• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi nomor 93/PUU-X/2012 terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi nomor 93/PUU-X/2012 terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi nomor 93/PUU-X/2012

terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah

Dhaniar Eka Budiastanti

Dhaniar Eka Budiastanti; Fakultas Hukum Universitas Merdeka; Jl. Terusan Raya Dieng Nomor 62-64; Malang; 65146; Jawa Timur; Indonesia.

A R T I C L E I N F O Article history:

Received 2020-02-08 Received in revised form 2020-03-21 Accepted 2020-04-05 Kata kunci: Penyelesaian Sengketa; Perbankan Syariah. Keywords: Dispute Resolution; Islamic Banking. DOI: https://doi.org/10.26905/ idjch.v11i1.4120.

How to cite item:

Budiastanti, DE. (2020). Impli-kasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi nomor 93/PUU-X/ 2012 terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah.

Jurnal Cakrawala Hukum, 11(1),

1-11-. doi:10.26905/idjch.v11i1.4120.

Corresponding Author:

* Dhaniar Eka Budiastanti.

E-mail address: Debudiastanti@gmail.com

© 2020 University of Merdeka Malang All rights reserved.

Peer review under responsibility of University of Merdeka Malang All rights reserved.

Abstrak

Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah merupakan suatu upaya penyelesaian permasalahan yang dilakukan oleh pihak perbankan dengan nasabah, apabila salah satu pihaknya melakukan wanprestasi. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah tersebut dilakukan dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, khususnya Pasal 55 UU. Pasca Mahkamah Konstitusi memberikan putusannya, melalui Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 93/PUU-X/2012, maka terjadi suatu implikasi hukum yaitu terjadinya kekaburan norma terkait dengan penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statue Approach) dan pendekatan kasus (case approach). Hasil yang didapat terkait dengan penulisan ini adalah terciptanya suatu ketidakpastian hukum terkait dengan peyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan (nonlitigasi).

Abstract

Islamic Banking dispute resolution is an effort to resolve the problem carried out by the bank and the customer, if one of the parties is in default. The settlement of the Sharia Banking dispute is based on Law Number 21 of 2008 concerning Sharia Banking, particularly Article 55 of the Law. After the Constitutional Court gave its decision, through the Constitutional Court’s Decision Number 93 / PUU-X / 2012, a legal implication occurred, namely the blurring of norms related to the resolution of Sharia Banking disputes. The writing method used is normative juridical, using the statutory approach (Statue Approach) and case approach. The results obtained related to this writing are the creation of a legal uncertainty related to the resolution of disputes outside the court (non-litigation).

Journal email: jurnalcakrawalahukum@unmer.ac.id

(2)

1.

Pendahuluan

Kesadaran masyarakat khususnya bagi pemeluk agama Islam untuk bermuamalah, mendukung lahirnya Lembaga keuangan di bidang ekonomi Syariah, diantaranya adalah Perbankan Syariah. Perbankan syariah sebagai Lembaga Ke-uangan Syariah (yang selanjutnya disebut dengan LKS) secara bertahap mengalami perkembangan yang cukup signifkan dan begitu pesat. Perkem-bangan tersebut dapat dilihat pada data yang telah di catat oleh Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut dengan OJK). Data yang didapatkan sampai dengan bulan Juli 2016 OJK Mencatat data sebagai berikut: “Terdapat 12 Bank Umum Syariah (BUS), 22 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 165 Badan Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) (Adam, 2012).” Bank syariah adalah suatu lembaga keuang-an ykeuang-ang menerapkkeuang-an prinsip atau kaidah ajarkeuang-an agama Islam, baik mengenai produk-produk mau-pun dalam menjalankan operasionalnya. Seba-gaimana perbankan konvensional, pada dasarnya perbankan syariah ini juga memiliki fungsi intermediasi. Fungsi Intermediasi merupakan fungsi perbankan untuk menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki dana lebih dan menya-lurkan kembali kepada masyarakat yang mem-butuhkan dana. Salah satu perbankan syariah untuk menghimpun dana dari masyarakat adalah dengan menerima dana dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat yang membutuh-kan dana dalam bentuk kredit.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa salah satu fungsi intermediasi Perbankan syariah adalah lembaga yang dapat menyalurkan dana yang di terima kepada masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk kredit. Kredit dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (Selanjut-nya disebut UU Perbankan Syariah) diartikan sebagai berikut:

“Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu

be-rupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa-menyewa dan sewa beli, transaksi jual beli, transaksi pinjam meminjam, dan transaksi sewa-menyewa jasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/ atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.” Berdasarkan pengertian dari perbankan sya-riah tersebut diatas dapat terlihat bahwa akan lahir suatu hubungan hukum antara debitur (nasabah) dengan pihak kreditur (bank), yaitu terciptanya akibat hukum yang berupa hak dan kewajiban. Salah satu kewajiban dari debitur adalah mela-kukan pembayaran dan pelunasan pembiayaan yang telah diberikan oleh kreditur. Apabila suatu ketika debitur melakukan wanprestasi, maka penyelesaian sengketa akan dilakukan berdasar-kan Pasal 55 UU Perbanberdasar-kan Syyariah.

Terkait dengan Pasal 55 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah di-nilai terdapat tumpang tindih kewenangan per-adilan dalam menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah. Hal ini dapat terlihat pada Pasal 55 ayat (1) UU Perbankan Syariah, menegaskan bahwa kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah diselesaikan oleh Pengadilan Agama. Ber-tolak belakang dengan isi Pasal 55 ayat (1) tersebut, Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah mem-berikan peluang juga kepada Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah. Sehingga apabila dikaji lebih lanjut, maka terdapat dua ranah peradilan yang dapat menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah.

Berdasakan hal tersebut, maka Pasal 55 UU Perbankan Syariah dinilai terdapat kontradiktif antara Pasal 55 ayat (1) yang memberikan kewe-nangan kepada Pengadilan Agama untuk menyele-saikan sengketa Perbankan Syariah. Apabila

(3)

di-tinjau dari segi lainnya Pasal 51 ayat (2) UU Per-bankan memberikan pilihan lain kepada Para pihak yang tidak mengkendaki perkaranya di selesaikan di Pengadilan Agama. Pilihan lain tersebut adalah dengan menyerahkan penyelesaian sengketa ter-sebut di Pengadilan Negeri. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua Pengadilan yang dapat menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah, yaitu Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.

Tumpang tindihnya peraturan Perundang-undangan yang terdapat di dalam Pasal 55 UU Perbankan tersebut dinilai tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang tengah bersengketa. Tumpang tindih mengenai bab yang terkait dengan penyelesaian sengketa Perbankan Syariah tersebut juga bertentangan dengan “Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Repu-blik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut dengan UUD NRI 1945)”. Padal 28 UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum dan juga perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Tanggal 29 Agustus 2013, Mahkamah Kons-titusi memutuskan mengenai penyelesaian sengeta perbankan syariah, melalui putusan Nomor 93/ PUU-X/2012. Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya berisi Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Per-bankan Syariah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan Penjelasan tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pejelasan yang dihapus pada Pasal 55 ayat (2) tersebut meliputi pilihan penyelesaian sengketa pada huruf a sampai dengan huruf d. hal ini menandakan bahwa tidak lagi adanya dualisme hukum dalam menyelesaian sengketa Perbakan Syariah sekaligus menguatkan kewenangan Peradilan Agama.

Sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, maka kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah menjadi kewenangan penuh Pengadilan Agama

dan membawa implikasi hukum tersendiri, yaitu timbul adanya kekaburan hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka dirasa perlu untuk mengkaji impli-kasi hukum dari adanya ketidak jelasan (kekaburan Norma) penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Perbankan Syariah.

2.

Metode

Jenis penelitian yang digunakan dalam mengkaji permasalahan ini adalah penelitian Normatif. Pendekatan Penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan perundang-undangan (Statue Approach) dan pendekatan kasus (case

ap-proach).

3.

Pembahasan

Kerangka konseptual penyelesaian sengketa secara umum dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu penyelesaian sengketa secara litigasi dan non litigasi. Konsep penyelesaian sengketa tersebut yang akan digunakan Perbankan Syariah dalam menyelesaikan sengketa yang tengah di hadapi para pihak. Penjabaran kedua konsep penyelesaian Perbankan Syariah tersebut diatas, akan dijabarkan sebagai berikut:

a) Litigasi

Penyelesaian sengketa secara litigasi meru-pakan penyelesaian sengketa yang diselesaikan di jalur Pengadilan. Penyelesaian sengketa melaui pengadilan ini biasaya di dahului dengan adanya pengajuan gugatan kepada pengadilan. Gugatan dalam hal ini berarti suatu tindakan hukum yang diajukan kepada pengadilan, yang mana dalam hal ini penggugat mendalilkan bahwa ia telah meng-alami kerugian sebagai akibat dari perbuatan ter-gugat (KL Banten, 2016).

