• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

5.1. Komposisi dan Struktur Vegetasi TWA Gunung Baung

Dari analisis vegetasi yang dilakukan berhasil dicatat sebanyak 240 spesies tumbuhan yang berasal dari 72 suku (Lampiran 1). Hasil analisis vegetasi memberi gambaran mengenai komposisi vegetasi yang ada di lokasi penelitian. Keberadan bambu dari spesies Bambusa blumeana cukup berpengaruh terhadap komunitas tumbuhan yang terdapat di Gunung Baung. Nilai INP yang tinggi untuk spesies ini dibandingkan spesies lainnya dapat menjadi indikasi tersebut. Terdapat enam spesies bambu yang dijumpai tumbuh di dalam kawasan : Bambusa blumeana, Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, Schizostachyum iraten dan Schizostachyum zollingeri. Widjaja (2010) mengemukakan bahwa semua spesies tersebut termasuk spesies bambu yang umum terdapat di Jawa. Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper dan Giganthochloa apus adalah spesies yang telah banyak dikenal dan dimanfaatkan masyarakat. B. blumeana, S. iraten dan S. zollingeri merupakan spesies bambu asli di Jawa yang tumbuh secara liar dan belum dibudidayakan.

Dua spesies yang cukup banyak dijumpai adalah Bambusa blumeana dan Schizostachyum zollingeri. Keberadaan B. blumeana sangat mendominasi di dalam kawasan (INP = 225,13). Widjaja (2001) mengemukakan bahwa spesies ini tumbuh secara liar dan tersebar di Jawa. Kemungkinan kawasan TWA Gunung Baung adalah habitat alami bagi spesies ini. Bambu ini hampir dijumpai di semua lokasi pengamatan dan dikenal dengan sebutan pring ori oleh masyarakat lokal. Pring ori memiliki ukuran rumpun yang luas dan rapat. Hal ini dikarenakan batangnya berduri, sehingga rumpunnya menjadi terlihat lebih rapat. Spesies bambu lainnya yang juga banyak dijumpai adalah S. zollingeri. Spesies ini memiliki rumpun-rumpun yang kecil dan ukuran buluh yang lebih ramping.

Pada tingkai semai dan tumbuhan bawah vegetasi yang mendominasi adalah spesies perdu yaitu Tithonia diversifolia. Spesies ini dikenal dengan sebutan paitan oleh masyarakat sekitar. Spesies ini mudah berkembang biak, baik dengan biji, stolon atau setek batangnya. Keberadaanya di lokasi penelitian cukup melimpah terutama pada tempat-tempat yang terbuka. Tingginya dapat mencapai

(2)

2,5 meter dan keberadannya yang melimpah dapat menghambat pertumbuhan spesies lainnya. Spesies ini merupakan spesies introduksi dari Mexico dan kini telah tersebar luas dan beradaptasi di Indonesia. Kehadirannya sering menjadi gulma di lahan pertanian (Hanum dan van der Maesen 1997).

Streblus asper yang oleh masyarakat setempat disebut kayu serut, keberadaannya cukup melimpah pada tingkat pancang dan tiang. Perawakannya berupa semak dan pohon kecil dengan tinggi dapat mencapai 15 meter. Spesies ini banyak dijumpai tumbuh di daerah hutan dengan iklim munson, terutama di tempat-tempat terbuka hutan sekunder, hingga ketinggian 1000 m dpl.

Schoutenia ovata adalah salah satu spesies pohon yang keberadaannya sudah mulai langka. Dikenal dengan nama lokal walikukun, spesies ini hidup di daerah-daerah dataran rendah yang beriklim munson kering. Perawakannya berupa pohon dengan tinggi dapat mencapai 10 meter. Siregar et al. (2005), memasukan spesies ini sebagai salah satu spesies yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai tanaman penghasil kayu komersial di Bali.

Ficus hispida merupakan spesies pohon yang memiliki nilai INP tinggi. Perawakan umumnya berupa pohon kecil dengan tinggi dapat mencapai 10 meter. Pada umumnya spesies dari marga Ficus merupakan pakan bagi satwa yang hidup di hutan. Hasanbahri et al. (1996) menyatakan setidaknya terdapat 33 spesies tumbuhan yang menjadi pakan bagi Macaca fascicularis di kawasan Hutan Jati. Jenis pakan yang paling banyak umumnya adalah dari marga Ficus dan Syzygium.

Terdapat dua spesies Syzygium yang cukup berpengaruh dalam komposisi vegetasi di lokasi penelitian, yaitu Syzygium pycnanthum dan Syzygium racemosum. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Nilai Penting (INP) kedua spesies tersebut. Dilihat dari kelimpahan dan frekuensi perjumpaan, kedua spesies ini mempunyai nilai yang cukup tinggi terutama pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Perawakan pada umunya hanya berupa pohon kecil. Meskipun demikian beberapa individu dijumpai telah berbunga walaupun secara ukuran masih dikategorikan dalam strata pancang (dengan diameter batang setinggi dada 10-20 cm). Kondisi ini dapat mengindikasikan bahwa kedua spesies Syzygium ini memiliki rentang kriteria strata pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan dengan ketentuan strata pertumbuhan pohon pada umumnya. Syzygium cumini, S.

(3)

littorale, S. polyanthum, dan S. samarangenae sangat jarang dijumpai di lokasi penelitian. Bahkan untuk S. samarangense hanya dijumpai satu individu dalam strata pohon. Indeks Nilai Penting yang > 10% bagi spesies tumbuhan pada setiap strata dan habitus ditampilkan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Indeks Nilai Penting (INP) >10% dari spesies tumbuhan pada setiap strata/habitus di Gunung Baung, Jawa Timur

No Spesies Suku INP (%)

Semai dan Tumbuhan Bawah

1 Tithonia diversifolia Asteraceae 45,26

2 Mikania cordata Asteraceae 21,86

3 Cyathula prostata Amaranthaceae 20,55

4 Piper cubeba Piperaceae 15,50

5 Pennisetum purpureum Poaceae 13,72

6 Voacanga grandifolia Apocynaceae 10,78 Pancang

1 Tithonia diversifolia Asteraceae 80,13

2 Streblus asper Moraceae 35,32

3 Voacanga grandifolia Apocynaceae 21,39 4 Lepisanthes rubiginosum Sapindaceae 16,11

5 Syzygium pycnanthum Myrtaceae 11,80

Tiang

1 Streblus asper Moraceae 57,20

2 Syzygium pycnanthum Myrtaceae 27,66

3 Voacanga grandifolia Apocynaceae 21,29

4 Microcos tomentosa Tilliaceae 18,60

5 Schoutenia ovata Sterculiaceae 16,74

6 Syzygium racemosum Myrtaceae 10,38

Pohon

1 Ficus hispida Moraceae 22,27

2 Schoutenia ovata Sterculiaceae 20,59

3 Syzygium pycnanthum Myrtaceae 17,27

4 Streblus asper Moraceae 14,98

5 Microcos tomentosa Tilliaceae 13,95

6 Garuga floribunda Burseraceae 12,72

7 Ficus racemosa Moraceae 10,68

8 Emblica officinalis Euphorbiaceae 10,54

9 Litsea glutinosa Lauraceae 10,16

Bambu

1 Bambusa blumeana Poaceae 225,13

2 Schizostachyum zollingeri Poaceae 46,09

(4)

Beberapa literatur hasil penelitian telah mengungkapkan sebagian kondisi vegetasi di TWA Gunung Baung (Yuliani et al. 2006, 2006a; Pa’i dan Yulistiarini 2006; Catur 2008) . Spesies flora yang cukup banyak dijumpai di kawasan ini antara lain beringin (Ficus benjamina), kepuh (Sterculia foetida), bendo (Artocarpus elastica) dan gondang (Ficus variegata), serta berbagai spesies bambu dari berbagai spesies (Bambussa blumeana, B. vulgaris, Schizostachyum zollingeri, S. iraten, Dendrocalmus asper dan Giganthocloa apus). Keberadan bambu cukup banyak dijumpai di dalam kawasan, terutama spesies B. blumeana.

Setidaknya terdapat empat marga bambu tumbuh di kawasan Taman Wisata Gunung Baung, yaitu: Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa, dan Schizostachyum. Kawasan TWA Gunung Baung memang merupakan habitat alami bagi beberapa spesies bambu.

Tingkat keanekaragaman spesies di suatu kawasan dapat didekati dengan menggunakan perhitungan nilai indeks keanekaragaman spesies (heterogenitas) Shannon-Wiener (H’) (Ludwig dan Reynolds 1988; Krebs 1989). Nilainya ditetapkan berdasarkan struktur kerapatan atau kelimpahan individu dari setiap spesies yang teramati. Rosalia (2008) menggunakan kriteria nilai indeks ini menurut Tim Studi IPB (1997). Kriteria nilainya adalah: kelimpahan spesies tinggi bila nilainya ≥ 3, sedang jika nilainya 2 – 3, dan rendah jika nilainya ≤ 2. Hasil penghitungan nilai Indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wiener di lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wiener pada setiap strata/habitus pertumbuhan vegetasi di TWA Gunung Baung, Jawa Timur

Semai dan tumbuhan bawah

pancang tiang pohon bambu Indeks

Shanon-Wiener (H')

3,52 2,81 3,35 3,79 0,98

Jml spesies 164 103 68 101 6

Kriteria tinggi sedang tinggi tinggi rendah

Nilai Indeks Shannon-Wiener (H’) mengindikasikan bahwa keanekaragaman spesies tumbuhan di TWA Gunung Baung termasuk tinggi.

