• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. Syair di atas merupakan sebuah lagu Tetese Eluh karangan. Catur Arum dan Yon s Dd tahun Pada syair tersebut,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. Syair di atas merupakan sebuah lagu Tetese Eluh karangan. Catur Arum dan Yon s Dd tahun Pada syair tersebut,"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

“Sedino-dino mung nangis gawene Sing leren-leren sampek alum matane. Yo mesesegen ilang suaranae

Kesuwen nangis sampek nono iluhe. Kepingin seru ketemu, eman

Nong kembang hang biso ngudang atine. Kadung urip nong endi sangkane

Dung wes mati nong endi paesane.

Arep sun kirim kembang hang wangi gandane

Arep sun kirim gending nawi tah biso, nentremaken atine”1

Syair di atas merupakan sebuah lagu Tetese Eluh karangan Catur Arum dan Yon’s Dd tahun 2003. Pada syair tersebut, pengarang berusaha menggambarkan kesedihan seseorang yang telah ditinggal pergi orang terdekat akibat pergolakan pada akhir tahun 1965 di Banyuwangi.2 Pergolakan ini terjadi pasca peristiwa

1 Alih bahasa dalam Indonesia: Setiap hari hanya menangis, tidak berhenti hingga layu matanya. ya kasihan hilang suaranya, terlampau menangis hingga kering air matanya. Berharap sangat ingin bertemu, sayang, hanya bunga yang dapat menghibur hatinya. Jika masih hidup dimana alamatnya, jika sudah mati dimana pusaranya. Hendak ku kirim bunga yang semerbak wanginya. Akan kukirim nyayian, mungkin bisa menentramkan hatinya. Merupakan sebuah lagu lokal yang dikarang oleh Arum Candra dan Yon’s DD. Lagu dipopulerkan Patrol Orkestra Banyuwangi (POB) dengan menggabungkan unsur musik Kendang kempul, Patrol, Keroncong.

https://www.youtube.com/watch?v=0IS5Cbo_Y7E

2 Dituturkan oleh bapak Suhalik, seorang pemerhati sejarah lokal Banyuwangi (wawancara: 10 Mei 2014, Perum Permata Giri Banyuwangi).

(2)

2 pembunuhan Perwira Angkatan Darat oleh kelompok yang menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September.3

Setelah pergolakan berakhir, di Banyuwangi terjadi konversi agama besar-besaran ke Hindu, hingga seorang pendeta Hindu didatangkan dari Bali untuk melayani orang-orang Banyuwangi yang pindah kepercayaan baru.4 Hal ini memberitahukan bahwa salah satu dampak dari konflik peristiwa Gerakan 30 September, menimbulkan rasa ketidakpuasan terhadap suatu kepercayaan. Apa yang melatarbelakangi sebagian masyarakat Banyuwangi tersebut perlu mendapat perhatian. Sebelum konflik Gerakan 30 September bergejolak, Banyuwangi didominasi oleh partai komunis

3 Setelah peristiwa Gerakan 30 September di Jakarta, terjadi banyak pergolakan hingga pembantaian besar-besaran di Indonesia khususnya di Jawa. Lihat pada Robert Cribb, The Indonesia Killings: Pembantaian di Jawa dan Bali 1965-1966, (Jakarta: Mata Bangsa, 2004); John Roosa, Dahlil pembunuhan Massal, (Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008).

4 Pada sensus penduduk tahun 1971, terdapat peningkatan pemeluk agama Hindu di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Peningkatan pemeluk hindu hingga sebanyak 168.000 orang, yang terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu, khususnya Gunung Kidul, klaten, Boyolali, and Banyuwangi. M.C. Riklefs. Islamisation and its opponents in java c. 1930 to the present, (Singapore: NUS Press, 2012), hlm., 139; Andrew Beatty, Varieties of Javanese Religion, (UK: Cambridge University Press, 1999), hlm., 150.

