• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAPDI 290-324 Metabolik Endokrin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PAPDI 290-324 Metabolik Endokrin"

Copied!
224
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

290

SINDROM METABOLIK

Sidartawan

Soegondo, Dyah Purnamasari

PENDAHULUAN

Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan konstelasi

faktor

risiko

pada pasien-pasien dengan resistensi

insulin

yang

dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular

yang disebutnya sebagai sindrom

X.

Selanjutnya, sindrom

X

ini

dikenal

sebagai

sindrom resistensi

insulin

dan akhirnya sindrom metabolik.

Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan sensitivitas

jaringan

terhadap

kerja

insulin

sehingga

terjadi

peningkatan sekresi

insulin

sebagai

bentuk kompensasi sel beta pankreas. Resistensi

insulin

terjadi

beberapa dekade sebelum

timbulnya

penyakit

diabetes

mellitus

dan kardiovaskular lainnya. Sedangkan

sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik adalah

kumpulan

gejala yang menunjukkan

risiko

kejadian

kardiovaskular lebih

tinggi

pada

individu

tersebut. Resistensi

insulin

juga

berhubungan dengan beberapa keadaan seperti hiperurisemia, sindrom ovarium

polikistik

dan perlemakan hati non alkoholik.

Di

US,

peningkatan kejadian

obesitas

mengiringi

peningkatan

prevalensi sindrom metabolik.

Prevalensi sindrom metabolik pada populasi usia > 20 tahun sebesar

25Yo dan pada

usia

>

50 tahun sebesar 45%o. Pandemi

sindrom

metabolik juga

berkembang

seiring

dengan peningkatan prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia. Studi yang dilakukan di Depok

(2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik

menggunakan

kriteria National

Cholesterol Education

Program

Adult

Treatment

Panel

III

(NCEP-ATP

III)

dengan

modifikasi

Asia Pasifik,

terdapat

pada 25.7Yo

pria

dan 25Yo wanita. Penelitian Soegondo

(2004) melaporkan prevalensi sindrom metabolik

sebesar 13,l3oh dan menunjukkan bahwa

kriteria

Indeks Massa Tubuh

(IMT)

obesitas

>25

kglm2

lebih

cocok

untuk

diterapkan pada orang

Indonesia. Penelitian

di

DKI

Jakarta pada tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrom

metabolik

yang

tidak

jauh

berbeda

dengan

Depok yaitu

26,3Yo

dengan obesitas

sentral

merupakan komponen

terbanyak (59,4%).

Laporan

Peneliti

Tahun Daerah N (usia) Prevalensi (%)

(ATP lll Asia) Komponen sindrom metabolic Terbanyak (%) Budhiarta 2004

Arifin

2003

Suhartono

2005

Pranoto

2005

Adam

2002-2004 Bali Denpasar D. Sangsit D. Sembiran Bandung Medical check up Semarang (poli RS) Pekajangan Surabaya (general check up)

Makasar

(general check up)

20,3 24,8 19,2 7,8 22,94 (bukan modifikasi) '16,6 20,3 34 33,4 J Kolesterol HDL (39,1) Hipertensi (89,7) Obesitas sentral Hipertrigliseridemia (85,29) Obesitas sentral (58,2) 888 354 443 90 (30-60) 497 C) 1 190 (> 50) 1230 (> 30) 100 (-) 12't9 (21-82)

Dikutip dari Purnamasari. Gambaran Resistensi lnsulin Subyek dengan Saudara Kandung DM tipe 2. Tesis 2006.

(3)

1866

MEf,ABOLIKENDOIRIN

prevalensi sindrom

metabolik

di

beberapa daerah

di

Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Dibandingkan

dengan

komponen-komponen

pada

sindrom

metabolik,

obesitas sentral

paling

dekat

untuk

memprediksi ada tidaknya sindrom metabolik. Beberapa studi di wilayah Indonesia termasuk Jakarta menunjukkan

obesitas sentral merupakan komponen yang paling banyak

ditemukan pada

individu

dengan sindrom metabolik. Meski mendapat sebutan sindrom, namun secara

r[num

penatalaksanaan

sindrom

metabolik

sejauh

ini

masih

merupakan penatalaksanaan masing-masing

komponennya. Masih menjadi perdebatan apakah sebutan sindrom ini masih

memiliki

arti

klinis

mengingat tidak ada perbedaan penatalaksanaan pada

tiap

komponennya.

Pada akhirnya tampilan

klinis

sindrom metabolik

ini

sangat

dipengaruhi oleh

faktor etnik

dan herediter,

sehingga pola

klinis di

setiap populasi berbeda.

KRITERIA

Sejak

munculnya sindrom

resistensi

insulin,

beberapa organisasi berusaha membuat

kriteria

sindrom metabolik

supaya dapat diterapkan secara praktis

klinis

sehari-hari. Secara umum, semua

kriteria

yang diajukan memerlukan minimal 3 kriteria untuk mendiagnosis sondrom metabolik

atau sindrom resistensi

insulin.

World

Health

Organiza-tion

(WHO)

merupakan organisasi pertama

yang

mengusulkan kriteria sindrom metabolik pada tahun 1998.

Menurut

WHO pula, istilah

sindrom

metabolik

dapat

dipakai

pada penyandangi

DM

mengingat penyandang

DM juga

dapat memenuhi

kriteria

tersebut

dan

menunjukkan besarnya

risiko

terhadap kejadian

kardiovaskular. Setahun kemudian pada tahun

1999,

the

European Group

for

Study of

Insulin

Resistance (EGIR)

melakukan modifikasi pada kriteria WHO. EGIR cenderung menggunakan

istilah

sindrom resistensi insulin. Berbeda

dengan

WHO, EGIR lebih memlih

qbesitas sentral

dibandingkan

IMT

dan

istilah

sindrom resistensi

insulin

tidak dapat dipakai pada penyandang

DM

karena resistensi insulin merupakan faktor risiko timbulnya DM. Pada tahr.rn

2001,

National

Cholesterol Education

Program

(NCEP)

Adult

Treatment Panel

III

(ATP

III)

mengajukan

kriteria

baru yang

tidak

mengharuskan

adanya komponen

resistensi

insulin. Meski tidak pula

mewajibkan adanya komponen obesitas sentral, kriteria ini menganggap bahwa obesitas sentral merupakan faktor utama yang mendasari sindrom metabolik.

Nilai cut-offlingkar

perut diambil dari National Institute of

Health

Obesity

Clinical

Guidelines; > 102

cmuntukpriadan

> 88 cmuntukwanita.

Untuketnik

tertentu seperti

Asia,

dengan

cut-off lingkar perut

lebih

rendah dari

AIP

III,

sudah

berisiko

terkena sindrom

metabolik.

Pada

tahun

2003,

American Association

o/

Clinical

Endocrinologrsls

(AACE)

memodifikasi definisi

dari

AIP III.

Sama seperti EGIR, bila sudah ada

DM,

maka

istilah sindrom resistensi insulin tidak digunakan lagi. Dua tahun kemudian, pada tahun 2005, International Diabetes Federation (IDF) kembali memodifikasi laiteriaATP III. IDF

menganggap obesitas sentral sangat berkorelasi dengan

resistensi

insulin,

sehingga

memakai

obesitas sentral

sebagai kriteria utama.

Nilai

cut-offyang

digunakan juga

dipengaruhi oleh etnik.

UntukAsia

dipakai

cut-offlingkar

perut

>

90

cm untuk

pria

dan

>

80 cm untuk

wanita.

Beberapa

kriteria

sindrom

metabolik

dapat

dilihat

pada

Tabel2.

Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ATP

III

lebih banyak digunakan, karena lebih memudahkan seorang klinisi untuk

mengidentifikasi

seseorang dengan sindrom metabolik.

Sindrom metabolik ditegakkan apabila seseorang

memiliki

sedikitnya 3 (tiga) kriteria.

PATOFISIOLOGI

Pengetahuan

mengenai

patofisiologi

masing-masing

komponen sindrom metabolik sebaiknya diketahui untuk

dapat memprediksi pengaruh perubahan gaya

hidup

dan medikamentosa dalam penatalaksanaan sindrom metabolik.

Obesitas

sentral

Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh

tidak begitu sensitif dalam

menggambarkan

risiko

kardiovaskular dan gangguan metabolik yang terjadi. Studi

menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan

oleh lingkar perut

(dengan

cut-off

yang berbeda antara

jenis kelamin) lebih sensitif dalam memprediksi gangguan

metabolik

dan

risiko

kardiovaskular. Lingkar

perut

menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan

vis-ceral.

