• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI CERITA ALKITAB TERHADAP PERKEMBANGAN IMAN ANAK SEKOLAH MINGGU GEREJA TORAJA MENURUT TEORI JAMES W. FOWLER DI JEMAAT KARASSIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI CERITA ALKITAB TERHADAP PERKEMBANGAN IMAN ANAK SEKOLAH MINGGU GEREJA TORAJA MENURUT TEORI JAMES W. FOWLER DI JEMAAT KARASSIK"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Vol 1 No 1 Tahun 2019

7

IMPLEMENTASI CERITA ALKITAB TERHADAP PERKEMBANGAN IMAN

ANAK SEKOLAH MINGGU GEREJA TORAJA MENURUT TEORI JAMES W.

FOWLER DI JEMAAT KARASSIK

Feriyanto

Prodi Pastoral Konseling Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Toraja

Email: f.yanto61@yahoo.com

Abstrak. Menceritakan kisah atau narasi yang terdapat dalam alkitab di Jemaat Karassik untuk menumbuhkan iman anak sangat sesuai jika dipadankan dengan teori James W. Fowler yang menyatakan bahwa iman anak dapat dikembangkan dengan memanfaatkan ciri khas anak bahwa anak akan menyusun dan mengartikan dunia pengalamanya melalui medium cerita dan hikayat. Pada tahap ini dikatakan sebagai tahap kepercayaan mistis berhubung cerita mistis merupakan unsur pembentukan kognitif dan struktural utama. Bagian mistis meliputi seluruh dimensi naratif termasuk cerita, simbol, mitos dan sebagainya. Narasi cerita Alkitab juga terkesan seperti cerita legenda dan berciri mistis dengan adanya mujizat-mujizat yang terjadi yang banyak dikisahkan baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Anak sekolah minggu Jemaat Karassik sudah sangat akrab dengan cerita yang dikisahkan dalam alkitab dimana mereka sangat intens mendengar cerita alkitab dalam setiap ibadah sekolah minggu dan kegiatan gerejawi lainnya. Melalui kisah Alkitab yang diceritakan anak mendapatkan pengajaran tentang pertumbuhan iman yang ditekankan melalui doa, kesetiaan membaca alkitab serta ketaatan melakukan kehendak Tuhan. Anak sekolah minggu jemaat Karassik telah menunjukkan pertumbuhan iman tersebut pada sebagian anak dimana mereka setia dalam doa dengan berdoa ketika akan tidur, bangun tidur, makan, belajar serta ketika berangkat ke sekolah. Sebagian anak juga terlihat masih dalam tahapan berjuang bertumbuh dalam iman, hal ini terindikasi dengan masih minimnya melakukan disiplin doa dan membaca alkitab. Bagian lain yang belum terlihat yakni pada hal ketaatan khususnya kasih. Masih ada beberapa anak yang melakukan tindakan yang terlarang seperti berkata kasar dan kotor baik terhadap orangtua maupun teman. Untuk sampai pada taraf perkembangan iman anak yang baik maka Guru sekolah minggu saat menceritakan narasi alkitab perlu memasukkan aplikasi yang konkrit yang dapat menumbuhkan iman anak.

Kata Kunci: Cerita Alkitab, perkembangan iman, anak sekolah minggu.

PENDAHULUAN

Cerita disukai oleh anak-anak maupun orang dewasa karena cerita mudah dipahami, memiliki kemampuan untuk menghibur, dan dekat dengan kehidupan manusia.1 Dalam praktik hidup sehari-hari, setiap orang terlibat dalam cerita. Ketika seseorang berbicara, ia bercerita. Ketika seseorang menonton, ia menonton sebuah cerita. Ketika seseorang mendengarkan lagu, ia mendengarkan cerita. Bahkan hidup setiap orang merupakan cerita yang ia lakonkan sendiri. Hal ini menunjukkan cerita begitu dekat dengan kehidupan seseorang sehingga terkadang seseorang tidak sadar bahwa ia sedang terlibat dalam cerita. Budaya Indonesia kaya akan cerita. Hal ini terlihat dari kumpulan buku cerita rakyat, cerita dalam bentuk fabel, cerita jenaka, legenda ataupun mitos. Banyaknya cerita yang mendominasi isi Alkitab memperlihatkan bahwa Allah dapat memakai cerita sebagai cara yang efektif untuk mewujudkan rencana-Nya kepada umat-Nya. Alkitab adalah rangkaian dari kisah-kisah cerita tentang Allah melalui tokoh-tokoh yang dipakai oleh Allah. Orang Kristen tentunya mengenal cerita penciptaan, kisah Adam dan Hawa, kisah Nuh dan Air bah, kisah Abraham, Ishak dan Yakub, Kisah Musa dan tanah kanaan. Beberapa kisah lain yang tidak kalah familiar seperti kisah Yunus di perut ikan, Daniel di kandang Singa, Daud dan Goliat, dan lain-lain. Banyaknya kisah cerita atau narasi dalam Alkitab memperlihatkan bahwa umat Perjanjian Lama belajar, memperoleh informasi, bahkan

(2)

8

menghayati imannya melalui cerita-cerita tersebut. Selanjutnya di dalam Perjanjian Baru, penulis keempat Injil juga banyak menceritakan tentang Yesus dan pelayanannya. Fenomena yang terjadi bahwa kebanyakan orangtua dan guru di sekolah minggu menjalankan didikannya sesuai dengan didikan sekuler kepada anak. Padahal mereka adalah orang-orang Kristen yang seantero hidupnya harus hidup dalam ajaran Kristen. Hal lain yang dapat diamati adalah tergantikannya pola pengajaran Yesus dengan media pengajaran elektronik. Anak-anak belajar sendiri tanpa komunikasi langsung dengan guru atau orangtua. Dimensi rohani seringkali hilang di dalam masyarakat, sekolah dan kehidupan gereja. Dimana anak masa sekarang lebih banyak mengambil teladan dan moral dari televisi, majalah, HP, media sosial, situs internet, dan sebagainya yang merupakan kemajuan masa sekarang. Demikian halnya dengan kehidupan anak dalam konteks Gereja sebagai tempat memperoleh pendidikan kristiani mereka belajar dari cerita secara khusus Sekolah Minggu Gereja Toraja, Jemaat Karassik. Sumbangsih pemahaman biblis yang hendak disasar dalam penelitian ini adalah implementasi kekuatan narasi atau cerita Alkitab bagi perkembangan iman anak berdasarkan teori perkembangan iman menurut James W. Fowler.

