• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN KUALITATIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "METODE PENELITIAN KUALITATIF"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

METODE PENELITIAN

KUALITATIF

ANALISA RESEPSI

KOMUNIKASI

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

ILMU KOMUNIKASI HUBUNGAN

MASYARAKAT

15

85001

Dr. Dadan Anugrah, M.Si.

Abstract

Kompetensi

Makna sebuah teks pada dasarnya bersifat polisemi dan terbuka sehingga memungkinkan khalayak untuk memahami dan

menginterpretasikan pesan secara berbeda. Analisis resepsi berupaya menganalisisnya dengan

mengungkap apa yang ada ataupun sesuatu yang tersembunyi di balik penuturan-penuturan audiens tersebut. Peneliti berupaya mengungkap makna-makna terdalam dari fenomena tersebut.

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami:

1. Fokus analisa resepsi 2. Khalayak aktif

3. Tokoh dibalik analisa resepsi 4. Makna dalam studi resepsi

(2)

MODUL 15

ANALISA RESEPSI KOMUNIKASI

A. PENGANTAR

Media mempengaruhi pandangan masyarakat dalam proses pembentukan opini atau sudut pandangnya. Media massa memang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan opini publik sehingga dalam hal ini informasi yang diberikan dapat mempengaruhi keadaan komunikasi sosial pada masyarakat.

Dalam tradisi studi audience, setidaknya pernah berkembang beberapa varian di antarannya disebut secara berurutan berdasar perjalanan sejarah lahirnya: effect research, uses and gratification research, literary criticism, cultural studies, reception analysis (Jensen&Rosengen,1995:174). Reception analysis bisa dikatakan sebagai perspektif baru dalam aspek wacana dan sosial dari teori komunikasi (Jensen,1999:135). Sebagai respon terhadap tradisi scientific dalam ilmu sosial, reception analysis menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media, apakah itu kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasionalisasi seperti penggunaan skala dan kategori semantik. Sebaliknya, sebagai respon terhadap studi teks humansitik, reception analysis menyarankan baik audience maupun konteks komunikasi massa perlu dilihat sebagai suatu spesifik sosial tersendiri dan menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (sosial dan perspektif diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep produksi sosial terhadap makna (the social production of meaning). Analisis resepsi kemudian menjadi pendekatan tersendiri yang mencoba mengkaji secara mendalam bagaimana proses-proses aktual melalui mana wacana media diasimilasikan dengan berbagai wacana dan praktik kultural audiensnya (Jensen, 1999:137).

Pemanfaatan teori reception analysis sebagai pendukung dalam kajian terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak tidak semata

(3)

tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari berbagai wacana yang ditawarkan media. Makna yang diusung media lalu bisa bersifat terbuka atau polysemic dan bahkan bisa ditanggapi secara oposisif oleh khalayak (Fiske, 1987).

Analisis resepsi memfokuskan pada proses pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atas teks media, dan bagaimana individu menginterpretasikan isi media (Baran, 2003 dalam Hadi, 2009: 3). Analisis resepsi akan memfokuskan pada pertemuan antara teks dan pembaca atau dengan kata lain media dan audiens. La Pastina (2005: 142) menyebut pertemuan media dan audiens itu dapat memberikan informasi akan kompleksitas dan dinamika yang terjadi antara konsumen dan produk budaya.

Makna sebuah teks pada dasarnya bersifat polisemi dan terbuka sehingga memungkinkan khalayak untuk memahami dan menginterpretasikan pesan secara berbeda. Analisis resepsi berupaya menganalisisnya dengan mengungkap apa yang ada ataupun sesuatu yang tersembunyi di balik penuturan-penuturan audiens tersebut. Peneliti berupaya mengungkap makna-makna terdalam dari fenomena tersebut.

Premis dari analisis resepsi adalah bahwa teks media mendapatkan makna pada saat peristiwa penerimaan, dan bahwa khalayak secara aktif memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-teks sesuai posisi-posisi sosial dan budaya mereka (Tuchman 1994; van Zoonen 1994; Kellner 1995; MacBeth 1996 dalam CCMS:2002). Menurut McRobbie (1991 di dalam CCMS:2002) analisis resepsi merupakan sebuah “pendekatan kulturalis” dimana makna media dinegosiasikan oleh individual berdasarkan pengalaman hidup mereka. Dengan kata lain pesan-pesan media secara subjektif dikonstruksikan khalayak secara individual.