Meski dikatakan bahwa lemak viseral lebih

berhubungan dengan

komplikasi metabolik

dan kardiovaskular,

hal

ini

masih kontroversial. Peningkatan

obesitas

berisiko pada

peningkatan

kejadian

kardiovaskular. Variasi faktor genetik membuat perbedaan

dampak metabolik

maupun

kardiovaskular

dari

suatu

obesitas. Seorang dengan obesitas

dapat

tidak

berkembang

menjadi

resistensi

insulin,

dan sebaliknya resistensi

insulin

dapat ditemukan pada

individu

tanpa

obes

(lean subjects). Interaksi

faktor

genetik

dan lingkungan akan

memodifikasi

tampilan

metabolik

dari

suatu resistensi

insulin

maupun obesitas.

Jaringan adiposa merupaka sebuah

organ

endokrin

yang aktif mensekresi berbagai faktor pro dan anti inflamasi

seperti leptin, adiponektin, Tumor nekrosis

factor

d

(TNF-a),

Interleukin-6

(IL-6)

dan resistin. Konsentrasi

adiponektin plasma menurun pada kondisi

DM

tipe 2 dan obesitas. Senyawa ini diprcaya memiliki efek antiaterogenik pada hewan coba dan manusia. Sebaliknya, konsentrasi

leptin

meningkat pada

kondisi

resistensi

insulin

dan

(4)

1867

SINDROMMEIABOUK

Kriteria Klinis wHo (1e98) EGIR ATP

il

(2001) AACE (2003) !DF (2005)

Resistensi

TGT, GDPT, DMT2,

insulin

atau sensitivitas insulin menurun* Ditambah 2 dari

kriteria berikut Berat

badan

Pria: rasio pinggang

panggul > 0,90 Wanita: rasio pinggang panggul > 0,85 dan/atau IMT > 30 kg/m2

Lipid

TG > 150 mg/dL dan/atau HDL-C < 35 mg/dL pada pria atau

< 39 mg/dl pada wanita

lnsulin plasma >

persentil ke-75 Ditambah dua dari kriteria berikut LP > 94 cm pada pria

atau > 80 cm pada wanita

Tidak ada, tetapi mempunyai 3 dari 5 kriteria berikut LP > 1 02 cm pada pria atau > 88 cm pada wanitaf TGT atau GDPT Ditambah salah satu dari kriteria berikut berdasarkan penilaian klinis-IMT > 25 kg/m' TG > 150 mg/dL dan HDL-C < 40 mg/dl pada pria atau < 50 mg/dL pada wanita > 130/85 mmHg Tidak ada LP yang meningkat (spesifik tergantung populasi) ditambah dua dari kriteria berikut TG > 150 mg/dl

atau dalam

pengobatan TG HDL-C < 40 mg/dL pada pria atau <

50 mg/dL pada wanita atau dalam pengobatan

HDL-c

> '130 mm Hg sistolik atau > 85 mm Hg diastolik atau dalam pengobatan hipertensi > 100 mg/dL (termasuk diabetes) TG > 150 mg/dl dan/atau HDL-C < 39

mg/dl pada pria atau wanita

TG 2150 mg/dl

HDL-C < 40 mg/dl

pada pria atau < 50

mg/dL pada wanita > 130i85 mmHg

Glukosa

TGT, GDPT atau DMT2

Lainnya

Mikroalbuminuria Tekanan

darah

> 140/90 mm Hg TGT atau GDPT (tetapi bukan diabetes) Kriteria resistensi insulin lainnya$

DMT2 menunjukkan diabetes melitus tipe 2; LP, lingkar pinggang; lMT, indeks massa tubuh; dan TG, trigliserida, semua singkatan lainnya terdapat dalam teks.

* Sensitivitas insulin diukur pada kondisi euglikemia hiperinsulinemia, ambilan glukosa di bawah kuartil terendah sebagai latar belakang populasi yang diteliti

ng

in.

04

ovarium polikistik, gaya hidup yang kurang banyak gerak, usia lanjut dan etnis tertentu yang rentan terhadap diabetes melitus tipe 2.

Dikutip dari Grundy et al. Diagnosis and management of metabolic syndrome. circulation 2005

> 140/90 mmHg atau dalam pengobatan hipertensi TGT atau GDPT (tetapi bukan diabetes) 2 110 mg/dl (termasuk penderita diabetes)f

kardiovaskular

tidak

tergantung

dari

faktor risiko

tradisional kardiovaskular,

IMT

dan konsentrasi CRP. Sejauh ini belum diketahui apakah pengukuran pengukuran marker hormonal dari jaringan adiposa lebih baik daripada

pengukuran

secara

anatomi dala memprediksi

risiko

kejadian kardiovaskular dan kelainan metabolik yang terkait.

Resistensi lnsulin

Resistensi

insulin

mendasari

kelompok kelainan

pada sindrom metabolik. Sejauh ini belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp merupakan

teknik

yang ideal namun

tidak

praktis untuk

klinis

sehari-hari. Pemeriksaan glukosa plaama puasa

juga

tidak

ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya dijumpai pada 1 0% sindrom metabolik. Pengukuran

Homeostasis

Model

Asessment

(HOMA)

dan

Quantita-tive Insulin Sensitivity Checklndex

(QUICKI)

dibuktikan

berkorelasi

erat dengan pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin.

Bila

melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan

jaringan

adiposa dan sistem kekebalan

tubuh,

maka

pengukuran resistensi

insulin

hanya

dari

pengukuran

glukosa dan insulin (seperti rumus

HOMA

dan

QUICKI)

perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, penggunaan nrmus

ini

secara

rutin di klinis

belum

disarankan

maupun

disepakati.

Dislipidemia

Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai

dengan peningkatan trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol

LDL

biasanya nornal, namun mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense

LDL

-Peningkatan konsentrasi

trigliserida

plasma

dipikirkan

akibat peningkatan masukan asam lemak bebas

ke

hati

(5)

1868

METABOLIKENT'OI(RIN

sehingga terjadi peningkatan produksi trigliserida. Namun

studi

pada

manusia dan hewan menunjukkan

bahwa

peningkatan trigliserida tersebut bersifat multifaktorial dan

tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan asam lemakbebas ke hati.

Penurunan

kolesterol

HDL

disebabkan peningkatan

trigliserida

sehingga terjadi transfer trigliserida ke

HDL.

Namun,

pada subyek dengan

resistensi insulin

dan

konsentrasi trigliserida normal dapat ditemukan pemrmnan kolesterol

HDL.

Sehingga dipikirkan terdapat mekanisme

lain yang

menyebabkan penurunan

kolesterol HDL

disamping peningkatan

trigliserida.

Mekanisme

yang dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan

lipid

post prandial pada

kondisi

resistensi

insulin

sehingga terjadi

gangguan produksi

Apolipoprotein

A-I

(Apo

A-1)

oleh

hati

yang

selanjutnya mengakibatkan

penurunan

kolesterol

HDL.

Peran sistem imunitas pada resistensi

in-sulin juga berpengaruh pada perubahan

profil

leipid pada

subyek

dengan

resistensi

insulin. Studi

pada

hewan

menunjukkan bahwa

aktivasi

sistem

imun

akan

menyebabkan gangguan pada lipoprotein, protein

trans-port, reseptor dan enzim yang berkaitan sehingga terjadi perubahanprofil

lipid.

Peran

sistem imunitas pada resistensi insulin

Inflamasi subklinis kronik

juga

merupakan bagian dari

sindrom

metabolik. Marker inflamasi

berperan

pada progresifitas

DM

dan komplikasi kardiovaskular. C

reac-tive

protein

(CRP) dilaporkan menjadi

data prognosis

tambahan tentang keparahan

inflamasi

pada

subyek wanita sehat dengan sindrom metabolik. Namun, belum

didapatkan

kesepakatan

alur

diagnosis

yang

mampu

menggabungkan

peningkatan

CRP,

koagulasi,

dan

gangguan

fibrinolisis

dalam memprediksi

risiko

kardiovaskular.

Hipertensi

Resistensi

insulin juga

berperan pada

pathogenesis

hipertensi.

Insulin

merangsang

sistem saraf

simpatis meningkatkan reabsorpsi

natrium ginjal,

mempengaruhi

transport

kation

dan mengakibatkan

hipertrofi

sel

otot

polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut dapat

menyebabkan

hipotensi akibat vasodilatasi.

Sehingga

disimpulkan

bahwa

hipertensi akibat

resistensi

insulin

terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor. The

Insulin

Resistance Atherosclerosis Study

melaporkan hubungan antara resistensi

insulin

dengan hipertensi pada subyek normal namun tidak pada subyek dengan

DM

tipe 2

TERAPI

Untr.rk mencegah komplikasi kardiovaskular pada

individu

yang telah memiliki sindrom metabolik,

diperlukan

pemantauan

yang

terus menerus dengan

modifikasi

komponen sindrom metabolik yang ada. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih merupakan penatalaksanaan dari masing-masing komponennya (Tabet 3)

Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan

untuk menurunkan

risiko

penyakit kardiovaskular

aterosklerosis dan

risiko

diabetes

melitus tipe 2

pada pasien

yang belum

diabetes. Penatalaksanaan sindrom metabolik

terdiri

atas

2

pilar,

yaitu

tatalaksana penyebab

(berat

badan lebih/obesitas dan

inaktifitas

fisik)

serta tatalaksana faktor

risiko lipid

dan non

lipid.