(3)

3 Indonesia.5 Masyarakat yang plural6 serta pengaruh partai politik saat itu, memunculkan dua kekuatan yang menonjol di Banyuwangi, yaitu PKI dan NU. Persaingan antar kekuatan utama di Banyuwangi itu sudah sangat terlihat sejak periode pendudukan Belanda. PKI membunuh pemimpin-pemimpin NU sejak masa pendudukan Belanda. Pembunuhan ini berdasar alasan bahwa para pemimpin-pemimpin NU adalah mata-mata Belanda.7

Selanjutnya menjelang tahun 1960, persaingan dan perselisihan kedua kekuatan ini tidak hilang karena perselisihan diantara kelompok komunis dan non-komunis, merupakan implementasi undang-undang pertanahan (UUPA) dan gerakan anggota PKI ke dalam jabatan-jabatan resmi serta mobilisasi massa.8 Persaingan juga terlihat pada pemilu tahun 1955, tetapi

5 Pengaruh PKI banyak tersebar di Kecamatan Glagah, Singajuruh, Kabat, Ronggojami, Genteng, Pasanggaran, Cluring, Purwoharjo dan Glenmore. Sedangkan kecamatan Wongsorejo, Giri dan Cluring mendapat pengaruh kuat NU, dan pengikut PNI umumnya terdiri dari pegawai negeri dan pejabat desa yang menyebar di berbagai kecamatan. Dalam Robert Cribb, op. cit., hlm., 250.

6 Terdiri dari beberapa etnis dan kepercayaan, dari unsur etnis dan kepercayaan membuat perbedaan golongan partai, kebanyakan yang memeluk agama islam lebih condong ke NU sedangkan abangan lebih condong ke PKI. Arbit Sanit. Badai revolusi: sketsa kekuatan politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2000). hlm., 175-178.

7 Robert Cribb, op. cit., hlm., 247. 8 Ibid.

(4)

4 tidak begitu terlihat secara signifikan. Puncak ketegangan antar kekuatan di Banyuwangi meningkat pada bulan Oktober tahun 1965, bersamaan dengan isu politik Dewan Jendral atau Dewan Revolusi akibat dari peristiwa Gerakan 30 September.9

Ketegangan yang meningkat di Banyuwangi berimbas pecahnya pergolakan dalam masyarakat. Pergolakan yang terjadi tahun 1965 menimbulkan beberapa rangkaian tindakan kekerasan yang dilatarbelakangi konflik antar golongan, seperti insiden Cemetuk dan Karangasem. Tindakan kekerasan ini dipicu antara pemuda Ansor dan pemuda Marhanisme melawan simpatisan PKI.10 Di Banyuwangi, kasus-kasus kekerasan berkembang dari isu politik di masyarakat. Pluralitas masyarakat Banyuwangi memberikan nuansa kekerasan semakin memanas. Perbedaan agama, ras dan etnis menjadi sebuah subtansi terjadinya gesekan, hingga tindak kekerasan yang terjadi tahun 1965 di Banyuwangi berdampak kepada keturunan dari korban maupun pelaku. Melihat tindakan kekerasan tahun 1965 sampai menimbulkan dampak yang

9 Kekerasan massa terhadap pengikut PKI menjadi isu politik nasional saat Dewan Jendral terbunuh dalam Gerakan 30 September. Isu politik nasional inilah yang membawa PKI di Banyuwangi dibekukan pada 16 Oktober 1965. Pembekuan PKI di Banyuwangi menyebabkan pecahnya konflik antar ras, suku, bahkan agama. Surabaya Minggu, (minggu ke IV, september 1982); Robert Cribb, op. cit., hlm., 255.

10 H. Abdul Mun’im DZ, Benturan NU-PKI 1948-1965, (Depok: Langgar Swadaya Nusantara, 2014), hlm., 18.

(5)

5 signifikan kepada masyarakat Banyuwangi, maka peristiwa kekerasan yang berlangsung tahun 1965 di Banyuwangi begitu penting untuk dikaji.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

Berdasarkan uraian di atas, pokok penelitian ini menjelaskan bagaimana kekerasan arus bawah dapat memberikan dampak secara personal maupun kultural dan mengapa kekerasan arus bawah di Kalangan masyarakat Banyuwangi dapat terjadi. Pembahasan akan difokuskan pada dua hal, pertama menganalisis kekerasan yang melanda arus bawah Banyuwangi selama pergolakan politik 1965 berlangsung. Kedua mengkaji warisan kekerasan arus bawah yang membentuk stigma kiri di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi. Maka akan dikemukakan beberapa permasalahan.

