290
SINDROM METABOLIK
Sidartawan
Soegondo, Dyah PurnamasariPENDAHULUAN
Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan konstelasi
faktor
risiko
pada pasien-pasien dengan resistensiinsulin
yangdihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular
yang disebutnya sebagai sindrom
X.
Selanjutnya, sindromX
ini
dikenal
sebagaisindrom resistensi
insulin
dan akhirnya sindrom metabolik.Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan sensitivitas
jaringan
terhadapkerja
insulin
sehinggaterjadi
peningkatan sekresi
insulin
sebagaibentuk kompensasi sel beta pankreas. Resistensi
insulin
terjadi
beberapa dekade sebelumtimbulnya
penyakit
diabetes
mellitus
dan kardiovaskular lainnya. Sedangkansindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik adalah
kumpulan
gejala yang menunjukkan
risiko
kejadian
kardiovaskular lebih
tinggi
pada
individu
tersebut. Resistensiinsulin
juga
berhubungan dengan beberapa keadaan seperti hiperurisemia, sindrom ovariumpolikistik
dan perlemakan hati non alkoholik.Di
US,
peningkatan kejadian
obesitasmengiringi
peningkatanprevalensi sindrom metabolik.
Prevalensi sindrom metabolik pada populasi usia > 20 tahun sebesar25Yo dan pada
usia
>
50 tahun sebesar 45%o. Pandemisindrom
metabolik juga
berkembang
seiring
dengan peningkatan prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia. Studi yang dilakukan di Depok(2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik
menggunakankriteria National
Cholesterol EducationProgram
Adult
TreatmentPanel
III
(NCEP-ATP
III)
dengan
modifikasi
Asia Pasifik,
terdapat
pada 25.7Yo
pria
dan 25Yo wanita. Penelitian Soegondo(2004) melaporkan prevalensi sindrom metabolik
sebesar 13,l3oh dan menunjukkan bahwa
kriteria
Indeks Massa Tubuh
(IMT)
obesitas
>25
kglm2
lebih
cocok
untuk
diterapkan pada orang
Indonesia. Penelitiandi
DKI
Jakarta pada tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrommetabolik
yangtidak
jauh
berbedadengan
Depok yaitu
26,3Yodengan obesitas
sentralmerupakan komponen
terbanyak (59,4%).
Laporan
Peneliti
Tahun Daerah N (usia) Prevalensi (%)(ATP lll Asia) Komponen sindrom metabolic Terbanyak (%) Budhiarta 2004
Arifin
2003Suhartono
2005Pranoto
2005Adam
2002-2004 Bali Denpasar D. Sangsit D. Sembiran Bandung Medical check up Semarang (poli RS) Pekajangan Surabaya (general check up)Makasar
(general check up)
20,3 24,8 19,2 7,8 22,94 (bukan modifikasi) '16,6 20,3 34 33,4 J Kolesterol HDL (39,1) Hipertensi (89,7) Obesitas sentral Hipertrigliseridemia (85,29) Obesitas sentral (58,2) 888 354 443 90 (30-60) 497 C) 1 190 (> 50) 1230 (> 30) 100 (-) 12't9 (21-82)
Dikutip dari Purnamasari. Gambaran Resistensi lnsulin Subyek dengan Saudara Kandung DM tipe 2. Tesis 2006.
1866
MEf,ABOLIKENDOIRINprevalensi sindrom
metabolik
di
beberapa daerahdi
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Dibandingkan
dengankomponen-komponen
padasindrom
metabolik,
obesitas sentralpaling
dekatuntuk
memprediksi ada tidaknya sindrom metabolik. Beberapa studi di wilayah Indonesia termasuk Jakarta menunjukkanobesitas sentral merupakan komponen yang paling banyak
ditemukan pada
individu
dengan sindrom metabolik. Meski mendapat sebutan sindrom, namun secarar[num
penatalaksanaan
sindrom
metabolik
sejauh
ini
masih
merupakan penatalaksanaan masing-masing
komponennya. Masih menjadi perdebatan apakah sebutan sindrom ini masihmemiliki
artiklinis
mengingat tidak ada perbedaan penatalaksanaan padatiap
komponennya.Pada akhirnya tampilan
klinis
sindrom metabolikini
sangat
dipengaruhi oleh
faktor etnik
dan herediter,
sehingga pola
klinis di
setiap populasi berbeda.KRITERIA
Sejak
munculnya sindrom
resistensiinsulin,
beberapa organisasi berusaha membuatkriteria
sindrom metaboliksupaya dapat diterapkan secara praktis
klinis
sehari-hari. Secara umum, semuakriteria
yang diajukan memerlukan minimal 3 kriteria untuk mendiagnosis sondrom metabolikatau sindrom resistensi
insulin.
WorldHealth
Organiza-tion
(WHO)
merupakan organisasi pertama
yang
mengusulkan kriteria sindrom metabolik pada tahun 1998.
Menurut
WHO pula, istilah
sindrom
metabolik
dapatdipakai
pada penyandangiDM
mengingat penyandangDM juga
dapat memenuhi
kriteria
tersebut
danmenunjukkan besarnya
risiko
terhadap kejadian
kardiovaskular. Setahun kemudian pada tahun1999,
theEuropean Group
for
Study ofInsulin
Resistance (EGIR)melakukan modifikasi pada kriteria WHO. EGIR cenderung menggunakan
istilah
sindrom resistensi insulin. Berbedadengan
WHO, EGIR lebih memlih
qbesitas sentral
dibandingkanIMT
danistilah
sindrom resistensiinsulin
tidak dapat dipakai pada penyandang
DM
karena resistensi insulin merupakan faktor risiko timbulnya DM. Pada tahr.rn2001,
National
Cholesterol EducationProgram
(NCEP)Adult
Treatment PanelIII
(ATPIII)
mengajukankriteria
baru yang
tidak
mengharuskan
adanya komponen
resistensiinsulin. Meski tidak pula
mewajibkan adanya komponen obesitas sentral, kriteria ini menganggap bahwa obesitas sentral merupakan faktor utama yang mendasari sindrom metabolik.Nilai cut-offlingkar
perut diambil dari National Institute ofHealth
ObesityClinical
Guidelines; > 102cmuntukpriadan
> 88 cmuntukwanita.Untuketnik
tertentu sepertiAsia,
dengancut-off lingkar perut
lebihrendah dari
AIP
III,
sudahberisiko
terkena sindrom
metabolik.
