• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN KECERDASAN INTERPERSONAL: BELAJAR PADA PRAKTIK PEDAGOGIS NABI SAW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN KECERDASAN INTERPERSONAL: BELAJAR PADA PRAKTIK PEDAGOGIS NABI SAW"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN KECERDASAN

INTERPERSONAL: BELAJAR PADA PRAKTIK

PEDAGOGIS NABI SAW

Abdul Wahid

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep

awihasan@gmail.com

Abstrak

Untuk mencapai kenyamanan dan kesuksesan dalam menjalani kehidupan, manusia dituntut untuk bisa berinteraksi dengan manusia yang lain secara baik dan proporsional. Sebab keberadaan satu orang manusia tidak akan pernah bisa dilepaskan dari keberadaan orang lain di sekitarnya. Mereka saling membutuhkan. Sekaya dan dan setinggi apapun jabatan yang diraih, ia tetap akan membutuhkan bahkan bergantung pada orang lain di luar dirinya. Maka persoalan mengatur hubungan antara diri dan orang lain (the other) menjadi sagat urgen. Dan ini perlu ditanamkan dan diajarkan pada anak-anak sejak mereka masih kecil. Dalam konteks ini, praktik pedagogis yang pernah dicontohkan oleh Nabi saw. bisa dijadikan contoh untuk selanjutnya dikembangkan sesuai dengan keadaan dan tingkat kemampuan anak untuk mencerna.

Kata Kunci: pendidikan, kecerdasan intrapersonal, pedagogis nabi.

Pendahuluan

Pada dasarnya, setiap manusia dibahagiakan dan ‘dibesarkan’ oleh orang lain, terutama oleh mereka yang berada di sekitarnya. Ia menjadi kaya, karena orang-orang di sekitarnya hidup dalam kemiskinan. Ia menjadi orang yang pandai karena orang-orang di sekitarnya bodoh. Ia menjadi ganteng, cantik, gagah, berpangkat, dan lain-lain, tidak bisa dilepaskan dari jasa orang-orang di sekitarnya yang berperan sebagai timbangan dan barometer keberadaan dirinya.

(2)

Kebergantungan manusia pada manusia yang lain inilah yang pada hakikatnya merupakan watak dasar kemanusiaan: ia tidak akan pernah bisa merasakan kebahagiaan yang sesugguhnya jika hidup sendirian. Ia tidak akan pernah bisa hidup dengan sempurna tanpa memiliki hubungan dengan orang lain. Dalam konteks yang lebih luas, ‚hubungan‛ bisa diartikan sebagai hubungan ekonomis, psikologis, teologis, ideologis, politis, bahkan biologis.

Pada saat Nabi Adam berada di surga, dengan kebebasan bisa menikmati segala fasilitas yang ada di sana, ia merasa ‘kesepian’ sebab tidak ada orang yang bisa menemani ‘kebahagiaan’ yang beliau rasakan. Beliau gelisah karena naluri kemanusiaan untuk bisa berhubungan dengan sesamanya tidak terpenuhi. Diciptakanlah Hawa sebagai ‘temannya’ yang dengannya-lah ia bisa melakukan hubungan dalam berbagai hal.

Dari sinilah kemudian seringkali ditegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang tidak akan tahan hidup sendirian. Dalam al-Qur’an, pada surat yang pertama kali diturunkan, Allah menegaskan bahwa ‚Dia telah menciptakan manusia dari al-‘alaq.

(Qs. Al-‘Alaq: 2). Secara harfiyah, kata ‘alaq memiliki arti ‚keberhubungan‛, ‚kebergantungan‛ dan lain-lain. Dalam kamus al-Munawwir al-‘alaq diartikan sebagai ‚sesuatu yang digantungkan‛. Walaupun demikian, terjemahan yang paling populer adalah:

segumpal darah (ada juga yang menerjemahkan: dari embrio.1

1 Lihat misalnya di The Wisdom al-Quran al-Karim, (Bandung: Mizan: Mei

(3)

Karena watak dasar manusia yang sangat bergantung kepada yang lain, di luar dirinya sendiri, maka Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang tidak sama. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga watak dasar dari kebergantungan pada yang lain ini menjadi saling terpenuhi. Ada orang yang wajahnya jelek, tapi kaya dan pandai. Ada yang jelek, miskin, bodoh, tapi tubuhnya kekar dan kuat. Ada yang ganteng, cantik, kaya, berkedudukan tinggi, tetapi bodoh. Dan seterusnya. Masing-masing mereka tidak ada yang ‘sempurna’ sehingga membutuhkan keberadaan orang lain, paling tidak untuk kepentingan apa yang tidak ia miliki, mempertahankan apa yang dimiliki, atau melengkapi hal-hal yang sudah ia miliki.

Permasalahan yang seringkali muncul adalah pada saat seseorang sudah menjadi kaya, berpangkat berkedudukan tinggi, pandai, dan lain-lain, ia menjadi lupa pada peran dan jasa orang-orang yang berada di sekitarnya, yang secara langsung atau tidak, telah menyebabkan ia menjadi kaya, berpangkat, pandai, dan lain-lain. Ia cenderung meremehkan bahkan menghinakan orang lain yang secara ekonomi, jabatan, bentuk fisik atau nasab berada di bawahnya.