METODE PENELITIAN

a. Wawancara

Untuk memperoleh data sesuai dengan kenyataan di lapangan, maka penelitian ini menggunakan metode wawancara. Di mana wawancara adalah suatu metode yang dilakukan dalam bentuk komunikasi kepada responden untuk mendapatkan fakta-fakta dan data yang sifatnya lisan. Wawancara adalah suatu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penenya dengan responden dengan mengguanakan alat yang dinamakan interview guid (pedoman wawancara).2 Dalam penelitian ini peneliti akan mewawancarai

orangtua dan guru sekolah minggu serta anak sekolah minggu di Gereja Toraja Jemaat Karassik Klasis Rantepao.

b. Observasi

Observasi merupakan metode yang dilakukan dengan cara mengamati objek penelitian tanpa sepengetahuan objek penelitian guna memperoleh data yang objektif. Observasi adalah suatu metode penelitian yang digunakan dengan cara pengamatan terhadap objek, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menumpulkan data yang dibutuhkan3. Observasi yang dilakukan dalam

penelitian ini dengan mengamati secara langsung proses penyampaian cerita dari guru sekolah minggu kepada anak sekolah minggu, selanjutnya untuk menganalisis implementasi cerita Alkitab tersebut dilanjutkan dengan wawancara terhadap orangtua anak.

Cerita Sebagai Bagian Hidup Keseharian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerita adalah “tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal (peristiwa, kejadian, dan sebagainya); karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang; kejadian dan sebagainya (baik yang sungguh-sungguh terjadi maupun yang hanya rekaan belaka); lakon yang diwujudkan atau dipertunjukkan dalam gambar hidup (sandiwara, wayang, dan sebagainya).4 Di setiap belahan dunia, orang senang bercerita serta mendengarkan cerita. Cerita menjadi bagian integral dari dialog manusia. Cerita dapat dipergunakan untuk memberikan informasi, menegur,menghibur, mempengaruhi orang lain, atau hanya sekadar untuk menghabiskan waktu bersama teman dan kerabat. Cerita tersebut dapat diperdengarkan di mana saja; di gereja, di rumah, di sekolah, bahkan di jalan ataupun di dalam penjara.

Dalam konteks Indonesia, setiap daerah memiliki cerita baik mitos, legenda atau pun cerita dari kehidupan sehari-hari yang mengandung pesan moral tertentu. Masyarakat Indonesia tentu mengenal beberapa cerita daerah seperti Malin Kundang, legenda Gunung Tangkuban Perahu, Roro Jongrang, bahkan kisah Kancil dan Buaya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika salah satu konteks yang perlu diperhatikan dalam konteks pelayanan gereja di Indonesia ialah budaya cerita.

2 Ibid., h. 149 3 Ibid., h. 187

(3)

9

Menurut Gerrit Singgih, Indonesia masih hidup dalam dunia cerita, itu sebabnya salah satu teologi yang dapat dikembangkan dalam konteks Indonesia adalah teologi cerita.5

Cerita dalam Alkitab

Ketika cerita di dalam Alkitab, hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari dunia Timur Dekat Kuno. Sebelum terbentuknya bangsa Israel, telah ada bangsa-bangsa yang hidup sebelumnya (1550-1563sM), diantaranya Mesopotamia, Anatolia, Siria, dan Mesir.6 Bangsa-bangsa tersebut secara geografis berada dalam bagian Timur Tengah atau Mediterania. Mereka hidup dengan memiliki konsep tentang yang ilahi, memiliki tempat ibadah dan ritual, memiliki konsep tentang dunia dan semesta.7 Bangsa-bangsa Timur Dekat Kuno hidup dengan tradisi lisan, sebelum adanya tulisan.8 Oleh sebab itu, bahasa lisan menjadi sarana untuk berkomunikasi, sekaligus menyampaikan informasi dan cerita. Bagi orang Timur Dekat Kuno, komunikasi juga dapat terjadi kepada orang yang telah meninggal, hal ini terlihat ketika mereka percaya tentang dewa yang dapat berbicara dengan orang yang masih hidup di dunia ini.9 Konteks Timur Dekat Kuno memberikan gambaran tentang Israel pada zaman Alkitab sekaligus memiliki peran penting dalam studi ilmu tafsir.

Seiring berjalannya waktu, Perkembangan teologi dalam era akhir abad ke-20 menyajikan sebuah perkembangan baru yaitu berkembangnya narrative theology. Hal tersebut dikerjakan oleh kelompok yang dikenal sebagai post-liberalis. Beberapa pemikir penting narrative theology adalah Paul Ricouer, Hans Frei, David Tracy, George Lindbeck, Stanley Hauerwas, Julian Hartt, Sallie McFague dan Johann Baptist Metz.10 Narrative theology pada dasarnya adalah “usaha mengkonstruksikan iman Kristen sebagai sebuah cerita.” Penekanan narrative theology berada pada sejarah yang diceritakan kembali dalam budaya oral pada saat itu.11 Menurut Gabriel Fackre, narrative

theology mencakup 3 bentuk yaitu cannonical story, life story, dan community story. Canonnical story

merupakan cerita Alkitab; life story merupakan cerita dalam hidup orang percaya; community story merupakan cerita tradisi secara turun temurun yang beredar dalam komunitas orang percaya.12 Kekristenan berbicara tentang cerita. Alkitab merupakan buku yang bercerita tentang perbuatan-perbuatan Allah di dalam hidup manusia. Alkitab terdiri dari banyak cerita yang merupakan kesatuan dalam sebuah narasi besar.13 Itu sebabnya dalam dunia biblika, salah satu usaha menafsir Alkitab dilakukan dengan metode pendekatan atau tafsir naratif. Tafsir naratif merupakan usaha untuk menganalisis alur cerita, tema, motif-motif, watak, gaya, simbolik, sudut pandang, dan lain sebagainya.14

Alkitab sebagian besar merupakan narasi, lebih dari seperempat PL dan lebih dari seperempat PB dalam bentuk genre cerita atau narasi.15 Bagian yang mendominasi dalam Alkitab diisi dengan

5 Singgih, Emanuel Gerrit. 2000. Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Jakarta dan Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius. 61 6 Philip E. Satterthwaite dan J. Gordon McConville, Exploring the Old Testament a Guide to the Historical

Books, vol. 2 (Downers Grove: InterVarsity Press, 2007), 4.

7 John H. Walton, Ancient Near East Thought and the Old Testament (Grand Rapids: Baker Academic, 2006), 87.

8 J. Alberto Soggin, Introduction to the Old Testament Third Edition (Louisville: Westminster, 1989), 67. 9 Walton, Ancient Near East, 108-109.

10 Gary L. Comstock, “Two Types of Narrative Theology,” dalam Journal of American Academy of Religion Vol. LV No. 4 (1987): 687.