Terkait dengan penyelesaian sengketa per-bankan syariah secara litigasi, pengadilan agama

(4)

telah diberi kewenangan secara absolut untuk menye-lesaikan sengketa Perbankan Syariah, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 49 huruf (i) UU Peradilan Agama.

Pasal 50 Undang-undang Peradilan Agama menentukan hal-hal sebagai berikut:

“(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum

(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagai-mana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang beragama Is-lam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama dengan per-kara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49"

Berdasarkan isi Pasal 50 UU Peradilan agama tersebut diatas, maka dapat terlihat bahwa Pasal ini terbentuk untuk menghindari terjadi nya penguluran waktu penyelesaian sengketa Ekonomi Syariah. Hal tersebut biasanya terjadi karena ter-dapat alasan sengketa milik atau sengeta keper-dataan yang lain-lain, dimana hal tersebut sering-kali dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan da-lam gugatan di Pengadilan Agama. Di sisi lain, apa-bila subjek yang mengjukan sengketa hak milk atau keperdatan lain tersebut tidak menjadi subjek ber-sengketa di Pengadilan Agama ditunda untuk me-nunggu di Pengadilan Umum.

Penangguhan tersebut akan dilakukan apa-bila terdapat pihak yang keberatan. Pihak tersebut dapat mengajukan bukti ke Pengadilan Agama, bahwa dalam hal ini terlah di daftarkan gugatan di Pengadilan Negeri terkait dengan objek seng-keta yang diajukan di Pengadilan Agama sama de-ngan Objek yang di ajukan di Pengadilan Agama. apabila objek yang disengketakan lebih dari satu objek dan objek tersebut tidak terkait dengan objek

sengketa yang diajukan keberatan, mana dalam hal ini Pengadilan Agama tidak diperlukan untuk melakukan penangguhan terkait dengan objek sengkata tersebut (Mardani, 2010).

Terkait dengan kewenangan absolut adilan Agama, maka salah satu kewenangan Peng-adilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Adapun yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip syariah, yang diantara-nya adalah Bank Syariah.

Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah telah diatur pada Pasal 55 Undang-Undang Per-bankan Syariah, yang berbunyi sebagai berikut: “1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah

dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama.

2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.

3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.”

Selanjutnya, yang dimaksud dengan penye-lesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah adalah dengan melakukan Musyawarah, mengadakan mediasi perbankan, dan menyelesaikannya melalui Badan Arbitrase Syariah Nasionla (BASYARNAS) atau lembaga Arbitrase lain, dan dapat mengajukan gugatan di Peengadilan Negeri.

Berdasarkan Pasal 55 UU Perbankan Syariah tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa penye-lesaian sengketa Perbankan Syariah diselesaikan melalui 2 (dua) pengadilan, yaitu Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.

Apabila di kaji lebih lanjut, maka isi Pasal yang terdapat Pada Pasal 55 UU Perbankan Syariah

(5)

terdapat tumpang tindih peraturan yang terkait dengan penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Pada Pasal 55 ayat (1) UU Perbankan Syariah, dapat diketahui bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh Pengadilan Agama. Hal ini berarti menunjukkan bahwa Pengadilan Agamalah yang memiliki kewenangan absolut untuk meme-riksa serta memutus perkara Perbankan Syariah. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 59 huruf (i) UU Peradilan Agama. Disisi lain, Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah, menyebutkan bahwa apabila para pihak tidak menghendaki penyelesaian sengketanya diselesai-kan di Pengadilan Agama, maka penyelesaiannya di sesuaikan dengan isi akad. Akad di gunakan dasar untuk penyelesaian sengketa Perbankan sya-riah, karena dalam hukum perjanjian, kesepakatan yang sudah di bangun oleh para pihak akan di tuangkan dalam bentuk akad (istilah dalam Per-bankan Syariah). Apabila akad tersebut sudah dise-pakati oleh para pihak, maka akad tersebut akan menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini berarti seluruh isi pasal, ter-masuk hal yang terkait dengan penyelesaian seng-keta dalam akad akad yang disepakati oleh para pihak akan mengikat kedua belah pihak (dalam hal ini adakah pihak Perbankan Syariah dengan nasabahnya).