Permasalahan yang pertama, berkaitan dengan kondisi sosial budaya Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi tergolong plural, dihuni dari berbagai macam etnis dan budaya serta beragam kepercayaan yang dianut. Sehubungan hal ini terdapat anggapan bahwa masyarakat plural akan berpotensi terhadap konflik yang berujung pada tindakan kekerasan,11 maka muncul pertanyaan

11 Kutut Suwondo, Civil Society: Di Atas Lokal, Perkembangan Hubungan Antara Rakyat dan Negara di Pedesaan Jawa, (Salatiga: Pustaka Pelajar dan Pustaka Percik, 2003), hlm., 158-173.

(6)

6 yang mendasar, apakah Banyuwangi merupakan daerah rawan konflik? Faktor apa yang mudah menyulut konflik di Banyuwangi? apakah terdapat kaitan dengan pluralitas yang ada?

Permasalahan kedua, kekerasan langsung terjadi bersamaan dengan perpecahan antar organisasi politik di Banyuwangi. Muncul pertanyaan, mengapa tindakan kekerasan di Banyuwangi terjadi? Momentum apa yang memicunya? Apakah kekerasan yang berlatarbelakang konflik di Banyuwangi merupakan konflik lanjutan dari sebelumnya atau baru terjadi? Bagaimana keterkaitan kekerasan di Banyuwangi dengan politik masa itu? Selain politik, alasan apa yang mendorong masyarakat melakukan tindakan kekerasan? Kondisi sosial psikologi apa yang menyebabkan tindakan kekerasan hingga meluas?

Sebuah tindakan akan memunculkan sebuah hasil, ini merupakan korelasi umum mengenai sebab akibat. Begitu juga halnya dengan kekerasan yang berlangsung pada pergolakan politik 1965, banyak warisan dalam masyarakat Banyuwangi yang hadir secara lisan ataupun secara tertulis mengenai cerita masa itu. Sebagai contohnya ialah lagu-lagu lokal Banyuwangi yang dianut dari cerita masa lalu, diantaranya lagu Tetese Eluh. Karya seni tersebut berupaya memunculkan kembali cerita kekerasaan 1965. Sehubungan dengan permasalahan ketiga ini, maka muncul pertanyaan seperti apa hasil dari kekerasan langsung di

(7)

7 Banyuwangi? Bagaimana wujudnya? Mengapa dapat menjadi warisan? Bagaimana bentuk warisannya? Dan bagaimana dampak yang dihasilkan terhadap masyarakat baik secara sosial maupun psikologi?

Pergolakan politik 1965 sebagai cakupan waktu dalam studi ini memiliki rentan waktu yang sempit dan sulit diartikan secara tegas. Oleh sebab itu, pergolakan politik 1965 yang dimaksud mencakup kurun waktu 1965-1966. Tahun 1965-1966 menjadi pilihan waktu, karena kurun waktu tersebut banyak perubahan besar dalam percaturan sosial budaya, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia, yang bukan saja mempengaruhi ragam dan dinamika perpolitikan tetapi juga dorongan masyarakat untuk memberikan respon terhadap situasi saat itu.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penelitian ini memiliki empat tujuan penting. Pertama, menggambarkan pola kekerasan arus bawah yang berlangsung pada masyarakat Banyuwangi pasca Gerakan 30 September. Kedua, mencari korelasi antara masyarakat arus bawah dengan elit lokal pada kekerasan kolektif di Banyuwangi. Ketiga, menganalisis kondisi yang mendasari individu melakukan perilaku agresif, sehingga terjadi kekerasan yang bersifat jangka panjang. Keempat menjelaskan secara psikologi tentang warisan kekerasan yang terbentuk di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi.

