• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penelitian di Sulawesi Tengah. Mas Pujo meminta kami, saya dan satu teman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. melakukan penelitian di Sulawesi Tengah. Mas Pujo meminta kami, saya dan satu teman"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 2012 saya mendapat kesempatan dari seorang dosen antropologi untuk melakukan penelitian di Sulawesi Tengah. Mas Pujo meminta kami, saya dan satu teman seangkatan untuk riset di kalangan transmigran Bali. Kami berdua pun berangkat dari Yogyakarta menuju Kota Palu, bersama dengan tiga teman S2 yang akan riset juga di Sulawesi Tengah. Selama kurang lebih satu minggu kami tinggal di Palu untuk mengurus perijinan dan menentukan lokasi riset. Ada beberapa tempat di Sulawesi Tengah yang dihuni oleh transmigran Bali, dan yang paling banyak di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo). Dalam beberapa dekade terakhir ini pun para petani Bali di Kabupaten Parimo menjadi pemasok beras terbanyak di Sulawesi Tengah.

Selama di Palu, ada beberapa teman dari antropologi UNTAD (Universitas Tadulako) yang membantu kami menentukan lokasi penelitian. Kami menuju dua lokasi yang berbeda, karena memang diberi pesan oleh Mas Pujo bahwa lokasi tidak boleh sama. Teman saya berangkat ke daerah Pantai Timur yaitu Kabupaten Parigi Moutong, dan saya ke daerah Pantai Barat yaitu Kabupaten Donggala. Lokasi penelitian saya yaitu transmigran Bali yang ada di Desa Parisan Agung. Kebetulan salah satu anak Kepala Desa Parisan Agung saat itu adalah anak antropologi UNTAD. Jadi teman-teman di Palu bisa langsung menghubungi bahwa saya akan riset disana.

(2)

2 Provinsi Sulawesi Tengah merupakan daerah yang struktur geologinya didominasi oleh bentangan pegunungan dan dataran tinggi. Penduduk asli di Sulawesi Tengah adalah orang Kaili. Orang Kaili merupakan suku etnis terbesar yang mendiami daerah Sulawesi Tengah. Namun di Desa Parisan Agung ini orang Kaili tergolong pendatang, karena penduduk lokal disini yaitu orang Dampelas dan orang Pendao.

Pertama kali sampai di Desa Parisan Agung, saya langsung tinggal beberapa hari di rumah Kepala Desa. Setelah itu barulah saya pindah tinggal ke satu dusun ditinggali oleh transmigran Bali. Saat masih tinggal di rumah Pak Kepala Desa, sempat beberapa kali saya mengobrol santai dengan Pak Kepala Desa. Ia mengatakan bahwa persawahan yang ada di Parisan Agung berasal dari orang-orang Bali. Jadi yang bertani sawah pada awalnya dimulai oleh transmigran Bali yang datang di desa ini. Saya juga sempat jalan-jalan keliling desa untuk melihat bagaimana aktivitas sehari-hari penduduk disini. Ternyata tidak hanya transmigran Bali yang bekerja di sawah, penduduk lokal dan pendatang lainnya juga. Hal itu membuat saya tertarik untuk mengetahui bagaimana transmigran Bali awalnya membangun sistem pertanian intensif disini, dan bagaimana penduduk lokal kemudian terlibat di dalamnya.

B. Studi Pustaka

Junghans (1982) menuliskan tentang hasil survei timnya tentang apa yang terjadi pada transmigrasi di Propinsi Lampung. Transmigrasi di Lampung dilatarbelakangi oleh kondisi Pulau Sumatra yang memiliki tanah cadangan luas tapi masih mengimpor beras. Memang kala itu sektor pertanian di Lampung didominasi oleh tanaman perkebunan yang produksinya ditujukan untuk pasaran dunia. Saat itu Lampung merupakan penghasil lada

(3)

3 terbesar di seluruh nusantara. Penanaman lada hanya dilakukan di sepetak tanah kecil milik keluarga-keluarga setempat. Pada musim panen lada keluarga-keluarga ini membutuhkan buruh tani untuk membantu. Buruh tani ini biasanya mereka dapatkan terutama dari Jawa Barat. Mereka biasanya bekerja dua sampai tiga bulan sebagai pemetik lada. Tiga bulan berikutnya baru sebagai tukang sortir di gudang-gudang lada di Teluk Betung. Perpindahan tenaga kerja yang sementara ini ternyata berdampak adanya implikasi-implikasi sosial yang serius. Pada tahun 1928 kemudian terjadi depresi dimana-mana, petani-petani Sumatra menderita kerugian melebihi petani-petani di Jawa. Harga beras pun saat itu naik karena adanya kelaparan di India (1927) dan Birma (1931).

