1
PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA
NOMOR 1 TAHUN 2011
TENTANG
PAJAK DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LUWU UTARA,
Menimbang : a. bahwa setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah;
b. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka beberapa Peraturan Daerah yang mengatur Pajak Daerah di Kabupaten Luwu Utara sudah tidak sesuai lagi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah Kabupaten Luwu Utara.
Mengingat : 1. Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
2
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3262) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Luwu Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3826);
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189);
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3
8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
10. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
11. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemeritahan, Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).
4
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA dan
BUPATI LUWU UTARA MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA
TENTANG PAJAK DAERAH
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Luwu Utara.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Bupati adalah Bupati Luwu Utara.
4. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Perpajakan Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
5. Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
6. Peraturan Kepala Daerah adalah Peraturan Bupati.
7. Keputusan Kepala Daerah adalah Keputusan Bupati.
8. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib
kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
9. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
5
lainnya,lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
10. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
11. Hotel adalah fasilitas penyediaan jasa penginapan/peristirahatan
termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggarahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
12. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
restoran.
13. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan
dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
14. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggara hiburan.
15. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau
keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
16. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak
ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempermosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
17. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
18. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan
memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
19. Usaha besar adalah kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan
bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari pada kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan Usaha Kecil.
20. Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik
yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
21. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/ atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
22. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan
batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
6
23. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar
badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyedian tempat penitipan kendaraan bermotor.
24. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat
sementara.
25. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/ atau pemanfaatan
air tanah.
26. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
27. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan
hak atas tanah dan/atau bangunan.
28. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
29. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang- undang di bidang pertanahan dan bangunan.
30. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan
Pajak.
31. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
32. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka
waktu lain yang di atur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
33. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender,
kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
34. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
35. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan
data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
7
36. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD,
adalah surat yang oleh Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak,objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan perpajakan daerah.
37. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
38. Surat Ketatapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
39. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat
SKPDKB, adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak,jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi admnistratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
40. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya
disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
41. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN,
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
42. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat
SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
43. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD, adalah
Surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
44. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
8
45. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas kebaratan
terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
46. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga
rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
47. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding
terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
48. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, pengahasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
49. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpung dan mengolah
data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan Daerah.
50. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah.
51. Sanksi Administrasi adalah sanksi yang diberikan secara administrasi
kepada subyek pajak maupun wajib pajak atas pelanggaran ketentuan-ketentuan teknis administrasi dalam pengelolaan bahan mineral bukan logam dan bantuan dan kelalaian dalam memenuhi kewajiban pajaknya kepada pemerintah daerah dapat berupa teguran tertulis, penutupan sementara lokasi penambangan, pembongkaran material, pengenaan bunga.
52. Penyidikan tindak pidana di bidang pajak daerah adalah serangkaian
tindak yang dilakukan oleh penyidik Pegawai Negeri Sipil, untuk mencari serta mengumpulkan bukti dengan bukti itu membuat keterangan tindak pidana di bidang pajak daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
9 BAB II JENIS PAJAK
Pasal 2 Jenis Pajak terdiri atas:
a. Pajak Hotel, dipungut pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel
dengan pembayaran;
b. Pajak Restoran, dipungut pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
restoran;
c. Pajak Hiburan, dipungut pajak atas jasa penyelenggaraan hiburan dengan
pungutan bayaran;
d. Pajak Reklame, dipungut pajak atas semua penyelenggaraan reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan, dipungut pajak atas pengunaan tenaga listrik;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, dipungut pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan;
g. Pajak Parkir, dipungut pajak atas penyelenggaraan tempat parker diluar
badan jalan;
h. Pajak Air Tanah, dipungut pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan
air tanah;
i. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dipungut pajak atas
bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan; dan
j. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dipungut pajak atas
perolehan hak atas Tanah dan/atau Bangunan. BAB III
PAJAK HOTEL Pasal 3
(1) Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan
pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olah raga dan hiburan.
10
(2) Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas
telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel.
(3) Tidak termasuk Objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah :
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah;
b. jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti
asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh
Hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum. Pasal 4
(1) Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pembayaran kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel.
(2) Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan
Hotel.
Pasal 5
Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada hotel.
Pasal 6
Tarif Pajak Hotel ditetapkan sebesar 10% (sepuluh perseratus). Pasal 7
(1) Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
11
(2) Pajak Hotel yang terutang dipungut dalam wilayah Kabupaten Luwu
Utara.
Pasal 8
Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender. BAB IV
PAJAK RESTORAN Pasal 9
(1) Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran.
(2) Pelayanan yang disediakan Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain.
(3) Tidak termasuk Objek Pajak Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) per bulan.
Pasal 10
(1) Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli
makanan dan/atau minuman dari Restoran.
(2) Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang
mengusahakan Restoran.
Pasal 11
Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima Restoran.
Pasal 12
12 Pasal 13
(1) Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Pajak Restoran yang terutang dipungut dalam wilayah Kabupaten Luwu
Utara.
Pasal 14
(1) Setiap Wajib Pajak Restoran wajib menggunakan bon penjualan (bill)
untuk setiap transaksi pelayanan restoran, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Bupati.
(2) Bagi Wajib Pajak Restoran yang wajib menggunakan bon penjualan (bill),
tetapi tidak menggunakan bon penjualan (bill) dikenakan sanksi adminiistrasi berupa denda sebesar 2% (dua perseratus) per bulan dari dasar pengenaan pajak.
(3) Tata cara penggunaan bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Pasal 15
(1) Wajib Pajak Restoran wajib melegalisasi bon penjualan (bill) kepada
Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menangani Pajak Restoran, kecuali yang ditetapkan lain oleh Bupati.
(2) Wajib Pajak Restoran yang dikecualikan melegalisasi bon penjualan (bill),
Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bupati.
(3) Bagi Wajib Pajak Restoran yang wajib melegalisasi bon penjualan (bill)
tetapi menggunakan bon penjualan (bill) yang tidak dilegalisasi dikenakan
sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua perseratus) per bulan dari Dasar Pengenaan Pajak.
Pasal 16
13 BAB V PAJAK HIBURAN
Pasal 17
(1) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan
dipungut bayaran.
(2) Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. tontonan film;
b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/ atau busana;
c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d. pameran;
e. karaoke, dan sejenisnya;
f. sirkus, akrobat, dan sulap;
g. permainan billyar, golf, dan boling;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i. pijat refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitnes center); dan
j. pertandingan olahraga;
(3) Dikecualikan dari Objek Pajak Hiburan adalah hiburan berupa kesenian
rakyat/tradisional, keagamaan, pernikahan, dan upacara adat yang dipandang perlu untuk dilestarikan dan diselenggarakan ditempat yang dapat dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat.
Pasal 18
(1) Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati
Hiburan.
(2) Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang
menyelenggarakan Hiburan.
Pasal 19
(1) Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau
14
(2) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada
penerima jasa Hiburan.
Pasal 20
Struktur pengenaan tarif hiburan ditetapkan sebagai berikut :
a. tontonan film :
1. bioskop sebesar 35%;
2. layar tancap sebesar 10%.
b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/ atau busana :
1. pagelaran kesenian sebesar 10%;
2. pagelaran musik sebesar 10%;
3. pagelaran tari sebesar 10%;
4. pagelaran busana sebesar 50%.
c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya :
1. kontes kecantikan sebesar 50%;
2. binaraga sebesar 35%.
d. pameran sebesar 10%.
e. karaoke, dan sejenisnya sebesar 20%.
f. sirkus, akrobat, dan sulap sebesar 10%.
g. permainan billyar, golf, dan boling sebesar 15%.
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan sebesar
10%.
i. pijat refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitnes center) dan fasilitas olahraga lainnya:
1. pijat refleksi, mandi uap/spa sebesar 20%;
2. pusat kebugaran sebesar 10%;
3. fasilitas olahraga lainnya sebesar 10%
15 Pasal 21
(1) Besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).
(2) Pajak Hiburan yang terutang dipungut dalam wilayah Kabupaten Luwu
Utara.
Pasal 22
Tata cara pemberian izin Pajak Hiburan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 23
Masa Pajak Hiburan adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.
BAB VI PAJAK REKLAME
Bagian Kesatu Objek dan Subjek Pajak
Pasal 24
(1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
(2) Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. reklame papan/billboard/videotron/megtaron dan sejenisnya;
b. reklame kain;
c. reklame melekat, stiker;
d. reklame selebaran;
e. reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. reklame udara;
g. reklame apung;
16
i. reklame film/slide; dan
j. reklame peragaan.
(3) Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah:
a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta
harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/ merek produk yang melekat pada barang yang
diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenisnya lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada
bangunan tempat usaha atau profesi diselenggerakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. reklame yang diselenggerakan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah.
Pasal 25
(1) Subjek Pajak Reklame adalah Orang Pribadi atau Badan yang
menggunakan Reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame adalah Orang Pribadi atau Badan yang
menyelenggarakan reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang
pribadi atau Badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut.
(4) Dalam hal Reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga
tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame. Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak Reklame Tidak Bergerak Pasal 26
(1) Dasar pengenaan Pajak Reklame Tidak Bergerak adalah Nilai Sewa
Reklame.
17
(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diketahui dan/ atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Cara perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) ditetapkan sebagai berikut :
a. Nilai Sewa Reklame (NSR) hasil penjumlahan Nilai Sewa Pajak
Reklame (NSPR) dan Nilai Jual Obyek Pajak Reklame (NJOPR);
b. Nilai Sewa Pajak Reklame (NSPR) sebagaimana dimaksud pada huruf
a, diperoleh dari hasil penjumlahan klasifikasi jalan dan lokasi pemasangan/kepadatan pemanfaatan;
c. Klasifkasi jalan dan lokasi pemasangan/kepadatan pemanfaatan
sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sebagai berikut : 1. Klasifikasi jalan
No Klasifikasi Harga Dasar Per Titik (Rp)
1 Jalan nasional 75.000
2 Jalan propinsi 60.000
3 Jalan kabupaten 50.000
4 Jalan desa/kolektor 30.000
2. Lokasi pemasangan/kepadatan pemanfaatan
No Lokasi Harga dasar per titik (rp)
1 Kawasan khusus 200.000
2 Kawasan bisnis 125.000
18
4 Kawasan terbuka 60.000
5 Kawasan industri 40.000
6 Kawasan perkantoran 30.000
7 Kawasan pendidikan 20.000
d. Nilai Jual Obyek Pajak Reklame (NJOPR) adalah jenis, luas, tarif dan
jangka waktu penyelenggaraan;
e. Nilai Jual Obyek Pajak Reklame (NJOPR) sebagaimana dimaksud
pada huruf d ditetapkan sebagai berikut :
No Jenis Reklame Ukuran Tarif
(Rp) Jangka Waktu Penyelenggaraan 1 2 3 4 5 1. 2. 3. 4. 5. Bilboard Papan : a. Papan Merek b. Neon Sign/ Neon Box c. Tin plate d. Baligo Megatron Kain Melekat/poster: a.Poster b.Flug chain c. Grafitti M2 M2 M2 M2 M2 Hari M2 Lembar M2 M2 1.000.000 200.000 500.000 750.000 100.000 1.500.000 40.000 100.000 50.000 50.000 1 tahun 1 tahun 1 tahun 1 tahun 1 bulan 1 hari 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan
(6) Hasil perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat
19 Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak Reklame Bergerak Pasal 27
(1) Dasar pengenaan Pajak Reklame Bergerak adalah Nilai Sewa Reklame.
(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diketahui dan/ atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Cara perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) ditetapkan sebagai berikut :
a. Nilai Jual Obyek Pajak Reklame (NJOPR) adalah Nilai Sewa Reklame
(NSR);
b. Nilai Jual Obyek Pajak Reklame (NJOPR) adalah jenis, luas, tarif dan
jangka waktu penyelenggaraan;
c. NSR = jenis x luas x tarif x jangka waktu penyelenggaraan;
d. Nilai Jual Obyek Pajak Reklame (NJOPR) sebagaimana dimaksud
pada huruf b diuraikan sebagai berikut :
No Jenis Reklame Ukuran Tarif (Rp) Penyelenggaraan Jangka Waktu
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 Selebaran Berjalan pada Kendaraan Udara Suara Film/slide Peragaan : 100/lembar M2 Buah Hari Hari 30.000 200.000 350.000 300.000 300.000 1 bulan 1 tahun 1 hari 1 hari 1 hari
20 a. diluar ruangan yang bersifat permanen b. tidak permanen 1 (satu) kali peragaan 1 (satu) kali peragaan 50.000 50.000 1 hari 1 hari
(6) Hasil perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Pasal 28
(1) Tarif Pajak Reklame Tidak Bergerak ditetapkan sebesar 25% (dua puluh
lima perseratus) untuk penyelenggaraan usaha besar dan 10% (sepuluh perseratus) untuk penyelenggaran usaha kecil.
(2) Tarif Pajak Reklame Bergerak ditetapkan sebesar 20% (dua puluh
perseratus).
Pasal 29
(1) Besaran pokok pajak reklame tidak bergerak yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dengan dasar pengenaan pajak (NSR) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) huruf a.
(2) Besaran pokok pajak reklame bergerak yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak (NSR) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5) huruf c.
(3) Pajak reklame yang terutang dipungut dalam wilayah daerah Kabupaten
Luwu Utara.
Pasal 30
Masa Pajak Reklame adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.
21 BAB VII
PAJAK PENERANGAN JALAN Pasal 31
(1) Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
(2) Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi seluruh pembangkit tenaga listrik.
(3) Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana di maksud
pada ayat (1) adalah :
a. penggunaan tenaga listrik oleh Instansi Pemerintah dan Pemerintah
Daerah;
b. penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh
kedutaan, konsultan, dan perwakilan asing dengan asas timbal balik; dan
c. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas
tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait. Pasal 32
(1) Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah Orang Pribadi atau Badan yang
dapat menggunakan tenaga listrik.
(2) Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah Orang Pribadi atau Badan yang
menggunakan tenaga listrik.
(3) Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak
Penerangan Jalan adalah penyedian tenaga listrik. Pasal 33
(1) Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.
(2) Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan :
a. dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran,
Nilai Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/ tetap ditambah dengan biaya pemakaian kwh/ variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik;
22
b. dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat pengguna listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
Pasal 34
(1) Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh perseratus).
(2) Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan
minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga perseratus).
(3) Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan
Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5 % (satu koma lima perseratus).
(4) Pajak Penerangan Jalan yang terutang dipungut di wilayah Kabupaten
Luwu Utara.
Pasal 35
(1) Besaran pokok Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).
(2) Pajak Penerangan Jalan yang terutang dipungut diwilayah daerah tempat
penggunaan tenaga listrik.
(3) Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk
penyediaan Penerangan Jalan.
(4) Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk
penyediaan Penerangan Jalan sebagaimana diatur pada ayat (3) akan diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 36
23 BAB VIII
PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN Pasal 37
(1) Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang meliputi:
a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur; e. batu apung; f. batu permata; g. bentonit; h. dolomit; i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k. grafit; l. granit/andesit; m. gips; n. kalsit; o. kaolin; p. leusit; q. magnesit; r. mika; s. marmer; t. nitrat; u. opsidien; v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
24 aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatome;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras; gg. yarosit; hh. zeolit; ii. basal; jj. trakkit;
kk. mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Dikecualikan dari objek pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang
nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa air/gas;
b. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang
merupakan ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial.
Pasal 38
(1) Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau
Badan yang dapat mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(2) Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau
Badan yang mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan. Pasal 39
(1) Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai
25
(2) Nilai Jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan
mengalikan volume/ tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis Mineral Bukan logam dan Batuan.
(3) Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah harga rata-rata
yang berlaku di lokasi setempat di wilayah daerah yang bersangkutan.
(4) Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi Mineral Bukan Logam dan
Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sulit diperoleh, digunakan harga standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Pasal 40
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus).
Pasal 41
(1) Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang
dihitung dengan cara mengalihkan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1).
(2) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang dipungut dalam
wilayah Kabupaten Luwu Utara. Pasal 42
Masa Pajak adalah jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan Kalender. BAB IX
PAJAK PARKIR Pasal 43
(1) Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat Parkir diluar badan
jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
26
(2) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. penyelenggaraan tempat Parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah;
b. penyelenggaraan tempat Parkir oleh Perkantoran yang hanya
digunakan untuk karyawan sendiri;
c. penyelenggaraan tempat Parkir oleh kedutaan, konsulat, dan
perwakilan negara asing dengan asas timbal balik. Pasal 44
(1) Subyek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
parkir kendaraan bermotor.
(2) Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang
menyelenggarakan tempat Parkir. Pasal 45
(1) Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang
seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat Parkir.
(2) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk potongan harga Parkir dan Parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Parkir.
Pasal 46
Tarif Pajak Parkir ditetapkan sebesar 30% (tiga puluh persetarus). Pasal 47
(1) Besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1).
(2) Pajak Parkir yang terutang dipungut dalam wilayah Kabupaten Luwu
27 Pasal 48
Masa Pajak adalah jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan Kalender. BAB X
PAJAK AIR TANAH Pasal 49
(1) Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air
Tanah.
(2) Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau
pemanfaatan Air Tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan.
Pasal 50
(1) Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. Pasal 51
(1) Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah.
(2) Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut:
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan
28
(3) Penggunaan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah.
(4) Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Pasal 52
Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh perseratus). Pasal 53
(1) Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagamaimana dimaksud dalam Pasal 52 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1).
(2) Pajak Air Tanah yang terutang dipungut dalam wilayah Kabupaten Luwu
Utara.
Pasal 54
Masa Pajak adalah jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan Kalender. BAB XI
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN Pasal 55
(1) Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi dan badan kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
(2) Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
b. jalan tol;
29
d. pagar mewah;
e. tempat olahraga;
f. galangan kapal, dermaga;
g. taman mewah;
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i. menara.
(3) Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan adalah objek pajak yang :
a. digunakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
penyelenggaraan pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenis
dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani suatu hak;
e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik.
(4) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar
Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Pasal 56
(1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang
pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
(2) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang
pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
30 Pasal 57
(1) Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah NJOP.
(2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3
(tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
(3) Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh Bupati.
Pasal 58
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan sebesar 0,1 % (nol koma satu perseratus).
Pasal 59
Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalihkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4)
Pasal 60
(1) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
(2) Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek
pajak pada tanggal 1 Januari.
(3) Tempat pajak yang terutang adalah di wilayah daerah yang meliputi letak
objek pajak.
Pasal 61
31
(2) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas,
benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Bupati yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.
Pasal 62
(1) Berdasarkan SPOP, Bupati menerbitkan SPPT.
(2) Bupati dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal sebagai berikut:
a. SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) tidak
disampaikan dan setelah wajib pajak ditegur secara tertulis oleh Bupati sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
BAB XII
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Pasal 63
(1) Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi :
a. pemindahan hak karena :
1. jual beli;
2. tukar menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
32
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah.
b. Pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah obyek pajak yang diperoleh:
a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik;
b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Pasal 64
(1) Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang
33
(2) Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang
pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Pasal 65
(1) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
Nilai Perolehan Objek Pajak.
(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam
hal:
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai
pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang
tercantum dalam risalah lelang.
(3) Jika Nilai Perolehan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a sampai dengan huruf n diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
34
(4) Dalam hal NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) belum ditetapkan pada saat terutangnya BPHTB, NJOP Pajak Bumi dan Bangunan dapat didasarkan pada Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
(5) Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) adalah bersifat sementara.
(6) Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat diperoleh di kantor Pelayanan Pajak atau Instansi yang berwenang di Kabupaten Luwu Utara.
(7) Besarnya Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan
sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib Pajak.
(8) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberian hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 66
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebesar 5% (lima perseratus).
Pasal 67
(1) Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (7) dan ayat (8).
(2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut
35 Pasal 68
(1) Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/ atau
Bangunan ditetapkan untuk:
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandanganinya akta;
d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;
h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
i. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
j. pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
l. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanginya akta; dan
o. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.
(2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 69
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSPD-BPHTB.
36
(2) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat
menandatangi risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSPD-BPHTB.
(3) Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran
Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSPD-BPHTB.
Pasal 70
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risala lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati paling lama pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(2) Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 71
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/ Notaris dan Kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan
sanksi admnistratif berupa denda sebesar Rp. 7.500.000.00 (tujuh juta lima
ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/ Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dikenakan sanksi adminitratif berupa denda sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
(3) Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
37 BAB XIII
PEMUNGUTAN PAJAK Bagian Kesatu Tata Cara Pemungutan
Pasal 72
(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
(2) Jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati adalah:
a. Pajak Reklame;
b. Pajak Air Tanah; dan
c. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
(3) Jenis pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak adalah:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Penerangan Jalan;
e. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
f. Pajak Parkir; dan
g. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pasal 73
(1) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan
penetapan Bupati dibayar dengan menggunakan SKPD atau dukumen lain yang dipersamakan.
(2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berupa karcis dan nota perhitungan.
38 Pasal 74
(1) Wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri, dibayar
dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas,
benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya.
(3) Wajib pajak BPHTB wajib mengisi SSPD.
(4) Dokumen SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berfungsi sebagai
SPTPD.
(5) Bentuk, isi dan tata cara pengisian SSPD dan SPTPD diatur dengan
Peraturan Bupati.
Pasal 75
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak,
Bupati dapat menerbitkan:
a. SKPDKB dalam hal:
1. jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak
yang terutang tidak atau kurang bayar;
2. jika SPTPD tidak disampaikan kepada Bupati dalam jangka
waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
3. jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang
terutang dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/ atau data yang semula
belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
39
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus perseratus) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib
Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a angka 3 dikenakan sanksi admnistratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
Pasal 76
(1) Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan,
SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dan Pasal 76 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian
SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dan Pasal 76 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua Surat Tagihan Pajak
Pasal 77
(1) Bupati dapat menerbitkan STPD jika :
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai
akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c. wajib Pajak dikenakan sanksi admnistratif berupa bunga dan/ atau denda.s
40
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bungan sebesar 2% (dua perseratus) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang bayar setelah jatuh tempo pembayaran
dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan dan ditagih melalui STPD.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran, Penagihan dan Pengurangan Pasal 78
(1) Bupati menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
(2) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3) Bupati atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran,
tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 79
(1) Pajak yang terutang, berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT,
STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang bayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
41
(2) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 80
(1) Atas permohonan wajib pajak, Bupati dapat memberikan pengurangan
pajak yang terutang kepada wajib pajak, karena :
a. kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek
pajak;
b. kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab
akibat tertentu; atau
c. tanah dan/atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau
pendidikan yang semata tidak mencari keuntungan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pengurangan pajak yang
terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Bagian Keempat
Keberatan, Banding dan Gugatan Pasal 81
(1) Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau
Pejabat yang ditunjuk atas suatu:
a. SPPT; b. SKPD; c. SKPDKB; d. SKPDKBT; e. SKPDLB; f. SKPDN; dan
g. pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai
42
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling
sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Bupati atau
Pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Pasal 82
(1) Bupati dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal
Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau
sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat
dan Bupati tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Pasal 83
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada
Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut.
43
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar
pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Pasal 84
(1) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian
atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan
pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi
administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan.
(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus perseratus) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Pasal 85
(1) Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada
Pengadilan Pajak.
(2) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan
penagihan pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal penagihan.
(3) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan lain selain
gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima keputusan yang digugat.