(8)

8 Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah; pertama, penelitian ini diharapkan menjadi bahan pembanding dengan penelitian terdahulu dan menjadi sumber rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Kedua, penelitian ini dapat menjadi tambahan kasanah dalam memandang kekerasan pada masa pergolakan 1965 pasca Gerakan 30 September.

D. Tinjauan Pustaka

Sehubungan dengan penelitian ini, pembahasan tentang kekerasan yang berlangsung di dalam masyarakat Banyuwangi pada tahun 1965. Oleh sebab itu, diperlukan beberapa karya tulis yang terkait dengan penelitian sebagai perbandingan dan tinjauan, diantaranya adalah Robert Cribb, “Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966”, menjelaskan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Jawa dan Bali, serta pengaruh-pengaruh lokal dan nasional dalam aksi kekerasan tahun 1965 – 1966.12 Robert Cribb memetakan kembali arti penting pembantaian yang terjadi tahun 1965-1966. Dalam karya Robert Cribb mengulas tetang kekerasan kolektif yang terjadi di Banyuwangi. Cribb menjelaskan adanya dua kubu kekuatan yang sangat berpengaruh di Banyuwangi. Insiden gerakan 30 september menjadi ujung konflik antar dua kubu besar yang ada di Banyuwangi. Beberapa insiden di Banyuwangi, seperti

12 Robert Cribb, loc. cit.

(9)

9 insiden Cemetuk dan Karangasem diulas dalam karya Cribb ini. Karya Robert Cribb ini dianggap membantu dalam menyusun penelitian ini.

Selain Robert Cribb terdapat Hermawan Sulistyo, “Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966)” menjelaskan pembunuhan massal anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 – 1966 merupakan salah satu terbesar di dunia dan faktor-faktor yang berperan terhadap terjadinya pembantaian.13 Hermawan Sulistyo memusatkan penelitiannya pada Kediri dan Jombang. Meskipun dalam karya Hermawan Sulistyo tidak banyak memaparkan konfik yang terjadi di Banyuwangi, namun karya ini dapat menjadi pembanding pada pola kekerasan yang terjadi dan meluas di Jawa Timur.

Selanjutnya Laporan tentang Studi Mengenai Keresahan Pedesaan pada tahun 1960-an. Laporan yang diterbitkan oleh Yayasan Pancasila Sakti merupakan kumpulan dari studi keresahan pedesaan, terdiri dari Bali, Klaten, dan Banyuwangi.14 Laporan ini dapat dijadikan acuan karena memberikan gambaran

13 Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000).

14Laporan tentang Studi Mengenai Keresahan Pedesaan pada tahun 1960-an”, (Jakarta: Yayasan Pancasila Sakti,1982).

(10)

10 secara detail keresahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat Banyuwangi. Meskipun dalam laporan tersebut terdapat gaya bahasa yang memihak salah satu kelompok, tetapi laporan ini dapat dijadikan tolok ukur sebagai hasil wawancara.

Berikutnya ialah karya mahasiswa Universitas Negeri Jember, Firman Samsyudin, “Peristiwa Cemetuk Tahun 1965”15 dan Priya Purnama, “Konflik Berdarah di Desa Karangasem Kecamatan Gambiran Kabupaten Banyuwangi (18 Oktober 1965)”.16 Kedua karya ini merupakan dua hal yang berbeda tetapi keduanya merupakan karya yang berkaitan, karena antara peristiwa Karangasem dan Cemetuk berlangsung secara bersamaan. Secara geografis Karangasem dan Cemetuk pun bersebelahan, tidak mengherankan apabila konflik yang terjadi saling berkaitan. Dari kedua karya tersebut dapat diambil keterkaitan kekerasan yang berlangsung diruang lingkup pedesaan Banyuwangi, hal ini karena keduanya terfokus terhadap konflik yang berlangsung di Karangasem dan Cemetuk. Keduanya saling menjelaskan secara detail bagaimana konflik yang berlangsung di desa tersebut. Walaupun kedua karya tersebut tidak secara langsung berbicara

15 Firman Samsyudin, “Peristiwa Cemetuk Tahun 1965” (Universitas Negeri Jember, 2009).

16 Priya Purnama, “Konflik Berdarah di Desa Karangasem Kecamatan Gambiran Kabupaten Banyuwangi (18 Oktober 1965)”, (Universitas Negeri Jember, 2012).

