• Tidak ada hasil yang ditemukan

dasar teori sedimentasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "dasar teori sedimentasi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

II.1. Dasar Teori II.1.1 Fluida

Fluida adalah suatu materi yang berubah bentuk secara terus-menerus dibawah aplikasi pergeseran tekanan tidak peduli seberapa kecil pergeseran tekanan yang terjadi. Jadi, fluida meliputi fase cairan dan gas (vapor) dari bentuk fisiknya. Perbedaan antara sifat fluida dan padatan sudah jelas jika membandingkan dengan perilaku fluida dan padatan. Padatan berubah bentuk ketikan pergesaran tegangan terjadi, tetapi tidak selalu berubah bentuk (Fox & McDonald, 1985).

Gambar II.1 Fluida

Aliran dan perilaku fluida penting dalam berbagai macam proses dalam mekanik. Dalam proses industri, banyak material yang berada dalam bentuk fluida dan harus disimpan, ditangani, dipompa, dan diproses, sehingga perlu kita menjadi akrab dengan prinsip-prinsip umum aliran fluida dan juga alat-alat yang digunakan (Geankoplis, 1997).

II.1.2 Jenis - Jenis Fluida

Fluida dapat berada dalam keadaan diam atau bergerak. Fluida diam disebut fluida statis dan fluida bergerak disebut fluida dinamis. Berdasarkan definisi, fluida seharusnya berubah bentuk secara terus menerus ketika pergeseran tegangan(tekanan) dari besaran yang diberikan.

a. Fluida Statis

Dalam fluida statis, atau fluida yang menjalani gerakan yang kaku, sebuah partikel fluida menahan ciri khasnya sepanjang waktu. Tidak adanya pergerakan relatif menyiratkan tidak adanya suatu pergesaran tegangan. Karena tidak ada gerakan relatif dalam di dalam fluida, sehingga tidak terbentuk elemen fluida. Ada dua tipe gaya yang ada dalam sebuah fluida yaitu tekanan pada seluruh badan fluida dan tekanan permukaan. Persamaan tekanannya pada basis volume adalah

d F d⍱ = dF dx dy dz = -grad p+ ρg Gaya Luas Penampang

(2)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar II.2 Contoh Fluida Statis Keterangan:

h1 = tinggi minyak h2 = tinggi air

Untuk kebanyakan situasi secara praktiknya, variasi (g) dianggap tidak ada. Hanya untuk situasi semacam komputasi dengan begitu akurat perubahan tekanan yang melebihi perbedaan elevasi akan bervariasi sehingga (g) dibutuhkan. Fluida ideal yang paling simpel adalah fluida inkompresibel. Persamaan untuk tekanan pada fluida ini adalah

P = Po + ρogh b. Fluida Dinamis

Asumsi bahwa sebuah fluida dapat diperlakukan secara pendistribusian materi terus menerus secara langsung pada keadaan nyata mewakili sifat-sifat suatu fluida. Densitas dan kecepatan medan dihubungkan melalui konservasi massa.

II.1.3 Pengertian Sedimentasi

Sedimentasi merupakan proses pemisahan suatu suspensi menjadi cairan bening dan slurry yang konsentrasi zat padatnya lebih besar. Prinsip mekanika partikel yang mendasari peristiwa sedimentasi adalah pemisahan karena adanya perbedaan berat jenis. Apabila partikel dari keadaan diam terhadap fluida tempat partikel terendam, lalu bergerak melalui fluida, maka gerakan tersebut dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap percepatan awal, ialah tahap selama kecepatan berubah dari nol hingga kecepatan terminal. Periode ini hanya berlangsung selama sepersepuluh detik atau kurang, dan tahap ketika partikel mengalami kecepatan terminalnya (McCabe, Smith, & Harriot, hal. 1993).

(3)

II.1.4 Macam-Macam Sedimentasi

Pemisahan suspensi menjadi fluida jernih supernatant dan slurry yang agak padat mengandung padatan konsentrasi yang lebih tinggi disebut sedimentasi. Komersial sedimentasi suspensi air dilakukan secara proses continous dengan alat thickener atau tangki besar yang menerima suspensi atau slurry cair pada sisi tengah tangki, yang membiarkan membanjiri larutan supernatant, dan menghasilkan suatu sludge dari bawah tangki. Berdasarkan proses sedimentasi dapat dibagi menjadi dua yaitu batch sedimentasi dan continous sedimentasi.

a. “Batch” Sedimentasi

Proses “Batch” sering dipergunakan untuk skala laboratorium yang menggambarkan proses sedimentasi sederhana, sedangkan proses. Percobaan skala laboratorium dilakukan pada suhu “Uniform” untuk menghindari gerakan fluida atau konveksi karena perbedaan densitasnya yang dihasilkan dari perbedaan suhu.

