BAB II
GAGASAN BERKARYA
2.1 Gender
2.1.1. Pengertian Gender
Perbedaan alami yang dikenal dengan perbedaan jenis kelamin sebenarnya hanya sebuah perbedaan biologis yang dibawa sejak lahir oleh perempuan dan laki-laki. Di luar semua itu adalah perbedaan yang dikenal dengan istilah gender. Perbedaan yang tidak alami atau perbedaan sosial mengacu pada perbedaan peranan dan fungsi yang dikhususkan untuk perempuan dan laki-laki. Perbedaan tersebut diperoleh melalui proses sosialisasi atau pendidikan di semua institusi (keluarga, pendidikan, agama, adat dan sebagainya).
Gender adalah semua hal sosial mengenai laki dan perempuan, misalnya
laki-laki digambarkan mempunyai sifat maskulin seperti keras, kuat, rasional, gagah. Sementara perempuan digambarkan memiliki sifat feminin seperti halus, lemah, perasa, sopan, penakut. Perbedaan tersebut dipelajari dari keluarga, teman, tokoh masyarakat, lembaga keagamaan dan kebudayaan, sekolah, tempat kerja, periklanan dan media.
Gender berbeda dengan seks. Seks adalah jenis kelamin laki-laki dan perempuan dilihat
secara biologis. Sedangkan gender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial; masalah atau isu yang berkaitan dengan peran, perilaku, tugas, hak dan fungsi yang dibebankan kepada perempuan dan laki-laki. Dalam kenyataannya, tidak selalu demikian. Kita tahu ada saja perempuan yang tidak lemah lembut, yang agresif, pencari
nafkah, dan de facto sebagai kepala keluaga. Sebaliknya kita juga sering menemui laki-laki yang lemah lembut, bukan pencari nafkah, dsb.
2.1.2. Konsep Gender Dalam Realitas Kehidupan
Perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki mempengaruhi kebudayaan sebagai proses maupun produknya. Hal atau konsep ini dapat kita lihat mulai dari keluarga, pendidikan, pekerjaan hingga kesadaran yang bersifat universal.
Keluarga adalah tempat terpenting bagi seseorang karena merupakan tempat pendidikan yang pertama kali serta merupakan lingkungan terkecil dan terdekat bagi seseorang dalam lingkungan masyarakat, dan di dalam keluarga pula seseorang paling banyak bergaul serta mengenal kehidupan. Menurut teori gender kedudukan yang terpenting bagi perempuan dalam keluarga adalah sebagai istri dan ibu yang mengatur jalannya rumah tangga serta memelihara anak (Beechey 1986:126). Untuk menjalankan tugas sebagai istri dan ibu perempuan diharapkan dapat memasak, menjahit, memelihara rumah serta melahirkan. Dalam hal ini alangkah baiknya bila kedudukan seorang istri di rumah. Sebaliknya, menurut ideologi ini kedudukan laki-laki yang terpenting dalam suatu keluarga adalah sebagai seorang suami yang bertanggung jawab sebagai pencari nafkah utama. Karena tugasnya sebagai pencari nafkah sering seorang suami tidak peduli dan tidak mau tahu dengan urusan rumah tangga, sebab dia merasa sudah memberi uang untuk jalannya roda rumah tangga (Smith 1988:154). Bila melihat kondisi masyarakat pada saat ini, tampak konsep-konsep di atas sudah agak bergeser. Banyak istri yang bekerja mencari nafkah di luar rumah. Penghasilan istri juga berfungsi menambah penghasilan.