Obesitas dan Obesitas Sentral

Pemahaman

tentang hubungan

antara obesitas

dan sindrom metabolik serta peranan otak dalam pengaturan

energi,

merupakan

titik

tolak

yang penting

dalam

penatalaksanaan

klinik.

Pengaturan

berat

badan merupakan dasar

tidak

hanya

bagi

obesitas

tapi juga

sindrom

metabolik.

Mempertahankan berat badan yang

lebih

rendah

dikombinasi

dengan pengurangan asupan

kalori

dan peningkatan aktifitas

fisik

merupakan prioritas

utama pada penyandang

sindrom metabolik.

Target

penurunan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12

btlan,

dapat dicapai dengan mengurangi asupan

kalori

sebesar

500-1000

kalori

per

hari

ditunjang dengan

aktifitas

fisik

yang sesuai.

Aktifitas fisik

yang disarankan adalah selama

30 menit

atau

lebih

setiap

hari.

Untuk

subyek dengan

komorbid

penyakit

jantung

koroner,

perlu

dilakukan

evaluasi kebugaran sebelum diberikan anjuran jenis-jenis

olah raga yang sesuai.

Pemakaian obat-obatan dapat

berguna

sehingga dipertimbangkan pada beberapa

pasien.

Dua obat yang dapat digunakan dalam menurunkan berat badan adalah

sibutramin

dan

orlistat.

Dengan mempertimbangkan

peranan

otak

sebagai regulator berat badan, sibutramin

dapat menjadi

pertimbangan

walaupun

tanpa

mengesampingkan kemungkinan

efek

samping

yang

mungkin timbul. Cara ke{anya di sentral memberikan efek mengurangi asupan energi melalui efek mempercepat rasa kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi setelah

berat badan

turun

dapat memberikan

efek

tidak

hanya

untuk

penurunan

berat

badan namun

juga

mempertahankan berat badan yang sudah turun. Demikian pula dengan efek metabolik, sebagai efek dari penurunan

beratbadanpemberian sibutramin setelah 24 minggu yang

disertai

dengan

diet

dan

aktifitas

fisik,

memperbaiki

konsentrasi trigliserida

dan

kolesterol HDL.Terapi

pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien

yang

berisiko

serius akibat obesitasnya.

Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular.

(6)

1869

SINDROMMETABOUK

Target dan tujuan terapi Rekomendasi terapi

Faktor risiko gaya hidup

Obesitas abdomen

Mengurangi berat badan sebanyak 77o

hingga 10% selama satu tahun pertama terapi. Sesudah itu, teruskan penurunan berat badan sebisa mungkin dengan tujuan akhir mencapai berat badan yang diinginkan

(lMT<25 kg/m')

lnaktivitas fisik

Aktivitas fisik intensitas sedang secara

teratur; setidaknya

30

menit

secara

kontinu maupun intermiten (dan lebih

baik

bila

>

60

menit),

5

hari/minggu, tetapi lebih baik lagi bila setiap hari.

Diet aterogenik

Mengurangi asupan lemak jenuh, lemak trans dan kolesterol

Faktor risiko metabolik

Dislipidemia aterogenik Target primer:

LDL-C meningkat (lihat Tabel 4 untuk rinciannya)

Target sekunder: non-HDL-C meningkat Pasien risiko tinggi':

< 130 mg/dl (3,4 mmol/L) {Pilihan: <

100 mg/dl) [2,6 mmoUL] untuk Pasien yang berisiko sangat tinggif)

Pasien berisiko tinggi-sedangt: <1 60

mg/dl (4,1 mmol/L)

Pilihan terapi: <130 mg/dl (3,4 mmol/L) Pasien berisiko sedang$: < 160 mg/dl

(4,1 mmol/L)

Pasien berisiko rendahll: <190 mg/dL (4,9 mmol/L)

Target tersier: HDL-C berkurang

Tidak ada target spesifik: tingkatkan HDL-C sebisa mungkin disertai terapi standar dislipidemia aterogenik

ia r-J 1c

Pencegahan jangka panjang penyakit KVR dan pencegahan (terapi) diabetes melitus tipe 2

Secara konsisten memberikan semangat agar berat badan terjaga

/

berkurang

kesehatan yang signifikan.

akut atau revaskularisasi, GJK)

e

lori total; kurangi lemak trans

O

25% hingga 35% kalori total'

k

emak tidak jenuh; gula seder dibatasi.

Pencegahan jangka pendek terhadap penyakit KVR atau terapi diabetes melitus tige 2

LDL-C meningkat (lihat Tabel 4 untuk rinciannya) non-HDL-C meningkat

Mengikuti strategi di Tabel 4 untuk mencapai target LDL-C

Pilihin pertama untuk mencapai target non-HDL-C: Perkuat terapi penurunan LDL

Pilihan kedua untuk mencapai target non-HDL-C: Tambahkan fibrat [lebih disukai fenofibratl atau asam nikotinat bila kadar non-HDL-C tetap relatif tinggi setelah terapi dengan obat penurun LDL diberikan

Beri saran untuk menambah fibrat atau asam nikotinat pada pasien berisiko tinggi

Beri saran untuk menghindari penambahan fibrat atau asam nikotinat pada pasien berisiko tinggi sedang atau pasien berisiko sedang

Semua pasien: Bila

TG:500

mg/dl, mulai dengan fibrat atau asam nikotinat {sebelum terapi penurun LDL; terapi non-HDL-C untuk mencapai tujuan setelah memberikan terapi menurunkan TG)

HDL-C berkurang

Maksimalkan terapi gaya hidup: penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik

Pertimbangkan menambahkan fibrat atau asam nikotinat setelah terapi obat penurun LDL-C sebagaimana telah disebutkan untuk non-HDL-C yang meningkat

(7)

1870

MMABOIJKENDOIRIN

TD meningkat

Turunkan TD serendah mungkin hingga

setidaknya mencapai

TD

<140/90

mmHg

(atau

<

130i80 mmHg bila

terdapat diabetes). Kurangi

TD

lebih

lanjut

sebisa

mungkin

melalui perubahan gaya hidup

Kadar glukosa meningkat

Untuk GDPT, tunda perkembangan ke arah

diabetes melitus tipe 2. Untuk diabetes, hemoglobin A1.<7,0o/o

Kondisi Protrombotik

Kurangi faktor-faktor risiko trombotik dan

fibrinolitik

Kondisi proinflamasi

Untuk TD > 120180 mmHg: awali atau jaga modifikasi gaya hidup pada semua pasien dengan sindrom metabolik: pengendalian berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, meredam kebiasaan alkohol, pengurangan kadar garam dan

menekankan banyak makan buah dan sayuran segar, dan produk-produk susu rendah lemak

Untuk TD > 140/90 mmHg (atau > 1 30/80 mmHg untuk individu dengan penyakit

ginjal kronik atau diabetes); Bila dapat ditoleransi, tambahkan pengobatan tekanan darah sebagaimana diperlukan untuk mencapai TD target Untuk GDPT, dorong semangat untuk menurunkan berat badan dan

meningkatkan aktivitas fisik

Untuk diabetes melitus tipe 2, bila perlu, terapi gaya hidup dan farmakoterapi perlu dipakai agar HbAIC mendekati normal (< 7%).

Modifikasi faktor{aktor risiko lainnya dan modifikasi perilaku (yakni obesitas abdominal, inaktivitas fisik, TD meningkat, abnormalitas lipid)

Pasien-pasien berisiko tinggi: mulai dan teruskan terapi aspirin dosis rendah;

pada pasien dengan KVRAS, pertimbangkan klopidogrel bila aspirin merupakan kontraindikasi.