Uji pengendapan secara “Batch” dilakukan untuk menggambarkan mekanisme pengendapan dan metode penentuan kecepatan pengendapan. Pada awal sedimentasi “Batch”, konsentrasi padatan sepanjang silinder (zona B) uniform. Segera setelah proses mulai, seluruh partikel “Suspensi Solid”. Jatuh bebas melalui fluida pada kecepatan maksimumnya dibawah, kondisi “Hidered Settling” yang ada. Partikel-partikel padat jatuh bebas pada kecepatan yang sama dan membentuk garis pembatas tajam antara cairan jernih “Supernatant” (Zona A) dan zona suspensi (zona B) serta “Slurry”. Didalam “Slurry” yang mengandung partikel-partikel ukuran berbeda, partikel-partikel yang lebih besar akan mengendap lebih cepat dan mulai menumpuk, dimana zona D dan zona transisi C yang mengandung padatan yang bervariasi antara konsentrasi zona B dan zona D mulai nampak. Setelah pengendapan lebih jauh atau pada kondisi kecepatan pengendapan kompresinya, zona B dan zona C tidak nampak tetapi hanya terdapat “Slurry” pekat pada zona D.

Kecepatan pengendapan dapat ditentukan dengan mengamati tinggi “Continousace” (antar fase) sebagai fungsi waktu yang diberikan dan menggambarkan tangen pada kurva yang diperoleh dari :

Pada point ini, tinggi Z1 dan Z2 adalah intercept tangen pada kurva tersebut (lihat gambar). Kecepatan pengendapan = V1 = Z1Z2 t1−0 Slope dt dz  = V1

(4)

Z O N A ( a ) A B C D Waktu, t t1 Z 0 Z Z 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar II.4 sedimentasi “Batch” dan Grafik Laju Sedimentasi b. “Continous” Sedimentasi

Operasi tangki “Continue” sedimentasi atau “thickeners” bergantung pada karakteristik yang serupa dari slurry ketika mengindikasikan “batch” sedimentasi.

Perbedaan antara “batch” sedimentasi dan “Continue” sedimentasi adalah pada konsentrasi padatan di ketinggian berbeda pada thickener. Dalam pengendapan “continous”, feed masuk melalui lubang tengah dan dimasukkan ke dalam ketinggian 1 sampai 3 ft dibawah permukaan cairan dengan tujuan untuk meminimalisir gangguan. Fluida yang masuk melalui bawah dengan suspensi padatan melalui feed, kemudian secara radial keluar melalui tengah dan atas secara melimpah. Perbedaan utama dengan batch sedimentasi adalah tidak adanya zona B pada komposisi yang serupa sebagai feed, kecuali saat kondisi mendekati secara langsung dari bawah sumber feed ketika continousase horizontal antara fluida jernih dan sludge adalah sumber di bawah dari sumber feed (Brown, 1971).

Pada umumnya, thickener dilengkapi dengan pengaduk radial yang digerakkan dengan lambat dari suatu proses sentral. Lengan-lengan pengaduk mengaduk lumpur secara perlahan-lahan dan mengumpulkannya ke tengah tangki sehingga dapat mengalir ke dalam, bukaan besar yang bermuara pada pipa masuk pompa lumpur.Terdapat tiga daerah utama dalam continuous thickener, yaitu daerah klarifikasi, dimana liquida jernih keluar sebagai aliran overflow, daerah suspension settling, dan daerah pemekatan dimana sludge dipisahkan sebagai underflow (McCabe, Smith, & Harriot, 1985).

Untuk menentukan luas penampang thickener dan kedalamannya diperlukan data-data dari batch settling. Daerah suspension settling adalah ekivalen dengan daerah B dan C pada batch settling. Luas penampang thickener harus cukup untuk menyediakan kapasitas suspension settling seperlunya pada semua tingkatan konsentrasi partikel. Luas ini dapat dihitung dari konsentrasi yang berbeda dan hubungannya dengan laju pengendapan dan daerah minimum pengendapan pada thickener (McCabe, Smith, & Harriot, 1985).