Dari sini kemudian menjadi penting untuk meningkatkan kualitas kecerdasan interpersonal dalam diri sehingga selanjutnya bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain secara elegan, terhormat, proporsional, dan kesatria. Dan untuk kepentingan selanjutnya, kita juga perlau menanamkan dan mengembangkan kecerdasan interpersonal ini pada anak-anak kita sedini mungkin. Dengan demikian, potensi kecerdasan interpersonal yang sebenarnya sudah buil-in dalam diri setiap anak—sebagai makhluk sosial—bisa

(4)

lebih berkembang secara baik dan optimal. Salah satu tokoh penting pendidikan yang bisa diteladani dalam hal ini ada Nabi Muhammad saw.

Berkenalan dengan Kecerdasan Interpersonal.

Karena manusia tidak bisa pernah lepas dari keberadaan dan peran orang-orang di sekitarnya, atau orang lain secara umum, maka menjalin komunikasi dan berinteraksi secara baik dengan mereka merupakah hal penting dan mendasar yang mesti diperhatikan, untuk selanjutya dikembangkan secara maksimal. Dibutuhkan satu macam kapasitas, kemampuan, atau ‘kecerdasan’ untuk bisa melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah kecerdasan interpersonal atau kecerdasan sosial.

Isitilah kecerdasan interpersonal ini bermula dari gagasan Howard Gardner, tentang beragam kecerdasan yang dimiliki manusia. Ia sepertinya ingin menegaskan bahwa setiap anak memiliki atau membawa potensi kecerdasan. Dengan kata lain, setiap anak adalah cerdas. Cuma kecerdasan yang dimiliki bentuknya beragam.

Gagasan tentag adanya ragam kecerdasan ini—termasuk kecerdasan lain seperti emotional quotion-nya Daniel Goleman, atau

Spiritual Quotion-nya Danah Zohar dan Ian Marshal—‘mendobrak’ pandangan umum bahwa selama ini yang dimaksud orang cerdas adalah ‘cerdas matematis’, cerdas rapor, menguasai berbagai disiplin ilmu, cepat hafal saat menghafalkan dan lain-lain yang semuanya lebih dekat pada kecerdasan intelektual.

Gardner mempopulerkan konsep ragam kecerdasan dangan istilah Multiple Intelligences (MI). Menurutnya ada sembilan jenis

(5)

kecerdasan dalam diri anak yang bisa diidentifikasi, yaitu kecerdasan linguistik, logika-matematika, intrapersonal, interpersonal, musical, visual-spasial, kinestetik, naturalis, dan eksistensial.

Howard Gardner memahami bahwa yang disebut dengan kecerdasan harus mempunyai beberapa kemampuan sebagai berikut:

1. Kemampuan untuk memecahkan suatu masalah.

2. Kemampuan untuk menciptakan suatu masalah baru untuk dipecahkan.

3. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan suatu pelayanan yang berharga dalam suatu kebudayaan masyarakat.2

Jika dirujuk ke dalam Bahasa Inggris, kata interpersonal terdiri dari kata inter dan person. Inter berarti antara, person berarti diri, pribadi, orang. Personal berarti bersifat pribadi; perseorangan. Dengan demikian, secara asal kata, interpersonal berarti: antar pribadi atau antar orang.3

Karena titik tekan kecerdasan ini mengarah pada adanya hubungan yang harmonis dan empatik dengan manusia yang lain, maka kecerdasan interpersonal ini juga sering disebut sebagai kecerdasan sosial. Buku-buku yang lahir sebelum adanya gagasan Gardner tersebut masih menyebut istilah ‚pendidikan sosial‛ (

al-Tarbiyah al-Ijtimâ’iyah) sebagai upaya untuk mengembangkan

kecerdasan sosial. Misalnya buku Tarbiyat al-Awlâd-nya Abdullah

2 Suyadi, Anak yang Menakjubkan (Yogyakarta: Diva Press, 2009), 25. 3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 193. Bisa juga dilihat di Kamus Ilmiah Populer, karya Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry (Surabaya: Arkola, 1994), 265, 591.

(6)

Nashih Ulwan, atau Manhaj al-Tarbawi li al-Thifl-nya Nur Abdul Hafidh Swaid.

Beragam definisi disampaikan oleh berbagai kalangan tentang kecerdasan interpersonal ini. Gardner sendiri menjelaskan bahwa Interpersonal Intelligence (Kecerdasan Interpresonal) adalah (1) kemampuan atas pemahaman perasaan orang lain (empati); (2) kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain; (3) pemahaman akan perilaku; (4) pemahaman akan komunikasi; (5) pemahaman hubungan antara seseorang dengan situasi di sekitarnya; (5) kemampuan untuk mengekspresikan perasaannya lewat body language; dan (6) interpretasi mood seseorang lewat raut wajahnya4

T. Safira mengartikan Kecerdasan interpersonal sebagai kemampuan dan keterampilan seseorang dalam menciptakan atau membangun relasi dan mempertahankan relasi sosialnya sehingga kedua belah pihak berada dalam situasi menang-menang atau menguntungkan.5

Prasetyo dan Andriani memberikan penjelasan tentang kecerdasan interpersonal sebagai kapasitas seseorang untuk memahami maksud, keinginan serta motivasi dari orang lain.