(11)

11 tentang kekerasan, keduanya dapat membantu peneliti untuk menemukan orang-orang yang dapat berbagi pengalaman hidup selama berlangsungnya pergolakan 1965 di Banyuwangi.

Ada juga karya Andrew Beatty, Varieties of Javanese Religion. Karya Beatty ini dianggap sangat membantu penelitian, karena kajian utama penelitiannya berada di Banyuwangi.17 Beatty menghadirkan kehidupan sosial budaya masyarakat Banyuwangi. Selebihnya Beatty juga membahas tentang ingatan masyarakat Banyuwangi mengenai pahitnya pengalaman dalam pergolakan 1965, sehingga karyanya banyak mengulas tentang dampak kekerasan 1965 yang mempengaruhi pola kehidupan masyarakat Banyuwangi secara kultural. Selain karya-karya di atas masih banyak karya yang membahas seputar kekerasan dalam pergolakan 1965, namun karya-karya yang lain tidak secara khusus membahas persoalan yang berkaitan langsung dengan penelitian ini.

E. Kerangka Konseptual dan Pendekatan

Penganut strukturalis memandang pergolakan memiliki unsur konflik dan kekerasan. Sehubungan dengan hal tersebut penelitian ini akan terfokus pada penjelasan kekerasan, namun rentetan peristiwa yang diteliti merupakan bagian dari konflik. Maka penelitian ini akan melihat kekerasan dengan konflik sebagai

(12)

12 latar belakangnya. Menurut Marx, konflik dalam sejarah dan masyarakat kontemporer adalah akibat dari benturan kepentingan kelompok-kelompok sosial.18 Untuk mencapai kepentingan ini, tidak sedikit kelompok sosial menggunakan kekerasan. Hal ini serupa dengan pendapat Hobes, bahwa kelompok sosial ataupun organisasi sosial mengarahkan dan menentukan tindakan apa saja yang paling tepat untuk mereka, termasuk kapan kekerasan dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan.19

Bagi Dahrendorf, konflik kekerasan lebih merupakan bentuk manifestasi konflik daripada sebagai sebab akibat, hal ini merupakan masalah senjata yang dipilih pihak berkonflik untuk mengekspresikan permusuhan mereka.20 Dengan kata lain, terdapat kelompok-kelompok yang berkuasa atau disebut sebagai golongan elit telah memainkan peranan dalam terciptanya kekerasan arus bawah.21

18 Seperti yang dikutip dalam Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm., 39.

19 Ibid., hlm., 116.

20 Seperti yang dikutip dalam Novri Susan, ibid., hlm, 116. 21 Arus bawah yang dimaksud dalam penelitian ini ialah menunjuk pada praktek dan diskursus masyarakat kelas bawah non-elit. Istilah arus bawah sudah pernah digunakan dalam karya Bagong Suyanto. pada karyanya yang berjudul "Gejolak Arus Bawah", mengumpamakan istilah arus bawah sebagai kelompok-kelompok sosial yang tidak memiliki kekuasaan secara formal

(13)