Padatahun
2003,American Association
o/
Clinical
Endocrinologrsls(AACE)
memodifikasi definisidari
AIP III.
Sama seperti EGIR, bila sudah adaDM,
makaistilah sindrom resistensi insulin tidak digunakan lagi. Dua tahun kemudian, pada tahun 2005, International Diabetes Federation (IDF) kembali memodifikasi laiteriaATP III. IDF
menganggap obesitas sentral sangat berkorelasi dengan
resistensi
insulin,
sehinggamemakai
obesitas sentralsebagai kriteria utama.
Nilai
cut-offyang
digunakan jugadipengaruhi oleh etnik.
UntukAsia
dipakaicut-offlingkar
perut
>
90
cm untuk
pria
dan>
80 cm untuk
wanita.Beberapa
kriteria
sindrommetabolik
dapatdilihat
padaTabel2.
Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ATP
III
lebih banyak digunakan, karena lebih memudahkan seorang klinisi untukmengidentifikasi
seseorang dengan sindrom metabolik.Sindrom metabolik ditegakkan apabila seseorang
memiliki
sedikitnya 3 (tiga) kriteria.
PATOFISIOLOGI
Pengetahuan
mengenai
patofisiologi
masing-masing
komponen sindrom metabolik sebaiknya diketahui untukdapat memprediksi pengaruh perubahan gaya
hidup
dan medikamentosa dalam penatalaksanaan sindrom metabolik.Obesitas
sentral
Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh
tidak begitu sensitif dalam
menggambarkan
risiko
kardiovaskular dan gangguan metabolik yang terjadi. Studi
menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan
oleh lingkar perut
(dengancut-off
yang berbeda antarajenis kelamin) lebih sensitif dalam memprediksi gangguan
metabolik
dan
risiko
kardiovaskular. Lingkar
perut
menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan
vis-ceral.
Meski dikatakan bahwa lemak viseral lebih
berhubungan dengan
komplikasi metabolik
dan kardiovaskular,hal
ini
masih kontroversial. Peningkatanobesitas
berisiko pada
peningkatan
kejadian
kardiovaskular. Variasi faktor genetik membuat perbedaan
dampak metabolik
maupunkardiovaskular
dari
suatuobesitas. Seorang dengan obesitas
dapat
tidak
berkembangmenjadi
resistensiinsulin,
dan sebaliknya resistensiinsulin
dapat ditemukan padaindividu
tanpaobes
(lean subjects). Interaksi
faktor
genetik
dan lingkungan akanmemodifikasi
tampilanmetabolik
darisuatu resistensi
insulin
maupun obesitas.Jaringan adiposa merupaka sebuah
organ
endokrinyang aktif mensekresi berbagai faktor pro dan anti inflamasi
seperti leptin, adiponektin, Tumor nekrosis
factor
d
(TNF-a),
Interleukin-6
(IL-6)
dan resistin. Konsentrasi
adiponektin plasma menurun pada kondisiDM
tipe 2 dan obesitas. Senyawa ini diprcaya memiliki efek antiaterogenik pada hewan coba dan manusia. Sebaliknya, konsentrasileptin
meningkat pada
kondisi
resistensi
insulin
dan1867
SINDROMMEIABOUK
Kriteria Klinis wHo (1e98) EGIR ATP
il
(2001) AACE (2003) !DF (2005)Resistensi
TGT, GDPT, DMT2,insulin
atau sensitivitas insulin menurun* Ditambah 2 darikriteria berikut Berat
badan
Pria: rasio pinggangpanggul > 0,90 Wanita: rasio pinggang panggul > 0,85 dan/atau IMT > 30 kg/m2
Lipid
TG > 150 mg/dL dan/atau HDL-C < 35 mg/dL pada pria atau< 39 mg/dl pada wanita
lnsulin plasma >
persentil ke-75 Ditambah dua dari kriteria berikut LP > 94 cm pada pria
atau > 80 cm pada wanita
Tidak ada, tetapi mempunyai 3 dari 5 kriteria berikut LP > 1 02 cm pada pria atau > 88 cm pada wanitaf TGT atau GDPT Ditambah salah satu dari kriteria berikut berdasarkan penilaian klinis-IMT > 25 kg/m' TG > 150 mg/dL dan HDL-C < 40 mg/dl pada pria atau < 50 mg/dL pada wanita > 130/85 mmHg Tidak ada LP yang meningkat (spesifik tergantung populasi) ditambah dua dari kriteria berikut TG > 150 mg/dl
atau dalam
pengobatan TG HDL-C < 40 mg/dL pada pria atau <
50 mg/dL pada wanita atau dalam pengobatan
HDL-c
> '130 mm Hg sistolik atau > 85 mm Hg diastolik atau dalam pengobatan hipertensi > 100 mg/dL (termasuk diabetes) TG > 150 mg/dl dan/atau HDL-C < 39mg/dl pada pria atau wanita
TG 2150 mg/dl
HDL-C < 40 mg/dl
pada pria atau < 50
mg/dL pada wanita > 130i85 mmHg
Glukosa
TGT, GDPT atau DMT2Lainnya
Mikroalbuminuria Tekanandarah
> 140/90 mm Hg TGT atau GDPT (tetapi bukan diabetes) Kriteria resistensi insulin lainnya$DMT2 menunjukkan diabetes melitus tipe 2; LP, lingkar pinggang; lMT, indeks massa tubuh; dan TG, trigliserida, semua singkatan lainnya terdapat dalam teks.