May Lwin memberikan pengertian kecerdasan interpersonal sebagai sebagai kemampuan untuk berhubungan dengan orang-orang di sekitar kita. Kecerdasan ini adalah kemampuan untuk memahami dan memperkirakan perasaan, temperamen, suasana hati, maksud dan

4 M. Saufi, M. Royani, ‚Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Dan

Kepercayaan Diri Siswa Melalui Efektivitas Model‛, Math Didactic: Jurnal Pendidikan Matematika, Vol. 2, No. 2, Mei - Agustus 2016, 110

5T. Safaria, Interpersonal Intelligence: Metode Pengembangan Kecerdasan Interpersonal Anak (Yogyakarta: Amara Books, 2005), 23.

(7)

keinginan orang lain dan menanggapinya secara layak. Kecerdasan ini memungkinkan kita untuk membangun hubungan dengan masyarakat.6

Jika diperhatikan berbagai definisi yang disampaikan oleh pakarnya (Howard Gardner) dan orang-orang lain yang berusaha menjelaskan lebih lanjut, maka pengertian kecerdasan interpersonal pada akhirnya mengarah pada satu titik temu: yaitu sejenis kemampuan untuk mengatur hubungan antara dirinya dengan orang lain yang berada di sekitarnya, sesuai dengan makna dasar dara kata inter dan person. Orang lain bisa berupa keluarga, guru, teman, tetangga, dan semua orang yang ‘bukan dirinya’. Kita lihat sebagaian saja, yang pendapat mereka.

Karakteristik Kecerdasan Interpersonal

Karena banyaknya penjelasan yang disajikan oleh pakar tentang seluk-beluk kecerdasan interpersonal, maka banyak sekali karakteristik yang mnyertai kecerdasan ini. Berikut ini adalah sebagian karakteristik kecerdasan interpersonal yang berhasil dihimpun oleh Desy Ratna Sari, dari berbagai referensi yang ada:

1. Mampu mengembangkan dan menciptakan relasi sosial baru secara efektif.

2. Mampu berempati dengan orang lain atau memahami orang lain secara total.

6May Lwin, Adam Khoo, Kenneth Lyin, dan Caroline Sim, Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan, How to Multiply Your Child’s Intelligence, ter. Cristine Sujana (Yogyakarta: PT. Indeks, 2008), 197.

(8)

3. Mampu mempertahankan relasi sosialnya secara efektif sehingga tidak musnah dimakan waktu dan senantiasa berkembang semakin intim atau mendalam atau penuh makna. 4. Mampu menyadari komunikasi verbal maupun non-verbal yang

dimunculkan orang lain, atau dengan kata lain sensitif terhadap perubahan situasi sosial dan tuntutan-tuntutannya. Sehingga anak mampu menyesuaikan dirinya secara efektif dalam segala macam situasi.

5. Mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam relasi sosialnya dengan pendekatan win-win solution, serta yang paling penting adalah mencegah munculnya masalah dalam relasi sosialnya.

6. Memiliki keterampilan komunikasi yang mencakup keterampilan mendengarkan efektif, berbicara efektif dan menulis secara efektif. Termasuk pula di dalamnya mampu menampilkan penampilan fisik (model busana) yang sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya.7

7. Mampu memecahkan konflik dalam kelompok-kelompok (penengah atau pemimpin).8

8. Mempunyai dua atau lebih teman dekat. 9. Banyak disukai teman.

10. Memberi saran kepada teman yang bermasalah. 11. Suka bermain dengan teman sebaya.9

12. Berbakat menjadi pemimpin.

7 Ibid, 25-26.

8 http://resiko buku.blogspot.com.

9 Uphe, Semua Manusia Cerdas, dalam http:// uphe.wordpress.com. 09

(9)

13. Senang mengajari anak-anak lain secara informal.10 14. Cenderung mengobrol di kelas.11

15. Aktif bersosialisasi di lingkungan rumah maupun sekolah. 16. Lebih suka berkumpul bareng teman-teman daripada tinggal

sendirian di rumah.

17. Mengenal dengan baik lingkungannya. 12

18. Ingin tahu dan mengenal orang lain dan ramah terhadap orang asing.

19. Mengalah kepada anak-anak yang lain.

20. Menggunakan bersama mainannya dan berbagi permen dengan teman- temannya. 13

Dimensi Penting Kecerdasan Interpersonal

Kecerdasan interpersonal mempunyai tiga dimensi utama yaitu a) social sensitivity b) social insight c) social communication.

1. Social Sensitivity atau sensitivitas sosial, yaitu kemampuan anak untuk mampu merasakan dan mengamati reaksi-reaksi perubahan orang lain yang ditunjukkannya baik secara verbal maupun non-verbal. Anak yang memiliki sensitivitas sosial yang tinggi akan mudah memahami dan menyadari adanya reaksi-reaksi tertentu dari orang lain, entah reaksi tersebut positif ataupun negatif.

10 Khairudin, Kecerdasan-Kecerdasan Interpersonal, dalam

http://khairudicyber.blogspot.friendster.com. 09 Februari 2020

11 Yulianti Siantayani, Setiap Anak Hakikatnya Cerdas, Kompas, 31

Januari 2004, 21.