Di bidang pendidikan tampak bahwa konsep gender juga dominan. Sejak masa kanak-kanak ada orangtua yang memberlakukan pendidikan yang berbeda berdasarkan konsep gender ;sebagai contoh kepada anak perempuan diberi permainan boneka sedang anak laki-laki memperoleh mobil-mobilan dan senjata sebagai permainannya. Bila diingat bahwa pada zaman kartini berlaku perbedaan pendidikan bagi anak perempuan dan laki-laki, tampaknya saat ini juga masih demikian. Sebagai contoh masyarakat kita masih menganggap bahwa anak perempuan lebih sesuai memilih jurusan bahasa, pendidikan atau pendidikan rumah tangga, sebaliknya anak laki-laki lebih sesuai untuk jurusan teknik. Perempuan dianggap lemah di bidang matematika, sebaliknya laki-laki dianggap lemah di bidang bahasa. Pada keluarga yang kondisi ekonominya terbatas banyak dijumpai pendidikan lebih diutamakan bagi anak laki-laki meskipun anak perempuannya jauh lebih pandai, keadaan ini menyebabkan lebih sedikitnya jumlah perempuan yang berpendidikan. (Millar 1992). Sejak kaum perempuan dapat memperoleh pendidikan dengan baik jumlah perempuan yang mempunyai karier atau bekerja di luar rumah menjadi lebih banyak. Mednick (1979) berpendapat meskipun jumlah kaum perempuan yang bekerja meningkat tetapi jenis pekerjaan yang diperoleh masih tetap berdasar konsep gender. Kaum perempuan lebih banyak bekerja di bidang pelayanan jasa atau pekerjaan yang membutuhkan sedikit keterampilan seperti di bidang administrasi, perawat atau pelayan toko dan hanya sedikit yang menduduki jabatan manager atau pengambil keputusan (Abbott dan Sapsford 1987). Dari segi upah masih banyak dijumpai bahwa kaum perempuan menerima upah lebih rendah dari laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama, juga perbedaan kesempatan yang diberikan antara karyawan perempuan dan laki-laki di mana laki-laki lebih diprioritaskan. Dari perbedaan perlakuan tersebut banyak
yang kemudian menyimpulkan, menggolongkan dan kemudian menganggap perempuan sebagai orang yang lemah, pasif serta dependen dan menganggap laki-laki lebih berharga. Pada pengalaman saya posisi gender dalam keluarga saya sudah mengalami pergeseran pula. Keluarga saya terdiri dari seorang bapak dan seorang ibu serta empat orang anak laki-laki. Saya anak bungsu dalam keluarga saya. Meski saya dan kakak-kakak saya adalah laki-laki namun ibu saya tetap mengajarkan hal-hal yang seharusnya dikerjakan oleh perempuan seperti memasak, mencuci, bahkan sampai menjahit diajarkan kepada saya dan kakak-kakak saya. Meski tujuannya adalah agar saya dan kakak-kakak saya bisa hidup mandiri namun tetap saja bagi saya ini sudah merupakan sebuah bentuk pergeseran gender. Ditambah lagi kondisi keluarga setelah bapak saya pensiun berubah. Ibu yang biasanya lebih banyak berkegiatan di dalam rumah dan bapak di luar rumah kini menjadi terbalik. Bapak saya cenderung lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah dan ibu yang lebih sering berkegiatan di luar rumah.
Hal ini membuat saya berpikir bahwa saat ini bagi saya sudah tidak ada lagi perbedaan gender dalam masyarakat. Keluarga saya merupakan salah satu contoh kecil dari pergeseran gender yang terjadi di masyarakt saat ini. Karena itu dalam karya saya ini saya menitikberatkan permasalahan pada pergeseran gender. Medium yang saya pilih dalam berkarya adalah objek. Saat ini semakin banyak produk-produk massal yang sifatnya unisex, yaitu dapat digunakan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Jika pada produk-produk massal yang saat ini banyak muncul objek tersebut lebih bersifat tak bergender (dalam hal ini objek tersebut tidak memiliki sifat maskulin ataupun feminin atau bisa disebut netral) maka pada karya saya, saya menghadirkan sebuah objek yang
memiliki dua unsur tersebut yaitu maskulin dan feminin yang digabungkan sehingga benda tersebut menjadi bias identitasnya.