* Sensitivitas insulin diukur pada kondisi euglikemia hiperinsulinemia, ambilan glukosa di bawah kuartil terendah sebagai latar belakang populasi yang diteliti
ng
in.
04
ovarium polikistik, gaya hidup yang kurang banyak gerak, usia lanjut dan etnis tertentu yang rentan terhadap diabetes melitus tipe 2.
Dikutip dari Grundy et al. Diagnosis and management of metabolic syndrome. circulation 2005
> 140/90 mmHg atau dalam pengobatan hipertensi TGT atau GDPT (tetapi bukan diabetes) 2 110 mg/dl (termasuk penderita diabetes)f
kardiovaskular
tidak
tergantung
dari
faktor risiko
tradisional kardiovaskular,
IMT
dan konsentrasi CRP. Sejauh ini belum diketahui apakah pengukuran pengukuran marker hormonal dari jaringan adiposa lebih baik daripadapengukuran
secaraanatomi dala memprediksi
risiko
kejadian kardiovaskular dan kelainan metabolik yang terkait.
Resistensi lnsulin
Resistensi
insulin
mendasarikelompok kelainan
pada sindrom metabolik. Sejauh ini belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp merupakanteknik
yang ideal namuntidak
praktis untukklinis
sehari-hari. Pemeriksaan glukosa plaama puasajuga
tidak
ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya dijumpai pada 1 0% sindrom metabolik. PengukuranHomeostasis
Model
Asessment(HOMA)
danQuantita-tive Insulin Sensitivity Checklndex
(QUICKI)
dibuktikanberkorelasi
erat dengan pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin.Bila
melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan
jaringan
adiposa dan sistem kekebalan
tubuh,
makapengukuran resistensi
insulin
hanya
dari
pengukuranglukosa dan insulin (seperti rumus
HOMA
danQUICKI)
perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, penggunaan nrmus
ini
secararutin di klinis
belum
disarankan
maupundisepakati.
Dislipidemia
Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai
dengan peningkatan trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol
LDL
biasanya nornal, namun mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small denseLDL
-Peningkatan konsentrasi
trigliserida
plasmadipikirkan
akibat peningkatan masukan asam lemak bebaske
hati1868
METABOLIKENT'OI(RINsehingga terjadi peningkatan produksi trigliserida. Namun
studi
padamanusia dan hewan menunjukkan
bahwapeningkatan trigliserida tersebut bersifat multifaktorial dan
tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan asam lemakbebas ke hati.
Penurunan
kolesterol
HDL
disebabkan peningkatantrigliserida
sehingga terjadi transfer trigliserida keHDL.
Namun,
pada subyek dengan
resistensi insulin
dankonsentrasi trigliserida normal dapat ditemukan pemrmnan kolesterol
HDL.
Sehingga dipikirkan terdapat mekanismelain yang
menyebabkan penurunan
kolesterol HDL
disamping peningkatan
trigliserida.
Mekanisme
yang dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukanlipid
post prandial padakondisi
resistensiinsulin
sehingga terjadigangguan produksi
Apolipoprotein
A-I
(Apo
A-1)
olehhati
yang
selanjutnya mengakibatkan
penurunan
kolesterol
HDL.
Peran sistem imunitas pada resistensiin-sulin juga berpengaruh pada perubahan
profil
leipid padasubyek
denganresistensi
insulin. Studi
pada
hewanmenunjukkan bahwa
aktivasi
sistem
imun
akan
menyebabkan gangguan pada lipoprotein, protein
trans-port, reseptor dan enzim yang berkaitan sehingga terjadi perubahanprofil
lipid.
Peran
sistem imunitas pada resistensi insulin
Inflamasi subklinis kronik
juga
merupakan bagian darisindrom
metabolik. Marker inflamasi
berperan
pada progresifitasDM
dan komplikasi kardiovaskular. Creac-tive
protein
(CRP) dilaporkan menjadi
data prognosistambahan tentang keparahan
inflamasi
pada
subyek wanita sehat dengan sindrom metabolik. Namun, belumdidapatkan
kesepakatanalur
diagnosis
yang
mampumenggabungkan
peningkatan
CRP,
koagulasi,
dangangguan
fibrinolisis
dalam memprediksi
risiko
kardiovaskular.
Hipertensi
Resistensi
insulin juga
berperan pada
pathogenesishipertensi.
Insulin
merangsangsistem saraf
simpatis meningkatkan reabsorpsinatrium ginjal,
mempengaruhitransport
kation
dan mengakibatkanhipertrofi
sel
ototpolos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut dapat
menyebabkan
hipotensi akibat vasodilatasi.
Sehinggadisimpulkan
bahwahipertensi akibat
resistensiinsulin
terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor. TheInsulin
Resistance Atherosclerosis Studymelaporkan hubungan antara resistensi
insulin
dengan hipertensi pada subyek normal namun tidak pada subyek denganDM
tipe 2TERAPI
Untr.rk mencegah komplikasi kardiovaskular pada
individu
yang telah memiliki sindrom metabolik,
diperlukan
pemantauanyang
terus menerus dengan
modifikasi
komponen sindrom metabolik yang ada. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih merupakan penatalaksanaan dari masing-masing komponennya (Tabet 3)
Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan
untuk menurunkan
risiko
penyakit kardiovaskular
aterosklerosis danrisiko
diabetesmelitus tipe 2
pada pasienyang belum
diabetes. Penatalaksanaan sindrom metabolikterdiri
atas2
pilar,yaitu
tatalaksana penyebab(berat
badan lebih/obesitas daninaktifitas
fisik)
serta tatalaksana faktorrisiko lipid
dan nonlipid.
Obesitas dan Obesitas Sentral
Pemahaman
tentang hubungan
antara obesitas
dan sindrom metabolik serta peranan otak dalam pengaturanenergi,
merupakan
titik
tolak
yang penting
dalam
penatalaksanaan
klinik.