12 Anita Hairunnisa, Let’s Be Smart: Kenali dan Kembangkan Kecerdasan Kamu Lewat Teori Multiple Intelligences (Bandung: Kaifa, 2006), 71.

(10)

2. Social Insight, yaitu kemampuan anak untuk memahami dan mencari pemecahan masalah lain yang efektif dalam suatu interaksi sosial, sehingga masalah-masalah tersebut tidak menghambat apalagi menghancurkan relasi sosial yang telah dibangun anak. Tentu saja pemecahan masalah yang ditawarkan adalah pendekatan menang-menang atau win-win solution. Di dalamnya terdapat juga kemampuan anak dalam memahami situasi sosial dan etika sosial sehingga anak mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi tersebut. Fondasi dasar dari social insight ini adalah berkembangnya kesadaran diri anak secara baik. Kesadaran diri yang berkembang ini akan membuat anak mampu memahami keadaan dirinya baik keadaan internal maupun eksternal seperti menyadari emosi-emosinya yang sedang muncul (internal) atau menyadari penampilan cara berpakaiannya sendiri, cara berbicaranya dan intonasi suaranya (eksternal).

3. Social Communication atau penguasaan keterampilan

komunikasi sosial merupakan kemampuan individu untuk menggunakan proses komunikasi dalam menjalin dan membangun hubungan interpersonal yang sehat. Dalam proses menciptakan, membangun dan mempertahankan relasi sosial, maka seseorang membutuhkan sarananya. Tentu saja sarana yang digunakan adalah melalui proses komunikasi, yang mencakup baik komunikasi verbal, non-verbal maupun komunikasi melalui penampilan fisik. Keterampilan komunikasi yang harus dikuasai adalah keterampilan

(11)

mendengarkan efektif, keterampilan berbicara efektif, keterampilan publicspeaking dan keterampilan menulis secara efektif.14

Urgensi Interpersonal untuk Kesuksesan

Sebagaimana telah ditegaskan di atas bahwa dalam menjalani kehidupan, manusia membutuhkan manusia yang lain. Semua saling membutuhkan. ‘No man is an island’ (tidak ada orang yang dapat hidup sendirian), kata sebuah pepatah. Yang kaya membutuhkan yang miskin, pejabat membutuhkan rakyat, guru membutuhkan murid, pedagang membutuhkan petani, demikian juga sebaliknya. Dalam memenuhi kebutuhannya pada orang lain ini dibutuhkan suatu kemampuan dan kapasitas yang memadai sehingga orang yang dibutuhkan bisa mendekati kita dengan secara baik, sehingga akhirnya mereka merasa sebagai orang yang berguna, dan dibutuhkan orang lain; sebuah kemampuan mengelola hubungan yang baik dengan orang lain. Dalam hal ini juga dibutuhkan pengelolaan emosi diri yang baik sehingga hubungan tersebut bisa semakin maksimal dan kontinyu. Jika ini dimiliki, maka kesuksesan dalam berbagai hal mudah kita raih.

Secara sederhana bisa dinyatakan, orang yang memiliki kecerdasan interpersonal, jika ia menjadi pedagang, maka dagangannya akan laris, bisnisnya lancar, relasinya banyak. Jika ia menjadi pemimpin maka ia akan tampil menjadi pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya, bawahannya dan staf-stafnya. Jika ia menjadi politisi, maka akan banyak pengikutnya; Jika ia menjadi guru, maka

14 Ibid, 24-25.

(12)

ia akan menjadi guru yang disenangi dan dicintai murid-muridnya; jika ia menjadi suami, ia akan menjadi suami yang dicintai oleh isterinya…demikian seterusnya. Sebab ia telah memegang satu kunci utama dalam membangun relasi dengan orang lain. Dan kesuksesan seseorang adalah sangat bergantung dari bagaimana respon dan dukungan dari orang lain.

Wareham dan Carnegie pernah menyatakan bahwa kecerdasan sosial (interpersonal) memberikan sumbangan yang besar untuk mendukung kesuksesan seseorang, karena di dalamnya terdapat aspek-aspek yang menentukan seseorang mencapai keberhasilan. Orang seperti ini tentu akan pintar menempatkan posisinya, luwes menempatkan diri, harmonis dan selaras dengan lingkungan, mampu beradaptasi dan dewasa secara emosional, terampil dalam berkomunikasi, mampu memimpin diri sendiri dan orang lain, positif terhadap orang lain, dan terampil menjual ide.15

Dale Carnegie dalam How to Win Friends and Influence People rupanya juga penya pandangan yang sama. Ia mensinyalir bahwa kemampuan hubungan personal itu lebih berpengaruh terhadap kesuksesan daripada kecerdasan otak. Hubungan personal tersebut tentu saja membutuhkan pengelolaan emosi yang baik. Jadi, pengelolaan emosi di sini menyangkut bagaimana kita bisa memahami perasaan orang lain dan mampu mengatur emosi diri kita sehingga bisa menempatkan diri dalam posisi yang tepat dalam bersikap terhadap diri sendiri maupun menghadapi orang lain.16

15Sinamo, Sukses dan Kecerdasan, Pembelajaran.com.