(5)

5.2. Spesies Syzygium Di TWA Gunung Baung

Dari penelitian ini diketahui terdapat enam spesies Syzygium tumbuh di lokasi penelitian. Keenam spesies tersebut adalah Syzygium cumini, S. littorale, S. polyanthum, S. pycnanthum, S. racemosum, dan S. samarangense. S. pycnanthum merupakan spesies yang paling banyak dijumpai, sedangkan S. samarangense paling sedikit ditemui. Pertelaan karakter morfologis untuk setiap jenis adalah sebagai berikut:

5.2.1. Syzygium cumini (L.) Skeels.

Habitus S. cumini berupa pohon berbatang pendek dengan tinggi dapat mencapai 20 meter dan tidak berbanir. Percabangan berwarna abu-abu atau coklat kekuningan. Daun tunggal tersusun berhadapan, berbentuk bulat telur hingga oval, berwarna hijau-hijau tua, tepi daun rata. Ukuran daun sekitar 7-15 cm x 5-9 cm dan memiliki tangkai daun sepanjang 1-3,5 cm. Bunga berukuran kecil (diameter 4-7 mm) yang tersusun dalam satu perbungaan. Perhiasan bunga berwarna putih hingga kekuningan, bunga tersusun dalam perbungaan yang muncul di ketiak daun pada bagian ujung ranting dan percabangan. Buah buni berbiji satu, berbentuk lonjong, saat masak berwarna merah tua keunguan,dengan rasa manis-kelat hingga manis (Gambar 9). Musim berbunga dan berbuah terjadi pada bulan April-Oktober. Sinonim untuk spesies ini adalah S. jambolanum Miq., Eugenia cumini (L.) Druce, dan Eugenia jambolana Lamk. (Dalimartha 2003).

Syzygium cumini adalah spesies asli dari India, Burma, Ceylon dan Pulau Andaman yang telah ternaturalisasi di kawasan Malesia termasuk di Jawa. Keberadaan spesies ini di banyak wilayah di Asia Selatan sangat berkaitan dengan budaya dan agama Hindu yang berkembang di sana, sehingga banyak ditanam di sekitar candi dan bangunan ibadah lainnya (Morton 1963). Keberadaannya di Indonesia kemungkinan juga berkaitan dengan penyebaran agama Hindu di Jawa yang dilakukan oleh para pendatang dari wilayah India. Menurut Backer dan van den Brink (1963), di Jawa spesies ini tumbuh pada ketinggian di bawah 500 mdpl di hutan jati, dan banyak ditanam untuk dimanfaatkan buahnya.

Di samping berguna sebagai buah segar, bahan jus, bahan pembuatan minuman berfermentasi serta obat, spesies ini juga memiliki fungsi dan kegunaan ekologis. Beberapa jenis satwa, seperti burung, mamalia berkaki empat, kelelawar

(6)

serta kalong, memanfaatkan buahnya sebagai sumber pakan mereka (Maiden 1889 dalam Morton 1963). Bunga S. cumini mengandung banyak nektar yang dimanfaatkan oleh lebah sebagai sumber pakannya (Ordetx Ros 1952 dalam Morton 1963).

Dalam kawasan spesies ini dijumpai tumbuh pada tempat yang terbuka, tidak terdapat bambu di lokasi dengan topografi yang relatif datar. Sebanyak 6 individu tercatat dalam petak pengamatan yang terdiri atas 1 individu tingkat tiang dan 5 individu tingkat pohon.

Gambar 9 Bunga (a), buah (b), dan perawakan pohon Syzygium cumini (c)

5.2.2. Syzygium littorale (Blume) Amshoff

Perawakan S. littorale berupa pohon dengan tinggi dapat mencapai 10-20 meter. Daun tunggal tersusun berhadapan berbentuk lanset-oblong dengan ujung meruncing. Ukuran panjang daun tiga kali dari ukuran lebarnya. Perbungaan terminal atau muncul pada bagian ranting di bekas tangkai daun yang gugur. Beberapa kuntum bunga tersusun dalam satu perbungaan. Perhiasan bunga berwarna putih dengan ukuran sekitar 1,5 – 2 cm (Gambar 10). Buah berbentuk bulat campanulate (berbentuk seperti lonceng) berwarna hijau kekuningan dengan ukuran diameter sekitar 2,5- 3,5 cm. Nama sinonimnya adalah Eugenia subglauca K.&V., Jambosa litoralis Bl.

a

(7)

Backer dan van den Brink (1963) menyatakan bahwa spesies ini adalah spesies asli di Jawa. Tempat tumbuhnya di hutan-hutan, terutama di sepanjang tepi sungai. Dalam kawasan TWA Gunung Baung dijumpai tumbuh pada tempat tempat yang tidak dijumpai bambu, daerah bersemak dengan pohon-pohon yang tidak terlalu rapat. Sebanyak 18 individu tercatat dalam petak pengamatan, terdiri atas 8 individu tiang dan 10 individu pohon.

Gambar 10 Bunga (a), kuncup bunga dan daun (b), dan perawakan pohon Syzygium littorale (c)

5.2.3. Syzygium polyanthum (Wight.) Walp.

Habitus S. Polyanthum berupa pohon dengan batang yang jelas, bentuk tajuk yang rapat, dan tinggi dapat mencapai 25 meter. Kulit batang beralur kasar berwarna coklat gelap. Daun tunggal tersusun berhadapan berbentuk elip-bulat ataupun obovate (bulat telur terbalik) dengan ujung meruncing. Ukuran daun sekitar 5-15 x 3,5-6,5 cm dengan panjang tangkai daun antara 5-12 mm. Perbungaan rapat di ujung atau ketiak ranting. Bunga tersusun rapat berwarna putih kemerahan berbau harum. Buahnya manis berbentuk bulat dengan diameter 8-9 mm berwarna merah hingga merah tua (Gambar 11). Sinonim untuk spesies ini adalah Eugenia polyantha Wight. Habitat alaminya adalah kawasan hutan

a

(8)

pada ketinggian 5 – 1.000 m dpl. Spesies ini sering ditanam di pekarangan untuk dimanfaatkan daun dan buahnya (Backer dan van den Brink 1963).

Dijumpai sebanyak 7 individu yang tercatat dalam petak pengamatan yang terdiri atas: 3 individu tingkat semai, 1 individu tingkat pancang dan 3 individu tingkat tiang. Tumbuh di tempat-tempat yang tidak didominasi bambu, belukar dengan pohon-pohon tidak terlalu rapat, pada daerah lereng bukit.

Gambar 11 Bunga (a), daun (b), dan perawakan pohon Syzygium polyanthum (c)

5.2.4. Syzygium pycnanthum Merr. & L.M. Perry

Habitus S. pycnanthum berupa pohon kecil, tinggi hingga 15 m, diameter batang dapat mencapai 30 cm dan tidak berbanir. Daun tunggal tersusun berhadapan, berwarna hijau tua pada permukaan atas dan hijau pucat pada permukaan bawahnya. Bentuk daun ovate-oblong-lanceolate (bulat telur-memanjang-lanset), tepi daun rata, ujung daun acute-acuminate (runcing-meruncing). Ukuran daun antara 12,5-37 cm x 3-10 cm, memiliki intramarginal vein dengan jarak 8-10 mm dari tepi daun. Perbungaan muncul di ujung ranting. Bunga tersusun rapat dengan tangkai bunga pendek 3-4 mm, mahkota bunga berwarna putih-keunguan, kelopak bunga berwarna putih-kehijauan-ungu,

a

(9)

memiliki benang sari yang banyak berwarna putih dan berwarna kemerahan pada bagian pangkalmya. Buahnya berupa buah buni, berbentuk bulat, buah muda berwarna hijau, buah tua berwarna merah keunguan atau hijau kemerahan dengan diameter buah 2,5-3,5 cm (Gambar 12). Sinonim untuk spesies ini adalah Eugenia densiflora (Bl.) Duthie, E. Axillaris Auct. Non Willd.

Dijumpai dua varian S. pycnanthum di TWA Gunung Baung, yaitu yang berbuah merah keunguan dan hijau. Perawakan dan karakter lainnya relatif sama, yang membedakan hanya pada warna buahnya saja. Perbandingan jumlah antara keduanya tidak diketahui. Hal ini dikarenakan tidak banyak individu yang berbunga atau berbuah pada saat dilakukan penelitian.

Spesies ini memiliki rentang habitat yang lebar. Dapat tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi dengan berbagai tipe kondisi lingkungan. Menurut Backer dan van den Brink (1963), di Jawa spesies ini tumbuh secara alami di areal semak belukar, hutan terbuka atau tepi-tepi sungai, pada ketinggian 5 – 1.500 mdpl. Mustian (2009) menjumpai S. pycnanthum beserta beberapa jenis Syzygium lainnya di kawasan pertambangan nikel di Soroako, pada kondisi tanah ultrabasa. Jenis ini dijumpai tumbuh secara alami di tepi aliran sungai (Mudiana 2009; 2011). Sunarti et al. (2008) mencatat habitat spesies ini pada ketinggian 750-850 m dpl di kawasan Hutan Polara, Pegunungan Waworete, Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.

Spesies ini merupakan spesies Syzygium yang paling banyak dijumpai di TWA Gunung Baung. Sebanyak 235 individu tercatat dalam petak pengamatan, terdiri atas 42 individu tingkat semai, 75 individu tingkat pancang, 49 individu tingkat tiang dan 69 idividu tingkat pohon. Tumbuh pada berbagai kondisi tempat, seperti pada lokasi dengan dominasi rumpun bambu B. blumeana, tempat terbuka, tempat dengan dominasi semak dan pohon, di daerah lereng-lereng bukit.