Pasien berisiko tinggi sedang: pertimbangkan profilaksis aspirin dosis rendah

Rekomendasi: tidak ada terapi spesifik yang melebihi terapi gaya hidup

TG menunjukkan trigliserida; TD, tekanan darah, KVR, penyakit kardiovaskular; GJK, gagal jantung kongestif; lMT, indeks massa tubuh, GDPT, glukosa darah puasa terganggu dan KVRAS, penyakit kardiovaskular aterosklerotik

* Pasien berisiko tinggi adalah pasien dengan diagnosis KVRAS, diabetes, atau risiko 10 tahun terhadap

penyakitjantung koroner > 20%. Untuk penyakit serebrovaskular, kondisi berisiko tinggi meliputi TIA atau stroke yang berasal dari karotid atau stenosis karotid > 5b%

tPasien berisiko sangat tinggi adalah pasien yang cenderung menderita kejadian KVR dalam beberapa tahun mendatang, dan diagnosis bergantung pada penilaian klinis. Faktor-faktor yang dapat turut berkontribusi pada risiko sangat tinggi ini meliputi sindrom koroner akut yang baru saja terjadi, dan diagnosis penyakitjantung koroner + salah satu dari hal berikut ini: faktor-faKor risiko mayor multipel (terutama diabetes),

f;ktor-faktor risiko berat dan terkontrol buruk (terutama kebiasaan r,nerokok sigaret yang terus berlanjut) dan sindroma metabolik

+Pasien berisiko tinggi-sedang adalah pasien dengan risiko 10 tahun terhadap penyakit jantung koroner sebesar 10% hingga 20% FaKor-faktor yang mendukung pilihan terapi non-HDL-C < 100 mg/dl adalah faktor-faktor yang dapat meningkatkan individu hingga masuk ke kisaran atas risiko tinggi sedang meliputi: faktor-faKor risiko mayor multipel, faktor-faktor risiko berat dan terkontrol buruk (terutama liebiasaan merokok sigaret yang terus berlanjut), sindroma metabolik dan penyakit aterosklerotik subklinis yang nyata (yaitu ketebalan kalsium koroner atau lapisan media tunika intima karotid > persentil ke-75 yang sesuai dengan usia dan jenis kelamin).

$ Pasien berisiko sedang adalah pasien dengan 2 atau lebih faktor risiko mayor dan risiko 10 tahun < '10%

ll Pasien berisiko rendah adalah pasien dengan faktor risiko mayor 0 atau 1 dan risiko 10 tahun < 10% Dikutip dari Grundy et al. Diagnosis and management of metabolic syndrome. Circulation 2005

dipakai sebagai

indikator

independen morbiditas

kardiovaskular Fada pasien tanpa diabetes atau hipertensi. Target tekanan crbrah berbeda antara subyek dengan

DM

dan tanpa

DM.

Pada subyek dengan

DM

dan penyakit

ginjal,

target tekanan

darah adalah

<

130/80

mmHg,

sedangkan pada bukan, targetnya

<

140/90 mmHg.

Untuk

mencapai

target

tekanan darah, penatalaksanaan tetap

diawali

dengan pengaturan

diet

dan

aktifitas fisik.

Peningkatan

tekanan

darah

ringan

dapat

diatasi dulu

dengan

upaya penurunan berat badan, berolah

raga, menghentikan

rokok

dan konsumsi alkohol serta banyak

mengkonsurnsi serat. Namun apabila modifikasi gaya hidup

sendiri tidak mampu mengendalikan tekanan darah maka

dibutuhken pendekatan medikamentosa untuk mencegah

komplikasi seperti infark miokard, gagal ginjal kronik dan sffoke.

Dalam suatu penelitian meta-analisis didapatkan bahwa enzim pengkonversi angiotensin dan penghambat reseptor

angiotensin mempunyai manfaat yang bermakna dalam meregresi

hipertrofr ventrikel

kiri

dibandingkan dengan

penghambat beta adrenergik,

diuretik

dan

antagonis

kalsium.

Valsartan, suatu

penghambat reseptor

angiotensin, dapat mengurangi

mikroalbuminuria

yang diketahui sebagai faktor risiko independen kardiovaskular. Beberapa studi menyarankan pemakaian

ACE

inhibitor

sebagai

lini

pertama pada penyandang hipertensi dengan sindrom metabolik terutama bila ada DM. Angiotensin

re-ceptor blocker (ARB)

dapat

digunakan apabila tidak

toleran terhadap ACE inhibltor. Meski pemakaian

diuretik

tidak dianjurkan pada subyek dengan gangguan toleransi glukosa, namun pemakaian

diuretik

dosis rendah yang

dikombinasi dengan regimen lain dapat lebih bermanfaat

dibandingkan efek sampingnya.

Gangguan Toleransi

Glukosa

.ir--.

Intoleransi glukosa

merupakan safdh satu manifestasi

sindrom metabolik yang

dapat

menjadi awal

suatu

diabetes

melitus.

Penelitian-penelitian

yang

ada menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara toleransi

(8)

SINDROMMEIABOIJK

1871

Tujuan Terapi

Pasien berisiko tinggi*:

pasien berisiko sangat lainnya < 70 mg/dl)

<

100 mg/dl (2,6 mmol/L) (untuk

tinggif

dalam kategori ini, target

Rekomendasi Terapi

Pasien berisiko tinggi: terapi gaya hidupf ditambah obat penurun LDL-C untuk mencapai target yang direkomendasikan.

Bila kadar LDL-C dasar

>

100 mg/dl, mulailah terapi obat penurun LDL.

Bila dalam pengobatan kadar LDL-C

>

100 mg/dL, tingkatkan

terapi obat penurun LDL (mungkin memerlukan kombinasi obat penurun LDL)

Bila kadar LDL-C dasar

<

100 mg/dl, mulai terapi penurun

kadar LDL berdasarkan penilaian klinis (yakni penilaian yang

menunjukkan bahwa pasien termasuk yang berisiko sangat tinggi)

Pasien berisiko tinggi-sedang: terapi gaya hidup

+

terapi obat

penurun

LDL

bila

dibutuhkan untuk mencapai target yang

direkomendasikan bila kadar LDL-C

>

130 mg/dL (3,4 mmol/L) setelah terapi gaya hidup

Bila kadar LDL-C adalah 100 hingga 129 mg/dl, terapi penurun LDL dapat dimulai saat risiko pasien dinilai berada di kisaran atas dari kategori risiko tersebut

Pasien berisiko sedang: terapi gaya hidup + obat penurun LDL-C

bila dibutuhkan untuk mencapai target yang direkomendasikan ketika kadar LDL-C: 160 mg/dl (4,1 mmol/L) setelah terapi gaya hidup diberikan

Pasien berisiko rendah: terapi gaya hidup + obat penurun LpL-C bila dibutuhkan untuk mencapai target yang direkomendasikan ketika kadar LDL-C > 190 mg/dl setelah terapi gaya hidup (untuk

kadar LDL-C 160 hingga 189 mgidL, obat penurun LDL bersifat opsional)

Pasien berisiko tinggi-sedang$:

<

130 mg/dl (3,4 mmol/L) (untuk pasien berisiko lebih tinggi)ll dalam kategori ini, target lainnya adalah < 100 mg/dL (2,6 mmol/L)

Pasien berisiko sedangtl: < 130 mg/dl (3,4 mmol/L)

Pasien berisiko rendah#: < 160 mg/dL (4,9 mmol/L)

*Pasien berisiko tinggi adalah pasien dengan diagnosis ASCVD, diabetes atau risiko '10 tahun penyakit iantung koroner > 20%. Untuk penyakit serebrovaskular, t<onJisi risito tinggi melipuii trans6nt ischemic attack alau stroke yang berasal dari karotid atau stenosis karotid 50%

tTerapi gaya hidup meliputi penuiinrn berat badan, peningkatan aktivitas fisik, dan diet antiaterogenik (lihat Tabel 3 untuk rinciannya).

+ pasien berisiko sangat tinggi adalah pasien yang cenderung menderita kejadian KVR mayor dalam beberapa tahun mendatang, dan diagnosis

pada peniliian klinis.

F

uru

usi pada risiko sangat tinggi ini termasuk sindrom koroner akut yang baru

'dan

diagnosis

penyak

h

s

berikut ini: faktor-faktor risiko mayor multipel (terutama diabetes),

faktor-berat dan terKontrol

bu

me

t yang terus berlanjut) dan faktor risiko multipel dari sindroma metabolik.

$Pasien berisiko tinggi-seda

jl

Faktor-faktor yaig

Oapat

mayor multipel,

faktor-flktor risiko berat dan

terko

penyakit aterosklerotik

subklinis yang nyata

(yaitu

dengan usia dan jenis

kelamin)

flPasien berisiko sedang adalah pasien dengan 2 atau lebih faktor risiko mayor dan risiko 10 tahun < 10% #Pasien berisiko rendah adalah pasien dengan faktor risiko mayor 0 atau 1 dan risiko 10 tahun < 10%

sindrom

metabolik

dan diabetes. Perubahan gaya hidup

dan

aktifitas

fisik

yang teratur

terbukti efektif

dapat

menurunkan berat badan dan TGT.

Modifikasi

diet secara bermakna memperbaiki glukosa 2 jampascaprandial dan

konsentrasi insulin.