11 Gabriel Fackre, The Christian Story (Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 4. 12 Fackre, The Christian Story, 6-7.

13 Roger E. Olson, The Story of Christian Theology Twenty Centuries of Tradition and Reform (Downers Grove: InterVarsity Press, 1999), 13.

14 A. A. Sitompul dan Ulrich Beyer, Metode Penafsiran Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 303.

15 John Goldingay, Key Questions about Biblical Interpretation Old Testament Answers (Grand Rapids: Baker Publishing Group, 2011), 164.

(4)

10

cerita (narasi), sementara dalam bagian lain terdapat genre seperti puisi, hikmat, apokaliptik, dan lain-lain. Banyaknya cerita yang mendominasi isi Alkitab memperlihatkan bahwa Allah dapat memakai cerita sebagai cara yang efektif untuk mewujudkan rencana-Nya kepada umat-Nya.

Sumbangsih Teologi Biblika bagi Pendidikan Kristiani: Relasi antara Cerita Alkitab dengan Pertumbuhan Iman Anak

Bidang pendidikan saat ini juga menggunakan cerita untuk mengajar kepada anak-anak. Menurut Roger Olson, dunia pendidikan menyadari bahwa cerita efektif dalam mendidik, karena cerita mampu melanjutkan pengajaran dalam hidup.16 Cerita yang menggambarkan karakter dengan jelas membuat anak-anak dapat mengidentifikasikan dirinya. Demikian juga cerita Akitab membuat anak dapat mengidentifikasikan dirinya lewat karakter yang jelas, hal ini yang membuat anak bertumbuh dalam imannya. Sebelum membahas lebih lanjut kaitan dan sumbangsih cerita Alkitab bagi pembentukan iman anak, bagian selanjutnya dari artikel ini akan memusatkan perhatian pada tahap perkembangan anak, khususnya berdasarkan teori perkembangan iman menurut James W. Fowler.

Fowler berpendapat bahwa iman adalah “cara untuk mengenal atau menerangkan seseorang atau komunitas yang mengakui dirinya terkait dengan kondisi akhir dari keberadaan mereka. Iman menerangkan seseorang dalam berelasi dengan sosok Transenden.”17 Fowler kemudian merumuskan teori tentang 6 tahap perkembangan iman. Di dalam artikel ini, penulis akan membatasi dan memusatkan perhatian kepada salah satu tahap dari perkembangan iman tersebut yaitu pada anak-anak usia 7-12 tahun. Menurut teori Fowler, usia 7-12 tahun berada dalam tahap kepercayaan mistis vs harfiah (mithic-literal faith). Menurutnya, anak dalam tahap ini mulai dapat berpikir dengan logis, mampu mengkategorikan, mampu menguji pikirannya secara empiris atas dasar pengamatan sendiri kepada orang yang berotoritas, mampu mengaitkan pengalaman hidupnya dengan cerita yang didapat, namun anak menangkap cerita dengan literal atau hurufiah.18 Pada tahapan ini, pemahaman anak belum sempurna dalam memahami sebuah ajaran, cerita, simbol, karena pemikiran anak dalam usia ini masih bersifat literal.19 Pemikiran anak pada tahap ini bersifat logis dan mampu menguji segala pikirannya, khususnya pandangan-pandangan kepercayaan yang didapatkan anak akan menjadi perbandingan dengan ajaran dan pendapat orang-orang dewasa yang dihargainya.20 Dalam usia ini, bentuk naratif paling banyak “berbicara” kepada iman seorang anak.21 Oleh karena itu, pemupukan iman terbaik kepada anak usia 7-12 tahun adalah melalui cerita.

Hal ini berarti bahwa anak mampu belajar tentang Allah melalui cerita yang disampaikan. Secara kognitif, anak mempunyai kemampuan untuk berimajinasi, sehingga anak dapat mengerti cerita tentang Allah yang disampaikan. Oleh karena itu, penyampaian cerita membangun pemahaman anak tentang Allah. Kelebihan anak usia 7-12 tahun mampu membawa cerita ke dalam hidupnya. Anak mampu mengidentifikasikan dirinya dalam cerita Alkitab. Bagian selanjutnya dari artikel ini akan memperlihatkan beberapa fungsi cerita Alkitab bagi perkembangan iman anak.

Fungsi Cerita Alkitab

16 Marlene D. LeFever, Creative Teaching Methods be an Effective Christian Teacher (Colorado Springs: David C. Cook, 2004), 172.

17 James W. Fowler, “Faith, Liberation and Human Development,” dalam Christian Perspective on Faith Development, ed. Jeff Astley dan Leslie Francis (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1992), 4-5.

18 Agus Cremers, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler, ed. Dr. A. Supratiknya (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 117.

19 Derek. H. Webster, “James Fowler’s Theory of Faith Development,” dalam Christian Perspective on Faith Development, ed. Jeff Astley dan Leslie Francis (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1992), 79.

20 Cremers, Tahap-tahap Perkembangan, 117-118.

21 Jeff Astley dan Leslie J. Francis, Christian Perspective on Faith Development (Grand Rapids: Eerdmans, 1992), xxi.

(5)

11

Anak-anak perlu diajar untuk mengenal Allah karena anak adalah orang berdosa yang memerlukan keselamatan. Mengajarkan cerita Alkitab akan membawa anak mengenal Allah dan menjadi orang percaya. Mengajar dalam konteks umat Israel merupakan upaya memberikan pengajaran tentang Allah. Dalam kitab Ulangan dikatakan bahwa orangtua Israel harus mengajarkan kepada anaknya berulang-ulang pada saat duduk, dalam perjalanan, berbaring, dan bangun (6:7). Hal ini membuktikan betapa serius dan pentingnya mengajarkan tentang Allah kepada anak-anak. Kegiatan mengajar ini dilakukan dalam fungsinya menularkan iman dari orang yang lebih dewasa kepada orang yang masih lemah iman.

Selain itu, cerita Alkitab tidak hanya mengajarkan tentang Allah, melainkan juga tentang sesama. Alkitab berisikan perintah-perintah Allah terkait hubungan antara manusia dengan sesamanya (Kel. 20: 12-17; Mat. 22:39). Yesus mengajar dan juga memberikan teladan dalam berelasi dengan sesama. Yesus berdoa untuk musuh, mengucap syukur kepada Bapa, Yesus mengasihi orang Yahudi dan bukan Yahudi, orang-orang berdosa, orang-orang yang sakit, janda dan anak-anak. Yesus juga mengajar murid-murid-Nya (pendengar-Nya) dengan menggunakan cerita. Selanjutnya, cerita Alkitab juga dapat mengajarkan seorang anak belajar untuk merawat ciptaan (Kej. 2:15). Merawat alam semesta merupakan tanggungjawab manusia. Manusia diberikan mandat budaya dari Allah untuk mengusahakan dan memelihara (membajak dan menjaga) alam semesta.