(5)

Daerah pengendapan untuk tiap tingkatan konsentrasi dapat dihitung dengan membuat suatu neraca massa. Misalnya :

F = rate feed masuk thickener, ft3 / h

L = rate feed dalam tiap tingkatan daerah suspension settling, ft3 / h U = rate underflow meninggalkan thickener, ft3 / h

V = rate overflow meninggalkan thickener, ft3 / h C = komposisi, ft3 solid / ft3 campuran

Rate total aliran solid pada tingkatan yang berbeda dalam thickener antara feed dan underflow adalah sama, sehingga :

FCF = LCL = UCU

Neraca untuk liquid pada bagian thickener antara tingkatan underflow dan sembarang tingkatan pada bagian suspention settling :

L( 1 - CL ) - U ( 1 - CU ) = V U dapat diganti dengan L CL / CU untuk memperoleh :

L ( 1 - CL / CU ) = V

Pembagian dengan A, luas daerah yang harus dimiliki thickener pada tingkatan tertentu, dengan mengganti LCL dengan FCF

( FCF / A) ( 1 / CL - 1 / CU ) = V / A

Dimana V/A adalah kecepatan linier superficial dari liquida yang dipindahkan ke atas oleh partikel yang mengendap. Dengan menganggap V/ A = v ( kecepatan pengendapan solid ) dan pengaturan kembali, maka persamaan ( 15 ) menjadi :

A = FCF ( 1 / CL - 1 / CU ) / V

Untuk mendapatkan luas thickener diperlukan kurva antara CL vs V. Dalam penggunaanya, ditentukan terlebih dahulu kurva batch settling, ketinggian z dari batas A - B vs t. Pada setiap ketinggian z, slope tangen kurva memberikan kecepatan solid v, dan konsentrasi yang berhubungan CL dihitung dari Z1CL = Z0CF A G B C B D E F

Gambar II.5 Continuous Thickener Keterangan :

A. Feed.

B. Liquid Jernih (Overflow). C. Daerah Free Settling. D. Daerah Transisi. E. Daerah Pemekatan.

(6)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

(Geankoplis, 1983)

II.1.5 Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Proses Sedimentasi

Besarnya kecepatan pengendapan tergantung pada beberapa faktor, yaitu : 1. Konsentrasi

Jika konsentrasi yang semakin besar maka drag force juga semakin besar. Drag force atau gaya seret ini bekerja pada arah yang berlawanan dengan gerakan partikel dalam fluida. Gaya seret ini disebabkan oleh adanya transfer momentum yang arahnya tegak lurus permukaan partikel dalam bentuk gesekan. Maka, dengan adanya drag force yang arahnya berlawanan dengan arah partkel ini akan menyebabkan gerakan partikel menjadi lambat. Dengan adanya kenaikan konsentrasi akan menurunkan kecepatan pengendapan.

2. Ukuran partikel

Ukuran partikel berpengaruh langsung terhadap diameter partikel. Sedangkan kecepatan pengendapan berbanding terbalik dengan diameter partikel. Hal ini disebabkan karena gaya angkat yang dialami oleh partikel semakin besar dengan bertambah besarnya luas permukaan sehingga kecepatan pengendapan semakin menurun.

Gambar II.6 Ukuran Partikel 3. Jenis partikel

Setiap partikel dari jenis yang berbeda akan mempunyai densitas yang berbeda pula. Sedangkan densitas partikel berpengaruh langsung pada besarnya kecepatan pengendapan. Sedangkan kecepatan pengendapan

berbanding lurus dengan densitas partikel, dimana semakin besar densitas partikel, semakin besar pula kecepatan pengendapannya.

(Geankoplis, C.J., 1983)

(7)

Z

Gambar II.7 Grafik hubungan batas ketinggian liquid jernih z vs waktu pengendapan

Pada gambar I.2.3. di atas, batas ketinggian liquid jernih diplotkan vs waktu. Kecepatan pengendapan suatu partikel (v) ditentukan dengan tangen kurva pada waktu tertentu dan slope dt v1

dz

. Pada titik ini, ketinggiannya adalah z1 dan zi adalah intercept dari tangen kurva, sehingga : 0 1 1 1    t z z v i

Konsentrasi C1 merupakan konsentrasi rata-rata dari suspensi. Jika zi adalah tinggi dari slurry, maka C1 dapat dihitung dengan rumus :

C1. zi = C0. z0

Dimana C0 merupakan konsentrasi slurry awal (kg/m3) pada ketinggian z0 dan t = 0. Perhitungan ini diulang untuk waktu yang lain sehingga dapat dibuat grafik hubungan kecepatan pengendapan dengan konsentrasi

(Geankoplis, 1983).