2.3. Objek Dengan Identitas Yang Samar
“Aku adalah apa yang aku konsumsi, aku mengkonsumsi untuk mengaktualisasi diriku. “ 2
Pada era globalisasi saat ini dimana kemajuan teknologi dan kemudahan pertukaran informasi sangat besar pengaruhnya pada gaya hidup dan budaya masyarakat, munculah sebuah budaya baru yaitu budaya urban (urban culture). Urban culture adalah budaya perkotaan. Kota-kota di seluruh dunia, masa kini dan masa lampau. Sebuah budaya yang menjamur dan mengisi ruang publik, baik itu dari segi seni aktivitas lainnya. Sebuah budaya yang timbul karena kejenuhan terhadap apa yang sudah ada. Sebuah budaya yang timbul akibat pertemuan berbagai budaya dan interest yang ada. Budaya urban ini menghasilkan beberapa bentuk pola hidup manusia yang baru dimana kebutuhan manusia saat ini tidak lagi mencari fungsi dari si benda melainkan mencari status yang didapat dari memiliki benda tersebut. Fenomena kebendaan dalam sekarang ini telah menjadi bagian dari upaya menciptakan sebuah gaya hidup (Life style). Gaya hidup kebendaan memberikan sebuah identitas, dari identitas itulah manusia merasa menemukan eksistensinya, karena dalam perjalanan hidupnya manusia terus melakukan pencarian diri melalui berbagai identitas yang tak mau disamakan dengan orang lain.
2
Donny Gahral Adian, Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, Editor Alfathri Adlin,Yogyakarta dan Bandung, Penerbit Jalasutra, 2006 hal 27
Identitas kebendaan ditandai secara berbeda baik makna sosial, status atau pun simbol. tanda-tanda inilah yang kemudian tidak terlepas dari manusia itu sendiri, karena sebagai bentuk perwujudan dirinya yang mengada-ada dan eksis. Karena adanya dorongan tersebut maka muncullah apa yang disebut sebagai kecenderungan penggayaan pribadi atau personal style (budaya custom). Dimana benda-benda yang kini hadir kemudian mengalami pengkostruksian makna sehingga berbeda dari benda yang lainnya. Bahkan pengonstruksian ini terkadang membuat identitas dari benda tersebut hilang. Benda-benda yang tadinya jelas memiliki identitas karena si pemilik ingin membuat benda tersebut sesuai dengan keinginannya maka diubah sedemikian rupa sehingga benda tersebut tetap memiliki bentuk dasar yang sama namun memiliki ciri khas dari si pemiliknya terkadang berubah identitasnya menjadi tidak jelas. Apakah benda ini untuk laki-laki atau perempuan. Hal ini menggeser identitas sebuah benda dari yang awalnya berlabel menjadi tak memiliki label. Sehingga muncullah produk massal yang disebut produk urban yang tak berlabel.
Dalam hal inilah kemudian saya memiliki ketertarikan untuk menghadirkan benda-benda keseharian sebagai karya seni. Benda-benda ini langsung saya ambil dari tempat dia berpijak sesuai dengan identitasnya namun, benda-benda tersebut mengalami perubahan yang mengada-ada atau melebih-lebihkan sehingga tidak jelas untuk siapakah benda-benda ini dipakainya. Perubahan ini diambil dari sifat-sifat maskulinitas dan femininitas yang kemudian dua sifat tersebut dimasukan atau dileburkan dalam satu benda-benda sehingga identitas benda tersebut hilang atau samar. Identitas ini terbentuk seiring dengan bagaimana manusia mengunakan atau memakai benda-benda sebagai salah satu perangkat membentuk identitas manusia itu sendiri, peran ini berlangsung
timbal balik antara manusia dan benda-benda. Identitas benda-benda ini tersamarkan ketidakjelasannya dan selalu berubah-ubah.
2.4. Kecenderungan Penggunaan Found Object Dalam Seni Rupa Kontemporer
Istilah found objek dalam bahasa Inggris adalah benda temuan atau bisa disebut juga readymade (sudah jadi) menjelaskan seni yang dibuat dari benda-benda yang sudah ada atau benda-benda keseharian yang biasa dipakai. Kecenderungan penggunaan objek dalam sebuah karya seni di awali pada abad-20 dimana terjadi revolusi industri. Pada masa itu tenaga manusia mulai digantikan oleh mesin-mesin dengan kuantitas yang jauh lebih baik dari tenaga manusia. Dimana akhirnya barang-barang dapat diproduksi secara massal dan dapat diperoleh dengan mudah. Produk-produk massal tersebut memberikan pengaruh besar pada kehidupan manusia. Manusia menjadi memiliki ketergantungan pada produk-produk massal. Sekarang mereka cenderung membuat barang-barang yang bisa diproduksi massal dikarenakan waktu dan jumlah tenaga kerja yang lebih efisien.