16 Bondan Agus Suryanto, Six Basix Energy (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),

(13)

Cerdas otak saja tidak cukup untuk mencapai hal ini. Banyak kasus membuktikan bahwa cerdas otak yang tidak dimbangi dengan kecerdasan mengelola hubungan de2ngan orang lain, termasuk mengelola emosi diri, menjadi tak banyak berfungsi dalam menyumbangkan kebaikan bagi orang lain.

Nabi dan Pengembangan Kecerdasan Interpersonal

Sebagai Nabi yang sering juga disebut sebagai the great educator, Rasulullah saw. Juga sangat peduli dengan pengembangan jenis kecerdasan ini: Interpersonal. Meski tentu beliau tidak menyebut secara langsung tentang kecerdasan ini. Akan tetapi, dasar-dasar pengembangan kecerdasan ini sebenarnya sudah diletakkan oleh beliau. Artinya, beliau amat peduli dengan pendidikan sosial ataupun pengembangan kecerdasan interpersonal ini (interpersonal intelligence).

Beberapa hal yang sempat dicatat oleh Abdul Hafidh Suwaid, dalam karyanya, al-Manhaj al-Tarbawi li al-Thifl (Dalam edisi Indonesia pernah diterbitkan dengan judul Prophetic Parenting)—

untuk pengembangan Kecerdasan Interpersonal yang pernah dilakuan oleh Rasulullah—adalah:

1. Menemani anak ke berbagai pertemuan orang dewasa. Dalam rangka mengajari anak-anak untuk mengenal orang lain, yang berbeda sama sekali dengan orang-orang yang berada di rumahnya, yang sudah dilihat setiap hari, sesekali anak-anak memang perlu diajak ke berbagai forum, yang di sana berkumpul orang-orang yang plural: warna kulit, usia, budaya, dan lain-lain. Hal ini juga bisa

(14)

bermanfaat bagi perkembangan sosial-moral anak secara umum: bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain, dengan yang lebih tua, dengan yang lebih alim, dan lain-lain.

Sahabat Nabi saw. yang diriwayatkan paling sering membawa anak-anak ke forum orang dewasa ini adalah Umar bin Khaththab. Memang banyak hal yang bisa diambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Akan tetapi, jika dilihat dengan perspektif pedagogis, maka di situ ada proses pendidikan yang hendak ditanamkan oleh Umar bin Khaththab pada diri si anak: pendidikan sosial, atau pengembangan kecerdasan interpersonal, termasuk peneguhan kondisi mental dan psikologis si anak agar menjadi anak yang tidak minder dan berani menyampaikan pendapat jika sudah mendapatkan kesempatan, meski di hadapan orang-orang yang lebih senior secara usia. Sebab tua secara kalender, belum tentu juga tua secara keilmuan.

Inilah yang ingin ditunjukkan oleh Sayyidina Umar pada teman-temannya yang sudah senior. Saat ada pertemuan bersama sahabat-sahabat Nabi yang ikut dalam perang Badar—sahabat Nabi yang sangat terhormat, mulia dan berkedudukan tinggi, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat—Umar sengaja mengajak seorang anak yang bernama Abdullah ibn Abbas ra.

Melihat ada anak kecil di pertemuan tersebut, sebagian sahabat terlihat marah. Sebagian mengatakan, ‚Kenapa anak kecil ini ikut dalam pertemuan ini. Di rumah saya juga punya anak seusia dia?‛ Umar menjawab, ‚Dia adalah anak kecil yang telah kalian kenal‛ [Ibnu Abbas adalah sepupu Nabi saw].

(15)

Suatu hari, Umar mengundang mereka lagi dan juga mengajak saya di pertemuan tersebu. Saya tahu, kali ini ia sengaja mengundang saya untuk menunjukkan kemampuan saya pada mereka.

‚Bagaimana pendapat kalian tentang firman Allah: ‚Apabila telah datang pertolongan dan juga kemenangan pada kita...[maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan memohon ampunlah....] (Qs. Al-Fath: 1)‚

‚Ayat itu berarti bahwa Allah memerintahkan kita agar memuji-Nya dan memohon ampun pada-Nya‛ kata sebagian dari mereka. Sebagian yang lain diam, tidak berkomentar.

‚Apakah seperti itu pendapatmu hai Ibnu Abbas?‛ tanya Umar padaku.

‚Tidak!‛

‚Bagaimana pendapatmu?‛

‚Ayat itu menjelaskan tentang ajal Rasulullah saw.‛

‚Belum pernah aku mengetahui arti seperti itu kecuali darimu.‛ Kata Umar (mengakui kelebihan Ibnu Abbas). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Dalam kasus yang berbeda, dikisakan, bahwa suatu ketika ada seorang anak kecil—dalam hal ini adalah putranya sendiri, Abdullah bin Umar ra—mengalami rasa minder dan malu untuk menyampaikan pendapatnya di sebuah pertemuan. Umar dengan teguh memberi semangat, motivasi dan membersarkan hati si anak, agar selanjutnya tidak ‘takut’ dan tidak malu lagi dalam hal kebenaran. Ada banyak versi riwayat dalam kisah ini. Saya kutipkan salah satunya saja –termasuk bagian penting dari riwayat yang berbeda.