II.1.6 Gaya yang Bekerja Pada Proses Sedimentasi

Pada setiap partikel yang mengendap, terdapat tiga gaya utama yang bekerja, yaitu :

1. Gaya gravitasi, (Fg)

Gaya yang ditimbulkan akibat gaya gravitasi bumi , yang besarnya dinyatakan dengan persamaan berikut :

Fgmg ……….………. (1 )

2. Gaya apung, (Fb)

Gaya ini arahnya sejajar dengan gaya gravitasi tetapi mempunyai arah yang berlawanan arah. Jika partikel yang jatuh dianggap mempunyai massa sebesar m kg dengan kecepatan v m/dt, densitas  kg/m3, densitas

fluida , kg /m3 dan Vp adalah volume partikel. Z0 Kecepatan Konstan Zi Z1 t t1

(8)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Maka besar daya apung yang bekerja pada partikel sebesar : g V g m Fb p p     …..………...……… ( 2 ) dimana, m/padalah volume partikel ( V

p ) dalam m3 dan g adalah kecepatan gravitasi dalam m/s2.

3. Gaya drag, (Fd)

Gaya ini terjadi jika ada gerakan relatif antar fluida dan partikel dan bekerja melawan arah gerakan dari partikel dan sejajar arah gesekan, tetapi berlawanan arah. Harga drag force sebanding dengan kecepatan v2/2. Harga ini dilipatkan dengan densitas fluida dan luas permukaan partikel yang terproyeksi pada arah gerakan partikel. Harga drag force dapat dihitung dengan persamaan berikut :

A v C FD D  2 2  ……….………..……( 3 ) dimana CD ialah koefisien drag, dan tidak berdimensi.

Gaya-gaya resultan yang bekerja pada partikel ialah Fg - Fb - Fd. Resultan ini harus sama dengan gaya yang bekerja selama berlangsungnya percepatan.

dt Fg Fb FD dv

m   

………..………. ( 4 ) substitusi persamaan (1), (2), dan (3) ke dalam persamaan (4), menghasilkan : 2 2 A v C g m mg dt dv m D p      …….………….………..( 5 )

Untuk menyelesaikan kecepatan terminal dalam persamaan 5, maka dv/dt = 0 dan persamaan menjadi :

    D p p t C A m g v  2  …..……….….. ( 6 ) Untuk partikel berbentuk spherical, mD3pp /6 dan /4

2

p

D A

sehingga persamaan (6) menjadi

   D p p t C gD v 3 4   ……….……….( 7 ) dimana, vt = m/s atau ft/s  = kg/m3 atau lb/ft3

(9)

g = 9,80665 m/s2 atau 32,174 ft/s2 Dp = m atau ft

Koefisien drag ditentukan dengan cara eksperimen, untuk rigid sphere ditunjukkan sebagai fungsi bilangan Reynold

 / v Dp

(Geankoplis, 1983).

II.1.7 Mekanisme Proses Sedimentasi

Jika slurry encer dipisahkan secara gravity menjadi fluida dan slurry yang konsentrasi solid lebih tinggi, maka proses ini disebut sedimentasi atau thickening. Mekanisme sedimentasi adalah mula-mula terjadi pengendapan bebas semua partikel dalam suspensi zona B. Pada zona B rate settling uniform pada awalnya ( start ) dan terbentuklah zona bening A. Tinggi zona B turun dengan rate konstan. Juga terbentuk zona D yang berisi partikel – partikel yang mengendap pada bagian dasar. Zona C adalah lapisan transisi, konsentrasi solid antara konsentrasi pada B dan D. Selanjutnya zona B dan C hilang dan mulailah terjadi komposisi dan pada saat ini disebut titik kritis. Selama komposisi liquida dari zona D naik ke atas, sehingga tebal zona D makin kecil (McCabe, Smith, & Harriot, 1985).