Pengaturan
berat
badan merupakan dasartidak
hanya
bagi
obesitastapi juga
sindrommetabolik.
Mempertahankan berat badan yanglebih
rendahdikombinasi
dengan pengurangan asupankalori
dan peningkatan aktifitasfisik
merupakan prioritasutama pada penyandang
sindrom metabolik.
Targetpenurunan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12
btlan,
dapat dicapai dengan mengurangi asupankalori
sebesar500-1000
kalori
perhari
ditunjang denganaktifitas
fisik
yang sesuai.
Aktifitas fisik
yang disarankan adalah selama30 menit
ataulebih
setiaphari.
Untuk
subyek dengankomorbid
penyakit
jantung
koroner,
perlu
dilakukan
evaluasi kebugaran sebelum diberikan anjuran jenis-jenis
olah raga yang sesuai.
Pemakaian obat-obatan dapat
berguna
sehingga dipertimbangkan pada beberapapasien.
Dua obat yang dapat digunakan dalam menurunkan berat badan adalahsibutramin
dan
orlistat.
Dengan mempertimbangkan
peranan
otak
sebagai regulator berat badan, sibutramindapat menjadi
pertimbangan
walaupun
tanpa
mengesampingkan kemungkinan
efek
samping
yangmungkin timbul. Cara ke{anya di sentral memberikan efek mengurangi asupan energi melalui efek mempercepat rasa kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi setelah
berat badan
turun
dapat memberikanefek
tidak
hanyauntuk
penurunan
berat
badan namun
juga
mempertahankan berat badan yang sudah turun. Demikian pula dengan efek metabolik, sebagai efek dari penurunan
beratbadanpemberian sibutramin setelah 24 minggu yang
disertai
dengandiet
dan
aktifitas
fisik,
memperbaiki
konsentrasi trigliserida
dan
kolesterol HDL.Terapi
pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien
yang
berisiko
serius akibat obesitasnya.Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular.
1869
SINDROMMETABOUKTarget dan tujuan terapi Rekomendasi terapi
Faktor risiko gaya hidup
Obesitas abdomen
Mengurangi berat badan sebanyak 77o
hingga 10% selama satu tahun pertama terapi. Sesudah itu, teruskan penurunan berat badan sebisa mungkin dengan tujuan akhir mencapai berat badan yang diinginkan
(lMT<25 kg/m')
lnaktivitas fisik
Aktivitas fisik intensitas sedang secara
teratur; setidaknya
30
menit
secarakontinu maupun intermiten (dan lebih
baik
bila
>
60
menit),5
hari/minggu, tetapi lebih baik lagi bila setiap hari.Diet aterogenik
Mengurangi asupan lemak jenuh, lemak trans dan kolesterol
Faktor risiko metabolik
Dislipidemia aterogenik Target primer:
LDL-C meningkat (lihat Tabel 4 untuk rinciannya)
Target sekunder: non-HDL-C meningkat Pasien risiko tinggi':
< 130 mg/dl (3,4 mmol/L) {Pilihan: <
100 mg/dl) [2,6 mmoUL] untuk Pasien yang berisiko sangat tinggif)
Pasien berisiko tinggi-sedangt: <1 60
mg/dl (4,1 mmol/L)
Pilihan terapi: <130 mg/dl (3,4 mmol/L) Pasien berisiko sedang$: < 160 mg/dl
(4,1 mmol/L)
Pasien berisiko rendahll: <190 mg/dL (4,9 mmol/L)
Target tersier: HDL-C berkurang
Tidak ada target spesifik: tingkatkan HDL-C sebisa mungkin disertai terapi standar dislipidemia aterogenik
ia r-J 1c
Pencegahan jangka panjang penyakit KVR dan pencegahan (terapi) diabetes melitus tipe 2
Secara konsisten memberikan semangat agar berat badan terjaga
/
berkurangkesehatan yang signifikan.
akut atau revaskularisasi, GJK)
e
lori total; kurangi lemak transO
25% hingga 35% kalori total'k
emak tidak jenuh; gula seder dibatasi.Pencegahan jangka pendek terhadap penyakit KVR atau terapi diabetes melitus tige 2
LDL-C meningkat (lihat Tabel 4 untuk rinciannya) non-HDL-C meningkat
Mengikuti strategi di Tabel 4 untuk mencapai target LDL-C
Pilihin pertama untuk mencapai target non-HDL-C: Perkuat terapi penurunan LDL
Pilihan kedua untuk mencapai target non-HDL-C: Tambahkan fibrat [lebih disukai fenofibratl atau asam nikotinat bila kadar non-HDL-C tetap relatif tinggi setelah terapi dengan obat penurun LDL diberikan
Beri saran untuk menambah fibrat atau asam nikotinat pada pasien berisiko tinggi
Beri saran untuk menghindari penambahan fibrat atau asam nikotinat pada pasien berisiko tinggi sedang atau pasien berisiko sedang
Semua pasien: Bila
TG:500
mg/dl, mulai dengan fibrat atau asam nikotinat {sebelum terapi penurun LDL; terapi non-HDL-C untuk mencapai tujuan setelah memberikan terapi menurunkan TG)HDL-C berkurang
Maksimalkan terapi gaya hidup: penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik
Pertimbangkan menambahkan fibrat atau asam nikotinat setelah terapi obat penurun LDL-C sebagaimana telah disebutkan untuk non-HDL-C yang meningkat
1870
MMABOIJKENDOIRINTD meningkat
Turunkan TD serendah mungkin hingga
setidaknya mencapai
TD
<140/90mmHg
(atau
<
130i80 mmHg bilaterdapat diabetes). Kurangi
TD
lebihlanjut
sebisa
mungkin
melalui perubahan gaya hidupKadar glukosa meningkat
Untuk GDPT, tunda perkembangan ke arah
diabetes melitus tipe 2. Untuk diabetes, hemoglobin A1.<7,0o/o
Kondisi Protrombotik
Kurangi faktor-faktor risiko trombotik dan
fibrinolitik
Kondisi proinflamasi
Untuk TD > 120180 mmHg: awali atau jaga modifikasi gaya hidup pada semua pasien dengan sindrom metabolik: pengendalian berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, meredam kebiasaan alkohol, pengurangan kadar garam dan
menekankan banyak makan buah dan sayuran segar, dan produk-produk susu rendah lemak
Untuk TD > 140/90 mmHg (atau > 1 30/80 mmHg untuk individu dengan penyakit
ginjal kronik atau diabetes); Bila dapat ditoleransi, tambahkan pengobatan tekanan darah sebagaimana diperlukan untuk mencapai TD target Untuk GDPT, dorong semangat untuk menurunkan berat badan dan
meningkatkan aktivitas fisik
Untuk diabetes melitus tipe 2, bila perlu, terapi gaya hidup dan farmakoterapi perlu dipakai agar HbAIC mendekati normal (< 7%).
Modifikasi faktor{aktor risiko lainnya dan modifikasi perilaku (yakni obesitas abdominal, inaktivitas fisik, TD meningkat, abnormalitas lipid)
Pasien-pasien berisiko tinggi: mulai dan teruskan terapi aspirin dosis rendah;
pada pasien dengan KVRAS, pertimbangkan klopidogrel bila aspirin merupakan kontraindikasi.
Pasien berisiko tinggi sedang: pertimbangkan profilaksis aspirin dosis rendah
Rekomendasi: tidak ada terapi spesifik yang melebihi terapi gaya hidup
TG menunjukkan trigliserida; TD, tekanan darah, KVR, penyakit kardiovaskular; GJK, gagal jantung kongestif; lMT, indeks massa tubuh, GDPT, glukosa darah puasa terganggu dan KVRAS, penyakit kardiovaskular aterosklerotik
* Pasien berisiko tinggi adalah pasien dengan diagnosis KVRAS, diabetes, atau risiko 10 tahun terhadap
penyakitjantung koroner > 20%. Untuk penyakit serebrovaskular, kondisi berisiko tinggi meliputi TIA atau stroke yang berasal dari karotid atau stenosis karotid > 5b%
tPasien berisiko sangat tinggi adalah pasien yang cenderung menderita kejadian KVR dalam beberapa tahun mendatang, dan diagnosis bergantung pada penilaian klinis. Faktor-faktor yang dapat turut berkontribusi pada risiko sangat tinggi ini meliputi sindrom koroner akut yang baru saja terjadi, dan diagnosis penyakitjantung koroner + salah satu dari hal berikut ini: faktor-faKor risiko mayor multipel (terutama diabetes),
f;ktor-faktor risiko berat dan terkontrol buruk (terutama kebiasaan r,nerokok sigaret yang terus berlanjut) dan sindroma metabolik
+Pasien berisiko tinggi-sedang adalah pasien dengan risiko 10 tahun terhadap penyakit jantung koroner sebesar 10% hingga 20% FaKor-faktor yang mendukung pilihan terapi non-HDL-C < 100 mg/dl adalah faktor-faktor yang dapat meningkatkan individu hingga masuk ke kisaran atas risiko tinggi sedang meliputi: faktor-faKor risiko mayor multipel, faktor-faktor risiko berat dan terkontrol buruk (terutama liebiasaan merokok sigaret yang terus berlanjut), sindroma metabolik dan penyakit aterosklerotik subklinis yang nyata (yaitu ketebalan kalsium koroner atau lapisan media tunika intima karotid > persentil ke-75 yang sesuai dengan usia dan jenis kelamin).
$ Pasien berisiko sedang adalah pasien dengan 2 atau lebih faktor risiko mayor dan risiko 10 tahun < '10%
ll Pasien berisiko rendah adalah pasien dengan faktor risiko mayor 0 atau 1 dan risiko 10 tahun < 10% Dikutip dari Grundy et al. Diagnosis and management of metabolic syndrome. Circulation 2005
dipakai sebagai
indikator
independen morbiditas
kardiovaskular Fada pasien tanpa diabetes atau hipertensi. Target tekanan crbrah berbeda antara subyek dengan
DM
dan tanpaDM.
Pada subyek denganDM
dan penyakitginjal,
target tekanan
darah adalah<
130/80mmHg,
sedangkan pada bukan, targetnya
<
140/90 mmHg.Untuk
mencapaitarget
tekanan darah, penatalaksanaan tetapdiawali
dengan pengaturan
diet
dan
aktifitas fisik.
Peningkatantekanan
darahringan
dapatdiatasi dulu
denganupaya penurunan berat badan, berolah
raga, menghentikanrokok
dan konsumsi alkohol serta banyakmengkonsurnsi serat. Namun apabila modifikasi gaya hidup
sendiri tidak mampu mengendalikan tekanan darah maka
dibutuhken pendekatan medikamentosa untuk mencegah
komplikasi seperti infark miokard, gagal ginjal kronik dan sffoke.
Dalam suatu penelitian meta-analisis didapatkan bahwa enzim pengkonversi angiotensin dan penghambat reseptor
angiotensin mempunyai manfaat yang bermakna dalam meregresi
hipertrofr ventrikel
kiri
dibandingkan denganpenghambat beta adrenergik,
diuretik
dan
antagoniskalsium.
Valsartan, suatu
penghambat reseptor
angiotensin, dapat mengurangi
mikroalbuminuria
yang diketahui sebagai faktor risiko independen kardiovaskular. Beberapa studi menyarankan pemakaianACE
inhibitor
sebagai
lini
pertama pada penyandang hipertensi dengan sindrom metabolik terutama bila ada DM. Angiotensinre-ceptor blocker (ARB)
dapatdigunakan apabila tidak
toleran terhadap ACE inhibltor. Meski pemakaian
diuretik
tidak dianjurkan pada subyek dengan gangguan toleransi glukosa, namun pemakaiandiuretik
dosis rendah yangdikombinasi dengan regimen lain dapat lebih bermanfaat
dibandingkan efek sampingnya.
Gangguan Toleransi
Glukosa
.ir--.
Intoleransi glukosa
merupakan safdh satu manifestasisindrom metabolik yang
dapat
menjadi awal
suatudiabetes
melitus.
Penelitian-penelitian
yang
ada menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara toleransiSINDROMMEIABOIJK
1871
Tujuan Terapi
Pasien berisiko tinggi*:
pasien berisiko sangat lainnya < 70 mg/dl)
<
100 mg/dl (2,6 mmol/L) (untuktinggif
dalam kategori ini, targetRekomendasi Terapi
Pasien berisiko tinggi: terapi gaya hidupf ditambah obat penurun LDL-C untuk mencapai target yang direkomendasikan.
Bila kadar LDL-C dasar
>
100 mg/dl, mulailah terapi obat penurun LDL.Bila dalam pengobatan kadar LDL-C
>
100 mg/dL, tingkatkanterapi obat penurun LDL (mungkin memerlukan kombinasi obat penurun LDL)
Bila kadar LDL-C dasar
<
100 mg/dl, mulai terapi penurunkadar LDL berdasarkan penilaian klinis (yakni penilaian yang
menunjukkan bahwa pasien termasuk yang berisiko sangat tinggi)
Pasien berisiko tinggi-sedang: terapi gaya hidup
+
terapi obatpenurun
LDL
bila
dibutuhkan untuk mencapai target yangdirekomendasikan bila kadar LDL-C
>
130 mg/dL (3,4 mmol/L) setelah terapi gaya hidupBila kadar LDL-C adalah 100 hingga 129 mg/dl, terapi penurun LDL dapat dimulai saat risiko pasien dinilai berada di kisaran atas dari kategori risiko tersebut
Pasien berisiko sedang: terapi gaya hidup + obat penurun LDL-C
bila dibutuhkan untuk mencapai target yang direkomendasikan ketika kadar LDL-C: 160 mg/dl (4,1 mmol/L) setelah terapi gaya hidup diberikan
Pasien berisiko rendah: terapi gaya hidup + obat penurun LpL-C bila dibutuhkan untuk mencapai target yang direkomendasikan ketika kadar LDL-C > 190 mg/dl setelah terapi gaya hidup (untuk
kadar LDL-C 160 hingga 189 mgidL, obat penurun LDL bersifat opsional)
Pasien berisiko tinggi-sedang$:
<
130 mg/dl (3,4 mmol/L) (untuk pasien berisiko lebih tinggi)ll dalam kategori ini, target lainnya adalah < 100 mg/dL (2,6 mmol/L)Pasien berisiko sedangtl: < 130 mg/dl (3,4 mmol/L)
Pasien berisiko rendah#: < 160 mg/dL (4,9 mmol/L)
*Pasien berisiko tinggi adalah pasien dengan diagnosis ASCVD, diabetes atau risiko '10 tahun penyakit iantung koroner > 20%. Untuk penyakit serebrovaskular, t<onJisi risito tinggi melipuii trans6nt ischemic attack alau stroke yang berasal dari karotid atau stenosis karotid 50%
tTerapi gaya hidup meliputi penuiinrn berat badan, peningkatan aktivitas fisik, dan diet antiaterogenik (lihat Tabel 3 untuk rinciannya).
+ pasien berisiko sangat tinggi adalah pasien yang cenderung menderita kejadian KVR mayor dalam beberapa tahun mendatang, dan diagnosis
pada peniliian klinis.
F
uru
usi pada risiko sangat tinggi ini termasuk sindrom koroner akut yang baru'dan
diagnosis
penyak
hs
berikut ini: faktor-faktor risiko mayor multipel (terutama diabetes),faktor-berat dan terKontrol
bu
me
t yang terus berlanjut) dan faktor risiko multipel dari sindroma metabolik.$Pasien berisiko tinggi-seda
jl
Faktor-faktor yaigOapat
mayor multipel,faktor-flktor risiko berat dan
terko
penyakit aterosklerotiksubklinis yang nyata
(yaitu
dengan usia dan jeniskelamin)
flPasien berisiko sedang adalah pasien dengan 2 atau lebih faktor risiko mayor dan risiko 10 tahun < 10% #Pasien berisiko rendah adalah pasien dengan faktor risiko mayor 0 atau 1 dan risiko 10 tahun < 10%
sindrom
metabolik
dan diabetes. Perubahan gaya hidupdan
aktifitas
fisik
yang teratur
terbukti efektif
dapatmenurunkan berat badan dan TGT.
Modifikasi
diet secara bermakna memperbaiki glukosa 2 jampascaprandial dankonsentrasi insulin.
Tiazolidindion memiliki
pengaruh yang ringan tetapi persisten dalam menurunkan tekanan darahsistolik
dandiastolik. Tiazolidindion
dan
metformin juga
dapatmenurunkan konsentrasi
asam
lemak
bebas.
PadaDi ab etes P rev
ention
Program,
penggunaanmetformin
dapatmengurangi progresi
diabetes sebesar3lo/o
danefektifpada
pasien muda dengan obesitas.DISLIPIDEMIA
Pilihan
terapiuntuk dislipidemia
adalah perubahan gayahidup yang
diikuti
dengan medikamentosa. Namun
demikian, perubahandiet
dan latihanjasmani
sajatidak
cukup berhasil mencapai target. Oleh karena itu disarankan
untuk
memberikan obat berbarengan dengan perubahan gaya hidup. MenurutAIP
III,
setelah kolesterolLDL
sudah mencapai target, sasaran berikutnya adalah dislipidemiaaterogenik. Pada konsentrasi trigliserida + 200
m!
dl,maka
target terapi adalah non kolesterol
HDL
setelah kolesterolLDL
terkoreksi. Terapi dengangemfibrozil tidak
hanya memperbaikiprofil
lipid tetapi juga secara bermakna dapatmenurunkan
risiko
kardiovaskular.
Fenofibrat
secarakhusus digunakan
untuk
menurunkantrigliserida
danmeningkatkan kolesterol
HDL,
telah
menunjukkan
perbaikan
profil lipid
yang sangat efektif dan mengurangirisiko
kardiovaskular. Fenohbratjuga
dapat menunrnkankonsentrasi frbrinogen.
Kombinasi fenofibrat
dan statinmemperbaiki konsentrasi trigliserida, kolesterol
HDL
dan LDL.1872
MEDABOIJKENDOKRINTarget
terapi berikutriya
adalah peningkatan apoB.Beberapa
studi
menunjukkan apoB
lebih baik
dalam menggambarkandislipidemia
aterogenik yang terjadi
dibandingkan
dengankonlesterol non
HDL
sehinggamenyarankan
apoB
sebagai
target terapi.
Meskipun
demikian,
AIP III
tetap menyarankan pemakaian kolesterolnon
HDL
sebagai targetterapi
mengingatdi
beberapa tempat, sarana pemeriksaan apoB belum tersedia.Apabila
konsentrasitrigliserida
+
500mg/dl,
maka target terapi pertama adalah pemrrunan trigliseridauntuk
mencegah timbulnya pancreatitis akut. Pada konsentrasi
trigliserida
<
500 mgldL, terapi kombinasi untuk
menurunkan
trigliserida
dan
kolesterol
LDL
dapatdigunakan. Berbeda dengan trigliserida dan kolesterol
LDL,
untuk kolesterol HDL tidak adatargetterapi tertentu, hanya
dinaikkan saja. Panduan terapi
untuk dislipidemia
dapatdilihat pada
Tabel3.
KESIMPULAN
Sindrom metabolik
merupakankumpulan
gejalayang
keberadaannya menunjukkan peningkatan risiko kejadian penyakit kardiovaskular dan diabetes
mellitus.
Obesitassentral
memiliki
korelasi
paling
erat
dengansindrom
metabolik dibandingkan
dengan komponenyang
lain.Penatalaksanaan sindrom metabolik masih mengacu pada tiap komponen, sejauh ini belum ada penatalaksanaan yang
berbeda
bila
dibandingkan
dengankomponen
secaraindividual.
REFERENSI
Dekker JM, Girman C, Rhodes
!
NijpelsQ
Stehouwer CD, BouterLM, et al. Metabolik sindrom and 10-year cardiovascular
dis-ease risk in the Hoom Study. Circulation 2005;112(5):666-73,
Eckel R, Krauss R. American Heart Association call to action:
obe-sity as a major risk factor for coronary heart disease. AHA nutrition committee. Circulation 1998;97 (21):2099- 1 00.
Einhom D, Reaven G, Cobin R, Ford E, Ganda O, Handelsman Y, et
al. American college of endocrinology position statement on
the insulin resistance sindrom. Endocr Prac 2003;9(3):237-52. Ford E, Giles W, Dietz W. Presence of the metabolik sindrom among
US adults: findings from the Third National Health and Nutri-tion ExaminaNutri-tion Survey. JAMA 2002;287 :356-9.
Grundy S, Cleeman J, Daniels S, Donato K, Eckel R, Franklin B.
Diagnosis and management of the metabolik sindrom. an
Ameri-can Heart Association/ National Heart, Lung, and Blood Insti-tute scientific statement. Circulation 2005;112.
Grundy SM, Hansen B, Smith SC, Jr., Cleeman JI, Kahn RA. Clinical management of metabolik sindrom: report of the American
Heart Association,il.{ational Heart, Lung, and Blood Institute/
American Diabetes Association conference on scientific issues
related
to
management. Arterioscler Thromb Vasc Biol2004;24(2):el9-24.
Hughes K, Aw T, Kuperan P, Choo M. Central obesity, insulin
resistance, sindrom X, ipoprotein (a), and cardiovascular risk in
Indians, Malays, and Chinese
in
Singapore.J
Epidemol Community Health 1997 ;5 I :39 4-9.Indriyanti R, Harijanto T. Optimal cut-off value for obesity: using
anthropometric indices to predict atherogenic dyslipidemia in
Indonesian population. In: Tjokroprawiro A, Soegih R, Soegondo S, Wijaya A, Sutardo B, Tridjkaja B, et a1., editors. 3rd National
Obesity Symposium (NOS IID 2004 Jakafta: Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI); 2004. p. l-13.
Kahn R, Buse J, Ferrannini E, Stern M. The metabolik sindrom:
time for a critical appraisal Joint statement from the American
Diabetes Association and the European Association for the Study
of Diabetes. Diabetologia 2005.
National Cholesterol Education Program-ATP
III.
Executive summaryof
thethird
reportof
the National CholesterolEducation Program (NCEP) Expert Panel on detection,
evalu-ation, and treatment of high blood cholesterol in adults (adult treatment panel
III).
JAMA 2002;285:2846-97.National Institute of Health. Clinical guidelines on the identifrcation,
evaluation, and treatment of overweighty and obesity in adults:
the evidence report. Obes Res 1998;6(suppl 2):51S-209S.
Nestel P. Nutritional aspect in the causation and management of
the
metabolik sindrom. Endocrinol MetabClin N
Am2004;33:483-92.
Pan W. Metabolik sindrom-an important but complex disease
entity for Asians. Acta Cardiol 2002;18:24-6.
Reaven GM. The metabolik sindrom: requiescat in pace. Clin Chem
2005;51(6):931-8.
Sy R, Punzalan F. The prevalence
of
dyslipidemia, diabetes, h,?ertension, stroke and angina pectoris in the Philipines. PhilJ Intern Med 2003;163:427-36.