(16)

Abdullah bin Umar ra menceritakan:

(suatu ketika, di sebuah pertemuan) Rasulullah saw. lalu mengajukan sebuah pertanyaan

‚di antara beberapa pohon yang ada, ada satu pohon yang daunya tidak berjatuhan. Pohon itu merupakan perempumaan seorang muslim. Tahukah kalian, pohon apa itu.?‛

Orang-orang yang ada di sana tidak ada yang menjawab. Mereka hanya menduga bahwa pohon yang dimaksud Nabi adalah salah satu pohon yang ada di lembah padang pasir. [dalam satu riwayat yang lain: saya melihat Abu Bakar dan Umar juga tidak berbicara/menjawab pertanyaan Nabi). Saya sendiri menduga pohon yang dimaksud Nabi adalah pohon kurma. Tapi saya malu untuk mengatakanya. Karena ketika itu saya yang paling kecil (masih anak-anak).

Karena tidak ada yang menjawab, maka Nabi saw. menjelaskan, ‚Pohon tersebut adalah pohon kurma!‛.

Saat pulang, saya sampaikan semua yang terjadi pada Umar (ayahku). Lalu beliau berkata, ‚Jika saja kau sampaikan bahwa yang dimaksud Nabi adalah pohon kurma, maka hal itu lebih aku sukai daripada ini dan itu. (dalam versi riwayat lain: Lebih aku sukai dibandingkan (aku memiliki) beberapa ekor unta yang paling bagus!‛. (HR. Muslim).

2. Mengajari anak melakuan perniagaan/jual-beli.

Aktivitas jual beli melibatkan, setidaknya penjual dan pembeli. Minimal ada orang yang terlibat di dalam transaksaksi tersebut. Yang umum, pembeli adalah banyak, sehingga aktivitas ini

(17)

menyebabkan terjadinya ‘persentuhan’, perkenalan, komunikasi bahkan silaturrahmi antara banyak orang.

Mengajari anak cara berjual beli bisa dimulai dengan yang sangat sederhana: mengajak anak saat berjualan di pasar, melibatkan anak dalam mengemas barang-barang dagangan, meminta mereka menuliskan harga jual, membiarkan anak memberikan uang sisa kembalian pada penjual, dan hal-hal sederhana lain yang memungkinkan untuk dikerjakan oleh anak-anak. Termasuk dalam hal ini adalah membiarkan anak-anak bermain ‘jual-jualan’ bersama teman-temannya yang lain.

Dulu saat penulis masih kecil, setiap hari minggu, anak-anak banyak datang ke rumah, dan kita bermain berbagai hal, termasuk bermain jual-jualan. Barang yang dijual adalah ‘barang-barangan’, jajan-jajanan. Uang yang dipakai sebagai alat transaksi adalah ‘uang-uangan’ yang disepakati di ‘pasar’ tersebut, yaitu berupa bungkus permen dan bungkus kertas rokok—saat ini sudah ada uang mainan yang bentuknya mirip dengan uang asli, dengan nilai nominal tertentu.

Saat Rasul berjalan-jalan dan bertemua dengan anak-anak sahabat yang sedang bermain jual-jualan ini, Rasul memberkan apreasi pada mereka, dengan cara mendoakan mereka. Beliau tidak menegur apalagi memarahi dan menceramahi merka bahwa aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang tak bermanfaat, aktivitas yang membuang-buang waktu, dan lain-lain.

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Huraits bahwa Rasulullah saw. (suatu ketika) berjalan-jalan lalu bertemu dengan Abdulah bin Ja’far yang sedang berjualan jualan anak-anak. Nabi lalu berdoa:

(18)

Allahumma Barik lahu bi bay’ihi; Ya Allah, berikanlah barokah dalam jualannya (HR. Abu Ya’la dan Thabrani)

Selain mengajarkan anak-anak tentang dasar-dasar enterpreunership, ‘melibatkan’ dan mengikut-sertakan anak-anak dalam aktivitas transaksi jual beli, termasuk juga membiarkan mereka bermain jual-jualan, juga merupakan hal positif untuk mengembangkan kecerdasan interpersonal anak. Sebab dengan terlibat secara langsung, mereka bisa melihat aktivitas orang lain, mengenal ragam karakter mereka, berkomunikasi dengan mereka, dan lain-lain. Semua itu adalah dasar-dasar penting yang bisa dijadikan pijakan bagi pengembangan kecerdasan interpersonal di masa-masa selanjutnya.

3. Menugaskan anak untuk memenui kebutuhan

Yang perlu dicatat bahwa kebuthan kita akan ditugaskan pada anak untuk dikerjakan adalah tugas yang jelas sesuai dengan kemampuan mereka, termasuk keamanan mereka dalam perjalanan. Tugas ini bisa berupa pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Misalnya menyuruh anak ke toko tetangga dekat untuk membeli garam, rokok, gula, dan kebutuhan lain yang sekiranya terjangkau.

Langkah ini dilakukan bukan untuk mengalihkan tugas orangtua pada anak, akan tetapi sebagai upaya awal untuk mengajari anak berbagai hal: tanggung jawab, kedisiplinan, berkomunikasi dengan orang lain, mengenal tentangga sendiri, menolong sesama, dan lai-lain.

Selama proses penyelesaian tugas ini, tentu si anak akan mengalami berbagai: persentuhan, interaksi dan komunikasi dengan

(19)

orang lain. Ini merupakan dasar awal penanaman (sekaligus pengembangan potensi) kecerdasan interpersonal.