(10)

Gambar 12 Varian buah muda berwarna merah keunguan (a), varian buah berwarna hijau (b), dan perawakan pohon Syzygium pycnanthum (c)

5.2.5. Syzygium racemosum (Bl.) DC.

Habitus S. racemosum berupa pohon dengan tinggi dapat mencapai 3 – 20 meter, umumnya berupa pohon kecil dengan percabangan yang lebat. Kulit batangnya berwarna coklat terang keabuan. Daun berhadapan berbentuk elip– bulat dengan ujung meruncing, ukuran daun sekitar 8-15 x 3,5-5 cm, tangkai daun berukuran 0,5-1,5 cm. Daun muda berwarna kemerahan-tembaga. Pertulangan daun menyirip rapat. Perbungaan terminal atau muncul pada ketiak daun yang telah gugur pada bagian ujung ranting. Bunga berwarna putih kekuningan, dengan bentuk mahkota seperti kaliptra kecil. Buah berwarna hijau kekuningan, berbentuk lonceng membulat dengan diameter 2-3 cm. (Gambar 13). Sinonim spesies ini adalah Eugenia jamboloides K. & V.

Backer dan van den Brink (1963) mengemukakan bahwa spesies ini dijumpai tumbuh di Jawa pada hutan campuran dan hutan jati pada ketinggian 10-1.200 m dpl. Di TWA Gunung Baung banyak dijumpai tumbuh terutama pada tempat-tempat dengan dominasi bambu B. Blumeana, pada daerah lereng-lereng bukit. Sebanyak 77 individu tercatat dalam penelitian ini, terdiri atas 20 individu

a

(11)

tingkat semai, 35 individu tingkat pancang, 14 individu tingkat tiang dan 8 individu tingkat pohon.

Gambar 13 Bunga (a), daun (b), dan perawakan pohon Syzygium racemosum (c)

5.2.6. Syzygium samarangense (Bl.) Merr. & L.M. Perry

Perawakan S. samarangense berupa pohon kecil dengan banyak percabangan yang rapat, tingginya dapat mencapai 10 meter. Daun tersusun berhadapan berbentuk bulat telur ataupun oblong, daun muda berwarna hijau cerah dengan ukuran daun 12-24 cm x 6-11,5 cm dan panjang tangkai daun antara 3-5 mm. Perbungaan muncul di bekas ranting daun yang telah gugur. Bunga berwarna putih kekuningan dengan ukuran diameter 3-4 cm (Gambar 14). Buahnya berbentuk lonceng berwarna hijau kekuningan. Sinonim untuk spesies ini adalah Eugenia javanica Lmk, non Syzygium javanicum Miq., Myrtus samarangensis Bl. Keberadaannya telah umum dan ditanam oleh penduduk di kebun dan pekarangan untuk dimanfaatkan buahnya.

Hanya dijumpai sebanyak 1 individu tingkat pohon yang tercatat dalam petak pengamatan. Tumbuh pada tempat terbuka, pada daerah bersemak dan tidak ada bambu.

a

(12)

Gambar 14 Kuncup bunga (a), daun (b), dan perawakan pohon Syzygium samarangense (c)

5.3. Struktur Populasi Syzygium

Struktur populasi Syzygium di lokasi penelitian menunjukkan kondisi yang berbeda untuk tiap-tiap spesies. Hal ini berimplikasi pada kemampuan spesies untuk melangsungkan kehidupannya. Dari keenam spesies Syzygium, hanya S. pycnanthum dan S. racemosum yang secara lengkap memiliki jumlah individu untuk setiap strata pertumbuhannya. Struktur populasi S. pycnanthum dan S. racemosum menggambarkan bentuk kurva ideal berbentuk J terbalik, dimana secara berurut jumlah individu permudaannya lebih banyak dari pada strata dewasanya. Struktur populasi kedua spesies ini menggambarkan suatu struktur populasi tumbuhan yang ideal. Struktur populasi kedua spesies ini diperkirakan akan mampu untuk mempertahankan keberadaan populasinya karena memiliki individu-individu pada semua strata pertumbuhannya.

Keempat spesies Syzygium lainnya memiliki struktur populasi yang tidak ideal. Syzygium cumini dan S. littorale tidak memiliki individu pada strata semai dan pancang. Suatu populasi tumbuhan tanpa kehadiran strata permudaannya dapat mengindikasikan bahwa terdapat hambatan dalam proses pembentukan strata permudaannya. S. samarangense bahkan hanya dijumpai sebanyak satu

a

(13)

individu untuk strata pohon. Kondisi populasi S. polyanthum menunjukan jumlah individu yang banyak pada tingkat semai, tetapi sangat sedikit pada fase pertumbuhan selanjutnya. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka dapat menyebabkan spesies-spesies tersebut tidak mampu untuk mengembangkan populasinya. Kondisi populasi Syzygium secara keseluruhan menggambarkan suatu kondisi yang ideal dimana kurva jumlah individu per ha untuk setiap strata pertumbuhannya berbentuk J terbalik. Kondisi struktur populasi untuk setiap spesies Syzygium ditampilkan dalam Gambar 15.

Silvertown (1982) mengemukakan bahwa pada umumnya biji-biji dari tumbuhan tropis akan segera berkecambah setelah terpencar dan jatuh pada habitat yang sesuai. Proses tersebut merupakan salah satu bentuk adaptasi untuk mempertahankan keberlangsungan populasinya. Tahapan pemencaraan dan perkecambahan biji merupakan fase yang menentukan bagi keberhasilan rekrutmen individu baru. Hal ini dikarenakan adanya faktor luar yang mempengaruhi proses tersebut yaitu berupa pemangsaan buah atau biji sebagai pakan satwa, baik burung, mamalia atau serangga, dan juga faktor kesesuaian tempat tumbuh untuk berkecambah.

Kondisi struktur populasi tumbuhan dapat memberikan gambaran mengenai kemampuan suatu spesies untuk melangsungkan kehidupannya. Struktur populasi tumbuhan dapat digambarkan dengan melihat jumlah individu pada tiap-tiap strata pertumbuhannya. Strata pertumbuhan tersebut meliputi tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon.

Kondisi struktur populasi yang ideal digambarkan dengan bentuk “kurva J terbalik.” Hal ini menggambarkan strata permudaan yang lebih banyak dari pada strata dewasanya. Struktur populasi dapat ditampilkan dalam bentuk piramid yang disusun secara berurut dari bawah berdasarkan strata pertumbuhannya. Struktur populasi yang ideal digambarkan dengan bentuk piramid kerucut utuh, dimana jumlah individu secara berurut semakin sedikit dari strata permudaan hingga dewasa. Semakin menuju tahap dewasa akan semakin ketat proses persaingan untuk dapat bertahan hidup. Tumbuhan pada umumnya berupaya untuk “menghasilkan” jumlah individu baru yang banyak pada tahap awal pertumbuhannya.

(14)

Gambar 15 Histogram struktur populasi berbagai spesies Syzygium berdasarkan tingkat strata pertumbuhannya di Gunung Baung, Jawa Timur

0 0 0.4 0.5 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

semai pancang tiang pohon

In d iv id u / h a S. cumini 0 0 3.2 1 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

semai pancang tiang pohon

Indi v idu / ha S. littorale 200 56 5.6 0.8 0 50 100 150 200 250

semai pancang tiang pohon

In d iv id u / h a S. racemosum 0 0 0 0.1 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12

semai pancang tiang pohon

In d iv id u / h a S. samarangense 650 177.6 30 9.3 0 100 200 300 400 500 600 700

semai pancang tiang pohon

In d iv id u / h a Syzygium 30 1.6 1.2 0 0 5 10 15 20 25 30 35

semai pancang tiang pohon

In d iv id u / h a S. polyanthum 420 123.2 19.6 6.9 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

semai pancang tiang pohon

In d iv id u / h a S. pycnanthum

(15)

Model kurva dengan bentuk J terbalik dapat pula mengindikasikan bahwa spesies tumbuhan merupakan spesies yang bersifat toleran terhadap cahaya matahari. Pada umumnya spesies ini tumbuh pada lapisan bawah tajuk. Sebaliknya spesies tumbuhan dengan model struktur populasinya berbentuk J biasanya merupakan spesies yang intoleran terhadap cahaya matahari, sehingga permudaannya sangat jarang dijumpai pada tempat-tempat yang ternaungi (Silvertown 1982).

Larpkern et al. (2011) mengemukakan bahwa dominasi bambu pada suatu kawasan dapat mengurangi kelimpahan dan kekayaan spesies tumbuhan berkayu. Faktor naungan kanopi serta serasah bambu yang dihasilkan oleh keberadaan bambu adalah faktor yang berpengaruh terhadap perkecambahan dan pertumbuhan anakan tumbuhan berkayu di sekitarnya. Intensitas cahaya yang masuk hingga lantai hutan akan terhalang oleh rimbunnya rumpun bambu yang rapat. Pada sisi yang lain, serasah bambu yang bersifat lambat terdekomposisi (Sihotang 1989) dapat menghambat perkecambahan dan pertumbuhan semai pohon di sekitarnya. Kondisi ini yang kemungkinan terjadi terhadap permudaan beberapa spesies Syzygium yang terdapat di Gunung Baung.