Tiazolidindion memiliki

pengaruh yang ringan tetapi persisten dalam menurunkan tekanan darah

sistolik

dan

diastolik. Tiazolidindion

dan

metformin juga

dapat

menurunkan konsentrasi

asam

lemak

bebas.

Pada

Di ab etes P rev

ention

Pro

gram,

penggunaan

metformin

dapat

mengurangi progresi

diabetes sebesar

3lo/o

dan

efektifpada

pasien muda dengan obesitas.

DISLIPIDEMIA

Pilihan

terapi

untuk dislipidemia

adalah perubahan gaya

hidup yang

diikuti

dengan medikamentosa. Namun

demikian, perubahan

diet

dan latihan

jasmani

saja

tidak

cukup berhasil mencapai target. Oleh karena itu disarankan

untuk

memberikan obat berbarengan dengan perubahan gaya hidup. Menurut

AIP

III,

setelah kolesterol

LDL

sudah mencapai target, sasaran berikutnya adalah dislipidemia

aterogenik. Pada konsentrasi trigliserida + 200

m!

dl,maka

target terapi adalah non kolesterol

HDL

setelah kolesterol

LDL

terkoreksi. Terapi dengan

gemfibrozil tidak

hanya memperbaiki

profil

lipid tetapi juga secara bermakna dapat

menurunkan

risiko

kardiovaskular.

Fenofibrat

secara

khusus digunakan

untuk

menurunkan

trigliserida

dan

meningkatkan kolesterol

HDL,

telah

menunjukkan

perbaikan

profil lipid

yang sangat efektif dan mengurangi

risiko

kardiovaskular. Fenohbrat

juga

dapat menunrnkan

konsentrasi frbrinogen.

Kombinasi fenofibrat

dan statin

memperbaiki konsentrasi trigliserida, kolesterol

HDL

dan LDL.

(9)

1872

MEDABOIJKENDOKRIN

Target

terapi berikutriya

adalah peningkatan apoB.

Beberapa

studi

menunjukkan apoB

lebih baik

dalam menggambarkan

dislipidemia

aterogenik yang terjadi

dibandingkan

dengan

konlesterol non

HDL

sehingga

menyarankan

apoB

sebagai

target terapi.

Meskipun

demikian,

AIP III

tetap menyarankan pemakaian kolesterol

non

HDL

sebagai target

terapi

mengingat

di

beberapa tempat, sarana pemeriksaan apoB belum tersedia.

Apabila

konsentrasi

trigliserida

+

500

mg/dl,

maka target terapi pertama adalah pemrrunan trigliserida

untuk

mencegah timbulnya pancreatitis akut. Pada konsentrasi

trigliserida

<

500 mgldL, terapi kombinasi untuk

menurunkan

trigliserida

dan

kolesterol

LDL

dapat

digunakan. Berbeda dengan trigliserida dan kolesterol

LDL,

untuk kolesterol HDL tidak adatargetterapi tertentu, hanya

dinaikkan saja. Panduan terapi

untuk dislipidemia

dapat

dilihat pada

Tabel3.

KESIMPULAN

Sindrom metabolik

merupakan

kumpulan

gejala

yang

keberadaannya menunjukkan peningkatan risiko kejadian penyakit kardiovaskular dan diabetes

mellitus.

Obesitas

sentral

memiliki

korelasi

paling

erat

dengan

sindrom

metabolik dibandingkan

dengan komponen

yang

lain.

Penatalaksanaan sindrom metabolik masih mengacu pada tiap komponen, sejauh ini belum ada penatalaksanaan yang

berbeda

bila

dibandingkan

dengan

komponen

secara

individual.

REFERENSI

Dekker JM, Girman C, Rhodes

!

Nijpels

Q

Stehouwer CD, Bouter

LM, et al. Metabolik sindrom and 10-year cardiovascular

dis-ease risk in the Hoom Study. Circulation 2005;112(5):666-73,

Eckel R, Krauss R. American Heart Association call to action:

obe-sity as a major risk factor for coronary heart disease. AHA nutrition committee. Circulation 1998;97 (21):2099- 1 00.

Einhom D, Reaven G, Cobin R, Ford E, Ganda O, Handelsman Y, et

al. American college of endocrinology position statement on

the insulin resistance sindrom. Endocr Prac 2003;9(3):237-52. Ford E, Giles W, Dietz W. Presence of the metabolik sindrom among

US adults: findings from the Third National Health and Nutri-tion ExaminaNutri-tion Survey. JAMA 2002;287 :356-9.

Grundy S, Cleeman J, Daniels S, Donato K, Eckel R, Franklin B.

Diagnosis and management of the metabolik sindrom. an

Ameri-can Heart Association/ National Heart, Lung, and Blood Insti-tute scientific statement. Circulation 2005;112.

Grundy SM, Hansen B, Smith SC, Jr., Cleeman JI, Kahn RA. Clinical management of metabolik sindrom: report of the American

Heart Association,il.{ational Heart, Lung, and Blood Institute/

American Diabetes Association conference on scientific issues

related

to

management. Arterioscler Thromb Vasc Biol

2004;24(2):el9-24.

Hughes K, Aw T, Kuperan P, Choo M. Central obesity, insulin

resistance, sindrom X, ipoprotein (a), and cardiovascular risk in

Indians, Malays, and Chinese

in

Singapore.

J

Epidemol Community Health 1997 ;5 I :39 4-9.

Indriyanti R, Harijanto T. Optimal cut-off value for obesity: using

anthropometric indices to predict atherogenic dyslipidemia in

Indonesian population. In: Tjokroprawiro A, Soegih R, Soegondo S, Wijaya A, Sutardo B, Tridjkaja B, et a1., editors. 3rd National

Obesity Symposium (NOS IID 2004 Jakafta: Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI); 2004. p. l-13.

Kahn R, Buse J, Ferrannini E, Stern M. The metabolik sindrom:

time for a critical appraisal Joint statement from the American

Diabetes Association and the European Association for the Study

of Diabetes. Diabetologia 2005.

National Cholesterol Education Program-ATP

III.

Executive summary

of

the

third

report

of

the National Cholesterol

Education Program (NCEP) Expert Panel on detection,

evalu-ation, and treatment of high blood cholesterol in adults (adult treatment panel

III).

JAMA 2002;285:2846-97.

National Institute of Health. Clinical guidelines on the identifrcation,

evaluation, and treatment of overweighty and obesity in adults:

the evidence report. Obes Res 1998;6(suppl 2):51S-209S.

Nestel P. Nutritional aspect in the causation and management of

the

metabolik sindrom. Endocrinol Metab

Clin N

Am

2004;33:483-92.

Pan W. Metabolik sindrom-an important but complex disease

entity for Asians. Acta Cardiol 2002;18:24-6.

Reaven GM. The metabolik sindrom: requiescat in pace. Clin Chem

2005;51(6):931-8.

Sy R, Punzalan F. The prevalence

of

dyslipidemia, diabetes, h,?ertension, stroke and angina pectoris in the Philipines. Phil

J Intern Med 2003;163:427-36.

Soegondo S. Hubungan leptin dengan dislipidemia atherogenik pada

obesitas sentral: kajian terhadap sma1l dense low density

lipoprotein. Disertasi 2004.

Tan C, Tai E. Genes, diet and serum lipid concentrations: lessons

from ethnically diverse populations and their relevance to their

relevance to the coronary hjeart disease in Asia. Curr Opinion

Lipidol 2004;15:5-12.

World Health

Organization.

Definition,

diagnosis, and

classification of diabetes mellitus and its complications:report

of a WHO consultation. In: Part 1: diagnosis and classification

of diabetes mellitus: WHO; 1999.

Soewondo P, Pumamasari D, Oemardi M, Waspadji S, Soegondo S.

Prevalence of Metabolik Sindrom Using NCEP/ATP

III

Kriteria

in Jakarta, Indonesia. The Jakarta Primary Non-Communicable

Disease Risk Factor Surveillance 2006. Unpublished.

Purnamasari. Gambaran Resistensi Insulin Subyek dengan Saudara

Kandung DM tipe 2. Tesis. 2006.

Reilly MP, Rader DJ. The metabolic syndrome: more tlan the sum

of its part? Circulation 2003;108:1546-51.

Park YW, Zhu S, Palaniappan

L,

Heshka S, Carnethon MR, Heymsfield SB. The metabolic syndrome. Prevalence and associated risk factor findings in the US population from the

Third National Helth and Nutrition Examination Survey

(10)

29t

EPIDEMIOLOGI DIABETES MELITUS

Pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka transisi

epidemiologis, suatu konsep mengenai perubahan pola

kesehatan dan penyakit. Konsep tersebut hendak mencoba menghubungkan hal-hal tersebut dengan morbiditas dan

mortalitas

pada beberapa

golongan penduduk

dan menghubungkannya dengan

faktor

sosioekonomi serta demografi masyarakat masing-masing.