Secara umum mekanisme pengendapan suspensi dapat digambarkan dalam gambar berikut : A A B B C D ( a ) ( b ) ( c )

Gambar II.8 Mekanisme sedimentasi

( a ) menunjukkan suspensi yang terdistribusi secara seragam di dalam zat cair dalam keadaan siap mengendap. Kedalaman total suspensi Z zat padat yang pertama kali menjadi endapan di dasar bejana adalah flok bagian bawah campuran, atau zona D. Di atas zona D ialah zona C, yakni zone transisi yang kandungan zat padatnya bervariasi dari pulpa asal sampai seperti zona D. Zona B adalah suspensi homogen yang konsentrasinya sama dengan pulpa asal. Sedangkan zona A adalah zat cair jernih, karena partikel telah terflokulasi penuh. Biasanya batas antara zona A dan B kabur (Geankoplis, 1983).

Uniform Supernatant Supernatant

Slurry D

Tran-sisi

(10)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dengan berjalannya waktu, maka kedalaman zone D dan zona A bertambah, zona C tetap, dan zona B berkurang. Setelah pengendapan selanjutnya, kedalaman zona B dan zona C akan hilang, dan seluruh zat padat akan terdapat dalam zona D seperti dalam gambar 1.2.1. ( c ). Kemudian efek pemampatan berlangsung. Saat di mana pemampatan itu bermula disebut titik kritis. Pada pemampatan, sebagian zat cair akan terperas keluar ketika bobot endapan mengambrukkan struktur flok. Bila bobot partikel telah mengalami keseimbangan mekanik dengan kekuatan tekanan flok, maka proses pengendapan akan terhenti seperti tampak dalam gambar 1.2.1. ( c ) dan slurry telah mencapai tinggi akhirnya. (2-p825)(Geankoplis, 1983).

Pada saat proses settling, jika ada partikel yang jatuh ke bawah tanpa pengaruh satu sama lain, maka partikel tersebut dikatakan mengalami free settling. Namun, ketika partikel yang satu mulai terpengaruh oleh aktivitas partikel yang lain, dan hal ini berakibat memperlambat proses settling, maka peristiwa ini disebut hindered settling (Geankoplis, 1983).

Kecepatan settling yang rendah pada hindered settling disebabkan karena besarnya gaya drag yang ada. Viskositas efektif m adalah viskositas aktual liquida yang dibagi dengan faktor koreksi empiris, p, yang bergantung pada fraksi volume slurry dari liquida.

p m     ………..………. ( 8 ) dimana p tidak berdimensi,

101.82(1 ) 1

p

……… . ………...………. ( 9 ) Sedangkan untuk settling laminer, kecepatannya menjadi,

  

p p p t gD v      2 2 18   ……….………..…. ( 10 ) dimana, 2

p ialah faktor koreksi, sehingga bilangan Reynold menjadi

2 2 3 Re 18    p m p pg D N   ………( 11 ) Dimana, jika bilangan Reynold kurang dari 1, dalam settling berlaku hukum Stokes. Kecepatan terminal yang konstan terjadi pada awal settling, ditunjukkan pada bagian awal kurva. Ketika solid terakumulasi pada daerah D dan laju pengendapan berkurang dan jatuh secara mantap hingga mencapai ketinggian akhir, titik kritis dicapai pada titik C (Geankoplis, 1983).

(11)

II.2 Aplikasi Industri

Metoda Penghilangan Logam Merkuri di dalam Air Limbah Industri Oleh

Nusa Idaman Said 2010

Secara umum, pencemaran air digambarkan sebagai proses masuknya unsur atau senyawa yang membahayakan atau material yang tidak diharapkan ke dalam air dalam jumlah cukup untuk merusak kualitas air. Pencemaran air berasal dari banyak sumber serta mempunyai karakteristik yang berbeda. Industri menghasilkan limbvah yang pada akhirnya akan masuk ke dalam air, yang merupakan sumber pencemaran air yang sangat potensial. Pada konsentrasi yang tinggi, limbah tersebut menyebabkan kontaminasi bakteriologis serta beban nutrien yang berlebihan (euthropication). Industri kimia berbahaya mengeluarkan limbah berbahaya yang mengandung senyawa yang bersifat racun (toxic material) serta logam berat yang bersifat toksik misalnya air raksa (Hg). Air raksa atau merkuri (Hg) adalah salah satu elemen atau senyawa yang diatur dengan ketat, dan sering kali dibatasi kurang dari 1 µg/l (mikrogram per liter). Senyawa logam merkuri sering dijumpai di dalam air lindi dari tempat pembuangan akhir sampah, air scrubber dari incinerator, air limbah pelapisan logam, industri pencucian komponen elektronika, air limbah laboratorium dan lainnya. Air raksa atau merkuri atau hydragyrum (Hg) termasuk logam berat yang menguap pada suhu kamar. Saat ini merkuri banyak digunakan di industri dalam pembuatan amalgam, perhiasan, dan lain-lain. Air raksa merupakan racun sistemik dan dapat terakumulasi di dalam ginjal, hati, dan limpa. Di alam, Hg anorganik dapat berubah menjadi organik dan sebaliknya karena adanya interaksi dengan mikroba. Oleh karena itu konsentrasi logam merkuri di dalam air limbah khususnya di dalam air minum harus dikontrol sangat ketat.