Salah satu fungsi cerita Alkitab adalah untuk menegur. Alkitab memberikan beberapa kisah teguran yang dibungkus dengan cerita. Cerita yang digunakan untuk menegur haruslah tepat sasaran. Dalam teks PB, Yesus juga menggunakan cerita untuk menegur. Yesus juga menggunakan penggambaran tokoh, karakter, alur, dan setting yang tepat dalam menegur.Teguran yang diberikan oleh Yesus melalui cerita membuat orang yang ditegur mampu mengidentifikasikan dirinya lewat cerita yang disampaikan. Contoh teguran yang Yesus lakukan menggunakan adalah teguran-Nya kepada ahli Taurat dan orang Farisi. Konteks pada waktu itu, ahli-ahli Taurat mencari muka, merasa diri suci, mencari jabatan, memberikan beban kepada orang padahal sendiri tidak menanggung, dan lain-lain. Yesus mengecam mereka yang mengajarkan hukum Taurat namun tidak melakukan ajarannya (Mat. 23:3).

Cerita di dalam Alkitab mengajarkan manusia untuk hidup berelasi baik dengan sesamanya. Manusia diberikan perintah untuk mampu mengampuni, mengasihi, berbagi, dan lain-lain. Pertumbuhan dan perkembangan iman seorang anak tercermin ketika anak mengetahui hal-hal baik yang didapatkan melalui cerita Alkitab dan melakukannya. Yesus menegur manusia yang hidup dalam kekuatiran dengan memperlihatkan bunga yang indah, burung-burung yang selalu diberi makan oleh Bapa di Surga (Mat. 6: 26; 28). Yesus mengajak manusia untuk melihat alam supaya mengingat hidupnya dalam pemeliharaan Allah. Cara Yesus mengajar dapat diikuti oleh para pengajar saat ini. Anak-anak lebih mudah memahami sebuah teguran jikalau cerita yang disampaikan memanfaatkan benda konkrit. Teguran yang disampaikan kepada anak-anak hendaknya memakai benda konkrit agar mereka lebih mudah mengerti dan memahami teguran tersebut.

Fungsi ketiga dari cerita Alkitab bagi perkembangan iman seorang anak yaitu mengingat. Manusia mampu mengingat karena dalam pikiran manusia terdapat memori. Alkitab juga menggunakan kata mengingat sebagai bentuk perintah kepada manusia. Cerita dalam fungsinya sebagai pengingat juga bertujuan untuk mengingatkan para pendengar (bangsa Israel) kepada peristiwa yang telah terjadi di masa lampau tentang perbuatan Allah kepada mereka. Alur cerita yang baik dapat membuat seolah-olah pendengar mengalami apa yang diceritakan. Cerita juga mempunyai kekuatan, memberikan kesenangan, memikat, menyentuh, mengajar, recall, menginspirasi, memotivasi, bahkan mengubah.22

Teori James W. Foller

James W Fowler dilahirkan pada tangal 12 Oktober 1940 di daerah North California, Amerika Serikat. Ketika berumur 12 tahun (1952), keluarga Fowler pindah ke daerah dekat Great Smoky Mountains di North Carolina, di sekitar Asheville. Ayahnya adalah seorang direktur Summer Conference Center. Suasana iman yang mendalam di dalam keluarga, khususnya berkat pengaruh sang ayah yang menjadi pendeta gereja Methodist, mendorong pemuda James mengadakan refleksi teologis

22 Janet Litherland, Storytelling from the Bible Make Scripture Live for All Ages Through the Art of Storytelling (Colorado Springs: Meriwether Publishing LTD, 1991), 3.

(6)

12

terhadap masalah-masalah iman. Ia merasa diri terpanggil untuk menjadi pendeta dan dengan demikian ia mengikuti jejak ayahnya. James meraih Diploma teologinya pada Drew Theological seminary. Selama itu, selama setahun ia menjalankan pembinaan praktis di interpreter’house, yang pusat pendalaman rohani antar-agama dan antar-ras.

Kegiatan ini menjadi sangat penting bagi perkembangan pemikirannya. James kemudian melanjutkan studi doktornya dalam bidang teologi di Harvard University pada jurusan Harvad ‘religion and society Program Di Harvard ia berkenalan dengan dua pemikiran, yang kemudian menjadi sangat penting bagi perkembangan intelektualnya. Yaitu teolog H. Richard Niebuhr dan psikoanalisa Erik H. Erikson. Mereka sering mengadakan pertemuan-pertemuan dan pembicaraan tentang hal perkembangan manusia, dan pertemuan ini sangat penting bagi Fowler karena disinilah benih-benih Faith Development Theory disemai. Ia menginsafi bahwa pertanyaan-pertanyaan mengenai makna hidup dan iman yang diajukan kepada orang-orang yang mencari bimbingan serta harus menjawab secara terbuka dan sejujur mungkin, harus dijawab pula dengan cara yang sama. Semua pertanyaan dan jawab itu mengajaknya untuk menyingkap proses perkembangan dan fungsi dari sebuah gaya hidup yang eksistensial. Ada enam tahap-tahap perkembangan iman/kepercayaan anak menurut James W. Fowler23:

1. Tahap pertama: Iman Intuitif-Proyektif (umur 2-6 tahun). Tahap ini terutama memantulkan iman orangtua dan merupakan tahap yang penuh dengan fantasi, imajinasi dan gambaran yang mengesankan. Pada tahap ini adalah anak yang didorong oleh rasa diri yang terbagi antara keinginan dan untuk mengekspresikan dorongan hatinya dan ketakutannya akan ancaman hukuman karena kebebasannya yang tanpa batas dan tanpa kekang. Proses berpikir anak berjalan lamban dan tidak pasti karena proses tersebut berlangsung dengan penuh kesalahan logis. Anak asyik meniru orang dewasa yang penting baginya sebagai sumber autoritas mutlak dan instansi kekuasaan akhir yang ekstren. Kira-kira umur 2 tahun, tahap pertama yang preverbal diakhiri dengan timbulnya kesanggupan untuk berbahasa. Anak belajar untuk menguasai dan menggunakan bahasa menurut peraturan bahasa itu sendiri, maka ia memiliki suatu medium baru menyusun, mengatur, dan mengantarai seluruh relasinya dengan dunia, orang lain, dan dirinya sendiri dengan suatu cara yang sungguh-sungguh baru. Perkembangan lainnya adalah kesanggupan anak dalam daya gerak fisik dan mental yang lebih luas.