Penyelesaian yang sesuai dengan akad, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah ini, dapat dilakukan de-ngan 2 (dua) cara, yaitu penyelesaian sengketa se-cara litigasi dan non litigasi. Yang menjadi permasalahan dalam pembahasan ini adalah ketika penyelesaian sengketa perbankan tersebut di selesaikan secara litigasi (penyelesaian di dalam pengadilan). Dikatakan bermasalah karena, pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah memberikan pe-luang kepada para pihak untuk menyelesaikannya di Pengadilan Negeri.

Dengan adanya Pasal 55 ayat (2) ini, maka dinilai terdapat kontradiktif atau tumpang tindih

peraturan Perundang-undangan yang terkait de-ngan penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Pasal 55 ayat (1) penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan di lingkungan Peradilan Agama, akan tetapi di sisi lain pasal 55 ayat (2) memberikan peluang kepada Pengadilan Negeri untuk menye-lesaikan sengketa Perbankan Syariah Tersebut.

Dengan adanya tumpang tindih peraturan Perundang-undangan tersebut, maka peraturan yang terkait dengan penyelesaian sengketa Per-bankan Syariah, dinilai tidak dapat memberikan kepastian hukum bagi Para pihak. Tumpang tindih peraturan perundang-undangan tersebut juga dapat memberikan pilihan hukum bagi para pihak, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUDNRI 1945. Salah satu hal yang diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) tersebut adalah setiap warga negara berhak untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum.

Tumpang tindihnya Peraturan mengenai penyelesaian sengketa Perbankan Syariah tersebut mendapat perhatian dari beberapa Ahli Hukum Perbankan Syariah, diantaranya adalah Abdul Ghofur Anshori. Dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan Syariah, beliau mengatakan bahwa terdapatnya opsi dan juga pilihan hukum pada Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Negeri, maka akan lebih memiliki potensi untuk menimbulkan konflik dengan Peng-adilan Agama. Hal ini dikarenakan kompetensi absolut untuk menyelesaikan sengketa syariah ada-lah menjadi kewenangan Pengadilan Agama seba-gaimana yang terdapat pada Pasal 49 huruf (i) UU Peradilan Agama (Anshori, 2009).

Senada dengan hal tersebut, Neneng Nurha-sanah dan Panji Adam menyatakan bahwa pada penjelasan Pasal 55 ayat 2 UU Perbankan Syariah tersebut harus dibatasi antara penyelesaian seng-keta secara ligigasi dan non litigasi. Untuk penyele-saian sengketa secara non litigasi adalah melalui musyawarah, mediasi, perbankan, ataupun melalui

(6)

Basyarnas. Penyelesaian sengketa melalui jalur liti-gasi adalah melalui peradilan agama dan peradilan umum. Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi ini yang berpotensi adanya tumpang tindih kewe-nangan peradilan dalam menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah. Berdasarkan analisis yuridis mengenai Pasal 55 ayat (2) tersebut, terdapat dualisme penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Hal ini dikarenakan isi penjelasan tersebut mengandung arti bahwa untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah secara litigasi tidak hanya dapat diselesaikan melalui pengadilan Agama, akan tetapi dapat diselesaikan juga oleh Pengadilan Negeri (Adam, 2017).

Tumpang tindih kewenangan tersebut diatas, apabila dikaitkan dengan teori kewenang-an, maka dinilai tidak dapat memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum dapat tercapai apabila lembaga peradilan telah memenuhi suatu kom-petensi absolut, sehingga lembaga tersebut men-dapatkan suatu kewenangan secara penuh untuk menyelesaikan suatu sengketa hukum.

Suatu lembaga dianggap memiliki kewe-nangan apabila telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam teori kewenangan yaitu (1). Adanya kekuasaan, (2). Adanya organ pemerin-tah, dan (3). Sifat hubungan hukumnya. Melihat ketiga unsur tersebut, maka yang dijelaskan hanya organ pemerintah dan sifat hubungan hukum. Organ pemerintah adalah alat-alat pemerintah yang mempunyai tugas untuk menjalankan roda peme-rintahan. Organ pemerintah disini adalah Peng-adilan Agama dengan PengPeng-adilan Umum. Ketika terdapat dua organ yang mengalami tumpang tin-dih kewenangan, maka fungsi dari badan peradilan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Hubungan hukum merupakan hubungan yang me-nimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban dari masing-masing badan peradilan telah diten-tukan oleh Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula

dengan kewenangan Pengadilan Agama telah terdapat pada Padal 49 UU Peradilan Agama. Apabila ada peradilan lain (pengadilan negeri) yang juga memiliki kewenangan untuk menye-lesaikan sengketa Perbankan Syariah, maka hal ini dapat berpotensi menyebabkan kekacauan hukum terhadap lembaga mana yang berhak untuk menyelesaikannya.