Disisi lain perkembangan seni pada masa itu tidak berkembang secepat perkembangan industrialisasi. Masyarakat masih terpatok pada bentuk seni yang menjunjung tinggi nilai-nilai estetis dan pada penggunaan material. Mereka masih terpatok bahwa seni adalah lukis dan patung dimana seni lukis adalah gambar dua dimensi di atas kanvas dan patung adalah bentuk-bentuk tiga dimensi seperti figur dengan material yang terbatas. Hingga akhirnya terjadi kesenjangan yang cukup jauh antara seni dengan perkembangan sosial yang ada pada masyarakat. Kesenjangan inilah yang membuat seni menjadi kurang dekat dengan keseharian masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa seni memiliki kelas tersendiri yang sulit dimasuki oleh orang awam.
Dengan adanya kesenjangan ini akhirnya muncul pemikiran bahwa seni bukan hanya sebuah gambar dua dimensi diatas kanvas atau bentuk tiga dimensi dengan material tertentu saja. Marcel Duchamp memperkenalkan apa yang disebut found object dalam karya seninya yang berjudul ‘fountain’ pada tahun 1917. Karyanya berupa sebuah
tempat untuk buang air yang ia display dan ia bubuhkan tanda tangannya. Meski awalnya ia mendapat banyak penolakan dari banyak pihak namun kini seni dengan menggunakan
found object menjadi begitu populer diantara para seniman.
“Fountain” by Marcel Duchamp (1917) (sumber : http:/www.wikipedia.com)
Found object atau bisa disebut readymade (barang jadi) adalah sebuah bentuk
berkesenian yang menggunakan benda-benda (objek) yang ada di keseharian kita. Bentuk kesenian ini merupakan respon dari perkembangan industrialisasi yang begitu pesat sehingga orang sekarang cenderung menggunakan produk-produk massal. Untuk mempersempit jarak antara seni dengan masyarakat maka hadirlah found objek sebagai seni. Dimana produk-produk massal tersebut dihadirkan kembali sebagai karya seni.
Henri Robert Marcel Duchamp lahir di Perancis pada tanggal 28 July 1887 adalah seorang seniman Perancis yang karya dan idenya sangat berpengaruh pada perkembangan
seni barat pada perang dunia kedua dan memberikan masukan kepada para kolektor seni dalam membentuk citarasa pada seni dunia barat. Sementara ia biasa tergabung dengan gerakan Dada dan Surealis, partisipasinya dalam surealisme sebagaian besar hanya dibelakang layar saja, setelah tergabung dengan New York Dada, baru ia bergabung di
Paris Dada. Ribuan buku dan artikel berusaha untuk menafsirkan karya-karya dan
filosofi Duchamp, tapi dalam wawancara dan tulisan-tulisannya hanya menjadi sebuah misteri. Ia telah menghasilkan banyak karya dan membawanya menjadi avant-garde pada masanya.
“Bicycle Wheel/Roue de bicyslette” by Marcel Duchamp (sumber : http:/www.wikipedia.com)
Selain Marcel Duchamp ada beberapa seniman lain yang berkarya dengan objek seperti Ricky Swallow. Pada karyanya yang berjudul “Come Togethet” pada tahun 2002
ini ia membuat sebuah karya berupa kursi bantal dengan materialkan kayu yang diatasnya terdapat tengkorak kepala, karya ini dibuat menggunakan teknik carving.