Faktor naungan menjadi salah satu faktor penghambat perkecambahan anakan pohon. Kemungkinan hanya spesies yang bersifat toleran saja yang mampu untuk berkecambah dan tumbuh sebagai tanaman baru. Serasah bambu yang terkumpul di atas permukaan lantai hutan berpengaruh terhadap perkecambahan biji tumbuhan. Sifat serasah bambu yang lama terdekomposisi dapat menghambat perkecambahan biji. Namun demikian, kehadiran serasah bambu juga kemungkinan dapat mengurangi intensitas kompetisi dengan tumbuhan bawah lainnya sehingga meningkatkan keberhasilan perkecambahan biji (Larpkern et al. 2011). Keberadaan serasah bambu juga dapat mengurangi evaporasi sehingga membentuk iklim mikro yang mampu mendukung perkecambahan biji serta melindungi biji dari pemangsanya (Facelli and Pickett 1991; Becerra et al. 2004; Cintra 1997; dalam Larpkern et al. 2011).

S. pycnanthum dan S. racemosum kemungkinan adalah spesies yang mampu beradaptasi dengan kondisi naungan dan serasah bambu yang tebal. Dibandingkan dengan spesies Syzygium lainnya, keberadaan permudaan kedua

(16)

spesies ini cukup banyak dijumpai di antara rumpun-rumpun bambu yang terdapat di TWA Gunung Baung.

Sistem perakaran bambu yang halus dan tersebar merata mampu memperbaiki sistem drainase pada tanah, terutama pada lapisan atas. Lapisan serasah bambu yang lambat terdekomposisi akan memperlambat pergerakan air hujan sehingga proses pencucian hara menjadi lambat. Kondisi drainase tanah yang baik akan mampu meningkatkan penyerapan hara ke dalam tanah, sehingga ketersediaannya di dalam tanah dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Sihotang 1989).

Ukuran dimensi Syzygium dalam strata tiang dan pohon mengindikasikan bahwa umumnya spesies Syzygium memiliki ukuran perawakan yang kecil. Data kelas diameter batang (dbh) dan kelas tinggi pohon dapat menunjukkan hal tersebut (Tabel 5 dan Tabel 6).

Tabel 5 Jumlah individu Syzygium berdasarkan kelas diameter batang di Gunung Baung, Jawa Timur

Tabel 6 Jumlah individu Syzygium berdasarkan kelas tinggi pohon Kelas tinggi pohon

< 2 m 2-5 m 6-10 m 11-15 m 15-20 cm >20 m S. cumini 0 4 2 0 0 0 S. littorale 1 13 5 0 0 0 S. polyanthum 0 2 1 0 0 0 S. pycnanthum 7 71 36 7 9 0 S. racemosum 1 16 3 2 1 0 S. samarangense 0 0 1 0 0 0 Syzygium (jumlah) 9 106 48 9 10 0

Kelas diameter batang < 10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm >50 cm S. cumini 0 2 3 1 0 0 S. littorale 1 8 6 4 0 0 S. polyanthum 0 3 0 0 0 0 S. pycnanthum 10 56 29 21 10 4 S. racemosum 1 13 5 3 1 0 S. samarangense 0 0 0 0 1 0 Syzygium (jumlah) 12 82 43 29 12 4

(17)

Istomo (1994) mengemukakan bahwa informasi mengenai struktur tegakan hutan dapat memberikan gambaran mengenai dinamika suatu spesies atau kelompok spesies mulai dari tingkat semai, pancang, tiang, hingga pohon.

5.4. Pola Sebaran Syzygium

Hasil analisis pola sebaran yang dilakukan menunjukkan bahwa Keseluruhan spesies Syzygium menyebar secara berkelompok. Syzygium samarangense yang hanya dijumpai satu individu dalam satu petak pengamatan tidak dapat dianalisis pola sebarannya dikarenakan tidak dapat menggambarkan kondisi penyebarannya. Kondisi ini akan mengakibatkan pola sebaran yang ditunjukan akan acak (Tabel 7).

Tabel 7 Nilai varian dan rata-rata jumlah individu Syzygium untuk penentuan pola sebaran dengan metode rasio ragam

Spesies S2 rata-rata (x) Nilai rasio(S2/x) Pola sebaran

S. cumini 0,06 0,02 2,32 Berkelompok S. littorale 0,50 0,07 6,90 Berkelompok S. polyanthum 0,10 0,03 3,56 Berkelompok S. pycnanthum 25,57 0,94 27,20 Berkelompok S. racemosum 15,81 0,32 49,40 Berkelompok S. samarangense* 0,00 0,00 1,00 --

Keterangan: S2 adalah nilai varian dari data jumlah individu per petak pengamatan, x adalah nilai rata-rata jumlah individu per petak pengamatan. Jika S2 = x, maka pola sebarannya acak, jika S2 < x, maka pola sebarannya homogen, dan jika S2 > x, maka pola sebarnnya berkelompok.* Hanya dijumpai satu individu dalam 1 petak pengamatan.

Ludwig dan Reynolds (1988), Odum (1994), Krebs (1989) mengemukakan mengenai tiga pola distribusi individu dalam suatu populasi makhluk hidup, yaitu distribusi acak (random), distribusi seragam (uniform), dan distribusi berkelompok (clumped). Pola sebaran makhluk hidup di alam secara garis besar dipengaruhi oleh faktor intrinsik spesies, seperti reproduksi, perilaku sosial, dan koaktif serta faktor ekstrinsik yang mencakup faktor lingkungan di luar makhluk hidup. Kondisi di alam menunjukan bahwa banyak populasi tumbuhan (maupun hewan) memiliki pola penyebarannya yang bersifat mengelompok dan sangat jarang yang menyebar dalam pola yang teratur (Krebs 1989). Pola sebaran berkelompok dapat mengindikasikan adanya faktor-faktor pembatas terhadap populasi. Makhluk hidup cenderung memilih tempat yang sesuai untuk keberlangsungan hidupnya.

(18)

Hasil penghitungan nilai indeks pola sebaran yang meliputi: Index of Dispersion (ID), Index of Clumping (IC), dan Index Green (IG) untuk tiap spesies Syzygium ditampilkan dalam Tabel 8. Pola sebarannya menujukkan hasil yang serupa dengan perhitungan rasio ragam.

Tabel 8 Nilai indeks pola sebaran untuk tiap spesies Syzygium di TWA Gunung Baung, Jawa Timur

Spesies ID IC IG Pola sebaran

S. cumini 2,32 1,32 0,26 Berkelompok S. littorale 6,90 5,91 0,35 Berkelompok S. polyanthum 3,56 2,56 0,43 Berkelompok S. pycnanthum 27,20 26,20 0,11 Berkelompok S. racemosum 49,40 48,40 0,61 Berkelompok S. samarangense* 1,00 0,00 -- --

Keterangan: Jika nilai ID<1, maka pola sebarannya adalah homogen, nilai ID = 1, maka pola sebarannya adalah acak, dan jika nila ID>1, maka pola sebarannya adalah berkelompok. Nilai indeks maksimum berkelompok untuk setiap pengukuran indeks: ID (Index of Dispersion) pada n, IC (Index of Clump) pada n-1, dan GI (Green

Indexs) nilai maksimum berkelompoknya = 1. n = jumlah total individu. .* Hanya

dijumpai satu individu dalam 1 petak pengamatan.

Berdasarkan pada jumlah petak perjumpaan Syzygium serta proporsinya bagi masing-masing spesies terlihat bahwa S. pycnanthum mempunyai frekuensi perjumpaan yang paling sering dibandingkan spesies lainnya. Banyaknya petak dijumpainya suatu spesies tidaklah dapat secara langsung memberikan gambaran mengenai pola sebarannya. Akan tetapi berdasarkan data tersebut, ditambah dengan data jumlah individunya, maka dapat diketahui pola penyebarannya, seperti yang telah diuraikan. Perbandingan jumlah petak dan jumlah individu untuk masing-masing spesies Syzygium secara lengkap ditampilkan dalam Gambar 16.

Pola sebaran yang berkelompok pada keseluruhan spesies Syzygium yang dijumpai di Gunung Baung, dapat mengindikasikan adanya faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap populasinya (kecuali S. samarangense yang hanya dijumpai sebanyak 1 individu). Spesies-spesies tersebut memilih tempat-tempat yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam kajian ini faktor lingkungan yang akan dikaji berupa faktor lingkungan fisik tempat tumbuh serta faktor biotik berupa kondisi vegetasi yang terdapat di TWA Gunung Baung.

(19)

Gambar 16 Histogram jumlah petak dan proporsi perjumpaan spesies Syzygium di Gunung Baung, Jawa Timur

Setidaknya terdapat dua alasan yang berkaitan dengan pola sebaran berkelompok bagi berbagai spesies tumbuhan, yaitu: pertama berkaitan dengan penyebaran buah dan biji tanaman yang cenderung jatuh pada lokasi di sekitar pohon induk, serta kesesuaian kondisi lingkungan habitat tempat tumbuhnya. Kondisi iklim mikro suatu tempat akan berpengaruh terhadap pertumbuhan suatu spesies tumbuhan (Barbour et al. 1987).

5.5. Asosiasi Tumbuhan dan Syzygium

Perhitungan dan analisis asosiasi interspesies menunjukkan bahwa terdapat asosiasi positif antar spesies secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks asosiasi seluruh spesies (VR; variance ratio test) yang lebih besar dari satu. Hasil uji chi square terhadap W yang merupakan nilai statistik untuk menguji adanya penyimpangan nilai 1 dalam perhitungan VR, menunjukkan hasil penghitungan nilai W berada diluar batas nilai kritis bagi uji W pada tiap strata pertumbuhan (Tabel 9). Hal ini mengindikasikan bahwa hasil uji statistik menunjukkan bahwa secara signifikan terdapat asosiasi antara seluruh spesies (Tabel 9).