Dikenal

3 periode dalam transisi epidemiologis.

Hal

tersebut te{adi tidak saja di Indonesia tetapijuga di negara-rregara lain yang sedang berkembang.

Periode I. Era pestilence datkelaparan. Dengan kedatangan

orang-orang barat ke Asia pada akhir abad

ke

15, datang pula penyakit-penyakit menular s.eperti pes, kolera,

influ-enza,

ttberkulosis

dan penyakit kelamin,

yang

meningkatkan angka kematian. Harapan hidup bayi-bayi rendah dan pertambahan penduduk

juga

sangat rendah pada waktu itu.

Periode

II.

Pandemi berkurang pada

akhir

abad

ke

19.

Dengan"perbglkan

gizi, higiene

serta sanitasi, penyakit

menular berkurang

dan

mortalitas

menurun. Rata-rata

harapan

hidup

pada

waktu lahir

meningkat dan

jumlah

penduduk seperti di pulau Jawa nampak bertambah. Periode

III.

Periode ini merupakan erapenyakit degeneratif

dan pencemaran.

Karena komunikasi yang

lebih

baik

dengan masyarakat barat serta adopsi cara kehidupan barat,

penyakit-penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit

kardiovaskular

dan diabetes

melitus

meningkat. Tetapi

apabila

kontak

dengan barat kurang dan masih terdapat .

kehidupan tradisional, seperti di daerah pedesaan penyakit-penyakit tersebut umumnya jarang ditemukan.

Dari

penelitian Zimmet (1978)

dapat

dilihat

bahwa

beberapa golongan

etnik

mempunyai semacam proteksi terhadap efek

buruk

pengaruh barat, antata

lain

bangsa

DIABETES MELITUS

DI

INDONESIA

Slamet Suyono

Melanesia

dan

Eskimo.

Di

samudera

Pasifik,

diabetes

melitus sangatjarang terdapat pada orang Polinesia yang

masih

melakukan

gaya

hidup tradisional,

beda dengan

daerah urban seperti Mikronesia, Guam, Nauru dan negara-negara Polinesia seperti Tonga,

Hawai, Tahiti,

di

mana

jumlah

pasien diabetes sangat

tinggi.

Begitu pula banyak penelitian yang menunjukkan adanya kenaikan prevalensi diabetes pada

penduduk emigran seperti pada

orang Yahudi yang berasal

dari

Yaman dan

pindah ke

Israel, masyarakat India di

Afrika

Selatan, orang Indian di Amerika

Serikat dan penduduk asli di Australia yang

ber"migrasi"

ke daerah perkotaan.

Sebagai dampak

positif

pembangunan

yang

dilaksanakan olehpemerintah dalam kurunwaktu 60 tahun merdeka, polapenyakit di Indonesia mengalami pergeseren yang cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan

gizi

berangsur

turun,

meskipun

diakui

bahwa

angka

penyakit infeksi ini masih dipertanyakan dengan timbulnya penyakit baru seperti Hepatitis

B

dan

AIDS, juga

angka

kesakitan

TBC

yang tampaknya masih

tinggi'dan

akhir-akhir

ini

flu

burung,

demam berdarah dengue

(DBD),

antraks dan polio melanda negara kita yang kita cintai

ini.

Di

lain

pihak penyakit

menahun

yang

disebabkan oleh

penyakit

degeneratif,

di

antatanya diabetes meningkat

dengan

tajam.

Perubahan

pola penyakit

itu

diduga ada

hubungannya

dengan cara

hidup

yang berubah.

Pola

makan

di

kota-kota telah

bergeser

dari pola

makan

tradisional yang

mengandung banyak

karbohidrat

dan serat dari sa)

ran,

ke pola makan ke barat-baratan, dengan

komposisi

makanan

yang terlalu banyak

mengandung

protein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat.

Komposisi

makanan seperti

ini

terutama terdapat pada makanan siap santap yang akhir-akhir

ini

sangat digemari

terutama oleh anak-anak muda.

Di

samping

itu

cara hidup yang sangat sibuk dengan

pekerjaan

dari pagi

sampai sore bahkan kadang-kadang

(11)

1874

METABOIJKENDOIGIN

sampai malam hari duduk di belakang meja menyebabkan

tidak

adanya kesempatan

untuk

berekreasi atau berolah raga, apalagi bagi para eksekutif hampir

tiap hari

harus

lunch

atau

dinner

dengan para relasinya dengan menu makananbaratyang 'aduhai'. Pola

hidup berisiko

seperti

inilah

yang menyebabkan

tinggiiiya

kekerapan penyakit

jantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes, hiperlipidemia. Menarik sekali apa yang dimu at dalam majalah Fortune edisi bulan

Juni

1991 yang menganalisis perkembangan ekonomi di Asia. Dikatakan bahwa perkembangan ekonomi di kawasan

ini

sangat menggembirakan. Yang aneh tetapi

nyata adalah

di

antaraparameter untuk mengukur kemajuan ekonomi itu adalah j umlah re stor at Mc D o nal d.

Di

Thalland

ada 6 buah, di Malaysia 23buah, di Singapura 37 buah,

di

Filippina 34btnhdan

di Jepang 809 buah dan dua rregara yang mempunyai hanya 1 buah restoran McDonald

yaitu

Indonesia dan Cina. Pada tahun 1996hanya dalam waktu

5

tahun saja

di

Indonesia

sudah ada

40 gerai. 33

di

antaranya berada

di

Jakarta.

Data terakhir

tahun 2006

jumlah

restoran McDoanld

di

Indonesia sudah mencapai

120 gerai.

Akibat

lain dari cara hidup

berisiko'ini

adalah

biaya kesehatan menjadi sangat mahal. Sebagai contoh,

dapat

dikemukakan

angka-angka

di

bawah

inil.

Di

Massachussetts

AS,

seorang

laki-Iaki

berumur 80 tahun

dirawat karena

sakit

jantung.

Biaya

perawatannya

mencapai 800.000 dollar. Masyarakat AS memang

mulai

gelisah menghadapi biaya kesehatan yang makin

membengkak ini. Anggaran biaya kesehatan tahun I 991

di

negara

ini

mencapai 671

miliar

dollar

(12

%

GNP AS). Anehnya adalah, meskipun sudah sedemikian besarnya biaya yang dikeluarkan, tarafkesehatan mereka tetap

tidak

lebih

baik

daripada negara

maju

lain,

seperti

Kanada,

Inggris,

Jerman, Swedia dan Jepang. Keadaan

ini

dapat

dilihat

pada angka kematian

bayi

(tiap

1000 kelahiran) misalnya

diAS

10,4, jauh lebih tinggi daripada di Kanada

7,3,

Inggris

7,3, Jermat 5,6, Swedia 5,9 dan Jepang 4,5.

Begitu juga

dengan

usia

harapan

hidup

di AS

baru mencapai 75,6 tahun, sedangkan

di

Kanada 79,2

tahw,

Inggris 76,3 tahun, Jerman

77,2tahln,

Swedia 77,7

tahw

dan Jepang

79,3

tahun.

Ironisnya

adalah bahwa biaya

kesehatan di negara-negara itu

jauh

lebih murah.

Diakui

bahwa perkembangan

ilmu

dan

teknologi

kedokteran telah banyak menyelamatkan nyawa manusia.

Penyakit-penyakit yang selama

ini

tidak terdiagnosis dan

terobati

sekarang sudah

banyak yang teratasi.

Tetapi

untuk

memperbaiki

taraf

kesehatan secara

global tidak

dapat mengandalkan hanya pada tindakan

kuratif,

karena

penyakit-penyakit yang memerlukan biaya mahal

itu

sebagian besar dapat dicegah dengan

pola

hidup

sehat

dan menjauhi

pola

hidup

berisiko. Artinya

para

pengambil

kebij akan harus mempertimbangkan

untuk

mengalokasikan dana kesehatan yang lebih menekankan kepada segi

preventif

daripada

kuratif.

Rupanya

inilah

keunggulan

negara-negara

maju

di

luar

AS

yang tadi

disebut.

DIABETES MELITUS

DI

MASA DATANG

Di

antarapenyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu

di

antara

penyakit tidak

menular

yang

akan meningkat

jumlahnya

di

masa datang. Diabetes sudah merupakan salah sau ancaman utama bagi kesehatan umat manusia

pada abad

21.

Perserikatan Bangsa-Bangsa

(WHO)

membuat

perkiraan

bahwa pada

tahun

2000

jumlah

pengidap diabetes

di

atas

umur

20 tahun

berjumlah

150

juta

orang dan dalam

kurun waktu

25

tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah

itu

akan membengkak menjadi 300juta orang.