13 Kekerasan di Banyuwangi merupakan sebuah kekerasan yang terjadi di Kalangan masyarakat dimana dalam penelitian ini disebut dengan arus bawah. Kekerasan terjadi setelah gagalnya upaya PKI melakukan kudeta atau yang lebih dikenal dengan Gerakan 30 September. Beberapa pandangan berupaya memaparkan keadaan yang memicu kuatnya perilaku agresif masyarakat dalam tindakan kekerasan 1965. Menurut Arnold Brackman, pada saat kekerasan 1965 masyarakat Indonesia mengalami keadaan amok. Amok dilihat sebagai bentuk reaksi spontan atas keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September. Banyak tindakan kekerasan terhadap simpatisan komunis maupun non-komunis yang dilatarbelakangi unsur balas dendam.22 Berbeda dengan pandangan Hermawan Sulistiyo. Sulistiyo menganggap amok kurang memiliki dasar pada tindakan kekerasaan 1965. Hal ini karena tindakan kekerasan tidak dilakukan oleh individu dalam kondisi mental yang berubah. Dari sudut pandang psikologis, tiap individu yang terkait tindakan kekerasan 1965 telah mempersiapkan kondisi mental dalam kurun waktu yang cukup

dalam sistem politik, atau lebih dikenal dengan golongan masyarakat kalangan bawah non-elit (underdog). Lihat pada Bagong Suyanto (dkk), Gejolak Arus Bawah, (Jakarta: Pustaka utama grafity. 1994), hlm., X.

22 Arnold C. Brackman, the Communist Collapse in Indonesia, (New York: Praeger, 1963), hlm., 12.

(14)

14 lama, dengan kata lain bukan merupakan semburan dan ledakan yang tiba-tiba.23 Robert Cribb hampir sependapat dengan Hermawan Sulistiyo. Menurutnya gagasan amok pada tindakan kekerasan 1965 tidak sesuai dengan sudut pandang psikologis yang dikenal saat ini. Cribb memandang tindakan kekerasan 1965 sebagai upaya menyelamatkan kehormatan.24

Ketiga pendapat tersebut, antara Brackman, Sulistiyo dan Cribb terdapat pertentangan dalam cara pandang masing-masing. Dari sudut pandang psikologi, Sulistiyo dan Cribb menganggap kekerasan 1965 bukanlah sebuah spontanitas atau ledakan secara tiba-tiba. Cribb menganggap amok tidak sesuai dengan sudut pandang psikologis yang dikenal saat ini. Maka dari itu, penelitian ini akan menggunakan pendekatan sosio-psikologis untuk mendapati keadaan seperti apa yang dialami oleh masyarakat Banyuwangi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dasar keterkaitan antar individu yang terorganisir untuk melakukan dan membenarkan diri dalam tindakan kekerasan. Pendekatan sosio-psikologis yang digunakan dikhususkan pada tingkah laku (behavioristik).

23 Hermawan Sulistyo, op. cit., hlm., 234. 24 Robert Cribb, op. cit., hlm., 29-33.

(15)

15 Pada umumnya kekerasan muncul dari situasi konkrit yang sebelumnya didahului oleh gagasan, nilai, tujuan dan masalah bersama dalam periode waktu yang lama.25 Tetapi, bagaimana kebersamaan dalam situasi konkrit ini dapat terbentuk pada suatu kelompok masyarakat menjadi persoalan sampai saat ini. Seperti halnya, Miller Skiner yang berpendapat bahwa prilaku individu dipengaruhi adanya stimulus. Selanjutnya, individu tersebut yang akan merespon stimulus. Stimulus dapat muncul terhadap manusia karena faktor lingkungan, dengan kata lain lingkungan berperan penuh terhadap perilaku manusia.26

Stimulus ini dapat berupa isu maupun bentuk keresahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat, dimana hal ini dapat merangsang masyarakat dalam tindakan kekerasan secara berkelompok. Tindakan kekerasan semakin menjadi mana kala terdapat sebuah individu yang menonjol yang dapat menanamkan sebuah nilai penguatan dalam suatu kelompok masyarakat, namun bagaimana masyarakat akhirnya dapat berprilaku sama dalam kelompok. Dalam pandangan sosio-psikologis terdapat faktor yang dapat mendorong individu-individu untuk berprilaku yang sama

25 Jack D. Douglas and Frances Chaput Waksler, “Kekerasan”, dalam Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan, (Jakarta; Galia Indonesia, 2002), hlm., 15.

26 Seperti yang dikutip Calvin S. Hall (et.al), Teori-Teori Sifat dan Behavioristik, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm., 204.