2. Tahap kedua: Iman Mitos-Harfiah (umur 6-12 tahun). Dalam tahap ini, lingkaran pengaruh meluas hingga mencakup orang-orang lain di samping orangtua. Anak-anak dan sejumlah orang dewasa dalam tahap ini sangat mempercayai apa yang diajarkan kepada mereka. Iman mereka masih sederhana dan mencakup sejumlah wilayah abu-abu. Anak mulai berpikir secara “logis” dan mengatur dunia dengan kategori-kategori baru, seperti kasualitas, ruang dan waktu. Ia akan berusaha untuk menyelidiki segala hal dan seluruh kenyataan. Aspek paling penting dan mencolok dari tahap ini ialah bahwa anak akan menyusun dan mengartikan dunia pengalamanya melalui medium cerita dan hikayat. Tentang struktur ketergantungan terhadap orang lain, pada masa ini akan ingin memantapkan kemandirian dan mengokohkan harga dirinya dengan mengembangkan dan memperlihatkan kompetensi sosialnya. Pada tahap ini dikatakan sebagai tahap kepercayaan mistis alasannya adalah cerita mistis merupakan unsur pembentukan kognitif dan structural utama dalam proses pembangunan identitas diri social dan hidup kepercayaan anak. Yang mistis meliputi seluruh dimensi naratif (termasuk cerita, symbol, mitos dan sebagainya. Yang mengandung khazanah arti dan nilai yang kaya dari tradisi budaya dab religious sebagaimana disajikan kepada anak oleh lingkungan sosial dan kelompok miliknya.

Tahap ini diberi ciri harafiah alasannya adalah pada tahap ini anak sebagai besar mengunakan simbol dan konsep secara konkret dan menurut arti harafiahnya. Pada tahap mistis-harafiah, Allah tidak lagi digambarkan dalam konteks imajinasi-antropomorf , melainkan lebih dipahami menurut simbolisasi antropomorf melulu. Allah dipadang semata-mata sebagai seorang pribadi, ibarat orangtua, atau seorang penguasa yang bertindak dengan sikap memperhatikan secara konsekuen, tegas, dan jika perlu, keras. Kekuatan dari tahap ini adalah: munculnya daya naratif yaitu segala cerita, drama, motif sebagai sarana yang paling

23 James W. Fowler, Tahap-tahap Perkembangan kepercayaan menurut James W. Fowler, (Yogyakarta: Kanisius, 1995).

(7)

13

cocok dan digemari anak untuk menyusun arti dan menciptakan koherensi diberbagai aliran pengalaman anak. Kelemahannya adalah timbulnya prisnsip mengenai gambaran seluruh lingkungan akhir dan Allah. Prinsip dan sikap ini adalah perfeksionis yang kaku tidak kenal krompomi.

3. Tahap ketiga: Iman Sintetik-Konvensional (umur 12-? tahun). Pentingnya menjadi anggota sebuah kelompok menjadi ciri tahap ini ketika terjadi pada masa remaja. Dalam masa dewasa, iman ini memancarkan pengertian yang kuat bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah komunitas iman. Menjadi anggota kelompok dan sepaham dengan apa yang dipercayai kelompok dinilai penting pada tahap ini. Pada umur 12 atau 13 tahun suatu perombakan terjadi dalam pengertian siremaja. Muncullah berbagai macam kemampuan kognitif yang memaksa anak untuk kembali meninjau pandangannya. Dalam tahap ini juga anak mampu untuk merefleksikan dirinya. Pada tahap ini Allah dipandang bukan lagi sebagai antropomorf semata, melainkan sebagai hubungan antarpribadi mutual. Anehnya pada tahap ini Allah juga sering digambarkan sebagai Allah yang konvensional, yaitu Allah sebagaimana diyakini oleh pandangan konvesi mayoritas masyarakat. Seakan-akan wajah Allah tersusun bagaikan kumpulan berbagai macam sikap, nilai, gambar, dan keyakinan kepercayaan umum yang konvensional. Keuntungan dalam tahap ini adalah timbulnya rasa janji setia antar pribadi dengan demikian ia mampu mempercayakan dirinya sepenuhnya tanpa syarat kepada pribadi lain. Kerugiannya dalam kepercayaannya tertdapat tokoh-tokoh andalannya yang sama sekali tidak kritis, akibatnya perkembangan yang otonomi lain seperti keandirian, ketidakbergantungan yang sehat dalam hal bertindak akan menjadi sulit dan di hambat.

Tahap keempat: Iman Individuatif-Reflektif (umur 18-? tahun). Dalam tahap ini orang mengambil tanggung jawab pribadi untuk imannya. Ini sering kali terpancar dalam bentuk pertanyaan yang ditunjukkan dan penjejakan pelbagai hal mengenai iman. Dalam tahap ini manusia mengalami perubahan yang mendalam dan menyeluruh dalam hidupnya. Ada tiga hal yang tejadi dalam tahap ini yaitu muncul kesadaran jelas tentang indentitas diri yang khas dan otonomi tersendiri, ia akan semakin dapat melihat perbedaan dari banyak pribadi, Dengan daya operasional formal dan sikap refleksi yang tinggi ia mulai mempertanyakan nilai, pandangan hidup. Pada masa ini akan cepat tanggap dan kristis terhadap pemimpin yang ideologis dan kharismatik.

5. Tahap kelima: Iman Kongjuntif (umur 30-?). Dalam tahap ini orang mampu melihat bahwa banyak hal berkaitan dengan iman yang pernah mereka ragukan atau bahkan singkirkan dalam tahap 4 ternyata lebih kaya dan lebih berharga dibandingkan dulu mereka lihat. Ini merupakan tahap di mana orang memiliki imannya sendiri. Pada permulaan usia paruh hidup yang kedua, sekitar 35 tahun, gambaran diri yang disusun oleh orang dewasa biasanya timbul kembali secara radikal. Pada taha ini pribadi akan mencapai tingkatan kepolosan kedua yang meresapi rasa tanggap baru terhadap segala arti symbol yang mengandung banyak dimensi. Iman dalam tahap ini secara pribadi dirasakan sebagai kekuatan eksistenisal yang paling besar dan paling penting, jauh melampaui segala daya manusia yang terbatas. Seluruh kehendak, upaya, tindakan, gangguan tragis, yang tidak dapat dapat diatsi dalam tahap ini. Oleh karena itu, sang pribadi sering dilumpuhkan oleh sikap pasif yang tragis dan fatalistic, penderitaan kerena banyaknya pertentangan luar dalam yang tidak teratasi ini membawa sang pribadi kedalam tahap ketujuh yaitu, kepercayaan yang mengacu pada universalitas yang dapat mewujudnyatakan segala janji dan undangan ke universalitaas konkret.