Masalah diabetes melitus di negara-negara berkembang

tidak

pernah mendapat perhatian

para

ahli

diabetes

di

negara-negara

barat

sampai dengan

Kongres

Interna-tional

Diabetes

Federation

(IDF) ke

IX

tahun

1973

di

Brussel. Baru pada tahun 1976, ketika kongres IDF di New

Delhi

India, diadakan acara khusus yang membahas dia-betes melitus

di

daerah

tropis.

Setelah

itu

banyak sekali

penelitian yang dilakukan di negara berkembang dan data

terakhir dari WHO

menunjukkan

justru

peningkatan

tertinggi

jumlah

pasien diabetes

malah

di

negara

Asia

Tenggara tennasuk Indonesia

(Gambarl).

Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran

di

flegara bersangkutan,

akhir-akhir

ini

banyak disoroti.

Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya

hidup terutama

di

kota-kota besar,

menyebabkan

peningkatan prevalensi

penyakit

degeneratif,

seperti

penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia,

diabetes dan

lain-lain.

Data epidemiologis

di

negara berkembang memang masih belum banyak. Oleh karena itu angka prevalensi yang dapat ditelusuri terutama berasal dari negara maju.

DIABETES MELITUS

TIPE2

Prevalensi

DM

Tipe

2

pada bangsa

kulit

putih

berkisar

antara3-6Yo dari orang dewasanya. Angka

ini

merupakan

baku

emas

untuk

membandingkan kekerapan diabetes

antar berbagai

kelompok etnik

di

seluruh dunia, hingga

dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi

di

suatu negara atau suatu kelompok

etnik

tertentu dengan

kelompok etnik

kulit

putih

pada umrunnya.

Misalnya di

negara-negara berkembang

yang

laju

pertumbuhan

ekonominya sangat

menonjol,

seperti

di

Singapura, kekerapan diabetes sangat meningkat dibanding dengan

l0

tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompok

ehik

di beberaparregaruyar,g mengalami perubahan gaya hidup yang sangat berbeda dengan cara hidup sebelumnya karena memang mereka lebih makrnur, kekerapan diabetes bisa mencapai 35% seperti misalnya

di

beberapa bangsa

Mikronesia dan Polinesia

di

Pasifik, Indian Pima

di

AS,

(12)

1875

DIABETES MELITUS DI INDONESIA

1 995

f 2ooo I

zoos

Afrika

Amerika

Mediteranian

Eropa

Asia tenggara Pasifik barat timur

Sumber: World Health Organization The World Health Report'1997

Gambar 1. Prediksi perkembangan rata-rata pasien DM di dunia

dan Suriname, penduduk asli Australia dan imigran

India

di Asia. Prevalensi tinggi

juga

ditemukan

di

Malta, Arab Saudi,

Indian

Canada dan Cina

di

Mauritius,

Singapura dan Taiwan.

Tentang baku emas yang tadi dibicarakan, sebenarnya

juga

ada kekecualiannya,

misalnya

suatu

penelitian di

Wadena AS2, mendapatkan bahwa prevalensi pada orang

kulit putih

sangat

tinggi

dibandingkan dengan baku emas

tadi (Eropa)

yaitu

sebesar 23,2yo untuk semua gangguan

toleransi,

terdiri

dari

15,lo/o

TGT

(Toleransi

Glukosa Terganggu) danS,lYo

DM

Tipe

2.Dengan

kenyataan

ini

dapat diambil kesimpulan bahwa faktor lingkungan sangat

berperan.

Hal

ini

dapat

dilihat

pada

studi

Wadena tadi

bahwa secara genetik mereka sama-sama

kulit

putih, tetapi

di

Eropa prevalensinya lebih rendah.

Di

sinijelas

karena orang-orang-

di

Wadena lebih gemuk dan hidupnya lebih santai.

Hal

ini

akan

berlaku bagi

bangsa-bangsa

lain,

terutama

di

negara

yang tergolong

sangat berkembang

seperti Singapura, Korea dan barangkali Indonesia. Contoh lain yang baikbahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh adalah di Mauritius, suatu negara kepulauan,

yang penduduknya

terdiri

dari berbagai kelompok etnik.

Pada suatu penelitian epidemiologi yang dilakukan di sana

dengan

jumlah

responden sebanyak 5080

orang,

didapatkan prevalensi

TGT

dan

DMTTI

seperti tertera pada

tabel

3.

Dari

tabel

tersebut

tampak bahwa

pada bangsa-bangsa India, Cina dan Creole (campuran

Afrika,

Eropa dan India) prevalensi DM jauh lebih tinggi daribaku

emas, padahal

di

negara asalnya prevalensi

DM

sangat

rendah.

Perlu diketahui

bahwa keadaan

ekonomi di

Mauritius untuk

golongan

etnik tadi jauh lebih baik

dibanding dengan di negara asalnya.

Dari

data

ini

semua dapatlah disimpulkan bahwa faktor lingkungan terutama peningkatan kemakmuran suatu bangsa merupakan faktor

kuat yang

akan

meningkatkan

kekerapan

diabetes. Keadaan

ini

tentu saja harus diantisipasi

oleh

pembuat kebijaksanaan

di

tiap

negara berkembang supaya dalam menentukan rencana j angka panj ang kebij akan.pelayanan

kesehatan

di

negaranya,

masalah

ini

harus

dipertimbangkan.

DM

TIPE 2 DI INDONESIA

Menurut penelitian epidemiologi yang

sampai saat

ini

dilaksanakan

di

Indonesia, kekerapan diabetes di

Indonesia berkisar antara 1,4 dengart l,6%0, kecuali di dua tempat

yaitu di

Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3Yo dandiManado 6%o

(Gambar

2).

Di Pekajangan prevalensi

ini

agak tinggi disebabkan

di

daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan

di

Manado, Waspadji menyimpulkan

mungkin

angka

itu

tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari orang-orang yang datang dengan sukarela, jadi agaklebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geograf,r dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi

di Manado memang

tinggi,

karena prevalensi diabetes

di

Filipinajuga tinggi yaitu sekitat 8,4Yo sampai l2oh di daerah urban dan 3,85 sampai 9,7% didaerah rural.

Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun I 993,

kekerapan

DM

di

daerah

urban

yaitu

di

kelurahan

Kayuputih adalah 5,69yo, sedangkan di daerah rural yang

dilakukan oleh Augusta

Arifin6

di

suatu daerah

di

Jawa Barat tahun 199 5, angka itu hanya

l,lyo. Di

sini j elas ada

perbedaan antara

prevalensi

di

daerah

urban

dengan

daerah

rural. Hal

ini

menunjukkan bahwa

gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi

di

Jawa

Timur

angka itu tidak berbeda yait:u 1,43 %o

di

daetah urban dan

1,47o/o

di

daerah

rural. Hal

ini

mungkin

disebabkan tingginya prevalensi Diabetes

Melitus

Terkait

Malnutrisi

(DMTM)

atau yang sekarang disebut diabetes tipe lain

di

daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21 ,2% dari seluruh diabetes

di

daerah itu.

Penelitian antara tahun 200

I

dan 2005 di daerah Depok didapatkan pevalensi

DM

Tipe

2

sebesar l4.7Yo, sua1ut

(13)

1876

METABOLIKENT'OKRIN

Gambar 2. Prevalens DM di lndonesia

prevalensi diabetes

terakhir

tahun 2005 yang mencapai 125%. Pada tahun 2006, Departemen IlmuPenyakitDalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan melakukan Surveilans Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular

di

Jakarta yang melibatkan 1591 subyek,

terdiri dari

640laki-laki

dan 951 wanita. Survei tersebut melaporkan prevalensi

DM

(unadjusted)

dilima

wilayah

DKI

Jakarta sebesar

l2,lo/o

detgan

DM

yang terdeteksi

sebesar 3,8olo dan DM yang tidak terdeteksi sebesar

ll,2%.

Berdasarkan data

ini

diketahui bahwa kejadian

DM

yang belum terdiagnosis masih cukup

tinggi,

hamper

3x lipat

dari

jumlah

kasus

DM

yang sudah terdeteksi.

Melihat

tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara

global yang

tadi

dibicarakan terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suafu populasi, maka

dengan

demikian

dapat dimengerti

bila

suatu saat atau

lebih tepat

lagi

dalam kurun

waktu

I

atau 2 dekade yang akan datang kekerapan

DM

di Indonesia akan meningkat dengan drastis.

Ini

sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh

WHO seperti

tampak pada

tabel

2,

Indonesia

akan menempati

peringkat nomor

5

sedunia dengan

jumlah

pengidap diabetes sebanyak 12,4 jtrta orang pada tahun 2025,

nak

2 tingkat dibanding tahun I 995.

Untuk dapat meramal keadaan diabetes di masa datang

ada baiknya kita menyimak sedikit apa yang dilakukan oleh

ahli-ahli demografi di Indonesia.