Singkatnya, dengan menggunakan analisis resepsi, selain mendapatkan makna atas pemahaman dan interprestasi teks media, kita juga akan mendapatkan penjelasan-penjelasan mengenai :

1) Alasan mengapa terjadi perbedaan interpretasi dalam diri pembaca. 2) Alasan mengapa para pembaca dapat membaca teks yang sama

(4)

3) Faktor-faktor kontekstual yang memungkinkan perbedaan pembacaan.

4) Cara teks-teks kebudayaan dimaknai oleh audiens, dan pengaruhnya dalam keseharian mereka.

Teori resepsi melokasikan pembaca ke dalam posisi sentral. Pembaca adalah mediator, tanpa pembaca karya sastra seperti novel seolah-olah tidak memiliki arti. Tanpa peran serta audiens, seperti: pendengar, penikmat, penonton, pemirsa, penerjemah, dan para pengguna lainnya, khususnya pembaca itu sendiri, maka keseluruhan aspek-aspek kultural seolah-olah kehilangan maknanya.

Menurut Nyoman Khuta Ratna (2012: 165) Secara umum teori resepsi diartikan sebagai penerimaan, penyambutan, tanggapan, reaksi, dan sikap pembaca terhadap suatu karya sastra. Secara definitif resepsi berasal dari kata

recipere (latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau

penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksud tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu. Dalam hubungan inilah teori resepsi dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

a. Resepsi Sinkronik yaitu Penelitian dalam kaitannya dengan pembaca sezaman. Model resepsi ini dilakukan oleh para pembaca terhadap sebuah atau beberapa karya sastra. Baik pembaca maupun karya sastra berada dalam ciri-ciri periode yang relatif sama.

b. Resepsi Diakronik yaitu Penelitian dalam kaitannya dengan pembaca sepanjang sejarahnya. Resepsi diakronik dilakukan oleh para pembaca yang berada pada periode yang berbeda-beda.

(5)

Pemaknaan Pesan (Message Receptions)

Pendekatan message receptions digunakan karena pada dasarnya audiens aktif meresepsi teks dan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, meresepsi atau dalam membuat kesimpulan. Penelitian resepsi mendasarkan pada kesadaran atau cara subyek dalam memahami obyek dan peristiwa dengan pengalaman individu.

Message receptions dapat melihat mengapa khalayak memaknai sesuatu

secara berbeda, faktor-faktor psikologis dan sosial apa yang mempengaruhi perbedaan tersebut, dan konsekuensi sosial apakah yang muncul. Analisis resepsi memfokuskan pada perhatian individu dalam proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atas

media text, dan bagaimana individu menginterpretasikan isi media (Baran, 2003:

269-270).

Perbedaan kemampuan pembaca dalam meresepsi isi novel RDP terjadi karena memang pada dasarnya khalayak sangat tersegmen baik latar belakang pengalaman, juga status sosial politik mereka (Baran, 2003: 271).

Seorang pembaca novel biasa adalah pembaca yang aktif karena persepsi yang mereka tangkap dari membaca novel RDP tidak secara langusng terbentuk begitu saja. Jadi pembaca melakukan konstektualisasi makna dengan latar belakang sosial politik dan budaya yang mendasari resepsi pembaca tentang isi dari novel RDP. Kemudian pembaca melakukan modifikasi menurut sudut pandang pembaca sendiri sehingga makna yang muncul sesuai dengan keinginannya.

John Fiske (1987: 145) menuturkan bahwa pemanfaatan teori reception

analysis sebagai pendukung dalam kajian terhadap khalayak sesungguhnya

hendak menempatkan khalayak tidak semata pasif namun dilihat sebagai agen kultural (cultural agent) yang memiliki kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari berbagai wacana yang ditawarkan media. Makna yang diusung media lalu bisa bersifat terbuka atau polysemic dan bahkan bisa ditanggapi secara oposisif oleh khalayak.

(6)

Pada teori pemaknaan (Reception Theory) Stuart Hall (dalam Citra Dinanti, 2010: 12-13) menjelaskan, bahwa analisis resepsi mengacu pada studi tentang makna, produksi dan pengalaman khalayak dalam hubungannya berinteraksi dengan teks media. Fokus dari teori ini ialah proses decoding, interpretasi, serta pemahaman inti dari konsep analisis reception. Pada ilmu komunikasi massa, proses komunikasi dikonseptualisasikan sebagai srkuit atau

loop.