6. Tahap keenam: Iman yang Universal, iman bukan hanya sekedar kepercayaan, melainkan sebuah komitmen total. Ini terjadi dalam beberapa anggota populasi. Pribadi mengosongkan diri, tetapi sekaligus mengalami diri sebagai mahluk yang berakar dalam Allah dan daya kesatuan Adanya, dan inilah yang menjadi pusat perspektif baginya.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan terdapat enam tahapan dalam perkembangan iman menurut James W. Fowler yakni tahap Iman Intuitif-Proyektif (umur 2-6 tahun), Iman Mitos-Harfiah (umur 6-12 tahun), Iman Sintetik-Konvensional (umur 12-? tahun), Iman Individuatif-Reflektif (umur 18-? tahun), Iman Kongjuntif (umur 30-?) serta Iman yang Universal.

(8)

14

HASIL PENELITIAN

Manfaat Narasi Alkitab bagi perkembangan iman Anak Sekolah Minggu Gereja Toraja Jemaat Karassik.

Informasi mengenai manfaat narasi alkitab bagi perkembangan iman anak dilakukan dengan bertanya langsung pada lingkungan terdekat anak yakni orangtua serta anak sekolah minggu serta keterangan dari guru sekolah minggu. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru sekolah minggu menyatakan bahwa mereka bertindak sebagai pemberi pesan dari cerita Alkitab agar anak dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan di rumah dan sekolah. Cerita yang biasa disampaikan adalah cerita tokoh alkitab seperti kisah raja-raja Israel antara lain Saul, Daud, Salomo. Kisah perjalanan bangsa Israel dari Mesir juga menjadi narasi yang selalu diceritakan kepada anak sekolah minggu berdasarkan kurikulum dari pengurus pusat SMGT. Kisah kelahiran dan perjalan pelayanan Yesus serta karya keselamatan melalui pengorbanan di kayu salib selalu diungkapkan dalam masa natal dan paskah. Harapan dari adanya cerita tersebut anak dapat mengingat peristiwa sejarah dimana Allah didalamnya bertindak secara luar biasa. Anak sekolah minggu yang mendengar cerita tersebut diharapkan dapat semakin percaya kepada Tuhan dan terus beriman pada Yesus Kristus. Iman pada Yesus Kristus sekiranya dapat ditunjukkan dengan perilaku hidup taat dan teguh dalam menjalankan disiplin rohani seperti berdoa, beribadah, mengasihi dan memuji Tuhan. Melalui akta cerita pada ibadah hari minggu dan hari raya gerejawi didalamnya diberikan pemahaman mengenai perilaku yang baik dan tidak baik.

Melalui perbandingan perilaku tersebut, khususnya yang ditemukan dalam peristiwa-peristiwa alkitab anak dapat mengambil hikmah bagaimana berperilaku yang sesungguhnya. Contohnya kisah ketika bangsa Israel berperang dibawah pimpinan Yosua, Musa berperan sebagai pemberi semangat dan pendoa bagi bangsa Israel dengan cara mengangkat tongkat di tangannya, apabila tongkat tersebut terangkat maka bangsa Israel kuat dan apabila tongkat tersebut turun maka bangsa Israel lemah. Harun dan Hur berperan sebagai kawan yang menopang tangan Musa agar tongkatnya terus berada di atas sehingga bangsa Israel menang. Berdasarkan kisah tersebut maka anak sekolah minggu diberikan aplikasi untuk terus mengandalkan Tuhan dalam mengahadi tantangan serta mau selalu menjadi penopang atau penolong bagi kawan yang lemah seperti Harun dan Hur.

Dengan adanya akta bercererita dalam ibadah sekolah minggu dan ibadah hari raya gerejawi seperti paskah dan natal maka pengurus dan guru sekolah minggu menanamkan kisah ataupun cerita alkitab agar anak semakin mengenal Tuhan lewat karya sejarah dan penyataan diri Allah dalam diri Yesus Kristus. Iman atau keyakinan penuh anak untuk menyerahkan hidupnya secara utuh di bawah kontrol Tuhan diharapkan dapat ditanamkan secara berkesinambungan melalui cerita alkitab.

Sebagian besar orangtua menyatakan mereka mempercayakan guru sekolah minggu untuk menyampaikan kisah dalam alkitab. Orangtua tidak lagi menceritakan kisah dan peristiwa dalam alkitab terhadap anak. Mereka meyakini bahwa dengan mendengarkan cerita alkitab di tempat kebaktian sekolah minggu sudah cukup untuk menggugah iman anak walaupun belum terlihat secara utuh. Masih banyak orangtua yang mengungkapkan bahwa mereka masih melihat perilaku anak mereka yang tidak baik seperti berbicara tidak sopan, takut jika lampu padam, dan jarang berdoa. Sebagian orangtua juga menanamkan nilai-nilai iman pada Tuhan Yesus dengan pengajaran nilai secara langsung tanpa berorientasi pada narasi dalam alkitab. Pengajaran tersebut seperti tidak boleh berbohong karena dilarang oleh Tuhan Yesus, larangan berbicara kata kasar, larangan melukai teman dan saudara. Ajakan untuk tertib disiplin rohani juga diajarkan oleh orangtua namun tidak di kontrol secara rutin seperti berdoa sebelum makan ataupu sebelum tidur.

Selain itu, orangtua juga menyatakan bahwa ada perilaku anak yang berubah dengan aktifnya mengikuti ibadah sekolah minggu seperti jika anak melakukan kesalahan segera mengakui kesalahannya baik pada teman maupun pada orangtua.24 Beberapa anak juga menyatakan bahwa

mereka percaya pada Yesus sebagai Tuhan yang akan selalu menolong dan memberi kesembuhan jika mereka sakit, hal ini dipengaruhi oleh narasi dalam Alkitab yang diceritakan di sekolah minggu. Narasi tersebut seperti Yesus menyembuhkan perempuan yang sakit pendarahan, sakit ayan dan juga menyembuhkan orang yang buta dan lumpuh.

(9)

15

Intensitas menyampaikan narasi Alkitab pada anak sekolah minggu dan ketertarikan anak mendengar cerita Alkitab.