(20)

Tabel 9 Nilai indeks asosiasi seluruh spesies (VR) untuk tiap strata pertumbuhan Nilai kritis bagi uji W

Strata pertumbuhan VR W=N.VR (α=0.005, N=250) (α=0.95, N=250) semai 1,05 263,68 18,49 43,77 pancang 1,32 330,95 18,43 43,77 tiang 1,47 367,26 18,49 43,77 pohon 1,87 467,67 18,49 43,77

Keterangan: W=(N)(VR), N= jumlah petak pengamatan, VR= variance ratio untuk indeks asosiasi seluruh spesies.

Hasil pengujian χ2 untuk asosiasi berpasangan antara spesies yang memiliki INP ≥ 10% pada setiap strata pertumbuhan termasuk dengan spesies bambu menunjukkan hasil yang beragam. Namun kebanyakan tidak menunjukkan adanya asosiasi. Hanya terdapat 23 pasang spesies yang menunjukkan adanya asosiasi. Empat pasang berasosiasi negatif dan 19 pasang berasosiasi positif (Tabel 10). Data lengkap tabel kontingensi asosiasi secara keseluruhan ditampilkan dalam lampiran.

Nilai asosiasi yang ditunjukkan dengan menggunakan nilai Indeks Jacard (IJ) secara berpasangan antara spesies Syzygium dengan spesies lainnya menunjukkan hasil yang beragam. Spesies yang dihitung tingkat asosiasinya dengan Syzygium hanya spesies dengan nilai INP ≥ 10%. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Botanri (2010). Secara umum nilai asosiasi yang terbentuk sangat rendah (nilainya < 0,20 sedangkan nilai maksimum asosiasi adalah 1,00). Kurniawan et al. (2008) mengelompokkan tingkatan asosiasi ke dalam empat kelompok, yaitu: sangat tinggi (0,75-1,00), tinggi (0,49-0,74), rendah (0,48-0,23), dan sangat rendah (<0,22).

Nilai indeks asosiasi menggambarkan tingkat keeratan hubungan antara kedua spesies. Sifat asosiasi menggambarkan sifat hubungan antara spesies yang berasosiasi. Secara umum, tingkat asosiasi spesies dengan Syzygium sangat rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa secara berpasangan, sangat kecil kemungkinan dijumpai Syzygium tumbuh pada lokasi yang bersamaan dengan spesies yang dianalisis. Syzygium tidak secara spesifik memiliki asosiasi dengan spesies tumbuhan lainnya.

(21)

Tabel 10 Nilai Indeks Jacard pasangan spesies yang berasosiasi Pasangan spesies

Tingkat Pohon Nilai Indeks Jacard Sifat asosiasi

S. pycnanthum G. floribunda 0,14 positif

S. littorale S. samarangense 0,12 positif

S. pycnanthum S. racemosum 0,10 positif

S. littorale S. pycnanthum 0,10 positif

S. pycnanthum L. glutinosa 0,09 positif

S. rasemosum M. tomentosa 0,05 positif

S. pycnanthum S. samarangense 0,04 positif

Tingkat Tiang

S. pycnanthum S. racemosum 0,14 positif

S. littorale V. grandifolia 0,10 positif

S. littorale S. asper 0,08 positif

S. pycnanthum V. grandifolia 0,08 positif

S. racemosum S. asper 0,00 negatif

Tingkat Pancang

S. pycnanthum S. racemosum 0,12 positif

S. pycnanthum V. grandiflora 0,05 negatif

S. racemosum V. grandiflora 0,01 negatif

Tingkat Semai

S. pycnanthum S. racemosum 0,12 positif

S. pycnanthum M. cordata 0,02 negatif

Bambu dan Semai

B. blumeana S. pycnanthum 0,17 positif

Bambu dan Pancang

B. blumeana S. pycnanthum 0,17 positif

B. blumeana S. racemosum 0,16 positif

Bambu dan Tiang

B. blumeana S. racemosum 0,08 positif

Bambu dan Pohon

B. vulgaris S. littorale 0,08 positif

S. iraten S. cumini 0,08 positif

Asosiasi positif mengindikasikan bahwa terdapat kondisi yang saling menguntungkan bagi salah satu atau kedua spesies yang hidup pada lokasi yang sama. Bentuk asosiasi yang bersifat negatif mengindikasikan adanya kondisi yang merugikan bagi salah satu atau kedua spesies yang hidup secara bersaman.

Pasangan spesies S. pycnanthum dan S. racemosum selalu berasosiasi positif pada semua strata pertumbuhannya dari tingkat semai hingga tingkat pohon. Nilai indeks asosiasi keduanya memiliki nilai tertinggi pada tingkat tiang, yaitu sebesar 0,14. Walaupun nilainya sangat kecil, namun hal ini memperkuat dugaan adanya asosiasi positif antara keduanya. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan kedua spesies ini sering dijumpai secara

(22)

bersamaan pada lokasi yang sama. Bahkan keduanya dapat dijumpai tumbuh berdekatan dengan rumpun bambu. Hal ini juga diperkuat dari hasil analisis asosiasinya yang menunjukkan kedua spesies ini berasosiasi positif dengan Bambusa blumeana yang merupakan bambu dominan di TWA Gunung Baung. 5.6. Kondisi Lingkungan Fisik Tempat Tumbuh Syzygium

Karakter kondisi lingkungan fisik tempat tumbuh tiap-tiap Syzygium dicoba didekati dengan mendeskripsikan ciri-ciri terukur dari kondisi lingkungan fisiknya. Karakter kondisi lingkungan fisik meliputi intensitas cahaya, suhu udara, kelembaban udara, pH tanah, kelembaban tanah, kelerengan dan ketinggian tempat. Kondisi faktor lingkungan tersebut secara lengkap ditampilkan dalam Tabel 11.

Tabel 11 Kondisi parameter lingkungan fisik perjumpaan tiap spesies Syzygium (nilai rata-rata) Parameter kondisi lingkungan S y zy gi u m c u m in i S y zy gi u m li tt or al e S y zy gi u m pol y an th u m S y zy gi u m py c n an th u m S y zy gi u m rac em os u m S y zy gi u m sam ar an ge n se

Intensitas cahaya (lux) 3259,00 3013,42 1908,60 2810,45 3014,30 1298,00 Suhu udara (oC) 30,43 29,73 29,02 29,60 29,93 31,80 Kelembaban udara (% ) 82,67 84,33 82,60 79,50 79,19 60,00 pH tanah 6,20 5,73 6,12 5,82 5,80 5,30 Kelembahan tanah (% ) 96,67 91,67 98,00 95,73 96,48 100,00 Kelerengan (%) 19,00 15,00 28,00 34,91 40,50 14,00 Ketinggian tempat (m dpl) 333,00 323,42 396,20 383,49 386,37 326,00

Secara umum nilai rata-rata dari parameter kondisi lingkungan fisik untuk setiap spesies Syzygium relatif sama. Namun demikian terdapat beberapa nilai parameter yang terlihat berbeda, yaitu intensitas cahaya, suhu udara dan kelerengan. Nilai rata-rata intensitas cahaya untuk S. polyanthum dan S. samarangense lebih kecil dibandingkan dengan spesies lainnya (< 2000 lux). Spesies-spesies lainnya memiliki nilai rata-rata mendekati 3000 lux. Hal ini menunjukkan bahwa kedua spesies ini tumbuh pada tempat-tempat yang ternaungi atau pada kondisi yang lebih sedikit mendapatkan cahaya matahari. Sementara spesies lainnya tumbuh pada tempat-tempat yang lebih terbuka.

(23)

Suhu udara lingkungan S. samarangense memiliki nilai yang paling tinggi (31,80 oC) dibandingkan spesies lainnya. Dengan nilai kelembaban udara yang hanya sebesar 60%, mengindikasikan bahwa kondisi tempat tumbuh untuk spesies ini lebih kering dibandingkan dengan spesies Syzygium lainya. Namun demikian, perlu diketahui bahwa nilai ini berasal dari hanya satu petak pengamatan dimana S. samarangense dijumpai.

Berdasarkan kriteria pengelompokan kelerengan tempat (Hardjowigeno 2010), kondisi tempat tumbuh Syzygium terbagi menjadi tiga kategori. S. samarangense memiliki karakter tempat tumbuh dengan tipe kelerengan agak miring/bergelombang dengan nilai berkisar 8-15%. Kondisi tempat tumbuh S. cumini, S. littorale, dan S. polyanthum termasuk ke dalam kriteria kelerengan miring atau berbukit dengan nilai 15-30%. S. pycnanthum dan S. racemosum tumbuh pada tempat-tempat dengan kelerengan agak curam, dimana nilainya berkisar antara 30-45%.

Dengan menggunakan analisis pengelompokan (analisis klaster) diketahui bahwa terdapat kemiripan antara beberapa kondisi lingkungan fisik tempat tumbuh Syzygium. Terdapat dua kelompok kondisi lingkungan yang hampir serupa, yaitu kelompok S. littorale - S. racemosum - S. pycnanthum – S. cumini, dan kelompok S. polyanthum - S. samarangense (Gambar 17).

Sebagai pembanding, dilakukan pula analisis klaster dengan memasukkan nilai rata-rata dari seluruh data kondisi lingkungan fisik Syzygium. Data ini berisi seluruh data lingkungan fisik Syzygium yang dijumpai di lokasi penelitian (Gambar 18).