Pemerintah Belanda pun melakukan gerak cepat. Mereka menyusun rencana untuk menempatkan beberapa pemetik lada asal Jawa sebagi petani padi di Lampung. Kelak bertambahnya produksi beras diharapkan mampu mengurangi ketergantungan Lampung pada pasaran beras dunia. Program transmigrasi di Lampung dimulai dengan proyek irigasi yang dilakukan di Pringsewu. Pada tahun 1936 proyek irigasi tersebut selesai, kemudian sekitar 10.000 KK (Kepala Keluarga) asal Jawa mulai ditempatkan di tanah persawahan irigasi yang subur itu.

Junghans dan timnya mengumpulkan sumber-sumber lain tentang apa sebenarnya tujuan dari proyek tersebut. Secara umum terdapat dua hal penting, pertama, untuk memberi dukungan pemerintah pada perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke Lampung yang telah berlangsung sebelumnya. Kedua, untuk meningkatkan swasembada beras di karesidenan yang sangat tergantung pada impor beras. Junghans dan timnya pun mengkritisi tentang proyek Pringsewu tersebut. Mereka meringkasnya dalam tiga poin

(4)

4 penting. Pertama yaitu transmigrasi berlandaskan proyek-proyek irigasi tidak lagi merupakan langkah yang murah untuk meningkatkan produksi beras agar tercapai swasembada beras di Sumatra. Kedua, cara tersebut merupakan penyelesaian dalam jangka pendek karena sejak awal menimbulkan keresahan sosial dan mengandung kelemahan-kelemahan dalam struktur agraria dan sistem pemilikan tanah. Ketiga, cara tersebut membuat adanya pembatasan-pembatasan tehadap pemanfaatan penuh dari semua potensi pertanian di Sumatra.

Tim survei Junghans pun mencari alasan mengapa pemerintah Indonesia masih menggunakan kebijaksanaan tersebut di Lampung. Mereka melakukan wawancara dengan pejabat-pejabat di semua tingkat pemerintahan, lalu didapatkan jawaban yang mereka ringkas dalam tiga pernyataan. Pertama, yaitu transmigran utama datang dari Pulau Jawa dan tetap memakai pola produksi pertanian tradisional yakni penanaman padi yang diairi. Setelah beberapa generasi, mereka baru mengenal tanaman tahunan, dan tanaman kering lain. Persawahan merupakan ciri dari tradisi kebudayaan yang mereka sulit tinggalkan, dan hanya sawah irigasilah yang menarik para petani Jawa untuk bermigrasi. Kedua, yaitu usaha untuk memukimkan transmigran-transmigran di daerah tanah kering tanpa irigasi kurang berhasil. Hasil pertanian menurun selama pelaksanaan, sehingga para petani meninggalkan proyek setelah 8-10 tahun. Ketiga, yaitu irigasi merupakan langkah pembangunan yang paling diminati oleh DPRD setempat serta para gubernur, bupati dan camat.

Tim survei Junghans tidak hanya mengkritisi tapi juga mengemukakan saran-saran umum untuk proyek-proyek transmigrasi di masa mendatang. Pertama,

(5)

5 tujuan-tujuan dasar dari transmigrasi harus diubah, bukan lagi sebagai cara menyelesaikan pertambahan penduduk di Jawa maupun usaha mengatasi kekurangan beras di Indonesia. Tujuan utamanya yaitu untuk menggunakan tanah cadangan yang luas di Sumatra sehingga bermanfaat bagi perekonomian nasional, sekaligus memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi para petani. Kedua, pola penggunaan tanah yang banyak memerlukan modal seharusnya jangan dilakukan, mengingat keterbatasan dana. Ketiga, harus tersedia pendapatan yang cukup tinggi dan terjamin untuk menarik transmigran. Mengingat lagi bahwa petani-petani di Jawa yang berpenduduk padat tidak hanya mencari tanah, melainkan taraf hidup yang lebih tinggi.

Keempat, di Jawa pelaksanaan program rehabilitasi untuk prasarana berlangsung dengan cepat. Para perencana pemukiman harus lebih memperhatikan fasilitas-fasilitas prasarana. Kelima, rencana transmigrasi yang bertujuan mengerahkan potensi-potensi tanah milik Negara seharusnya tidak mengandung pola pertanian untuk swasembada., tetapi untuk pemasaran. Keenam, produksi untuk pemasaran membutuhkan tingkat pengetahuan teknis yang tinggi, dimana ini tidak dimiliki oleh dari transmigran dari Jawa yang mementingkan pertanian swasembada.

Ketujuh, prosedur perencanaan dan pelaksanaan proyek harus merupakan suatu rangkaian langkah-langkah menurut prioritas sebagai berikut:

a.) Survei penggunaaan tanah yang terperinci dari propinsi yang bersangkutan untuk menentukan kedudukan (ranking) tanah-tanah cadangan menurut potensi-potensinya sebagai daerah pemukiman;

(6)

6 b.) Disain dari pola produksi pertanian bagi usaha tani keluarga berlandaskan kebutuhan akan hasil pertanian di daerah, di luar daerah serta di pasaran dunia; demikian juga perkiraan biaya untuk usaha tani yang baru itu dengan perincian biaya untuk perumahan dan bangunan lain, alat-alat pertanian, perlengkapan serta biaya sehari-hari;

c.) Disain serta perkiraan biaya untuk fasilitas-fasilitas sarana di bidang sosial dan prasarana;

d.) Disain serta perkiraan biaya untuk fasilitas pengolahan hasil pertanian dan pemasaran, dan adanya usaha khusus agar para pengusaha swasta di bidang industri pengolahan meanruh perhatian terhadap proyek-proyek terpadu secara vertikal;

e.) Latihan intensif bagi para petugas penyuluhan pertanian dan petugas-petugas penyuluhan sosial di daerah proyek yang direncanakan;

f.) Penjatahan dana-dana untuk produksi pertanian pertanian, pembentukan badan perkreditan pedesaan serta latihan personalia;

g.) Pembangunan fasilitas-fasilitas sarana di bidang sosial dan prasarana;

h.) Penjatahan tanah dan penempatan para transmigran;

i.) Penyuluhan peranian dan pelayanan kredit secara terus menerus bagi para petani baru.

(7)

7 Martono (1985) memandang transmigrasi secara umum, sebagai pilihan dan tanggung jawab bersama sebagai bangsa Indonesia. Transmigrasi merupakan sarana untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dengan tugas dasar yaitu memanfaatkan tanah-tanah yang belum digunakan agar lebih produktif. Memang dalam pelaksanaannya tidak mulus, banyak tuduhan-tuduhan yang alamatkan pada transmigrasi. Misalnya tuduhan Jawanisasi sampai pembunuhan suku-suku bangsa. Martono memiliki pandangan bahwa transmigrasi “pada umumnya” berhasil. Ia memakai kata “pada umumnya” karena program sebesar transmigrasi tidak mungkin tanpa celah atau kekeliruan dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Menurutnya setidaknya transmigrasi telah berhasil menciptakan 500.000 lapangan pekerjaan tetap antara tahun 1979 dan 1984. Dari situ sekitar 15 persen adalah tambahan tenaga kerja dari Jawa dan Bali. Selain iu, Martono mengungkapkan bahwa transmigrasi juga sebagai program pemukiman kembali secara sukarela yang terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada intinya bahwa seluruh rakyat Indonesia dimana pun dia tinggal berhak memiliki kesempatan untuk menikmati sumber daya yang luas yang masih belum banyak dimanfaatkan. Transmigrasi pun cukup membantu, meski solusi pemecahan-pemecahan lain juga diperlukan.

Patrice Levang (2003), lebih banyak mengkritisi program transmigrasi di Indonesia secara menyeluruh. Transmigrasi yang menggantikan kolonisasi tetap diminati oleh Pemerintah Indonesia tak lepas dari pandangan paternalistik yang ada di Indonesia. Setiap program pembangunan seperti transmigrasi harus berskala nasional. Paternalisme ala Indonesia menurut Levang yaitu bapakisme, dapat diartikan bahwa seorang bapak harus menjamin kelangsungan hidup anak-anaknya melalui swasembada pangan.

(8)

8 Swasembada pangan itu bergantung pada produksi beras, dan merupakan tanggung jawab moral pemerintah.

Selain itu, transmigrasi juga dianggap sebagai salah satu bentuk ekspansi pola pemerintahan. Pemilihan oleh pusat yang menentukan pola acuan, dan itu bukan suatu kebetulan tapi memang direncanakan. Transmigrasi pun menjadi cara utama untuk memperluas pola ideal dari pusat ke pinggiran. Kelemahan dari transmigrasi yaitu program ini melakukan pengembangan pertanian dengan tujuan ganda, yaitu kebijakan pembangunan dan kebijakan sosial. Pusat tidak ingin menggusur atau memusnahkan penduduk pinggiran untuk mengambil tanah mereka. Tujuan utamanya malah mengintegrasikan semua suku bangsa ke dalam satu bangsa yang besar yaitu Bangsa Indonesia. Disini transmigrasi memegang peran penting yaitu memberikan tugas pada para transmigran untuk memberikan contoh teknik budidaya modern yaitu budidaya padi sawah.

Agung Nugraha (2005), menuliskan bahwa pada tahun 1980, Pemerintah Indonesia menetapkan sumber pangan nasional yaitu beras. Perubahan pola makan pun cenderung diseragamkan dari makanan pokok non beras (sagu, jagung, gandum, atau ketela) ke beras. Hal itu menyebabkan ketergantungan terhadap beras semakin membengkak. Keadaan pun berkata lain, dimana kebutuhan beras tidak didukung oleh kemampuan daerah dalam menyediakan produksi pangan pokoknya. Pemerintah lalu menerapkan kebijakan pemerataan sistem pertanian sawah yang wajib diterapkan di seluruh pelosok negeri. Kebijakan tersebut diwujudkan melalui program transmigrasi dan program bina desa hutan. Agung Nugraha mengkaji tentang salah satu kehidupan

(9)

9 masyarakat desa hutan yaitu Desa Tanjung Paku yang letaknya di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimanan Tengah. Ia menuliskan bagaimana perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Desa Tanjung Paku dengan adanya instrumen kebijakan HPH Bina Desa pada awal decade tahun 1990-an. Masyarakat desa hutan yang awalnya melakukan perladangan berpindah, mulai dilibatkan dalam kegiatan pertanian lahan basah.

Menurut Nugraha, masyarakat Tanjung Paku telah mengalami gagap budaya (cultural lag) sebagai akibat dari kebijakan pembangunan dari pemerintah. Pemerintah kurang bahkan tidak mempertimbangkan tingkat perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakatnya, serta kondisi ekologi wilayah setempat. Pertanian sawah membutuhkan konfigurasi wilayah yang kaya akan gunung berapi, yang menjadi kesuburan tanah di sekitarnya. Selain itu aliran sungai dari gunung juga dipelukan sebagai sumber irigasi. Irigasi pun memerlukan sebuah organisasi sosial dan kelembagaan masyarakat yang mampu mengelola pengaturan air. Pertanian sawah juga bersifat intensif sehingga diperlukan jumlah tenaga kerja yang cukup dan waktu pengerjaan yang memadai sehingga bisa menjelma menjadi mata pencaharian utama bukan sampingan. Dan yang terakhir yaitu modal yang dibutuhkan tidak kecil, untuk kebutuhan bibit dan berbagai sarana produksi. Pada intinya Nugraha mengemukakan bahwa pertanian sawah adalah sebuah kultur yang mencerminkan tingkat teknologi pengelolaan sumber daya lahan, perkembangan organisasi sosial dan sistem mata pencaharian.

Dari program bina desa hutan di atas dapat dilihat bahwa program tersebut hampir sama dengan transmigrasi yaitu merupakan kebijakan dari pemerintah sebagai

(10)

10 upaya untuk meningkatkan bahan pangan nasional. Program bina desa hutan dan transmigrasi juga sama-sama menerapkan pengolahan sawah di arena yang ditunjuk. Bedanya adalah dalam program bina desa hutan tidak ada transmigran yang menjadi contoh dalam bertani intensif. Mereka hanya diberi pengarahan dari pemerintah, tanpa ada pihak yang memberikan contoh langsung dalam mengerjakan pertanian intensif.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, saya tertarik untuk mengetahui bagaimana awal masuknya transmigan Bali ini ke Desa Parisan Agung. Program transmigrasi merupakan jembatan bagi para petani Bali untuk merintis kehidupan di lingkungan yang baru. Transmigran Bali ini menerapkan pola petanian intensif dengan membudidayakan padi di daerah transmigrasi yang sebelumnya belum dilakukan oleh penduduk lokal. Rumusan pertanyaan dalam tulisan ini adalah bagaimana transmigran Bali tersebut menjadi pelopor pertanian intensif di daerah transmigrasi?

D. Kerangka Pemikiran

Dalam KBBI transmigrasi berarti perpindahan penduduk dari satu daerah (pulau) yang berpenduduk padat ke daerah (pulau) lain yang berpenduduk jarang. Kepadatan penduduk di Pulau Jawa menjadi faktor pendorong awalnya diadakan program transmigrasi di Indonesia. Pemindahan penduduk pun dilakukan dari Pulau Jawa ke pulau-pulau yang dianggap tidak padat penduduknya, seperti Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian saat itu. Transmigran Bali datang karena melalui program

(11)

11 transmigrasi, oleh karena ittu kita perlu tahu bagaimana awal transmigrasi itu bisa berjalan di Indonesia.

Transmigrasi di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda Transmigrasi pertama diadakan pada awal abad kedua puluh, dimana saat itu terjadi kemiskinan dan kemelaratan di Pulau Jawa akibat kerja paksa oleh Pemerintah Belanda. Salah satu tokoh Belanda, Van Deventer1 memiliki ide untuk memperbaiki nasib penduduk Jawa dengan politik etis, yaitu edukasi, irigasi, dan emigrasi. Pemerintah Belanda kemudian menugaskan seorang asisten residen bernama Heyting untuk merealisasikan ide tersebut. Pada tahun 1903 Heyting mengusulkan suatu sistem untuk membuat koloni-koloni di luar Pulau Jawa itu dengan cara: (a) membangun desa-desa inti dengan jumlah penduduk 500 KK (Kepala Keluarga) setiap desa inti, (b) penduduk desa inti diberi bantuan secukupnya agar ekonomi mereka lekas kuat dan selanjutnya desa-desa inti itu diharapkan akan bisa menjadi basis bagi para kolonis baru untuk membuka daerah sekitarnya (Purboadiwidjojo, 1986 : 9).

Pada masa itu program pemindahan penduduk yaitu kolonisasi2 pertama dilakukan pada tahun 1905 dengan memindahkan 155 keluarga petani dari Kedu ke desa baru di Gedong Tataan, sebelah selatan dari Way Sekampung di Lampung Selatan (Pelzer, 1982 : 1). Program transmigrasi dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode pertama yaitu kolonisasi, yang diawali tahun 1905 ke Pulau Sumatra. Kolonisasi ini

1

C.TH Van Deventer adalah seorang anggota Raad van Indie yang menulis EEn Eere Schuld dalam majalah De Gids, Amsterdam (1899), yang menguraikan kemelaratan penduduk Jawa sebagai akibat dari kerja paksa. (Purboadiwidjojo, 1986:9)

2

Kolonisasi merupakan istilah awal untuk program pemindahan penduduk keluar Pulau Jawa yang dibuat oleh pemerintah Belanda dengan membuat koloni-koloni di desa yang baru.

(12)

12 berlanjut selama kurun waktu 36 tahun sampai pecah Perang Dunia II, dan menyebabkan program tersebut terhenti di tahun 1941. Periode kedua yaitu saat Indonesia memulai sendiri program kolonisasi dengan istilah transmigrasi pada tahun 1950 (Rahardjo dan MacAndrews, 1983 : 91). Periode kedua dimana program transmigrasi dimulai oleh pemerintah Indonesia merupakan kebijaksanaan nasional yang dianggap penting. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh Presiden Soekarno yang begitu yakin bahwa masalah utama kependudukan adalah distribusi penduduk yang tidak merata. Sebenarnya ada cara lain untuk mengatasi kepadatan penduduk selain transmigrasi yaitu dengan program KB (Keluarga Berencana) yang bertujuan untuk membatasi kelahiran. Namun pada masa Presiden Soekarno, transmigrasi lebih diutamakan karena ia merupakan penentang usaha pembatasan kelahiran. Menurut Presiden Soekarno pembatasan kelahiran bertentangan dengan moral (H. Hull dan Bagus Mantra, 1981: 345). Berikut tampak dari pernyataan Presiden Soekarno pada tahun 1964:

“Pemecahan saya adalah menggarap lebih banyak tanah, sebab apabila kamu menggarap seluruh tanah di Indonesia, maka tanah itu dapat memberi makan 250 juta orang dan sekarang penduduk negara saya baru 103 juta …. di negara saya, lebih banyak anak lebih baik”3

Akhirnya transmigrasi tetap dipertahankan dan dikaitkan dengan usaha pembangunan regional di daerah penerima. Meski demikian harus dipertimbangkan juga masalah-masalah daya tampung wilayah dan pentingnya studi mendalam, serta pelaksanaan yang hati-hati (H. Hull danBagus Mantra, 1981: 344).

3

(13)

13 Tidak hanya Pulau Jawa, di Pulau Bali pun diadakan program transmigrasi karena juga dianggap padat penduduknya. Pada penelitian kali ini saya mendapatkan kesempatan untuk mendatangi transmigran Bali, tepatnya di salah satu desa di Kabupaten Donggala. Masuknya transmigran Bali ke Sulawesi Tengah sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Pada tahun 1905 Pemerintah Belanda mengirimkan 12 keluarga Bali yang diasingkan oleh raja-raja Bali karena melakukan pelanggaran-pelanggaran politik dan hukum ke daerah Parigi, Sulawesi Tengah. Daerah Parigi dilihat oleh Pemerintah Belanda sebagai daerah yang tingkat kesuburannya tinggi dan taraf penduduk aslinya sangat marginal. Selama jangka waktu dua puluh tahun setelah itu diperkirakan bahwa keluarga Bali dalam pengasingan yang berada di daerah tersebut berjumlah enam puluh. Ketika pada tahun 1928 dimaklumatkan suatu pengampunan umum, kebanyakan dari antara mereka segera angkat kaki pulang mudik ke Bali (MacAndrews dan Rahardjo, 1983: 183).

Sebagian dari mereka memilih bertahan, dan pada waktu itu para migran Bali di daerah Parigi, Sulawesi Tengah bisa bergerak dan berkembang dengan cukup leluasa. Mereka membangun sistem pertanian irigasi dan memperluas tanah pertanian. Bahkan mereka mampu mempertahankan upacara-upacara keagamaan dan pandangan hidup tradisional mereka, menyelenggarakan upacara-upacara persembahan secara menyolok dan upacara pembakaran mayat berkali-kali. Mereka mempertahankan berlakunya sebagian besar hukum adat mereka dan terus menggunakan (seperti yang dikerjakan orang-orang Indonesia pada umumnya) bahasa ibu mereka dalam pergaulan hidup sehari-hari di rumah (MacAndrews dan Rahardjo, 1983: 183). Pada tahun 1967 pemerintah setempat pun menyaksikan kemampuan orang-orang Bali tersebut dalam

(14)

14 bidang pertanian. Mereka meminta agar pemerintah pusat mengirim 200 keluarga lagi ke daerah tersebut. Masalah tekanan penduduk dan pemilikan tanah yang semakin sempit di Bali dan karena dipikat oleh persediaan tanah yang begitu luas dan juga oleh adanya curah hujan sepanjang tahun di Sulawesi, mendorong 100 keluarga pada tahun 1968-1969, 300 keluarga pada tahun 1970, 500 keluarga pada tahun 1971, dan 1.500 keluarga barangkali berjumlah 7.000 jiwa pada tahun 1972 (MacAndrews dan Rahardjo, 1983: 185).

Transmigran Bali di Desa Parisan Agung ini bukan merupakan kelompok orang Bali yang pertama kali memasuki Kabupaten Donggala. Hanya untuk wilayah Desa Parisan Agung mereka lah kelompok orang Bali pertama yang datang. Kelompok petani Bali memiliki keterkaitan pada tanah kelahiran, sehingga mereka yang berpindah keluar dari tanah kelahirannya akan membawa identitas etnik mereka ke daerah yang baru dan mempertahankannya (Levang, 2003 : 68). Ada istilah kelompok etnik menurut Narrol yaitu suatu populasi yang: (1) Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3) Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh orang lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Barth, 1988 : 11). Transmigran Bali di Parisan Agung ini termasuk dalam kelompok etnik karena mereka yang tinggal mengelompok ini sangat nampak berbeda dengan penduduk lokal.

Transmigrasi merupakan migrasi yang direncanakan; mulai dari proses penyeleksian para transmigran hingga penempatan mereka, berbeda dengan

(15)

15 bentuk-bentuk migrasi lainnya seperti migrasi dari desa ke kota. Berbagai bantuan fasilitas pun diberikan bagi para transmigran agar migrasi yang direncanakan itu berjalan lancar. Berbekal dari bantuan fasilitas dari pemerintah dan kebersaman mereka yang kuat, transmigan Bali ini pun bisa membanguun kehidupan awal di lingkungan yang baru.

E. Metode penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Parisan Agung, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan Februari – Maret tahun 2012. Transmigran Bali di Desa Parisan Agung tinggal mengelompok dalam satu dusun, yaitu di dusun 4 (empat) atau lebih dikenal dengan nama Dusun Mukti Agung. Transmigran Bali ini hidup rukun berdampingan dengan penduduk lokal dan orang-orang pendatang lainnya yang tinggal di dusun lain.

Metode yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi. Selama di Dusun Mukti Agung, saya tinggal di rumah kepala dusun. Selama tinggal tinggal bersama transmigran Bali ini saya dapat merasakan langsung kehidupan sehari-hari mereka, dari pagi sampai malam hari. Saya tidak melakukan wawancara kaku secara formal terhadap beberapa orang, namun dari obrolan-obrolan santai dan pengamatan langsung, saya mengumpulkan informasi. Pertama kali memasuki Dusun Mukti Agung, tampak pemukiman penduduk seperti di Pulau Bali.

Saya mengamati berbagai macam kegiatan sehari-hari transmigran Bali di Mukti Agung, bahkan ikut terlibat di dalamnya. Saya mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh keluarga pak dusun setiap harinya. Kegiatan rumah tangga misalnya pergi ke sawah atau kebun, pergi ke pasar, dan pergi ke pura. Sebisa mungkin dengan hidup berbaur

(16)

16 dengan transmigran, informasi diperoleh menurut pandangan orang yang diteliti. Dalam kegiatan pertanian intensif, saat itu saya sempat mengikuti masa panen. Kegiatan peribadahan juga, dan pada saat itu saya sempat mengikuti rangkaian kegiatan hari raya Nyepi. Dimulai dari melasthi yaitu beribadah di pinggir laut pada pagi hari, kemudian sore harinya mengarak ogoh-ogoh keliling dusun dan berakhir di kuburan. Sampai di kuburan, ogoh-ogoh tersebut dibakar. Selain itu ada sembahyang di sawah saat menjelang masa panen. Selama di Mukti Agung, saya bisa merasakan bahwa kehidupan transmigran Bali di tanah rantau masih lekat dengan tradisi Hindu yang mereka bawa dari daerah asal.

Referensi

Dokumen terkait