Masih menurut Stuart Hall, ketika khalayak menyandi balik (decoding) dalam suatu komunikasi, maka terdapat tiga posisi hipotekal yaitu :

a. Dominant (atau ‘hegemonic’) audience (position) /Pembacaan dominan

b. Pembaca sejalan dengan kode-kode program (yang didalamnya terkandung nilai-nilai,sikap,keyakinan dan asumsi) dan secara penuh menerima makna yang disodorkan dan dikehendaki oleh si pembuat program.

c. Negotiated Audience (position) / Pembacaan Negosiasi

Pembaca dalam batas-batas tertentu sejalan dengan kode-kode program dan pada dasarnya menerima makna yang disodorkan oleh si pembuat program namun memodifikasikannya sedemikian rupa sehingga mencerminkan posisi dan minat-minat pribadinya.

d. Oppositional (‘counter hegemonic’) Audience (position) /Pembacaan

Oposisi

Pembaca tidak sejalan dengan kode-kode program dan menolak makna atau pembacaan yang disodorkan, dan kemudian menentukan frame alternatif sendiri di dalam menginterpretasikan pesan/program” (Baran, 2003: 245).

(7)

B. KHALAYAK AKTIF

Menurut Althusser teks dengan memanfaatkan ideologi melakukan pemanggilan (healling) kepada subyek (khalayak sasaran) dan ketika khalayak sasaran tersebut terpanggil berarti dia telah memposisikan dirinya sebagai subyek dan siap pula tertundukkan dengan ritual-ritual tertentu. Karena itu penting untuk mengetahui bagaimana teks yang ada di media mencoba menggiring khalayak (subyek) ke arah pembacaan tertentu (Althusser:1984:47-49). Tetapi seperti sudah kita bahas sebelumnya, pembaca belum tentu melakukan pembacaan sesuai apa yang diinginkan oleh pembuat teks atau dengan kata lain khalayak melakukan interpretasi makna yang terdapat di dalam teks secara aktif.

Menurut Antariksa para penggagas kajian resepsi mengatakan bahwa makna dominan yang diajukan oleh para produsen teks, belum bisa dipastikan merupakan makna yang diaktifkan/diambil oleh para pembaca/khalayak/konsumen yang sesungguhnya. Artinya, khalayak merupakan pencipta makna yang aktif dalam hubungannya dengan teks. Mereka menerapkan berbagai latar belakang sosial dan kultural yang diperoleh sebelumnya untuk membaca teks, sehingga khalayak yang memiliki kharakteristik berbeda akan memaknai suatu teks secara berbeda pula.

Peran aktif khalayak di dalam memaknai teks media dapat terlihat pada premis-premis dari Model encoding/decoding Stuart Hall yang merupakan dasar dari analisis resepsi:

· Peristiwa yang sama dapat dikirimkan atau diterjemahkan lebih dari satu cara. Pesan selalu mengandung lebih dari satu potensi pembacaan. Tujuan pesan dan arahan pembacaan memang ada, tetapi itu tidak akan bisa menutup hanya menjadi satu pembacaan saja: mereka masih polisemi (secara prinsip masih memungkinkan munculnya variasi interpretasi).

Memahami pesan juga merupakan praktek yang problematik, sebagaimanapun itu tampak transparan dan alami. Pengiriman pesan secara satu arah akan selalu mungkin untuk diterima atau dipahami dengan cara yang berbeda. Pesan-pesan yang ada di media massa merupakan gabungan dari

(8)

berbagai tanda yang kompleks, dimana sebuah “preferred reading” telah ditentukan, tetapi masih memiliki potensi diterima dengan cara yang berbeda dengan bagaimana itu di kirimkan. Di dalam studi resepsi preferred reading dimaknai sebagai makna yang secara dominan ditawarkan di dalam teks.