Salah satu metode untuk menghilangkan merkuri di dalam air limbah dengan cara yang banyak digunakan adalah pengendapan sulfida. Di dalam proses ini air limbah yang mengandung senyawa merkuri ditambah dengan senyawa sulfida misalnya natrium sulfida sehingga senyawa merkuri yang terlarut diubah menjadi merkuri sulfida yang tak larut dalam air. Sesuai dengan persamaan rekasi berikut: Hg2+ + S2- HgS

Sama dengan proses pengendapan yang lain, proses pengendapan sulfida memerlukan pengaturan pH dan proses flokulasi dilanjutkan dengan proses pemisahan padatan misalnya proses pengendapan atau penyaringan.

Pertama air limbah yang mengandung merkuri dimasukkan ke dalam reaktor berpengaduk pertama untuk diatur pHnya sampai mencapai pH yang optimum. Selanjutnya air limbah dimasukkan ke reaktor ke dua sambil diinjeksi dengan larutan koagulan dan atau floakulan untuk menggumpalkan senyawa merkuri sulfida yang terbentuk menjadi gumpalan yang lebih besar sehingga lebih

(12)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

mudah dipisahkan dengan cara pengendapan. Dari reaktor koagulan, air limbah dialirkan ke bak clarifier atau bak pengendap untuk memisahkan padatan merkuri sulfida dengan air. Air limpasan dari bak pengendap merupakan air olahan, sedangkan lumpur yang terjadi diolah lebih lanjut dan diperlakukan sebagai limbah B3. Untuk mendapatkan air olahan dengan konsentrasi merkuri yang lebih rendah kadang ditambah dengan proses filtrasi atau adsorpsi dengan karbon aktif.

Untuk pengendapan sulfida pH yang optimal sekitar pH netral dan pada di atas pH 9 efesiensi pengendapan akan turun secara signifikan. Dengan proses tersebut di atas konsentrasi merkuri di dalam air olah dapat mencapai 10-100 µg/L. Adsorpsi menggunakan karbon aktif butiran (granular) adalah proses yang paling banyak digunaka pada penghilangan merkuri pada suatu limbah. Prosesnya adalah dengan mengalirkan air limbah yang mengandung merkuri ke dalam suatu filter yang diisi dengan karbon aktif. Dilihat dari sistem pengalirannya dapat dibagi dua yaitu aliran dari bawah ke atas dan aliran dari atas ke bawah.

Gambar II.9 Filter Karbon Aktif Butiran Unggun Tetap dan Unggun Mengembang

Ada beberapa metoda untuk menghilangkan atau mengeluarkan merkuri didalam air yaitu, dengan proses oksidasi kimia, proses pertukaran ion, proses adsorpsi, proses elektrokimia, proses reverse osmosis. Tiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, jika pengendapan merkuri dilakukan dalam bentuk sulfida, seringkali masih banyak ditemukan residual merkuri denganb konsentrasi yang cukup besar. Hal ini disebabkan karena reduksi senyawa menjadi bentuk logam merkuri oleh sulfida, sebagian tidak dapat membentuk senyawa merkuri sulfida yang tak larut dalam air.

Bibliography

Brown, G. M. (1971). Unit Operaations. In G. M. Brown, Unit Operaations (p. 31). New york: John Wiley & Sons, Inc.

(13)

Geankoplis, C. J. (1983). Transport Process and Unit Operations. In C. J.

Geankoplis, Transport Process and Unit Operations (p. 50). New Delhi: Prentice Hall.

McCabe, W. L., Smith, J. C., & Harriot, P. (1985). Unit Operations. In W. L. McCabe, J. C. Smith, & P. Harriot, Unit Operations (p. 25). New York: elliot.

Referensi

Dokumen terkait