Terkait dengan adanya tumpang tindih ke-wenangan lembaga peradilan yang menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah tersebut, pada tanggal 29 Agustus 2013 Mahkaman Konstitusi, melalui perkara Nomor 93/PUU-X/2012, menyatakan bahwa:

1) “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

1.1 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.2 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagai-mana mestinya;

3) Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.”

Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding tersebut memiliki implikasi hukum tersendiri bahwasannya kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah, meru-pakan wewenang Pengadilan Agama. Pengadilan

(7)

Agama sebagai satu-satunya Lembaga litigasi yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa Per-bankan Syariah.

Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan penyelesaian sengketa Perbankan Syariah, apabila dikaji lebih lanjut, maka telah memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Hal ini dikarenakan Mahkamah Konstitusi telah menghapus penjelasan yang terdapat pada Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah. Dengan demikian, maka lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah adalah Pengadilan Agama. Dalam hal ini berarti Peng-adilan agamalah yang memiliki kompetensi absolut untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah. Teori kewenangan yang di cetuskan oleh P. Nicolai. Kewenangan yang di dalamnya terkan-dung unsur hak dan kewajiban menurut P. Nicolai merupakan suatu kemauan guna melaksanakan tin-dakan hukum, diantaranya tintin-dakan yang ditujuk-an untuk menimbulkditujuk-an akibat hukum dditujuk-an men-cakup tentang muncul dan lenyapnya akibat hu-kum. Hak dalam hal ini adalah berisi mengenai kebabasan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan atau menuntut pihak yang lainya untuk melaksanakan suatu tindakan. Kewajiban dalam hal ini adalah keharusan untuk melakukan ataupun tidak melakukan suatu tindakan.

b. Penyelesaian nonlitigasi

Penyelesaian sengketa Nonlitigasi, adalah suatu tekhnik penyelesaian sengketa, dimana da-lam menyelesakan sengketa tersebut para pihak sepakat untuk menyelesaikan di luar pengadilan (Sudiarto, 2015). Langkah untuk menyelesaikan sengketa secara nonlitigasi ini diantaranya dapat dilakukan dengan penyelesaian internal (musya-warah, mediasi, dan Arbitrase Syariah).

1) Musyawarah internal

Musyawarah internal dapat digunakan sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan

ke-tika para pihak tengah menghadapi sengketa Perbankan Syariah. Sebagai salah satu contoh adalah penyelesaian sengketa hutang piutang, dimana salah satu pihak melakukan wanpres-tasi. Wanprestasi ini terjadi karena berbagai hal, misalkan ketika nasabah tersebut menga-lami kebangkrutan sehingga keuntungan tidak mencukupi untuk membayar sisa angsuran yang menjadi kewajibannya sehingga memicu perselisihan. Keadaan tersebut dapat disele-saikan salah satunya adalah dengan melaku-kan musyawarah internal, dengan cara revitali-sasi proses. Revitalirevitali-sasi proses merupakan eva-luasi ulang pembiayaan apabila terjadi indikasi bahwa usaha nasabah masih berjalan dan hasil usaha nasabah diyakini masih mampu untuk memenuhi angsuran kepada bank.

2) Alternative dispute resolution (ADR)

Alternative Dispute Resolution Merupakan suatu bentuk penyelesaian di luar pengadilan. Sifatnya sukarela dari para pihak Tidak dapat dipaksakan dari satu pihak kepada pihak lain-nya. Apabila sudah disepakati, para pihak yang berperkara atau yang terlibat wajib men-taati.