Dendogram pada Gambar 18 membentuk dua klaster yaitu: klaster Syzygium- S. pycnanthum- S. racemosum- S. polyanthum- S. cumini- S. littorale dan klaster S. samarangense. Dalam klaster pertama terlihat bahwa bahwa S. pycnanthum dan S. racemosum memiliki karakter lingkungan fisik tempat tumbuh yang lebih mirip dengan kondisi lingkungan Syzygium secara umum. S. samarangense terlihat membentuk klaster yang terpisah dengan spesies lainnya. Hal ini dapat diartikan bahwa karakter lingkungan fisik S. pycnanthum dan S. racemosum lebih lebar dibandingkan dengan spesies lainnya, sedangkan S. samarangense memiliki karakter lingkungan yang lebih sempit dan spesifik. Hal

(24)

ini terlihat dari kondisi tingkat nilai kesamaan lingkungan fisiknya (85,43% untuk S. pycnanthum dan S. racemosum dan 19,87% untuk S. samarangense).

Gambar 17 Dendogram kesamaan karakter fisik lingkungan tempat tumbuh Syzygium (Keterangan: 1. S. cumini; 2. S. littorale; 3. S. polyanthum; 4.

S. pycnanthum; 5. S. racemosum; 6. S. samarangense)

Gambar 18 Dendogram kesamaan karakter fisik lingkungan tempat tumbuh Syzygium dengan memasukkan karakter Syzygium secara keseluruhan (Keterangan: 1. Syzygium; 2. S. cumini; 3. S. littorale; 4. S.

polyanthum; 5. S. pycnanthum; 6. S. racemosum; 7. S. samarangense)

5.7. Kondisi Lingkungan Biotik Tempat Tumbuh Syzygium

Karakter kondisi lingkungan biotik tempat tumbuh tiap-tiap Syzygium dicoba didekati dengan mendeskripsikan ciri-ciri terukur dari kondisi lingkungan biotiknya. Dalam hal ini kondisi lingkungan biotik Syzygium didekati dengan kondisi vegetasi yang tumbuh pada lokasi perjumpaan tiap-tiap spesies Syzygium. Kondisi lingkungan biotik yang diamati meliputi: jumlah spesies semai, jumlah individu semai, jumlah spesies pancang, jumlah individu pancang, jumlah spesies tiang, jumlah individu tiang, jumlah spesies pohon, jumlah individu pohon,

Spesies Syzygium S im ila ri t y 6 3 4 5 2 1 54.01 69.34 84.67 100.00 Spesies Syzygium S im ila ri ty 7 3 2 4 6 5 1 19.87 46.58 73.29 100.00

(25)

jumlah spesies bambu, jumlah rumpun bambu, dan luas rumpun bambu. Kondisi faktor lingkungan tersebut secara lengkap ditampilkan dalam tabel 12.

Nilai rata-rata parameter lingkungan biotik pada tiap petak pengamatan untuk setiap spesies Syzygium relatif seragam. Berdasarkan data pada Tabel 12, terdapat beberapa parameter biotik yang memiliki nilai yang cukup berbeda antara spesies. Parameter tersebut adalah: jumlah individu semai, jumlah individu pancang dan luas rumpun bambu.

Tabel 12 Kondisi parameter lingkungan biotik perjumpaan tiap spesies Syzygium (nilai rata-rata pada tiap petak pengamatan)

Parameter kondisi lingkungan S y zy gi u m c u m in i S y zy gi u m li tt or al e S y zy gi u m pol y an th u m S y zy gi u m py c n an th u m S y zy gi u m rac em os u m S y zy gi u m sam ar an ge n se

Jumlah spesies semai 7,00 6,67 6,00 6,03 5,59 3,00 Jumlah individu semai 48,67 51,25 14,20 25,45 17,87 33,00 Jumlah spesies pancang 4,00 3,42 4,40 3,40 3,39 2,00 Jumlah individu pancang 33,00 4,75 7,40 7,21 4,85 2,00 Jumlah spesies tiang 2,00 3,25 1,40 1,71 1,48 1,00 Jumlah individu tiang 2,00 3,92 1,40 2,30 1,74 5,00 Jumlah spesies pohon 2,33 4,58 3,40 3,28 2,30 6,00 Jumlah individu pohon 3,00 5,83 5,40 4,23 3,17 9,00 Jumlah spesies bambu 1,00 0,58 1,00 0,75 0,89 0,00 Jumlah rumpun bambu 4,33 1,00 3,20 2,40 3,26 0,00 Luas rumpun bambu (m2) 8,61 3,00 13,03 9,95 13,73 0,00

Hasil analisis klaster yang dilakukan terhadap parameter lingkungan biotik bagi setiap spesies Syzygium menghasilkan tiga klaster, yaitu: klaster pertama terdiri atas S. polyanthum - S.racemosum - S.pycnanthum - S. samarangense; klaster kedua S.littorale; dan klaster ketiga S. cumini (Gambar 19).

Jika memasukkan nilai rata-rata parameter lingkungan biotik untuk keseluruhan Syzygium dalam analisis klaster, maka terlihat bahwa kondisi lingkungan biotik yang paling mirip adalah antara S. polyanthum dan S. racemosum. Bersama dengan S. pycnanthum, kedua spesies tersebut memiliki nilai kemiripan yang paling tinggi terhadap kondisi lingkungan biotik Syzygium secara keseluruhan dibandingkan spesies lainnya (Gambar 20). Hasil analisis per

(26)

spesies menunjukkan bahwa ketiga spesies tersebut berada dalam satu klaster yang sama. Spesies Syzygium S im il a ri ty 6 4 5 3 2 1 31.99 54.66 77.33 100.00

Gambar 19 Dendogram kesamaan karakter lingkungan biotik tempat tumbuh Syzygium (Keterangan: 1. S. cumini; 2. S. littorale; 3. S. polyanthum; 4.

S. pycnanthum; 5. S. racemosum; 6. S. samarangense)

Spesies Syzygium S im ila ri ty 2 3 7 6 4 5 1 33.25 55.50 77.75 100.00

Gambar 20 Dendogram kesamaan karakter lingkungan biotik tempat tumbuh Syzygium dengan memasukkan karakter Syzygium secara keseluruhan. (Keterangan: 1. Syzygium; 2. S. cumini; 3. S. littorale; 4. S.

polyanthum; 5. S. pycnanthum; 6. S. racemosum; 7. S. samarangense)

5.8. Karakter Lingkungan Tempat Tumbuh Syzygium

Jika dikelompokkan berdasar jumlah petak perjumpaan pada tiap blok lokasi pengamatan, maka secara umum spesies Syzygium dijumpai paling banyak di lokasi blok 1 (Tabel 13 dan Tabel 14).

(27)

Tabel 13 Jumlah petak perjumpaan spesies Syzygium berdasarkan lokasi blok pengamatan

Spesies Blok 1 Blok 2 Blok 3 Blok 4 Blok 5

S. cumini 0 1 2 0 0 S. littorale 0 0 10 0 2 S. polyanthum 4 1 0 0 0 S. pycnanthum 28 21 19 0 12 S. racemosum 23 7 6 1 7 S. samarangense 0 0 1 0 0

Jumlah petak Syzygium 55 30 38 1 21

Jumlah spesies Syzygium 3 4 5 1 3

Tabel 14 Jumlah individu Syzygium berdasarkan lokasi blok pengamatan

Spesies Blok 1 Blok 2 Blok 3 Blok 4 Blok 5 Total

S. cumini 0 3 3 0 0 6 S. littorale 0 0 16 0 2 18 S. polyanthum 6 1 0 0 0 7 S. pycnanthum 80 84 46 0 25 235 S. racemosum 39 10 7 1 10 67 S. samarangense 0 0 1 0 0 1

Jumlah individu Syzygium 125 98 73 1 37 334

Jumlah spesies Syzygium 3 4 5 1 3

Terlihat bahwa pada lokasi blok 3 dijumpai 5 spesies Syzygium dari 6 spesies yang tercatat di seluruh lokasi penelitian. Hal ini dapat menunjukkan bahwa lokasi ini kemungkinan memang sesuai sebagai habitat alami dari Syzygium di TWA Gunung Baung. Kondisi lingkungan fisik pada kelima lokasi blok pengamatan memiliki nilai yang relatif sama dan hanya faktor ketinggian tempat yang terlihat berbeda pada setiap lokasi (Gambar 21).

(28)

Gambar 21 Kondisi lingkungan fisik pada blok pengamatan Syzygium di TWA Gunung Baung

Hasil analisis klaster yang dilakukan terhadap kondisi lingkungan kelima blok pengamatan tersebut menunjukkan bahwa setidaknya terdapat tiga pengelompokan kondisi habitat (Gambar 22). Klaster pertama terdiri atas blok 2, 3 dan 5, klaster kedua adalah blok 1 dan klaster ketiga adalah blok 4. Karakter kondisi lingkungan yang dibandingkan meliputi nilai rata-rata dari kondisi lingkungan fisik dan biotiknya yang berupa komponen vegetasinya. Karakter-karakter tersebut meliputi: (1) luas bidang dasar rumpun bambu, (2) jumlah spesies bambu, (3) jumlah rumpun bambu, (4) jumlah individu semai, (5) jumlah spesies semai, (6) jumlah individu pancang, (7) jumlah spesies pancang, (8) jumlah individu tiang, (9) jumlah spesies tiang, (10) jumlah individu pohon, (11) jumlah spesies pohon, (12) intensitas cahaya, (13) suhu udara, (14) kelembaban udara, (15) pH tanah, (16) kelembaban tanah, (17) kelerengan lahan, dan (18) ketinggian tempat (altitude).

Kondisi lingkungan blok 3 dan 5 memiliki kondisi yang paling mirip. Keduanya membentuk satu kondisi yang serupa dengan lingkungan blok 2. Pada ketiga lokasi ini dijumpai kondisi lingkungan yang berupa tegakan-tegakan pohon dengan lebih sedikit kehadiran bambu dibandingkan dua blok lainnya. Keberadaan bambu tidak sebanyak yang dijumpai pada blok 1 (dominasi Bambusa blumeana) dan blok 4 (dominasi Schizostachyum zollingeri).

Kondisi lingkungan blok 1 sangat rapat dan didominasi oleh Bambusa blumeana, sedangkan blok 4 memiliki kondisi lingkungan yang didominasi oleh Schizostahyum zollingeri. Jika dikaitkan dengan banyaknya spesies Syzygium

(29)

yang dijumpai, maka dapat diduga bahwa kondisi lingkungan blok 3, 5 dan blok 2 merupakan kondisi yang paling sesuai sebagai tempat tumbuh alami Syzygium di TWA Gunung Baung. Hal ini diketahui dengan banyaknya spesies Syzygium yang dijumpai di ketiga lokasi tersebut. Meskipun demikian kondisi lingkungan pada blok 1 yang didominasi oleh kehadiran B. blumeana tetap dapat dijumpai keberadaan Syzygium. Dengan demikian kondisi lingkungan keempat blok pengamatan tersebut sesuai bagi kehadiran Syzygium di TWA Gunung Baung.

Lokasi Blok Pengamatan

S im ila ri ty 4 5 3 2 1 62.20 74.80 87.40 100.00

Gambar 22 Dendogram klaster kondisi lingkungan blok pengamatan Syzygium Kondisi lingkungan yang banyak dijumpai Syzygium tersebut dicirikan dengan ketinggian tempat berkisar antara 300 – 450 mdpl dengan kondisi kelerengan miring berbukit hingga agak curam (21-39%) serta penutupan tajuk yang rapat hingga terbuka. Kondisi vegetasinya dicirikan dengan sedikit dijumpai rumpun bambu hingga yang didominasi oleh kehadiran B. blumeana.

Hasil analisis klaster yang dilakukan terhadap kondisi petak pengamatan yang di dalamnya dijumpai Syzygium menunjukkan pula pola pengelompokan tertentu. Dengan menggunakan karakter kondisi lingkungan yang sama (fisik dan biotik) seperti pada analisis klaster terhadap lokasi blok pengamatan, hasilnya ditampilkan dalam gambar 23.

Terdapat dua kelompok besar karakter kondisi lingkungan tempat tumbuh Syzygium, yaitu kelompok pertama yang terdiri atas S. littorale, S. racemosum, S. pycnanthum, dan S. cumini, serta kelompok kedua yang terdiri atas S. polyanthum dan S. samarangense. Kondisi lingkungan tempat tumbuh S. littorale dan S.

(30)

racemosum memiliki tingkat kemiripan yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Spesies Syzygium S im ila ri ty 6 3 4 5 2 1 54.01 69.34 84.67 100.00

Gambar 23 Dendogram klaster kondisi lingkungan habitat Syzygium berdasarkan pada petak pengamatan perjumpaan Syzygium (Keterangan: 1. S. cumini; 2. S. littorale; 3. S. polyanthum; 4. S. pycnanthum; 5. S.racemosum; 6. S. samarangense)

Kondisi ini sesuai dengan klaster kondisi lingkungan berdasarkan pada lokasi Blok pengamatan. Keempat spesies Syzygium yang membentuk klaster pertama (S. littorale, S. racemosum, S. pycnanthum, dan S. cumini) memang banyak terdapat di lokasi blok pengamatan 2, 3 dan 5. Dengan demikian dapatlah diduga bahwa memang karakter kondisi lingkungan tempat tumbuh spesies-spesies tersebut memang mirip. Kondisinya digambarkan dengan karakter lingkungan yang dimiliki oleh petak-petak pengamatan pada blok 2, 3 dan 5. Tempat tumbuh bagi S. polyanthum digambarkan dengan kondisi lingkungan yang terdapat pada lokasi pengamatan blok 1 dan blok 2. Sedangkan bagi S. samarangense kondisi tempat tumbuhnya adalah seperti yang tergambar pada lokasi pengamatan blok 3. Lokasi pengamatan di blok 4, meskipun terdapat sebanyak 1 petak pengamatan yang menjumpai S. racemosum, akan tetapi kondisinya tidak sesuai bagi spesies ini. Kondisi lingkungan bagi S. racemosum banyak terwakili oleh kondisi lingkungan petak-petak pengamatan yang terdapat di blok 1, 2, 3 dan 5 (Tabel 15).

(31)

Tabel 15 Kesesuaian tempat tumbuh spesies Syzygium berdasarkan pada lokasi blok pengamatannya

Spesies Blok 1 Blok 2 Blok 3 Blok 4 Blok 5

S. cumini - * * - - S. littorale - * * - * S. polyanthum * * - - - S. pycnanthum * * * - * S. racemosum * * * - * S. samarangense - - * - -

Keterangan: * kesesuaian tempat tumbuh (Nilai rata-rata kondisi lingkungan untuk setiap lokasi blok pengamatan secara lengkap disajikan dalam lampiran)

Berdasarkan pada hasil analisis klaster yang dilakukan terhadap kondisi lingkungan tempat tumbuh Syzygium, dapat diketahui bahwa kehadiran Syzygium di TWA Gunung Baung terdapat pada lokasi yang memiliki kondisi lingkungan yang relatif serupa baik kondisi fisik maupun vegetasinya, yaitu pada tempat-tempat dengan ketinggian antara 300-450 mdpl, dengan topografi berbukit pada kelerengan miring hingga agak curam, tempat yang ternaungi hingga terbuka, serta didominasi oleh bambu dari spesies B. blumeana. Syzygium tidak banyak ditemukan pada lokasi yang didominasi oleh bambu S. zollingeri.

Secara garis besar terdapat tiga karakter habitat Syzygium yang tumbuh di TWA Gunung Baung berdasarkan kondisi vegetasi dan fisik lingkungannya berkaitan dengan kesesuaian tempat tumbuhnya, yaitu:

1. Kondisi habitat yang didominasi oleh keberadan bambu Bambusa blumeana, sedikit pohon pada daerah lereng bukit. Ketinggian tempat antara 353-453 m dpl (rata-rata 403 m dpl). Spesies Syzygium yang tumbuh adalah S. pycnanthum dan S. racemosum. Vegetasi pada tingkat pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Ficus racemosa, Streblus asper, Ficus retusa, dan Tabernaemontana sphaerocarpha. Tumbuhan bawah didominasi oleh Cyathula prostata, Parameria laevigata, Rauvolfia verticilata, dan Piper cubeba. Permudaan pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Syzygium racemosum dan Tabernemontana sphaerocarpha. Kondisi ini merupakan gambaran kondisi lingkungan blok1.

2. Kondisi habitat dengan dominansi Bambusa blumeana yang tidak rapat, banyak dijumpai tempat terbuka dengan vegetasi semak dan pohon, pada lereng dan punggung bukit. Ketinggian tempat berkisar antara 269-455 m dpl

(32)

(rata-rata 374,33 m dpl). Pada tempat ini dijumpai lebih banyak Syzygium, yaitu: S. cumini, S. polyanthum, S. littorale, S. pycnanthum, S. recemosum, dan S. samarangense. Vegetasi pada tingkat pohon didominasi oleh Schoutenia ovta, S. pycnathum, Emblica officinalis, Dysoxylum gaudichaudianum, Ficus hispida dan Garuga floribunda, Microcos tomentosa dan Streblus asper. Tumbuhan bawah didominasi oleh Pennisetum purpureum, Tithonia diversifolia, Cyathula prostata, dan Mikania cordata. Permudaan pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Streblus asper, Schoutenia ovata, Lepisanthes rubiginosa dan Voacanga grandifolia. Kondisi ini merupakan gambaran kondisi lingkungan blok 2,3 dan 5.

3. Kondisi habitat dengan dominasi bambu Schizostachyum zollingeri, sedikit pohon, pada daerah lereng berbukit. Ketinggian tempat berkisar antara 236-306 m dpl (rata-rata 257,92 m dpl). Kemungkinan kecil untuk dapat menjumpai Syzygium di lokasi ini. Vegetasi pada tingkat pohon didominasi oleh Ficus hispida, Sphatodea campanulata dan Streblus asper. Tumbuhan bawah didominasi oleh Mikania cordata dan Tithonia diversifolia. Permudaan pohon yang mendominasi adalah Streblus asper. Kondisi ini merupakan gambaran kondisi lingkungan blok 4.

5.9. Kondisi Tanah

Berdasarkan pada peta jenis tanah yang ada, diketahui bahwa kawasan Gunung Baung tersusun atas dua jenis tanah yang berbeda. Bagian timur kawasan termasuk ke dalam jenis tanah Latosol coklat kemerahan, dan bagian Barat termasuk ke dalam jenis tanah Mediteran kemerahan dengan kedalaman tanah berkisar antara 60-90 cm. (BKSDA Jawa Timur 2011).