(16)

16 dan menjadi kelompok, yaitu faktor konformitas dan kepatuhan (obedience).

Konformitas dipahami sebagai suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial yang ada.27 Dengan kata lain agar individu dapat membaur dengan lingkungannya, maka tindak penyesuaian terhadap individu lain perlu dilakukan atau bisa juga aturan yang berlaku dilingkungan sekitarnya. Sedangkan, kepatuhan lebih bersifat kultural dimana dalam suatu masyarakat sudah tidak asing adanya nilai kepatuhan terhadap orang yang memiliki strata sosial diatasnya, baik secara materi maupun ilmu.28 Oleh karenanya, manusia cenderung untuk mematuhi perintah yang memiliki strata sosial tinggi.

Perilaku individu atau kelompok dalam tindakan kekerasan akan menghasilkan suatu keadaan terhadap individu-individu yang terkait kekerasan. Untuk memahaminya diperlukan sebuah pengertian konsep kekerasan, maka penelitian ini memerlukan konsep kekerasan Galtung, yaitu kekerasan langsung dan struktural. Hal ini bertujuan untuk dapat melihat kekerasan dan

27 Robert A. Baron (dkk), Psikologi Sosial Jilid 2, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm., 62.

28 Sarlito W. Sarwono (dkk), Psikologi Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hlm., 116.

(17)

17 dampak yang terjadi ditengah-tengah Kalangan masyarakat Banyuwangi.

Kekerasan langsung merujuk pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang secara langsung.29 Kekerasan langsung dapat dilihat sebagai bentuk kasus kerusuhan yang menyebabkan individu maupun kelompok mengalami luka-luka atau kematian akibat serangan individu atau kelompok lain, serta ancaman atau teror dari suatu kelompok yang menyebabkan ketakutan dan trauma psikis.30 Sedangkan kekerasan struktural dipahami sebagai ketidakadilan yang tercipta dari suatu sistem yang menyebabkan individu atau suatu kelompok tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, dapat ditunjukkan dengan rasa tidak aman karena tekanan-tekanan lembaga yang dilandasi kebijakan politik, diantaranya intimidasi.31

Antara kekerasan langsung dan struktural memiliki keterkaitan secara erat dan tidak terpisahkan. Kedua kekerasan tersebut menghasilkan suatu keadaan yang mana individu ataupun kelompok mengalami kematian, kesengsaraan, alienasi, dan

29 Jamil Salmi, Violence and Democratic Society: Hooliganisme dan Masyarakat Demokrasi, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm., 35.

30 Novri Susan, op. cit., hlm., 121. 31 Ibid., hlm., 119.

(18)

18 represi.32 Pengalaman keadaan tersebut merupakan dampak yang dihasilkan dari sebuah tindakan kekerasan.

F. Metode dan Sumber Penulisan

Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yang memiliki empat langkah dalam penulisannya. Pertama, heuristik yang merupakan pengumpulan sumber. Kedua, kritik sumber untuk memverifikasi kebenaran dan validitas sumber maupun subtansinya. Ketiga, interpretasi sumber, dan keempat adalah historiografi yang merupakan proses penulisan sejarah.33

Mengingat penelitian ini bersifat kontemporer, maka sumber yang digunakan selain sumber tertulis juga menggunakan sumber lisan yang diperoleh dari wawancara dengan saksi sejarah dan pelaku sejarah. Dalam sejarah lisan para informan tidak akan hanya menceritakan kembali masa lalu, tetapi juga membuat penilaian atau interpretasi sendiri terhadap masa lalu tersebut.34

32 Johan Galtung, “Kekerasan Budaya” dalam Thomas Santoso, op. cit., hlm., 184. Represi adalah perasaan yang menyebabkan kecemasan diasingkan atau diingkari aksesenya ke arah kesadaran, kesadaran dalam hal ini adalah ruang publik sebagai masyarakat bebas.