Alternative Dispute Resolution diatur dalam

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alter-natif Penyelesaian Sengketa. Dalam Undang-undang tersebut mendefinisikan sebagai be-rikut:

“Alternatif Penyelesaian Sengketa (selan-jutnya disebut dengan APS) sebagai Lem-baga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepa-kati para pihak, yakni penyelesaian seng-keta di luar pengadilan dengan cara kon-sultasi, negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau penilaian ahli. Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut dapat diselesaikan oleh para pihak sendiri tanpa campur tangan pihak lain atau pihak ketiga.”

(8)

Berdasarkan dari pengertian dari APS terse-but diatas, maka dapat diketahui bahwa APS merupakan salah satu cara untuk menyelesai-kan sengketa, dimana penyelesaiannya dila-kukan di luar pengadilan. Penyelesaian seng-keta di luar pengadilan dapat ditempuh de-ngan berbagai cara yang diantaranya konsul-tasi, mediasi, konsiliasi, dan lain sebaginya. Pihak ketiga yang dimaksud dalam APS ada-lah pihak netral yang akan membantu para pihak guna menyelsaikan permasalahannya. Dalam hal ini pihak ketiga dapat berperan sebagai konsultan yang memberikan masukan serta saran pada para pihak terkait dengan penyelesaian sengketanya. Saran yang diberi-kan oleh pihak ketiga tersebut dapat diguna-kan ataupun tidak digunadiguna-kan oleh para pihak. Negosiasi merupakan suatu tekhnik penyele-saian sengketa di luar pengadilan yang meli-batkan pihak ketiga di dalamnya. Prinsip dasar yang digunakan dalam tekhnik bernego-siasi adalah berkomunikasi. Negobernego-siasi ini biasanya digunakan dalam dunia bisnis, yang diantaranta adalah Perbankan Syariah. Tekh-nik negosiasi ini rata-rata selalu di pergunakan pula ketika para pihak hendak memilik menye-lesaikan perkaranya baik di dalam mediasi ataupun konsiliasi (Sudiarto, 2015).

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (nonlitigasi) merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah. Hal ini sesuai dengan Penjelasan isi Pasal 55 ayat (2) huruf a sampai dengan c, yaitu melalui Musyawarah; dengan melakukan Mediasi per-bankan; serta dapat mendaftarkan penyele-saian Perbankan Syariah dengan menggunakan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrasea lainnya;

3) Arbitrase syariah

Perkembangan perekonomian sosial di ka-langan umat muslim memiliki peranan besar serta berpengaruh terhadap berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Hal

tersebut di tandai pula dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai Lembaga Keuangan perbankan syariah yang pertama di Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat yang dalam menjalankan kegiatan usahanya meng-gunakan prinsip Syariah (BPRS).

Basyarnas merupakan lembaga arbitrase islam yang awalnya memiliki nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI didiri-kan untuk menyelesaididiri-kan perkara perdata yang timbul antar lembaga keuangan syariah yang meliputi lembaga keuangan maupun bank. Sengketa yang terdapat pada lembaga keuangan syariah merupakan sengketa yang timbul antara para pihak yang mengikatkan terikat pada suatu perjanjian yang dituangkan dalam akad berbasis syariah. BAMUI pada awalnya didirikan sebagai Yayasan. yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Perkembangan selanjutnya, BAMUI meng-ubah nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Kedudukan Basyarnas juga diakui dan terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) terkait dengan hubungan mua-malah (Perdata) senantiasa diakhiri dengan ketentuan:

“jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah” Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dike-tahui bahwa basyarnas merupakan Lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan setelah kata mufakat dari hasil musyawarah tidak tercapai. Disamping hal tersebut, penye-lesaian melalui Basyarnas dapat dilakukan apa-bila sebelumnya telah ada kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa di Basyarnas dan hal tesebut di cantumkan pada akta akad

(9)

perjan-jian induk sebelum sengketa dicabut (pactum

de compromittendo).

Menurut Ketua Basyarnas, Yudo Paripurno da-lam presentasinya dikatakan ada beberapa yuridiksi dari Basyarnas, diantaranya yang pada intinya (Adam, 2017) pertama menyele-saikan sengketa secara adil dengan cepat dan tepat. Ketika para pihak hendak menyelesaikan sengketanya di Basyarnas, maka para pihak harus membuat kesepakatan secara tertulis. Pernyataan secara tertulis tersebut wajib untuk di sampaikan kepada Basyarnas sesuai dengan aturan yang telah di tetapkan oleh Basyarnas,

kedua memberi pendapat yang mengikar atas

permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang ber-kenaan dengan suatu perjanjian.

Agar didapatkan kepastian hukum, maka se-tiap akad dalam Perbankan Syariah, Dewan Syariah Nasional (yang selanjutnya disebut dengan DSN) mengeluarkan fatwa yang menya-takan bahwa:

“jika mengalami sengketa di dalam bidang ekonomi syariah, masyarakat dapat me-milih jalur Basyarnas atau litigasi melalui Pengadilan Agama”

Hal ini dilakukan dalam rangka bertambahnya kewenangan Peradilan Agama dalam me-nangani serta menyelesaikan perkara ekonomi syariah pasca lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989. Sebelu UU Nomor 3 Tahun 2006 disahkan, setiap menyusun fatwa, DSN-MUI selalu memuat ketentuan bahwa apabila salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, atau jika terjadi perselisihn di-antara kedua belah pihak, maka penyelesaian-nya diselesaikan melalui Basyarnas setelah tidak tercapai kata sepakat melalui musya-warah.

Sengketa Perbankan Syariah yang di selesaikan di Basyarnas, akan dilaksanakan sesuai dengan

bentuk akad (perjanjian) yang dibuat oleh para pihak. Hal ini merujuk kepada Pasal 1338 KUH Perdata yang terkait dengan kebasan ber-kontrak.

Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, disatu sisi telah memberikan kepastian hukum bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa Perbank-an Syariah melalui jalur litigasi, yakni dengPerbank-an menetapkan kewenangan terhadap Pengadilan Agama. Namun, dalam waktu yang bersama-an, Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 ter-sebut juga membawa implikasi hukum tersen-diri.

Implikasi hukum dari aspek aturan hukum yang mengatur perbuatan dapat diartikan se-bagai dampak (yang berupa) permasalahan hukum dari suatu aturan hukum yang tidak langsung atau tidak dinyatakan secara terang-terangan atau tidak dirumuskan secara tegas dalam aturan hukum yang mengaturnya, melainkan tersimpul atau terkait. sebagai suatu dampak yang menyertainya. Sehingga dalam penelitian ini bahwa implikasi hukum adalah permasalahan hukum yang muncul sebagai akibat tidak langsung dari pengaturan dari penyelesaian sengketa Perbankan Syariah pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.

Menurut Neneng Nurhasanah dan Panji Adam, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tersebut juga menimbulkan problematika hukum baru berupa tidak adanya kepastian hukum bagi para pihak yang akan menyelesaikan sengketa perbankan syariah melalui jalur nonlitigasi. Hal ini disebabkan karena Mahkamah Konstitusi telah menganulir semua Penjelasan Pasal 55 ayat (2) yang di dalam berisi bentuk-bentuk penyelesaian sengketa sengketa secara nonlitigasi. Keadaan ini menjadikan norma utama dalam Pasal 55 ayat (2) menjadi kabur (Adam, 2017). Hal tersebut senada dengan pendapat dari Neni

(10)

Sri Imaniyati dan Panji Adam, Implikasi ter-hadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 menimbulkan kekosongan hukum (vacumrecht) dan norma kabur. Hal ini berimplikasi terhadap upaya hukum melalui nonlitigasi (Adam, 2017).

Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat terlihat bahwa implikasi yang timbul dari adanya pu-tusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 adalah adanya kekaburan hukum untuk penyelesaian sengketa Perbankan Sya-riah secara Non litigasi. Hal ini terjadi karena Mahkamah Konstitusi menganulir seluruh pen-jelasan dari Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah.

Pejelasan yang menjadi permasalahan adalah huruf (d) yang berisi salah satu penyelesaian sengketa Perbankan Syariah adalah melalui Pengadilan Umum. Seperti halnya yang telah di jabarkan diatas, kewenangan yang diberi-kan oleh UU Perbandiberi-kan Syariah kepada Peng-adilan Umum ini membuat adanya tumpeng tindih kewenangan absolut antara 2 badan peradilan, yaitu Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri. Berdasarkan hal tersebut maka Mahkamah Kontitusi dirasa perlu untuk menguji materiil Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf (d) UU Perbankan Syariah tersebut. Akan tetapi dalam putusannya Mahkamah Konsitusi justru menganulir seluruh penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah ini, sehingga menimbulkan permasalahan yang baru, yaitu adanya kekaburan hukum. Keka-buran hukum tersebut dapat menyebabkan tidak dapat tercapainya kepastian hukum un-tuk menyelesaikan sengketa Perbankan Sya-riah, khusunya untuk penyelesaian sengketa melalui jalur nonlitigasi. Hal tersebut diper-kuat dengfan pendapat yang diutarakan oleh Nahdiya Sabrina (Wawancara Dosen Unmer Malang, 2018), Implikasi hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang menyebabkan kekaburan norma tersebut akan dapat menimbulkan ketidakpastian

hu-kum untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa putusan MK Nomor 93/PUU-X-2012 terhadap penyelesaian seng-keta perbankan syariah menimbulkan impli-kasi hukum berupa persoalan hukum baru berupa tidak adanya kepastian hukum bagi para pihak yang akan menyelesaikan sengketa perbankan syariah melalui jalur non-litigasi. Apabila dikaitkan dengan teori kepastian hu-kum dari Jan Miclael Otto, maka penyelesaian sengketa Perbankan Syariah khususnya untuk jalur nonlitigasi, terlihat masih belum dapat memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum menurut Jan Michael Otto lebih ber-dimensi yuridis dan memberikan batasan mengenai kepastian hukum dengan unsur-unsur sebagai berikut (Otto, 2003):

a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten, mudah diperoleh, diterbitkan, dan diakui oleh Negara;

b. Warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan yang berlaku;

c. Hakim Peradilan yang mandiri, tidak ber-pihak dalam hal penerapan aturan hukum dan konsisten pada saat menyelesaikan sengketa; dan

d. Keputusan hakim secara kongkret dilak-sanakan.

4.

Simpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Implikasi Hukum dari adanya ketidak jelasan (kekaburan Norma) Terkait penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Perbank-an Syariah Pasca PutusPerbank-an Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 adalah menyebabkan ada-nya ketidak kepastian hukum bagi para pihak yang akan menyelesaikan sengketa perbankan syariah melalui jalur non-litigasi.

(11)

Daftar pustaka

Anshori, Abdul Ghofur. 2009. Hukum Perbankan Syariah. Bandung. Refika Aditama.

KL. 2016. Banten, Perbedaan Litigasi dan Non Litigasi. https:/ /komisiinformasi.bantenprov.go.id.

Lathif, M. (2017). Karakteristik islamic banking dalam hukum perbankan Indonesia. Jurnal Cakrawala

Hukum, 8(1), 1-11. doi:10.26905/idjch.v8i1.1725.

Mardani. 2010. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan

Mahkamah Syariah. Sinar Grafika. Jakarta.

Neni Sri Imaniyati dan Panji Adam. 2015. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 93/ PUU-X/2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa

Nonlitigasi Perbankan Syariah. Jurnal Sosial,

Ekonomi, dan Humaniora Unisba.

Nurhasanah, Neneng dan Panji Adam. 2017. Hukum

Perbankan Syariah Konsep dan Regulasi. Jakarta.

Sinar Grafika.

Otto, Jan, Michael. 2003. Kepastian Hukum di Negara

Berkembang, Terjemahan Tristam Moeliono. Jakarta.

Komisi Hukum Nasional.

Rahmita, N., & Budiono, R. (2017). Analisis kompilasi hukum islam tentang tolok ukur hibah yang diperhitungkan sebagai warisan. Jurnal Cakrawala

Hukum, 8(1), 75-85. doi:10.26905/idjch.v8i1.1733.

Sudiarto. 2015. Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase. Bandung, Pustaka Reka Cipta.

Referensi

Dokumen terkait

Pemilik memberikan rjin dan menjamin serta dengan tanpa memungut pembayaran atau kompensasi dalam bentuk apapun atas hakuntuk menggunakan atau hak untuk

Dalam dasar pertimbangan hakim di putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari

3) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan

Nilai koefisien Motivasi Kerja sebesar 0,106.Pengaruh Kepemimpinan, Iklim Organisasi, dan Motivasi Kerja Secara Simultan terhadap variabel Kinerja Karyawan di

menunjukkan bahwa model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel Biaya Bahan Baku dan Biaya Tenaga Kerja Langsung terhadap Harga Pokok Produksi atau bisa

Program Studi Diploma Teknik Informatika Fakultas Teknologi Informasi. Universitas Kristen Satya

[r]

In reality, the nation of Balda Ṭayyiba Wa Rabb Ghafūr requires an Islamic administration that covers various aspects, including politics, rabbānī holistic education system,