Tanah latosol termasuk ke dalam kelompok tanah vulkanik yang terbentuk dari pelapukan dari abu vulkanik. Tanah latosol memiliki ciri antara lain mengandung kadar liat > 60%, remah sampai gumpal, gembur dengan warna yang seragam, memiliki solum yang dalam namun dengan batas horizon tanah yang tidak jelas, serta memiliki nilai kejenuhan basa < 50%. Umumnya tanah latosol adalah tanah subur sehingga cocok untuk kegiatan pertanian intensif.

Tanah mediteran termasuk ke dalam kelompok tanah kapur yang terbentuk dari pelapukan batu kapur dan batuan sedimen. Umumnya tanah ini bersifat tidak

(33)

subur. Tanah mediteran memiliki karakter yang serupa dengan tanah podsolik, yaitu memiliki horizon penimbunan liat (horizon argilik) dengan nilai kejenuhan basa > 50% (Hardjowigeno 2010).

Keberadaan Syzygium di TWA Gunung Baung ternyata tidak dipengaruhi oleh jenis tanah yang ada. Syzygium dijumpai tumbuh pada lokasi dengan kedua jenis tanah baik latosol maupun mediteran. Meskipun demikian, dari 5 lokasi blok pengamatan ternyata Syzygium lebih banyak dijumpai pada blok yang terdapat di lokasi dengan jenis tanah latosol (blok 1 dan blok 2). Total individu Syzygium yang tercatat di kedua blok tersebut sebanyak 223 individu. Sedangkan pada 3 blok lainnya (Blok 3, 4 dan 5) yang terletak pada lokasi dengan jenis tanah mediteran jumlah total individu Syzygium yang tercatat sebanyak 111 individu.

Dengan hasil ini dapat diduga bahwa Syzygium lebih banyak dijumpai pada lokasi-lokasi yang memiliki kesuburan tanah yang baik. Berdasarkan jenis tanahnya, maka keberadaan Syzygium di TWA Gunung Baung lebih banyak dijumpai pada lokasi dengan jenis tanah latosol dari pada lokasi yang memiliki jenis tanah mediteran.

Sifat kimia tanah pada setiap lokasi blok pengamatan umumnya relatif sama (Gambar 24). Nilai kandungan bahan organik serta kandungan liat yang terlihat berbeda di antara keduanya. Kandungan bahan organik lapisan tanah atas lebih tinggi (1,49%) dibandingkan lapisan tanah bawah (0,69%). Kandungan liat pada lapisan tanah bawah lebih tinggi (50,00%) dibandingkan lapisan tanah atas (36,40%).

Tekstur tanah bervariasi dari lempung berpasir, lempung, lempung berdebu, lempung berliat, lempung liat berdebu, liat berdebu, dan liat (berurut dari tekstur kasar ke tekstur halus). Tekstur tanah menunjukkan tingkat kasar atau halusnya tanah dari fraksi tanah halus (< 2 mm). Dari sampel yang diambil yang paling banyak dijumpai adalah tanah dengan tekstur liat (7 sampel dari 19 sampel yang dianalisis).

(34)

Gambar 24 Kondisi kimia tanah pada tiap blok pengamatan di TWA Gunung Baung

Tanah dengan tekstur liat memiliki luas penampang permukaan yang lebih besar sehingga memiliki kemampuan untuk menahan air dan menyediakan unsur hara yang lebih baik dibandingkan dengan tanah yang bertekstur pasir. Kemampuan ini dikarenakan sifatnya yang lebih aktif dalam reaksi kimia. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tukar kationnya. Tanah bertekstur liat umumnya memiliki nilai KTK (kapasitas tukar kation) yang tinggi. Kemampuan KTK dari sampel tanah yang diambil juga menunjukkan kategori yang sedang – sangat tinggi dengan nilai KTK 18,59 – 51,13 (Hardjowigeno 2010). Berdasarkan sifat ini maka tanah di lokasi penelitian memiliki kemampuan yang baik dalam pengikatan air serta penyediaan unsur hara bagi pertumbuhan vegetasi yang ada.

Nilai pH tanah hasil pengukuran di lapangan berkisar antara 4,2 sampai dengan 7,1. Nilai rata-ratanya berkisar antara 5,3 – 6,2. Sifat pH tanah secara umum masuk dalam kategori masam-agak masam. Hardjowigeno (2010) mengemukakan bahwa umumnya tanah di Indonesia bereaksi masam dengan pH 4,0 - 5,5 untuk itu tanah dengan pH 6,0-6,5 sudah dikatakan cukup netral.

Beberapa nilai kandungan kimia tanah yang dianalisis dibandingkan dengan kriteria penilaian sifat kimia tanah berdasarkan Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (2010). Persentase kandungan C dan N termasuk ke dalam kategori rendah sampai dengan sedang. Nilai C/N termasuk ke dalam kategori rendah (rata-rata 7,47). Hal ini mengindikasikan bahwa tanah mengandung bahan organik halus. Bahan organik halus tersusun atas hancuran

(35)

bahan organik kasar serta senyawa lainnya yang terbentuk akibat kegiatan mikroorganisme tanah. Bahan organik halus sering pula disebut dengan humus. Humus merupakan senyawa yang tidak mudah hancur serta memiliki kemampuan untuk menahan air dan unsur hara. Humus termasuk ke dalam koloid organik tanah. Koloid tanah adalah bahan mineral dan bahan organik tanah yang sangat halus sehingga mempunyai luas permukaan yang sangat tinggi per satuan beratnya.

Sifat koloid tanah akan berkaitan dengan kemampuan tukar kationnya. Humus memiliki KTK yang tinggi jika dibandingkan dengan mineral liat. Hasil analisis tanah yang dilakukan menujukan bahwa nilai KTK umumnya tinggi (rata-rata 32,14 me/100g). Tanah dengan KTK yang tinggi dapat mengindikasikan kesuburan tanah yang baik apabila didominasi oleh kation basa berupa Ca, Mg, K, dan Na, atau dengan kata lain memiliki sifat kejenuhan basa yang tinggi. Nilai rata-rata tingkat kejenuhan basa (KB) di lokasi penelitian sebesar 42,26% (termasuk ke dalam kategori sedang).

Kandungan K termasuk dalam kategori tinggi, dengan nilai rata-rata sebesar 0,88. Rata-rata kandungan P sebesar 0,81, tergolong ke dalam kriteria sangat rendah. Kategori kandungan Na, Ca dan Mg rata-rata masuk dalam kategori sedang sampai sangat tinggi. Kandungan K,Ca, Na dan Mg menunjukkan nilai yang tinggi.

Berdasarkan pada kondisi tanah di lokasi penelitian, maka dapat dikatakan bahwa kemampuan tanah untuk menyediakan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman cukup baik. Hal ini dapat tergambar dari sifat tekstur tanah, nilai KTK, kejenuhan basa, dan kandungan hara makro lainnya. Lokasi Blok 2, 3 dan 5 sebagai lokasi yang paling banyak dijumpai spesies Syzygium menunjukan nilai sifat kimia dan fisik tanah yang serupa dengan blok 1 dan 4. Data lengkap mengenai hasil analisis sifat kimia tanah ditampilkan dalam lampiran.

Nilai C/N rasio dan KTK dapat menjadi indikasi kesuburan tanah. Nilai C/N rasio pada semua lokasi blok pengamatan menunjukkan nilai yang rendah. Sedangkan nilai KTK-nya menunjukan hasil yang tinggi pada semua lokasi blok pengamatan. Kedua nilai ini mengindikasikan bahwa kemampuan tanah untuk menyediakan hara bagi tanaman cukup baik di semua lokasi. Jika dikaitkan

Gambar

Tabel    3      Indeks  Nilai  Penting  (INP)  &gt;10%  dari  spesies  tumbuhan  pada  setiap  strata/habitus di Gunung Baung, Jawa Timur
Gambar 9  Bunga (a), buah (b), dan perawakan pohon Syzygium cumini (c)  5.2.2. Syzygium littorale (Blume) Amshoff
Gambar  10  Bunga  (a),  kuncup  bunga  dan  daun  (b),  dan  perawakan  pohon          Syzygium littorale (c)
Gambar 11  Bunga (a), daun (b), dan perawakan pohon Syzygium polyanthum (c)
+7

Referensi

Dokumen terkait

1. Ponco Dewi, MM., selaku dosen pembimbing I yang bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan nasehat, bimbingan dan pengarahan dalam penyelesaian skripsi ini. Roni

(1) Asisten Sekretaris Daerah atas nama Bupati menandatangani naskah dinas dalam bentuk dan susunan surat yang materinya merupakan penjelasan atau petunjuk pelaksanaan dari

Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis

Untuk menambahkan aplikasi ke layar Depan, sentuh dan tahan aplikasi tersebut sampai muncul layar Depan, kemudian geser aplikasi tersebut ke lokasi yang diinginkan1. Untuk

Alasan mengapa kepuasan tidak berpegaruh signifikan terhadap minat muzakki dalam menyalurkan zakat malnya kepada BAZNAS Kabupaten Pasuruan karena muzakki di Kabupaten

Mahasiswa semester IV Program Pendidikan Bahasa Arab Jurusan Pendidikan Bahasa Asing FPBS UPI dapat menyebutkan kembali dekripsi mata kuliah, tujuan, dan ruang lingkup

Bapak Sutan Syahrir Zabda selaku Pembimbing I yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi, sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik.. Bapak Achmad Muhibbin

Willem Iskandar Pasar V Medan Estate Medan 20221 Telp.. Ketua‐ketua  LPMP:  Nangroe  Aceh  Darussalam,