33 Kuntowidjoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), hlm., 89.

34 Bambang Purwanto, Sejarah Lisan dan Upaya Mencari Format Baru Historiografi Indonesiasentris, dalam buku Sartono Kartodirdjo dkk., Dari Samudra Pasai ke Yogyakarta: persembahan kepada Teuku Ibrahim Alfian (Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia. 2002), hlm., 152.

(19)

19 Pencarian sumber lisan dilakukan dengan menggunakan pendekatan wawancara mendalam (in-deep interview). Wawancara mendalam merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan, dan dengan atau tanpa menggunakan pedoman yang mana pewawancara dan informan terlibat dalam peristiwa seputar penelitian.35 Penggunaan wawancara dengan in-deep interview dapat menggali kembali ingatan masa lalu masyarakat Banyuwangi dalam kurun waktu 1964-1966.

Beberapa sumber juga didapatkan dari terbitan berkala dengan kurun waktu 1964-1966, diantaranya Kompas, Nieuwe Rotterdamsche Courant, De Tribune, dan Nieuwsblad Van Het Noorden. Namun karena kurangnya perawatan arsip, maka sumber dari terbitan berkala tahun 1964-1966 hanya mendapatkan sebagian. Refrensi lain yang digunakan untuk sumber sekunder penulisan berupa literatur dan kajian akademis yang telah digunakan sebelumnya oleh peneliti lain, diantaranya “Peringatan perkembangan Republik Indonesia; propinsi jawa timur” tahun 1953, “Laporan tentang Studi Mengenai Keresahan Pedesaan pada

35 H.B. Sutopo. Konsep-Konsep Dasar Penelitian Kualitatif, (Surakarta: UNS Press, 2006), hlm., 72.

(20)

20 tahun 1960-an” tahun 1982, dan laporan penelitian pemuda rakyat tahun 1965.

Kritik sumber yang dilakukan melalui perbandingan antara hasil wawancara dan koran-koran sezaman, hal ini agar terdapat kecocokan antar sumber. Perbandingan secara terperinci dikhususkan pada hasil wawancara agar terhindar dari subjektivitas informan dan sebagai validitas informasi yang diberikan oleh informan. Interpretasi sumber dilakukan hampir sama dengan kritik sumber, yaitu melalui perbandingan dengan literatur yang didapat. Selanjutnya historiografi akan terformat dalam sistematika penulisan.

G. Sistematika Penulisan

Setelah bab pengantar, penulisan tesis ini akan dilanjutkan pada bab II dengan menguraikan tentang kondisi kehidupan masyarakat Banyuwangi yang terpolarisasi dalam beberapa kelompok dan tersusun dari berbagai element masyarakat. Bab ini hendak memaparkan komposisi masyarakat Banyuwangi mulai dari kehidupan sosial hingga politiknya. Perbedaan dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi dapat menggambarkan hal-hal yang berpontensi sebagai awal gesekan antar kelompok masyarakat dan memunculkan kekerasan.

Pada Bab III menguraikan tentang flash back pertarungan sebelum tahun 1965 dan pertarungan politik meliputi PKI, PNI,

(21)

21 Nahdlatul Ulama. Selain itu dijelaskan juga mengenai gesekan-gesekan yang ada pada masyarakat Banyuwangi berupa perebutan kekuasaan tingkat daerah hingga pada rumor yang menciptakan ketegangan antar masyarakat. Bab ini juga akan memaparkan bagaimana masyarakat Banyuwangi dapat terorganisir dan membentuk pola-pola baru dalam tatanan yang baru untuk mendorong terjadinya kekerasan langsung. Selanjutnya pada bab IV, akan diuraikan upaya legitimasi dan intimidasi setelah pergolakan 1965, yang mana legitimasi dan intimidasi tersebut merupakan bagian dari kekerasan struktural. Warisan kekerasan dapat berupa stigmatisasi yang melekat pada suatu kelompok. Maka pada bab ini akan menganalisis aspek-aspek yang mengkonstruk masyarakat Banyuwangi dalam membangun dan memperkuat warisan tersebut hingga sekarang. Sebagai penutup, bab V akan memaparkan jawaban dari permasalahan dan realisasi tujuan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait