik yang dapat mengakibatkan kerusakan protein karena asam amino sekundernya berikatan dengan gula reduksi.

Perendaman menggunakan

Natrium Metabisulfit hasil tepung salak yang diperoleh mempunyai kadar serat sebesar 17,34 persen. Kadar serat terendah sebesar 16,58 pada perendaman menggunakan kalsium hidroksida. Sedangkan perendaman menggunakan asam sitrat, tepung salak yang dihasilkan mempunyai kadar serat sebesar 16,91 persen. Hal ini diduga disebabkan oleh natrium metabisulfit yang membuat dinding sel jaringan menjadi berlubang-lubang sehingga ada sebagian serat yang terlarut pada saat perendaman. Serat kasar komponen utamanya disusun oleh selulosa, gum, hemiselulosa, pektin dan lignin (Muchtadi, et al., 1992 dalam Prabowo, 2010).

Hasil analisis terhadap kandungan karbohidrat pada tepung salak yang dihasilkan adalah 59,21 persen pada salak yang direndam menggunakan natrium metabisulfit, 53,26 persen dengan direndam pada kalsium hidroksida dan 51,63 persen pada tepung salak yang direndam menggunakan asam sitrat. Senyawa sulfit dapat menghambat reaksi pencoklatan enzimatis, karena adanya hambatan terhadap enzim fenolase sangat tinggi dan bersifat irreversibel, sehingga tidak memungkinkan terjadinya regenerasi fenolase (Eskin dkk., 1971). Menurut Braverman (1963), mekanisme penghambatan reaksi pencoklatan non enzimatis oleh senyawa sulfit adalah reaksi antara bisulfit dengan gugus aldehid dari gula sehingga gugus aldehid tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bereaksi dengan asam amino. Dengan demikian sulfit mencegah konversi D-glukosa menjadi 5-hidroksi-metil-2-furfural (HMF). Senyawa ini merupakan senyawa antara yang akan bereaksi dengan gugus amino dari protein atau asam amino membentuk pigmen coklat melanoidin. Grafik kandungan tepung salak dengan berbagai bahan perendam dapat dilihat pada Gambar 1.

(8)

Gambar 2. Grafik Kandungan Tepung Salak Dengan Berbagai Bahan Perendam

KESIMPULAN

Pada proses pembuatan tepung salak dengan berbagai variasi bahan perendam menghasilkan kandungan yang berbeda pada persentase kadar lemak, protein, serat kasar dan karbohidrat. Kadar karbohidrat tertinggi terjadi pada perendaman natrium metabisulfit begitu pula untuk kadar serat kasar. Kadar lemak tertinggi didapatkan pada perendaman menggunakan kalsium hidroksil dan kadar protein tertinggi didapat pada perendaman asam sitrat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis sampaikan kepada Alloh SWT, Dirjen DIKTI yang telah memberikan Dana Penelitian Dosen Pemula 2014, Lukmanul Hakim, STP, MSc, Dowy Ary, AMd. Seluruh keluarga besar Prodi Agroteknologi dan Politeknik Banjarnegara yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

AOAC.1995. Official of Analysis of The Association of Official Analytical Chemistry. AOAC Inc., Arlington.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjuarnegara. 2010. Kabupaten Banjarnegara dalam Angka. BPS Kabupaten Banjarnegara, Banjarnegara

Braverman, J.B.S. 1963. Introduction to the Biochemistry of Food. Elsevier Publishing CO.,Amsterdam.

Departemen Pertanian. 2007. Produksi Buah-Buahan Indonesia. http://database.deptan.go.id/. Eskin, N.A.M. 1990. Biochemistry of

Food. 2nd Ed. Departement of Food and Nutrition, The University of Mannitoba, Canada.

Pantastico, Er. B. 1986. Fisiologi Pascapanen. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Prabowo, Bimo. 2010. Kajian Sifat

Fisikokimia Tepung Millet Kuning dan Tepung Millet Merah. Program Studi

(9)

Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Purnomo, H. 2001. Budidaya Salak Pondoh. Aneka Ilmu. Semarang Rukmana, R. 1999. Salak : Prospek

Agribisnis dan Teknik Usaha Tani. Kanisius. Yogyakarta Slamet Sudarmadji. 1989. Mikrobiologi

Pangan. PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.

Steel, R.G. dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Suprapto,Agus. 2006. Studi kelayakan Pendirian Industri Pengolahan Salak Skala Kecil di Kabupaten Banjarnegara. Tesis. Universitas Jenderal Soedirman, Perwokerto.

Suprapto, Hadi. 2006. Pengaruh Perendaman Pisang Kepok (Musa acuminax balbisiana Calla) dalam Larutan Garam terhadap Mutu Tepung yang Dihasilkan. Jurnal Teknologi Pertanian 1(2) : 74-80.

Widiyowati, Iis Intan. 2007. Pengaruh Lama Perendaman dan Kadar Natrium Metabisulfit dalam Larutan Perendaman pada Potongan Ubi Jalar Kuning (Ipomoea Batatas (L.) Lamb) Terhadap Kualitas Tepung yang Dihasilkan. Pendidikan Kimia FKIP-Unmul, Jl. Muara Pahu Kampus Unmul Gunung Kelua Samarinda.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.

Winarno, F.G., 2002, Kimia Pangan dan Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gambar

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan  Tepung Salak
Gambar 2. Grafik Kandungan Tepung  Salak Dengan Berbagai Bahan Perendam

Referensi

Dokumen terkait

Industri Karet Nusantara pada Unit Pabrik Rubber Articles merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memproduksi Dock Fender sejak tahun 2006, bahan baku

Dalam prosesnya pada penelitian ini digunakan bahan baku berupa tanah liat dan campuran bahan tambahan ISS 2500 yang memiliki variasi kadar sebesar 0,9 ml, 1,2