Ananta

menyatakan

bahwa

revolusi

demografi di

Indonesia adalah salah safu contoh

di

mana perubahan

demografik

tidak

perlu

menunggu

perubahan

sosioekonomi. Intervensi pemerintah

secara langsung dalam memperbaiki angka

fertilitas

dan mortalitas jelas

mempercepat proses transisi demografi. Angka kematian

bayi

menurun dan usia harapan

hidup

orang Indonesia

makin

panjang. Piramida penduduk akan

mengalami

perubahan dari yang berbentuk kerucut (ekspansif) menjadi

lebih

berbentuk panjang, mendekati stasioner

di

mana penduduk usia dewasa dan lanjut usia lebih banyak dari pada keadaan tahun 1990. Dari segi diabetes hal

ini

sangat

menarik

karena seperti

tadi

sudah dikatakan

bahwa

umumnya DM Tipe 2 timbul setelah dekade 4. Ini berarti bila

nanti pada tahun 2020 menjadikenyataan jumlah pengidap diabetes akan mengalami ledakan yang luar biasa besarnya.

Kenaikan

ini

sungguh

sangat besar

dibandingkan

kenaikan seluuh penduduk dari I 80,3 8 3,697 orang meniadi

253,667,565 orang atau kenaikan hanya sebesar 40,6oh.

Selain

itu

penduduk perkotaan

yang

pada

tahun

1990

berjumlah 51,932,467 orang atau 28,79yo dari penduduk,

pada tahnn 2020 akan meningkat menjadi 132,465,221

oratg

Negara {995 Urutan Negara

2025

(Juta)

(Juta) 1 2 J 4 5 6 7 o o 10 lndia Cina Amerika Serikat Federasi Russia Jepang Brazil lndonesia Pakistan Meksiko Ukraine Semua

lndia

57 2

Cina

37 6

Amerika

21

I

Pakistan

14 5

19.4

1

16.0

2

13.9

3

8.9

4

6.3

5

4.9

6

4.5

7

4.3

8

3.8

I

3.6

10 49.7

lndonesia

12.4

Federasi

12.2 Russia

Meksiko

11.7

Brazil

11 6

Mesir

8.8

Jepang

8.5 103.6 135.3

(14)

t877

DIABETES MELITUS DI INDONESIA

atau 52,2%o dari semua penduduk. Hal lain yang menarik adalah

jumlah usia lanjut.

Penduduk

65 tahun

akan

bertambah

daiT

,ljuta

pada tahun 1990 menjadi 18,5

juta

pada tahun 2020. Jadi selama 30 tahun itu jumlah penduduk dengan usia lanjut akan bertambah sebanyak

ll,4

jutayang

menurut Ananta jumlah itu sama dengan jumlah penduduk Jakarta ditambah penduduk Yogya,saat

ini.

Kekerapan

diabetes pada usia lanjut jauh lebih

tinggi

lagi bisa 4

kali

lipat

darirata-rdta.

Dari angka-angka tadi dapat diambil kesimpulan bahwa dalam jangka

waktu

30 tahun penduduk Indonesia akan

naik

sebesar

40o/,

dengan peningkatan

jumlah

pasien diabetes

yang

jauh lebih

besar

yaitu

86-138o/o,

yang

disebabkan oleh karena:

.

faktor demografi: 1). Jumlah penduduk meningkat; 2). Pendudukusia lanjut bertambah

banya(

3). Urbanisasi makin takterkendali

.

gaya hidup yang ke barat-baratan: 1)'Penghasilanper

capita

tinggi; 2). Restoran siap santap; 3). Teknologi canggih

menimbulkan

sedentary

life, ktttang

getak

badan

.

berkurangnya penyakit infeksi dan kurang

gizi

.

meningkafirya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang.

DM

TIPE LAIN

Salah satu

jenis

ini

adalah Diabetes

Melitus Tipe

Lain. Jenis

ini

sering ditemukan

di

daerah

tropis

dan rrcgara berkembang. Bentuk ini biasanya disebabkan oleh adanya

malnutirisi disertai kekurangan protein yang nyata. Diduga

zat sia:nidayang terdapat pada cassava atau singkong yang

menjadi sumber karbohidrat di beberapa kawasan di Asia

dan

Afrika

berperan dalam patogenesisnya.

Di

Jawa

Timur

sudah dilakukan survei dan didapatkan bahwa prevalensi

diabetes

di

pedesaan

adalah

l,47yo

sama

dengan

di

perkotaan (1,43%). Sebesar

2l,2yo

dari kasus diabetes

di

pedesaan adalah jenis ini. Diabetes jenis

ini

di masa datang

masih

akan banyak, mengingat

jumlah

penduduk yang

masih berada di bawah kemiskinan yang masih tinggi.

Dulu

jenis ini disebut Diabetes Terkait Malnutrisi (MRDM), teapi oleh karena patogenesis jenis

ini

tidak jelas maka jenis

ini

pada

klasifikasi

terakhir (1999) tidak lagi disebut sebagai

MRDM

tetapi disebut Diabetes Tipe Lain.

Diabetes Gestasional

Diabetes gestasional adalah diabetes yang

timbul

selama

kehamilan.

Ini meliputi

2-5o/o dalrr seluruh diabetes. Jenis

ini

sangat penting diketahui karena dampaknya padajanin

kurang

baik bila tidak

ditangani

dengan benar.

Adam

mendapatkan prevalensi diabetes gestasi sebesar

2-2,6'h

dari wanita

hamil.

Karena pentingnya. masalah

ini

akan dibicarakan lebih lanjut dalam bab tersendiri.

Langkah-langkah

yang

Dapat Dikerjakan

Mengingat

jumlah

pasien

yang

akan membengkak dan besarnya biaya perawatan pasien diabetes yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang

paling

baik

adalah pencegahan.

Menurut WHO tahun

1994,

tpaya

pencegahan pada

diabetes

adatigajenis

atau tahap yaitu:

Pencegahan

primer.'

Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah

timbulnya hiperglikemia

pada

individu

yang

berisiko untuk

jadi

diabetes ata.upadapopulasi umum. Pencegahan sekunder.' Menemukan pengidap

DM

sedini

mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada

populasi

risiko tinggi,

Dengan demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat dilakukan upaya untuk mencegah

komplikasi

atau kalaupun sudah ada

komplikasi

masih reversibel,

Pencegahan

tersier.

Semua

upaya

untuk

mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu' Usaha

ini

meliputi:

.

mencegahtimbulnyakomPlikasi

.

mencegah progresi dari padakomplikasi itu suptiyatidak menj adi ke gagalan organ

.

mencegah kecacatan tubuh

Dalam hal

ini

Indonesia cukup beruntung karena sejak tahun 1993 PERKENI telah menyusun dan memberlakukan

konsensus

pengelolaan

diabetes

di

Indonesia

yang

ditandatangani oleh seluruh ahli dibidang diabetes. Di dalam

buku konsensus

itu

sudah dicanangkan bahwa pencegahan adalah upaya yang harus dilaksanakan sejak dini. Mengenai pencegahan

ini

ada sedikit perbedaan mengenai definisi pencegahan

yang tidak terlalu

mengganggu. Dalam

konsensus yang mengacu ke pada

WHO

1985, pencegahan

ada 3

jenis

yaitu

pencegahan

primer berarti

mencegah

timbulnya hiperglikemia, pencegahan sekunder mencegah

komplikasi

sedangkan pencegahan

tersier

mencegah

kecacatan akibat komplikasi. Menurut laporan

WHO

1994 pada pencegahan sekunder termasuk deteksi

dini

diabetes

dengan

skrining,

sedangkan mencegah

komplikasi

dimasukkan ke dalam pencegahan tersier.

Strategi

Pencegahan

Dalam menyelenggarakan rtpaya pencegahan

ini

diperlukan

suatu strategi yang efisien dan

efektif

untuk mendapatkan

hasil yang

maksimal'

Seperti

juga

pada pencegahan penyakit menul

al

ada2macam strategi

untuk

dij alankan, antara lain :

Pendekatan p opulasi/masy ar akat (p op ulatio n/c omm

unily

approach). Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik

masyarakat agar menjalankart cata

hidup

sehat

dan

Gambar

Gambar  2.  Prevalens  DM  di  lndonesia
Gambar  1.  :  Langkah  diagnostik  DM dan  TGT  dari TTGO
Gambar  2.  Sarana  farmakologis  dan  titik  kerja  obat  untuk pengendalian  kadar  glukosa  darah
Gambar  2,  Dinamika sekresi  lnsulin  setelah  beban glukosa intravena  pada  keadaan  normal  dan  keadaan  disfungsi sel  beta (Ward,  84)
+7

Referensi

Dokumen terkait