Pertanyaan ini untuk mendapatkan informasi intensitas cerita sekolah minggu disampaikan dan ketrtarikan anak dalam mendengar cerita. Guru sekolah minggu jemaat Karassik menyampaikan cerita setiap hari minggu dalam ibadah sekolah minggu. Cerita sekolah minggu yang disampaikan merupakan cerita yang telah ditetapkan dari pengurus pusat SMGT. Sebelum melaksanakan ibadah hari minggu maupun ibadah hari raya gerejawi terlebih dahulu dilaksanakan pemahaman bersama melalui persiapan yang biasanya dilaksanakan setiap hari minggu. Naskah cerita sekolah minggu yang disampaikan menyesuaikan dengan kalender hari gerejawi seperti minggu adven sebelum paskah dan natal. Ceritanya juga beragam mulai dari kisah dalam kitab perjanjian lama dan perjanjian baru.25

Setiap tahun ibadah hari minggu rutin dilaksanakan sekitar 54 kali ditambah kegiatan anak lainnya seperti hari raya gerejawi, pecan anak, hari doa sedunia serta jambore anak. Kisah yang selalu disampaikan ialah kisah penciptaan, Kain dan Habel, Abraham, Ishak, Yakub dan anak-anaknya, keluarnya bangsa Israel dari Mesir, Raja – Raja Israel seperti Saul, Daud, Salomo dll, kisah hakim-hakim, peristiwa kelahiran Yesus dan pelayanannya, peristiwa penyaliban Yesus, kisah pelayan Rasul, dan kisah-kisah tematis lainnya dalam perjanjian baru.26

Jika dikalkulasikan cerita alkitab yang disampaikan pada anak sekolah minggu setiap tahunnya berjumlah 60 kali. Jumlah tersebut hanya penyampaian cerita melalui kegiatan sekolah minggu dan belum terhitung jika orangtua atau kerabat maupun guru agama di sekolah menyampaikan cerita alkitab juga. Adapun respon anak dalam mendengar cerita alkitab cukup bervariasi ada yang menunjukkan minat yang sangat besar, ada yang kadang-kadang tertarik dan kadang mengabaikan cerita serta adapula yang tidak menunjukkan ketertarikan. Menurut guru sekolah minggu jemaat karassik anak kurang tertarik jika kisah alkitab yang disampaikan terlalu panjang dan tanpa menggunakan alat peraga. Penguasaan kelas, metode atau alat peraga sangat penting untuk dapat membuat sekolah minggu menjadi lebih baik dan juga anak-anak tidak merasa bosan untuk datang beribadah ke sekolah minggu.

Bentuk Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari anak sebagai manifestasi narasi alkitab.

Setiap penyampaian cerita pada anak sekolah minggu didalamnya selalu ditanamkan aplikasi. Kurikulum Gereja Toraja menetapkan cara penyampaian penerapan cerita dengan metode tertenum. Penggunaan metode tertenum dalam cerita bukan pada akhir cerita seperti pada umumnya seseeorang ketika menceritakan dongeng ataupun legenda. Penerapan tertenum dilakukan baik dalam awal cerita, pertengahan maupun akhir cerita tergantung pada tujuan cerita untuk menguatkan bagian tertentu dalam sebuah cerita.

Aplikasi cerita alkitab yang diceritakan guru sekolah minggu sebelumnya telah ditentukan dalam persiapan bersama guru sekolah minggu yang akan mengajar. Di Jemaat Karassik menurut guru sekolah minggu yang mengajar aplikasi cerita biasanya berhubungan dengan kerinduan untuk selalu menjalin relasi yang baik dengan Tuhan lewat doa, baca alkitab, kerinduan untuk selalu beribadah serta penerapan lain seperti larangan memukul teman, larangan berbohong, mencuri serta larangan membenci sesama manusia. Aplikasi lain yang disampaikan antara lain, rajin belajar, percaya selalu pada Tuhan Yesus kalau menghadapi masalah, mengasihi sesama dengan suka berbagi, menghargai guru dan juga orangtua. Evaluasi perilaku anak sekolah minggu sehubungan dengan cerita yang telah diperdengarkan dilakukan pada pertemuan selanjutnya.27 Misalnya guru mereview kembali cerita

minggu sebelumnya dan menanyakan pada anak apakah sudah melakukan penerapan dari cerita itu. Sebagian besar guru sekolah minggu menyatakan bahawa anak sekolah minggu gereja toraja jemaat karassik mengakui melakukan penerapan cerita, namun ada juga anak yang berani mengakui jika melanggar atau melakukan kesalahan.

25 Wawancara dengan guru sekolah minggu Dina, Fifi dan Marchel tanggal 20 dan 27 oktober 2018 26 Wawancara dengan guru sekolah minggu Dina, Marchel dan Lia, tanggal 20 oktober 2018 27 Wawancara dengan guru sekolah minggu Dina, Fifi dan Marchel tanggal 20 dan 27 oktober 2018

(10)

16

Anak sekolah minggu juga menyatakan bahwa mereka sering mendapatkan pengajaran di sekolah minggu untuk melakukan kebaikan, menghindari larangan yang bertentangan dengan ajaran Yesus serta mendapatkan pengajaran tentang disiplin rohani seperti doa dan baca alkitab. Beberapa Anak sekolah minggu mengakui bahwa mereka masih mengingat penerapan yang disampaikan pada saat mendengar cerita dalam ibadah sekolah minggu. Ada sebagian anak juga yang menyatakan mereka kadang lupa pembelajaran dari sebuah cerita dan lebih mudah mengingat narasi dari cerita yang disampaikan. Anak sekolah minggu yang mengingat aplikasi dari sebuah cerita cenderung tertib melakukan disiplin rohani seperti doa dan baca Alkitab.28 Anak-anak tersebut juga dalam perilakunya

minim melakukan tindakan kekerasan fisik maupun verbal. Hal ini di dukung dengan adanya pendampingan dari orangtua yang intens juga mengontrol dan menasehati anaknya. Sebagian anak yang melupakan pengajaran dan justru mengingat narasi cerita cenderung terlibat dalam perilaku agresi baik fisik maupun verbal. Intensitas untuk berdoa dan membaca alkitab juga sangat minim jika dibandingkan dengan anak yang mengingat dan penerapan cerita. Ketika digali lebih dalam, anak yang cenderung lupa aplikasi cerita menyatakan banhwa mereka lebih tertarik pada jalannya cerita daripada cerita tambahan yang dimasukkan dalam cerita. Cara guru bercerita juga mempengaruhi daya tangkap anak dalam mengaplikasikan cerita, ada aplikasi yang abstrak untuk ukuran anak dan perlu diberikan aplikasi yang lebih konkrit.