Teks media biasanya mengarahkan pemaknaan khalayak ke arah yang diinginkan. Untuk mengetahui makna dominan yang ditawarkan oleh media, kita bisa melakukan analisis struktur internal dari teks. Khalayak mungkin melakukan pembacaan alternatif yang berbeda dengan pemaknaan yang ditawarkan oleh media. Biasanya perbedaan pemaknaan muncul karena perbedaan posisi sosial dan/atau pengalaman budaya antara pembaca dan produsen media. Menurut Hall (di dalam O’sullivan et al. 1994), terdapat tiga tipe utama dari pemaknaan atau pembacaan khalayak terhadap teks media:

a. The dominant-hegemonic; terjadi jika seseorang atau sekelompok orang melakukan pemaknaan sesuai dengan makna dominan (preferred reading) yang ditawarkan oleh teks media.

b. The negotiated reading; mengakui legitimasi dari kode dominan, tapi mengadaptasi pembacaan sesuai kondisi sosial mereka.

c. The oppositional reading, yang menghasilkan pembacaan radikal terhadap teks atau yang berlawanan dengan preferred reading.

C. MAKNA DALAM STUDI RESEPSI

Menurut Grossberg, pendekatan penelitian khalayak baru menyoroti generalisasi makna yang terjadi di dalam penelitian komunikasi. Generalisasi makna merupakan asumsi yang sering digarisbawahi oleh model transmisi komunikasi, seperti Laswell atau Shannon-Weaver (sebagian besar didominasi oleh orang-orang Amerika, yang oreantasi politiknya liberal-pluralist) dimana transmisi makna dari pengirim kepada penerima adalah suatu proses yang relatif tidak bermasalah. Pengirim mengirimkan makna melalui simbol yang ditransmisikan kepada penerima, yang kemudian membawa makna itu keluar kembali.

(9)

Pendekatan semiotik memandang makna dengan sedikit berbeda. Pendekatan semiologis melihat makna sebagai konstruksi sosial. Kalau kita mengikuti pendekatan ini sampai kepada kesimpulan logis yang diambil, akan muncul pertanyaan sejauh mana kemungkinan untuk mengklaim bahwa makna-makna itu ada di dalam tanda-tanda yang kita gunakan. Tetapi tidak benar juga jika kita tidak melihat makna yang ada di dalam teks itu sama sekali dan lebih mementingkan bagaimana makna dikonstruksi pada titik temu antara teks dengan pembaca. Kondisi seperti itulah yang disoroti oleh pendekatan baru dari penelitian khalayak.

Teks-teks di dalam media memang polisemik, memiliki banyak penekanan, dan makna yang muncul tidak natural. Pendekatan baru di dalam penelitian khalayak adalah merupakan koreksi yang berguna terhadap kecenderungan dari beberapa analisis semiotik yang berasumsi bahwa makna itu terdapat di dalam teks. Penelitian ini juga merupakan koreksi dari kecenderungan beberapa pengikut “political economy” media yang berasumsi bahwa pemilik organisasi media memiliki kekuatan ideologis, tetapi beberapa analisis resepsi secara simpel mengabaikan detail dari khalayak menuju kesimpulan yang tidak kritis bahwa khalayak memaknai sesuatu secara berbeda. Kesimpulan seperti itu tidak memadai karena peneliti seharusnya juga melihat mengapa khalayak memaknai sesuatu secara berbeda, fakto-faktor psikologis dan sosial apa yang mempengaruhi perbedaan tersebut, dan konsekuensi sosial apakah yang muncul?. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang perlu diinvestigasi. Kritik lain yang muncul terhadap resepsi analisis adalah kecenderungannya untuk mengklaim bahwa pembacaan yang menyimpang otomatis oposisi atau berlawanan, padahal budaya dan penerapannya tidaklah oposisi biner. Kita butuh riset lebih lanjut untuk melihat bagaimana beberapa dari pembacaan yang muncul itu menentang atau berlawanan sedangkan beberapa pembacaan yang lain tidak.

Bagaimanapun pada analisis akhir, sulit dipercaya bahwa sebuah penelitian diadakan pada sebuah kekosongan politik. Penghargaan terhadap kekuatan khalayak untuk interpretasi sepertinya merupakan suatu bentuk perlawanan yang mengalihkan kita dari isu sentral mengenai bagaimana

(10)

interpretasi yang dilakukan sehari-hari dipengaruhi oleh dominasi kapitalisme global. Tahanan dari Stalin menato slogan anti Stalin di kulit wajah mereka. Tato tersebut kemudian dipotong dan kulitnya dikelupas terus sampai tato itu hilang, menurut Solzhenitzyn salah satu tahanan tersebut dikenal sebagai The Stare (melotot) karena sangat sedikit kulitnya yang tertinggal sehingga dia tidak dapat memejamkan mata. Perlawanan, ya, dan pada sebuah skala heroik, tetapi studi kultural dalam bahaya jika memfokuskan terlalu dekat pada heroisme dan gagal untuk melihat secara detail apa yang menyelubungi heroisme tersebut.