Ricky swallow lahir di Australia yang karya-karyanya oleh banyak kritikus seni digambarkan sebagai model, miniatur, reflika, diorama, penghormatan monumen, tanda kenangan, karya instalasi dan objek skulptural, yang dikerjakan oleh sisenimannya sendiri dengan secara manual yang menggunakan media-media seperti kardus, pvc, pipa ledeng, resin, kayu dan karet. Seperti pada karyanya yang berjudul “come together” Ricky mencoba membuat sebuah kursi yang berbentuk bantal namun dibuat dengan material kayu. Bila dilihat kembali sifat dari bantal adalah suatu benda yang lembut, empuk dan nyaman namun ia malah menggunakan material kayu yang sifatnya berlawanan dengan sifat bantal tersebut dimana sifat kayu adalah keras, kuat, dan kasar. Dalam karya ini ia memanipulasi material dan merubah makna persepsi orang mengenai kursi.
Kemudian selain kedua seniman diatas ada pula seniman dari Jepang yang bernama Tomoko Takahashi. Ia membuat karya instalasi yang berjudul “line out” pada tahun 1999. karya instalasi yang ia buat merupakan barang-barang elektronik hasil temuannya yang sudah rusak. Di karya ini ia ingin menceritakan tentang limbah yang dihasilkan dari barang-barang industri. Bahwa masyarakat saat ini begitu menyukai produk-produk massal namun efek dari produksi barang-barang tersebut juga mengahsilkan limbah yang sama banyak. Bayangkan jika sebuah benda hasil produksi massal seperti mobil rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi maka akan menghasilkan sampah sebesar mobil itu juga (mobil itu sendiri). Itu baru satu jenis benda sedangkan saat ini produk-produk massal ada ribuan bahkan jutaan telah diproduksi, betapa banyak
jumlah sampah yang dihasilkan dari produk-produk massal yang sudah rusak atau tak terpakai lagi. Dalam karyanya ini Tomoko ingin menghadirkan sebuah kekacauan yang disebabkan oleh adanya sampah dari hasil produksi massal dimana di satu sisi manusia menginginkan sebuah produk massal yang siap pakai tapi di sisi lain mereka kesulitan menangani sampah yang dihasilkan.
“Come Together” by Ricky Swallow (2002) (sumber : http:/www.wikipedia.com)
“Line Out” by Tomoko Takahashi (1999) (sumber : Installation Art In The New Millenium)
Saya mengambil contoh ketiga seniman tersebut sebagai contoh bentuk dari karya-karya seni yang menggunakan found object. Pada karya-karya Marcel Duchamp dan Tomoko Takahashi objek yang dihadirkan merupakan benda dengan hasil pabrikan yang dihadirkan secara langsung. Sedangkan pada karya Ricky Swallow objek yang dihadirkan dibuat kembali namun dengan material yang berbeda seperti pada karyanya yang berjudul “come together”.
Pada karya yang saya buat ini, terutama pada ketiga karya saya yang pertama, saya juga menggunakan found object sebagai media berkarya. Penggunaan found object disini tidak saya hadirkan seperti Marcel Duchamp dan Tomoko Takahashi yang menghadirkan objek apa adanya atau pun Ricky Swallow yang menghadirkan kembali objek dengan perubahan material. Objek yang saya hadirkan dalam karya saya disini
adalah found objek yang saya ganti sebagian materialnya bahkan ada penambahan material lain namun bentuk found object tersebut pada dasarnya tidak berubah.
Pada karya saya, saya mengangkat tentang permasalahan gender yang mengalami pergeseran. Dimana objek-objek yang tadinya sudah diberikan identitas oleh masyarakat kini mulai coba dihilangkan kembali menjadi tidak memiliki identitas karena adanya pergeseran gender di masyarakat. Hal ini membuat benda-benda yang tadinya jelas identitasnya kini menjadi samar identitasnya karena sifat maskulin dan feminin sudah tidak memiliki kedudukan yang ajeg (tetap). Jika pada masyarakat akhirnya muncul benda-benda unisex yang sifat maskulin dan feminin dihilangkan sehingga dapat dipakai oleh laki-laki dan perempuan maka yang saya hadirkan di karya saya ini adalah penggabungan sifat maskulin dan feminin dalam satu objek sehingga menghadirkan sebuah kekacauan sistem gender yang ada di masyarakat saat ini.