TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI,KERANGKA
PEMIKIRAN,DAN HIPOTESA PENELITIAN
2.1. Tinjauan Pustaka
Agribisnis minyak goreng berbahan baku kelapa dulunya merupakan satu – satunya minyak goreng yang digunakan di Indonesia. Namun, dalam perkembangannya kini pasarnya terdesak oleh minyak goreng kelapa sawit. Selain harga minyak goreng kelapa sawit yang lebih murah, warna yang dihasilkan juga lebih jernih dibandingkan minyak goreng kelapa. Dari segi kesehatan, minyak goreng kelapa mengandung asam lemak yang tinggi yang dapat menyebabkan penyakit jantung koroner. Sedangkan minyak goreng kelapa sawit mengandung Omega 9 yang dapat membentuk asam lemak tak jenuh, dalam promosinya sering mencantumkan bebas kolesterol bahkan dapat menurunkan kolesterol yang menjadi penyebab utama penyakit jantung koroner (PPKS, 1998)
Minyak goreng kelapa sawit berasal dari kelapa sawit yaitu sejenis tanaman keras yang digunakan sebagai salah satu sumber penghasil minyak nabati yang bermanfaat luas dan memiliki keunggulan dibanding minyak nabati lainnya. Minyak goreng kelapa sawit ini diperoleh dari pengolahan daging kelapa sawit (TBS) lalu diolah lagi menjadi Crude Palm Oil (CPO). Dari CPO diolah lagi
menjadi RBD (Refined, Bleached, Deodorized) Olein. RBD Olein ini dalam
perdagangannya disebut minyak goreng. RBD Olein atau minyak goreng curah
harganya lebih murah daripada minyak goreng bermerek. Hal ini disebabkan warna minyak goreng bermerek lebih jernih daripada minyak goreng curah dan
kandungan asam lemak jenuh pada minyak goreng bermerek lebih sedikit daripada minyak goreng curah.
Adapun pengolahan minyak goreng kelapa sawit, terbagi atas 2 cara yaitu : 1. Pengolahan dengan cara basah yaitu pengolahan yang melalui tiga
tahapan, penyaringan bahan padatan dan pencucian, fraksinasi (pemisahan fraksi cair / Olein dan fraksi padat / stearin), rafinasi
(pemucatan Olein / bleaching dan pemisahan asam lemak bebas serta bau / deodorisasi). pengolahan ini memakai campuran antara CPO, detergen( Natrium sulfat), fosforic acid, bleaching earth. Rendemen minyak goreng
yang dihasilkan sekitar 67,6 % dari bahan baku CPO – nya. Namun, cara
pengolahan seperti ini tidak efisien sebab harga bahan campuran (detergen) terlalu mahal dan cara seperti ini tidak ramah lingkungan sebab
limbah buangannya dapat mencemari air, tanah. Saat ini pengolahan dengan cara basah sudah jarang dipakai sebab cara ini tidak efisien.
2. Pengolahan dengan cara kering yaitu pengolahan yang melalui empat tahapan, degumming (memisahkan lender yang ada dalam CPO). bleaching (memucatkan warna minyak dan mengikat logam – logam berat
yang ada dalam minyak), deodorizing (Menghilangkan bau yang ada
dalam minyak), dan fractionation (memisahkan fraksi padat dan fraksi cair
dari RBD Palm Oil. Pengolahan ini memakai campuran antara CPO, H3PO4, CaCO3, dan Bleaching earth. Rendemen minyak goreng yang dihasilkan sekitar 58,5 % dari bahan baku CPO – nya.. Saat ini
oleh perusahaan minyak goreng sebab pengolahan dengan cara ini efisien. (CIC, 2003)
Kontribusi agribisnis minyak goreng berbahan baku kelapa sawit di Indonesia cukup besar. Khususnya dalam penciptaan lapangan kerja, penciptaan nilai tambah, dan perolehan devisa. Dalam menciptakan kesempatan kerja, terbentuk mulai dari mata rantai budidaya kelapa sawit, penyediaan bahan baku, pengolahan sampai pemasaran produk minyak goreng dan sumbangan terbesar berasal dari pengolahan kelapa sawit. (Beddu dkk, 1996)
Nilai tambah yang terbentuk dari sistem agribisnis minyak goreng terutama berasal dari usaha budidaya tanaman kelapa sawit dan industri pengolahannya. Nilai tambah yang tercipta dari industri lain yang merupakan kaitan kedepan dari industri minyak goreng seperti industri sabun, industri makanan lain (kerupuk, restoran) tidak diperhitungkan secara langsung sebagai nilai tambah dari agribisnis minyak goreng sebab peranan minyak goreng dalam industri ini hanya sebagai bahan penolong. Sedangkan penerimaan devisa dari sistem agribisnis minyak goreng terutama barasal dari ekspor minyak sawit (CPO). (PPKS, 1998)
Selain memiliki peran secara ekonomi, minyak goreng berbahan baku kelapa sawit juga memiliki peran secara sosial yaitu sebagai salah satu dari sembilan kebutuhan pokok sehingga harga minyak goreng selalu diawasi oleh pemerintah. Peran pemerintah dalam menstabilkan harga minyak goreng yaitu dengan menetapkan kebijakan otoriter dan kebijakan partisipatif. Kebijakan otoriter tersebut antara lain : Operasi Pasar (OP) minyak goreng, Pajak Ekspor (PE) CPO, dan penerapan Domestic Market Obligation (DMO). Kebijakan
partisipatif tersebut antara lain : subsidi harga CPO dan minyak goreng (Anonimus, 2008).
Operasi Pasar (OP) minyak goreng yang dilakukan dengan meningkatkan pasokan minyak goreng di pasar sehingga harga secara bertahap akan turun. Mekanisme ini sangat tergantung dari pasokan CPO sebagai bahan baku. Dengan harga CPO yang mahal, maka industri minyak goreng diminta untuk berkorban atau merugi untuk sementara waktu. Mekanisme ini sangat rentan karena sangat tergantung dari kemauan berkorban dari industri minyak goreng (Bambang, 2007).
Pajak Ekspor (PE) CPO merupakan pajak atau tarif yang diberlakukan oleh pemerintah untuk membatasi ekspor dari CPO. Pembatasan ekspor CPO bertujuan agar ketersediaan atau suplai CPO dalam negeri terpenuhi sehingga harga CPO didalam negeri relatif murah. Dengan demikian biaya produksi minyak goreng dapat ditekan dan harga minyak goreng menjadi murah.
Domestic Market Obligation (DMO) merupakan suatu kewajiban bagi
produsen CPO dari perkebunan negara dan swasta untuk mendistribusikan sebagian dari outputnya (CPO) ke pasar domestik dengan harga yang relatif murah. Hal ini bertujuan untuk menekan biaya produksi minyak goreng sehingga harga jual minyak goreng dapat lebih murah (Drajat, 2007).
Subsidi merupakan pemberian bantuan kepada konsumen atau produsen minyak goreng untuk mendapatkan harga minyak goreng dan CPO yang relatif murah, dibawah harga pasar (Bambang, 2007).
Kebijakan – kebijakan tersebut diambil oleh pemerintah dengan asumsi bahwa struktur pasar minyak goreng merupakan pasar persaingan sempurna.
Padahal industri kelapa sawit di Indonesia mulai dari industri hulu (CPO) sampai
dengan industri hilir ( minyak goreng) hanya dikuasai oleh beberapa kelompok saja sehingga produsen minyak goreng tersebut dapat berproduksi dengan biaya yang tidak efisien. Hal ini disebabkan oleh harga minyak goreng yang terbentuk berada diatas biaya marjinalnya.
2.2. Landasan Teori
Ada dua pengertian efisiensi dalam ekonomi produksi yaitu efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis.
A. Efisiensi Teknis
Efisiensi teknis dalam ekonomi produksi adalah suatu kondisi dimana jumlah pemakaian input tertentu mempunyai average product yang maksimum. Average Product (AP) disebut juga sebagai ratio output per input. Tingkat pemakaian input menghasilkan ratio input-output yang maksimum dari segi teknis adalah tingkat produksi optimum atau telah mencapai efisiensi (Doll and Orazem, 1984)
B. Efisiensi Ekonomis
Suatu proses produksi sebagai usaha komersial bertujuan untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan maksimum. Jika hal ini menjadi tujuan maka efisiensi teknis belum cukup sebab pada kondisi itu belum tentu memberikan keuntungan yang maksimum. Secara ekonomi ada satu syarat lagi yang perlu dipenuhi yaitu pilihan yang berkaitan dengan harga input (Px) dan harga output (Py) untuk mencapai keuntungan yang maksimum.
Gambar 2. Kurva Law Of Deminishing Return
Pada gambar 2 dapat dilihat efisiensi tercapai pada stage 2 dimana AP mencapai titik maksimum. Dengan memproduksi pada titik B maka akan dihasilkan output yang optimum artinya dengan bertambahnya input maka akan
menyebabkan bertambahnya output. Dan hal ini merupakan necessary condition
atau syarat keharusan dalam efisiensi produksi (Varian, 1987)
Selain necessary condition, ada satu syarat lagi dalam efisiensi produksi
yaitu sufficient condition atau syarat kecukupan. Syarat ini sering juga disebut
sebagai indikator pilihan. Indikator pilihan ini bertujuan untuk mencapai keuntungan yang maksimum. Dalam indikator pilihan, terdapat pilihana untuk memaksimumkan keuntungan dengan mengoptimumkan pengguan input atau
2.3. Kerangka Pemikiran
Minyak goreng kelapa sawit merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok sehingga harganya selalu dipantau dan diawasi oleh pemerintah. Alasan utama pemantauan dan pengawasan harga minyak goreng tersebut ialah untuk menjaga agar inflasi tetap terkendali dan konsumen masyarakat luas dapat membayar dengan harga yang wajar.
Dalam proses produksinya, minyak goreng kelapa sawit memanfaatkan berbagai sarana produksi yang merupakan masukkan (input). Input yang
dibutuhkan antara lain CPO, danbahan kimia. Berbagai sarana produksi ini akan
menjadi biaya produksi usaha.
Biaya produksi minyak goreng kelapa sawit sangat tergantung pada harga
CPO sebab biaya CPO sebesar 80 % dari total biaya produksi minyak goreng.
Namun, penurunan harga CPO tidak selalu berpengaruh pada penurunan harga
minyak goreng kelapa sawit. Hal ini disebabkan adanya sarana – sarana produksi (input) yang lain dalam memproduksi minyak goreng yang harganya tidak ikut
turun.
Harga minyak goreng yang terbentuk tersebut berasal dari biaya produksi dan tingkat keuntungan produsen. Harga tersebut juga dipengaruhi oleh faktor – faktor lain yang mempengaruhi harga minyak goreng tersebut seperti permintaan dan penawaran.
Proses produksi yang merupakan kegiatan pengolahan minyak sawit (CPO) menjadi minyak goreng ini dilakukan dengan dua cara, yaitu pengolahan
dihasilkan keluaran (output). Hasil penjualan output tersebut merupakan
penerimaan yang diperoleh oleh produsen minyak goreng.
Dengan diketahuinya biaya produksi, jumlah input (sarana produksi),
harga jual (penerimaan), dan jumlah output maka dapat diketahui tingkat
keuntungan dari produksi minyak goreng tersebut. Dengan memaksimumkan keuntungan maka diperoleh tingkat efisiensi ekonomis dari produksi minyak goreng tersebut.
Dengan diketahuinya tingkat efisiensi ekonomis dari perusahaan minyak goreng yang berorientasi lokal dan perusahaan minyak goreng yang berorientasi ekspor maka dapat dibandingkan nilai dari efisiensi ekonomis kedua perusahaan tersebut. Secara skematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar
Efisiensi Ekonomis Produksi Minyak Goreng
Keterangan menyatakan hubungan
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
2.4. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa :
1. Produksi minyak goreng di daerah penelitian belum efisien secara ekonomis. Input : CPO,B.Kimia NPM = PX Harga Output (PY) Produk Marjinal (PM) Produksi Y = F (X) Harga Input (PX) Orientasi Ekspor Orientasi Lokal