D. CONTOH PENELITIAN RESEPSI

Morley pada tahun 1980 melakukan peneitian mengenai pemaknaan terhadap siaran Nationwide (dalam CCMS, 2002). Morley meneliti pemaknaan tersebut pada orang-orang yang berada pada kelas sosial yang sama. Tetapi ternyata kelompok yang memiliki kelas sosial yang sama tersebut memunculkan sub-kelas yang memaknai program Nationwide tersebut secara berbeda. Morley menemukan, manajer bank, contohnya jarang berkomentar mengenai isi aktual dari program tersebut tetapi tampaknya mereka lebih senang berbagi mengenai kerangka logika dari asusmsi yang dibuat oleh Nationwide. Untuk kelompok yang lain aspek isi program adalah hal yang sangat penting. Sebuah kelompok manajer training melihat ada item-item program yang bisa bermanfaat terhadap organisasi. Sebuah kelompok mahasiswa seni secara khusus tertarik pada metode-metode yang dipakai oleh pembuat program untuk mengkonstruksi wacana Nationwide.

Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun di dalam membuat teks atau produser sudah mempertimbangkan karakteristik khalayak sasaran sehingga mereka menggunakan mitos-mitos tertentu yang dianggap sesuai untuk mengarahkan pembacaan khalayak ke arah yang dia inginkan. Tetapi ternyata hal tersebut tidak dapat menghindarkan pembacaan yang berbeda dari mereka yang secara segmentasi seharusnya berada pada kelas sosial yang sama.

(11)

yang dikemukakan oleh Ien Ang, makna di dalam media bukanlah suatu yang tidak bisa berupah atau inheren di dalam teks. Media teks memunculkan makna hanya pada saat resepsi, adalah ketika teks itu di baca, di lihat atau di dengar. Dengan kata lain, khalayak dipandang sebagai produser makna, tidak hanya konsumen isi media, Mereka menginterpretasi teks media dengan cara yang sesuai dengan pengalaman subjektif yang berkaitan dengan situasi tertentu. Analisis resepsi tidak langsung ditujukan kepada individu yang mencoba memaknai sebuah teks tetapi juga makna sosial yang melingkupinya (Storey, 1993).

Senada dengan Ien Ang, Morley masih di dalam tulisannya mengenai penelitian khalayak, pada akhir tahun 1980-an, sebuah langkah lebih lanjut dari pengembangan studi khalayak, memfokuskan pada konteks domestik resepsi televisi di dalam keluarga, seringkali menggunakan metodologi etnografi dan memfokuskan pada perbedaan gender dan karakteristik menonton televisi di dalam keluarga.

E. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN RESEPSI

Analisis resepsi berargumen jika khalayak berada dalam kerangka budaya yang sama dengan produser teks, maka pembacaan oleh khalayak terhadap teks kemungkinan masih sama dengan produksi tekstual. Sebaliknya, kalau anggota khalayak berada pada posisi sosial yang berbeda (dalam hal kelas atau gender, misalnya) dari para produsen teks, khalayak akan bisa memaknai teks itu secara alternatif atau berbeda (Antariksa, www.kunci.or.id).

Berikut ini adalah langkah-langkah penelitian resepsi:

a. Identifikasi teks dan pertimbangkan tujuan dari analisis resepsi: kenapa teks itu dipilih dan kenapa teks tersebut perlu dianalisis dengan resepsi?. b. Pengumpulan data: metode pengumpulan data yang akan digunakan pada penlitian ini adalah wawancara mendalam. Subjek penelitian diminta untuk retelling mengenai teks yang sudah dikonsumsinya.

c. Menganalisis preferred reading dari teks yang akan diteliti dengan melakukan analisis semiotik terhadap struktur internal dari teks.

(12)

d. Analisis dan interpretasi data dari wawancara mendalam, pada penelitian resepsi tidak ada pembedaan yang absolut antara analisis dan interpretasi khalayak mengenai pengalaman media mereka. Data hasil dari wawancara dibuat transkrip, kemudian di buat kategorisasi berdasarkan tema-tema yang muncul pada pemaknaan yang dilakukan subjek penelitian (makna yang dimunculkan).

e. Tema-tema yang muncul kemudian dianalisis dengan mempertimbangkan diskursus yang meliputi proses pemaknaan, karakteristik individu, cara pemaknaan, sekaligus juga konteks sosial dan kultural yang melingkupi proses pemaknaan. Pada bagian ini tidak hanya analisis dari wawancara tetapi juga studi diakronik dengan menggunakan prinsip interteks dari analisis wacana, dimana wacana dari khalayak diinterpretasikan dengan mempertimbangkan konteks baik itu wacana teks media maupun konteks sosial, dan kondisi psikologis dari khalayak. f. Tema-tema yang muncul dibandingkan dengan preferred reading untuk

kemudian dikelompokkan ke dalam tiga kelompok pemaknaan; dominant reading, oppositional reading dan negotiated reading.

Referensi:

Althusser, Louis, 1984. Ideology and Ideological State Aparatuses, Verso, London

Antariksa, Politik, Teori, Metode, dan Medan Minat Kajian Budaya, www.kunci.or.id retrieved 1 Desember 2006.

Basrowi dan Sukidin, 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro.Surabaya: Insan Cemdekia.

Bereman, G. D., 1968, Etnography : Method and Products Introduction to Cultural Antropology, J.A. Clitun, editor. Buston, Hungton Miflin Company

Cruz, Jon and Lewis, Justin, 1994. Viewing, Reading, Listening, Westview Press, Boulder.

Jensen, Klaus Bruhn & Rosengen,Karl Erik. 1995. “Five Tradition in Search of Audience”.Dalam Oliver Boyd-Barret & Chris Newbold (ed.). Approaches to Media A Reader.New York :Oxford University Press Inc, Koentjaraningrat, 1990. “Pengantar Ilmu Antropologi””, PT Rineka Cipta

(13)

Littlejohn, Stephen W., 2002. Theories of Human Communication.(7ed.)USA: Wadworth

M. Antonius Birowo, 2004. Metode Penelitian Komunikiasi. Yogyakarta: Gitanyali Marris, Paul & Sue Thornham, 1996. Media Studies A Reader 2ed. Edinburgh:

Edinburgh University Press Ltd.

Morley, David, 1986. Family Television: Cultural Power and Domestic Leisure.London: A Comedia Book.

Noeng Muhadjir, 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: RakeSarasin O’Sullivan, Tom, 1994. Key Concept in Communication and Cultural Studies,

Routledge, London.

Pawito, 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKis Pe;angi Aksara. Real, Michael. R., 1996. Exploring Media Culture : A Guide. USA : Sage

Publication.

Storey, John, 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture, Harvester Wheatsheaf, New York

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan kriteria tersebut dan sesuai dengan tujuan penelitian, maka pemilihan informan dilakukan secara purposive digunakan untuk mengarahkan pengumpulan

Secara istilah kebahasaan, analisis menurut kamus Inggris- Indonesia memiliki makna analisa atau pemisahan, atau pemeriksaan yang akurat dan teliti (Echols dan

Dengan demikian, teknik analisis data dapat diartikan sebagai cara melaksanakan analisis terhadap data, dengan tujuan mengolah data tersebut menjadi informasi,

Subyek penelitian adalah orang-orang yang menjadi informan yang akan menginformasikan kepada peneliti melalui wawancara. Subyek ini akan digali informasinya sesuai dengan

Hibriditas dan kekaburan itu sendiri, sebetulnya juga merupakan salah satu “warna” dari fenomena globalisasi, yang selain menghomogenisasikan sesuatu (dalam konteks musik populer) ,

Penggunaan analisis kualitatif berbasis video memungkinkan tim produksi melakukan penelitian secara sistematis data yang dikumpulkan untuk menjawab tujuan penelitian serta menyelesaikan

Tahap dan Jenis Observasi Tahapan Observasi • Tahap I : Pengamatan Deskriptif • Dilaksanakan pada tahap eksplorasi secara umum • Memperhatikan dan merekam sebanyak mungkin aspek

Interview Mendalam Depth Interview  Interview mendalam dimaksudkan agar pengetahuan peneliti terhadap fenomena yang diteliti menjadi tajam dan mendalam  Untuk itu diperlukan