Dalam banyak hal, Nabi saw. juga sering menugaskan orang lain, termasuk anak-anak untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satunya adalah sahabat yang bernama Anas, yang memang bekerja sebagai pembantu Nabi saw. (lihat misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasai)

4. Mengucapkan salam saat bertemu anak-anak

Saat seseorang bertemu dengan orang lain, maka sapaan di antara merupapakan indikasi mendasar tentang adanya hubungan baik di antara mereka. Sapaan ini bentuknya bisa sangat beragam sesuai dengan adat istiadat yang berlangsung di suatu daerah, sesuai dengan masa atau eranya, dan lain-lain yang menunjukkan adanya hubungan yang harmonis. Eksperesi sapaan ini bisa sangat beragam: Assalamu’alaikum, selamat pagi, termasuk sapaan khas daerah, dengan bahasa daerah masing-masing. Sapaan bisa berupa bunya klakson kendaraan, jika situasinya tidak memungkinkan menyapa dengan lisan.

Di suatu daerah tertentu, di kalagan muslim misalnya, setelah sapaan ini biasanya juga dilanjutkan dengan bersalaman. Dalam berbagai hadits dijelaskan tentang pentingnya berjabat tangan tangan ini.

Dalam kontek politik-kebangsaan, sapaan dan jabat tangan penguasa dengan rakyat, pemimpin partai dengan pemimpin partai lain, prisiden dengan rival politiknya di pilpres, dan lain-lain bisa mencairkan suasa dan menebarkan aura kesejukan di kalangan para pendukung masing-masing.

(20)

Maka salam (atau ucapan menyapa) yang diberikan dengan baik merupakan bagian penting dalam membangung hubungan, komunikasi dan interaksi dengan orang lain. Ini menjadi dasar utama dalam rangka pengembangan kecerdasan interpersonal. Sebab di dalam ‘sapaan’ ini juga terkandung suatu sikap saling menghargai, sikap rendah hati, sikap saling menyayangi dan sikap-sikap luhur lainnya.

Nabi saw. mengajarkan pentingnya untuk menyebarkan salam, setiap seorang muslim bertemu saudara muslim yang lain, bahkan kepada orang yang tidak dikenal. Termasuk jika bertemu kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama. Misalnya saat di pasar, tiba-tiba tak sengaja bertemu dengan orang yang dikenal, dianjurkan mengucapkan salam. Saat sama-sama asyik belanja, tiba-tiba bertemu kembali, tetap dianjurkan untuk saling menyapa dengan salam.

Tidak hanya memerintahan sahabat-sabatnya untuk saling mengucapkan salam, Nabi saw. sendiri memberikan contoh kongkrit tentang ucapan salam ini. Bahkan kepada anak-anak kecil, beliau sering mengucapkan salam.

Diriwayatkan bahwa Nabi saw. seringkali mengucapkan salam kepada anak-anak sahabat Anshar. Diriwayatkan dari Ja’far bin Sulaiman, dari Tsabit, dari Anas: ‚Rasulullah saw. seringkali mengunjungi sahabat-sahabat Anshar, mengucapkan salam pada anak-anak mereka, dan mengusap kepala mereka‛ (HR. Muslim). Hadits bahwa Nabi saw. suka mengucapkan salam pada anak-anak yang sedang bermain, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

(21)

Siapapun orang yang sedang mengalami ujian hidup berupa ‘ketidaknyamanan’ seperti mengalami sakit, ia membutuhkan perhatian, bantuan, dan kasih sayang orang lain. Perhatian sekecil apapun yang datang dari orang lain, terutama orang-orang dekat yang dicintai, merupakan sebagain dari obat penawar duka tersebut. Kehadiran mereka akan meringankan beban hidupnya.

Kahadiran seseorang untuk menghibur orang yang sedang dalam kesusahan, akan melahirkan rasa empati di hati masing-masing keduanya: si penghibur akan semakin bersyukur akan nikmat Allah dan bersamangat untuk selalu hadir meringankan beban orang lain, dan yang sedang berduka hatinya juga akan semakin lembut sehingga semakin cinta pada orang lain.

Rasul saw. seringkali memotivasi para sahabatnya untuk selalu datang menjenguk orang yang sedang sakit atau menghibur dan membesarkan hati orang yang ditimpa musibah. ‚Siapa yang menghilangkan kesusahan saudaranya, Allah akan menghilangkan berbagai kesusahannya kelak di hari kiamat... (HR... ).

Nabi saw. juga tidak segan-segan datang menjenguk sahabatnya yang sedang sakit atau sedang susah. Termasuk menjenguk seorang anak Yahudi. Si anak ini memang melayani Nabi saw. Beliau duduk di dekat kepalanya dan mengajaknya untuk masuk Islam. Si anak melirik ke arah ayahnya (yang Yahudi). Sang ayah lalu memerintahkan agar mengikuti ajakan Nabi saw. Anak itupun akhrinya masuk Islam. Beliau keluar sambil bersabda:

Segala puji bagi Allah yang telah menyalamatan dia dari api neraka (HR. Bukhari )

(22)

Hal-hal seperti ini akan semakin menajamkan potensi social sensivity, sosical insight, termasuk juga social communacation, yang menjadi dimensi penting dalam kecerdasan interpersonal.

6. Membiarkan anak menginap di rumah famili yang saleh. Menginap berarti memberikan kesempatan pada anak untuk lebih banyak berinteraksi dengan semua kerabat dan famili. Mereka akan banyak belajar berbagai hal pada kehidupan keluarga tersebut, termasuk mereka akan semakin kenal dan akrab dengan para sanak-saudaranya sendiri.

Satu hal yang penting digarisbawahi adalah bahwa keluarga famili yang akan ditempati untuk menginap adalah keluarga baik-baik. Dengan demikian, kebaikan mereka bisa menular pada anak-anak kita. Sebab seringkali, pada saat kita menyuruh anak-anak-anak-anak untuk melakukan aktivitas kebaikan: belajar, shalat berjamaah, dan lain-lain, mereka sering mengabaikan ajakan kita. Akan tetapi pada saat paman, sepupu, dan famili lain yang menyuruh dan mengajak mereka, mereka lebih mudah untuk tertarik.

Ini juga yang pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. Ibnu Abbas ra termasuk salah satu di antaranya. Ia suka sekali menginap di rumah bibinya, Siti Mamunah, saat sampai pada giliran Nabi saw. menginap di sana. Ini ia lakukan supaya mendapatkan tambahan pengetahuan tentang bagaimana Nabi saw. melakukan berbagai hal, sehingga bisa ditiru dalam kehidupannya sehari-hari. Ia bercerita:

Suatu malam saya menginap di rumah bibiku, Maimunah, agar aku bisa menyaksikan bagaimana Rasulullah saw. melaksanakan shalat di malam hari. Sesaat Nabi saw. berbincang-bincang dengan

(23)

keluarganya, setelah itu beliau tidur. Saat sepertiga malam yang terakhir (atau sebagaiannya) beliau bangun (duduk), lalu melihat ke langit dan membaca ayat inna fi khalqis samâwâti wal ardhi....hingga sampai pada ayat la âyâtin li ulil albâb.

Setelah itu beliau bangkit, berwudu’, lalu shalat sebelas rakaat. Setelah Bilal adzan (untuk shalat) beliau shalat sebanyak dua rakaat, lalu keluar dan melaksanakan shalat Subuh bersama manusia (HR. Bukhari).

Peristiwa menginapnya Ibnu Abbas menjadi peristiwa yang sangat berkeasan di dalam hatinya, dan ini menjadi pelajarn penting, tidak hanya bagi Ibnu Abbas, tertapi bagi semuanya.

Kesan-kesan mendalam seringkali memang ditemukan dalam perjalanan hidup seseorang, atau pertemuan dan interaksinya dengan orang lain, terutama jika orang terebut orang baik, saleh, berbudi luhur, dermawan, baik hati, dan atau memiliki sifat-sifat lain yang memang mengesankan.

Simpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai pendidik yang baik, Nabi saw. juga memiliki perhatian yang tinggi terhadap upaya-upaya kongkrit yang bisa dikembangkan oleh manusia, dalam rangka menjalin komunikasi dan interaksi dengan manusia lain, di luar dirinya sendiri, sebagai bagian penting dalam kehidupan yang tidak bisa dipisahkan.

Dalam hal ini Nabi juga menaruh perhatian yang tinggi agar kecerdasan interpersonal ini bisa dikembangan dan ditanamkan pada

(24)

anak-anak sejak mereka masih kecil, sehingga memberikan kesan yang lebih mendalam pada kepribadian mereka.

Setidaknya terdapat enam hal yang pernah dicontohkan oleh Nabi saw. dalam rangkan mengembangkan potensi kecerdasan interpersonal anak ini. Pertama, menemani anak ke forum-forum orang dewasa, mengajari anak melakuan perniagaan/jual-beli, menugaskan anak untuk memenuhi kebutuhan, mengucapkan salam pada anak-anak, menjenguk anak saat sedang sakit, membiarkan anak menginap di rumah familinya yang shaleh.

Daftar Pustaka

The Wisdom al-Quran al-Karim, (Bandung: Mizan: Mei 2014) Anita Hairunnisa, Let’s Be Smart: Kenali dan Kembangkan

Kecerdasan Kamu Lewat Teori Multiple Intelligences

(Bandung: Kaifa, 2006).

Bondan Agus Suryanto, Six Basix Energy (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)

M. Saufi dan M. Royani, ‚Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Dan Kepercayaan Diri Siswa Melalui Efektivitas Model‛, Math Didactic: Jurnal Pendidikan Matematika, Vol. 2, No. 2, Mei - Agustus 2016.

May Lwin, Adam Khoo, Kenneth Lyin, dan Caroline Sim, Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan, How to Multiply Your Child’s Intelligence, ter. Cristine Sujana (Yogyakarta: PT. Indeks, 2008)

Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry (Surabaya: Arkola, 1994). Suyadi, Anak yang Menakjubkan (Yogyakarta: Diva Press, 2009). T. Safaria, Interpersonal Intelligence: Metode Pengembangan

Kecerdasan Interpersonal Anak (Yogyakarta: Amara Books, 2005).

Yulianti Siantayani, ‚Setiap Anak Hakikatnya Cerdas‛, Kompas, 31 Januari 2004.

Referensi

Dokumen terkait