KESIMPULAN

Menceritakan kisah atau narasi yang terdapat dalam Alkitab di jemaat Karassik untuk menumbuhkan iman anak sangat sesuai jika dipadankan dengan teori James W. Fowler yang menyatakan bahwa iman anak dapat dikembangkan dengan memanfaatkan ciri khas anak bahwa anak akan menyusun dan mengartikan dunia pengalamanya melalui medium cerita dan hikayat. Pada tahap ini dikatakan sebagai tahap kepercayaan mistis berhubung cerita mistis merupakan unsur pembentukan kognitif dan struktural utama dalam proses pembangunan identitas diri sosial dan hidup kepercayaan anak. Bagian mistis meliputi seluruh dimensi naratif termasuk cerita, simbol, mitos dan sebagainya. Narasi cerita Alkitab juga terkesan seperti cerita legenda dan berciri mistis dengan adanya mujizat-mujizat yang terjadi yang banyak dikisahkan baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Kekuatan dari tahap ini adalah: munculnya daya naratif yaitu segala cerita, drama, motif sebagai sarana yang paling cocok dan digemari anak untuk menyusun arti dan menciptakan koherensi diberbagai aliran pengalaman anak. Hal ini sangat sesuai jika iman anak dipupuk melalui kisah narasi dalam alkitab.

Anak sekolah minggu Jemaat Karassik sudah sangat akrab dengan cerita yang dikisahkan dalam alkitab diamana mereka sangat intens mendengar cerita alkitab dalam setiap ibadah sekolah minggu dan kegiatan gerejawi lainnya. Melalui kisah alkitab yang diceritakan anak mendapatkan pengajaran tentang pertumbuhan iman yang ditekankan melalui doa, kesetiaan membaca alkitab serta ketaatan melakukan kehendak Tuhan. Anak sekolah minggu jemaat Karassik telah menunjukkan pertumbuhan iman tersebut pada sebagian anak diman mereka setia dalam doa dengan berdoa ketika akan tidur, bangun tidur, makan, belajar serta ketika berangkat ke sekolah. Aplikasi iman lainnya seperti rutinitas membaca alkitab dan ketaatan pada ajaran Tuhan seperti jujur dan mengasihi sesama yang dinampakkan melalui tidak melukai orang lain dengan kata maupun perbuatan. Sebagian anak juga terlihat masih dalam tahapan berjuang bertumbuh dalam iman, hal ini terindikasi dengan masih minimnya melakukan disiplin doa dan membaca alkitab.

DAFTAR RUJUKAN

Astley, Jeff dan Leslie J. Francis, Christian Perspective on Faith Development. Grand Rapids: Eerdmans, 1992.

Barr, James. The concept of Biblical Theology. Minneapolis : Fortress Press, 1999.

(11)

17

Comstock, Gary L. “Two Types of Narrative Theology.” Dalam Journal of American Academy of

Religion Vol. LV No. 4 (1987): 687.

Cremers, Agus Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler, ed. A. Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Esqueda, Octavio J. “God as Teacher.” Dalam The Teaching Ministry of The Church Second

Edition, ed. William R. Yount. Nashville: B&H Academic, 2008.

Fackre, Gabriel The Christian Story. Grand Rapids: Eerdmans, 1984.

Fowler, James W. “Faith, Liberation and Human Development.” Dalam Christian

Perspective on Faith Development, ed. Jeff Astley dan Leslie Francis. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1992.

Goldingay, John. Key Questions about Biblical Interpretation Old Testament

Answers. Grand Rapids: Baker Publishing Group, 2011.

LeFever, Marlene D. Creative Teaching Methods be an Effective Christian

Teacher. Colorado Springs: David C. Cook, 2004.

Litherland, Janet. Storytelling from the Bible Make Scripture Live for All Ages

Through the Art of Storytelling. Colorado Springs: Meriwether Publishing LTD, 1991.

Miller, Calvin. Spirit, Word, and Story. Washington: Word Publishing, 1989. Olson, Roger E. The Story of Christian Theology Twenty Centuries of Tradition

and Reform. Downers Grove: InterVarsity Press, 1999.

Paterson, Robert M. Tafsiran Alkitab Kitab Imamat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.

Satterthwaite, Philip E. dan J. Gordon McConville, Exploring the Old Testament a

Guide to the Historical Books, vol. 2. Downers Grove: InterVarsity Press, 2007.

Singgih, Emanuel Gerrit. Berteologi dalam konteks: Pemikiran-pemikiran

Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Jakarta dan Yogyakarta: BPK Gunung Mulia

dan Kanisius, 2000.

Sitompul, A. A. dan Ulrich Beyer, Metode Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.

Soggin, J. Alberto Introduction to the Old Testament Third Edition. Louisville: Westminster, 1989.

Walton, John H. Ancient Near East Thought and the Old Testament. Grand Rapids: Baker Academic, 2006.

Webster, Derek. H. “James Fowler’s Theory of Faith Development.” Dalam

Christian Perspective on Faith Development, ed. Jeff Astley dan Leslie Francis. Grand

Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1992.

Wilhoit, James C. Spiritual Formation as if the Church Mattered Growing in

(12)

18

Theological Dictionary of the New Testament, Vol. V, ed. Gerhard Kittel dan

Gerhard Friedrich. Grand Rapids: Eerdmans, 1967., s.v. “Parable.” Kelompok Kerja PAK-PGI, Pendidikan Agama Kristen untuk Kelas 8 SMP,

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006

https://koreshinfo.blogspot.com/2016/02/pertumbuhan-iman-pengertian-pertumbuhan.html, diakses pada tanggal 20 november 2018

Referensi

Dokumen terkait

Faktor eksternal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat yaitu tugas pemerintah, perusahaan dan NGO yang mampu melakukan kunci keberhasilan dari kegiatan pemberdayaan

Kegiatan pengamatan ini dilakukan oleh peneliti sendiri. Pada saat melakukan pengamatan yang diamati adalah sikap peserta didik dalam menerima materi pelajaran

Jenis Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan retrospektif pada populasi yang menjadi objek penelitian untuk mencari hubungan antara

Untuk variabel pengembangan karir pegawai (kepuasan kerja) : tentang setelah mengerjakan perintah atasan akan menambah kemampuan dan pengetahuan diperoleh hasil jawaban

Pada tahap ini penulis pertama-tama menentukan topik yang nantinya akan dibuat sebuah aplikasi untuk menyelesaikan proyek akhir di semester 6 mendatang dengan

Tahun 2012 terdapat 3 reksadana Syariah yang masuk dalam 5 besar yang memiliki kinerja terbaik Cipta Syariah Equity (RDSS04), BNP Paribas Pesona Syariah (RDSS02) , dan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdidri dari metode penentuan informan yaitu menggunakan metode purposive sampling dimana dalam penentuan informan didasarkan

Fasilitas Wisata Simulasi Profesi di Surabaya ini merupakan fasilitas yang dibuat dengan menggunakan pendekatan sistem sehingga menghasilkan perancangan yang dapat