Soegondo S. Hubungan leptin dengan dislipidemia atherogenik pada
obesitas sentral: kajian terhadap sma1l dense low density
lipoprotein. Disertasi 2004.
Tan C, Tai E. Genes, diet and serum lipid concentrations: lessons
from ethnically diverse populations and their relevance to their
relevance to the coronary hjeart disease in Asia. Curr Opinion
Lipidol 2004;15:5-12.
World Health
Organization.Definition,
diagnosis, andclassification of diabetes mellitus and its complications:report
of a WHO consultation. In: Part 1: diagnosis and classification
of diabetes mellitus: WHO; 1999.
Soewondo P, Pumamasari D, Oemardi M, Waspadji S, Soegondo S.
Prevalence of Metabolik Sindrom Using NCEP/ATP
III
Kriteriain Jakarta, Indonesia. The Jakarta Primary Non-Communicable
Disease Risk Factor Surveillance 2006. Unpublished.
Purnamasari. Gambaran Resistensi Insulin Subyek dengan Saudara
Kandung DM tipe 2. Tesis. 2006.
Reilly MP, Rader DJ. The metabolic syndrome: more tlan the sum
of its part? Circulation 2003;108:1546-51.
Park YW, Zhu S, Palaniappan
L,
Heshka S, Carnethon MR, Heymsfield SB. The metabolic syndrome. Prevalence and associated risk factor findings in the US population from theThird National Helth and Nutrition Examination Survey
29t
EPIDEMIOLOGI DIABETES MELITUS
Pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka transisi
epidemiologis, suatu konsep mengenai perubahan pola
kesehatan dan penyakit. Konsep tersebut hendak mencoba menghubungkan hal-hal tersebut dengan morbiditas dan
mortalitas
pada beberapa
golongan penduduk
dan menghubungkannya denganfaktor
sosioekonomi serta demografi masyarakat masing-masing.Dikenal
3 periode dalam transisi epidemiologis.Hal
tersebut te{adi tidak saja di Indonesia tetapijuga di negara-rregara lain yang sedang berkembang.
Periode I. Era pestilence datkelaparan. Dengan kedatangan
orang-orang barat ke Asia pada akhir abad
ke
15, datang pula penyakit-penyakit menular s.eperti pes, kolera,influ-enza,
ttberkulosis
dan penyakit kelamin,
yang
meningkatkan angka kematian. Harapan hidup bayi-bayi rendah dan pertambahan pendudukjuga
sangat rendah pada waktu itu.Periode
II.
Pandemi berkurang padaakhir
abadke
19.Dengan"perbglkan
gizi, higiene
serta sanitasi, penyakitmenular berkurang
danmortalitas
menurun. Rata-rataharapan
hidup
padawaktu lahir
meningkat danjumlah
penduduk seperti di pulau Jawa nampak bertambah. PeriodeIII.
Periode ini merupakan erapenyakit degeneratifdan pencemaran.
Karena komunikasi yang
lebih
baik
dengan masyarakat barat serta adopsi cara kehidupan barat,
penyakit-penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit
kardiovaskular
dan diabetesmelitus
meningkat. Tetapiapabila
kontak
dengan barat kurang dan masih terdapat .kehidupan tradisional, seperti di daerah pedesaan penyakit-penyakit tersebut umumnya jarang ditemukan.
Dari
penelitian Zimmet (1978)
dapatdilihat
bahwabeberapa golongan
etnik
mempunyai semacam proteksi terhadap efekburuk
pengaruh barat, antatalain
bangsaDIABETES MELITUS
DI
INDONESIA
Slamet Suyono
Melanesia
danEskimo.
Di
samuderaPasifik,
diabetesmelitus sangatjarang terdapat pada orang Polinesia yang
masih
melakukan
gayahidup tradisional,
beda dengandaerah urban seperti Mikronesia, Guam, Nauru dan negara-negara Polinesia seperti Tonga,
Hawai, Tahiti,
di
manajumlah
pasien diabetes sangattinggi.
Begitu pula banyak penelitian yang menunjukkan adanya kenaikan prevalensi diabetes padapenduduk emigran seperti pada
orang Yahudi yang berasaldari
Yaman danpindah ke
Israel, masyarakat India diAfrika
Selatan, orang Indian di AmerikaSerikat dan penduduk asli di Australia yang
ber"migrasi"
ke daerah perkotaan.
Sebagai dampak
positif
pembangunan
yang
dilaksanakan olehpemerintah dalam kurunwaktu 60 tahun merdeka, polapenyakit di Indonesia mengalami pergeseren yang cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan
gizi
berangsur
turun,
meskipun
diakui
bahwa
angkapenyakit infeksi ini masih dipertanyakan dengan timbulnya penyakit baru seperti Hepatitis
B
danAIDS, juga
angkakesakitan
TBC
yang tampaknya masihtinggi'dan
akhir-akhir
ini
flu
burung,
demam berdarah dengue(DBD),
antraks dan polio melanda negara kita yang kita cintai
ini.
Di
lain
pihak penyakit
menahunyang
disebabkan olehpenyakit
degeneratif,di
antatanya diabetes meningkatdengan
tajam.
Perubahanpola penyakit
itu
diduga adahubungannya
dengan carahidup
yang berubah.
Polamakan
di
kota-kota telah
bergeser
dari pola
makantradisional yang
mengandung banyakkarbohidrat
dan serat dari sa)ran,
ke pola makan ke barat-baratan, dengankomposisi
makananyang terlalu banyak
mengandungprotein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat.
Komposisi
makanan sepertiini
terutama terdapat pada makanan siap santap yang akhir-akhirini
sangat digemariterutama oleh anak-anak muda.
Di
sampingitu
cara hidup yang sangat sibuk denganpekerjaan
dari pagi
sampai sore bahkan kadang-kadang1874
METABOIJKENDOIGINsampai malam hari duduk di belakang meja menyebabkan
tidak
adanya kesempatanuntuk
berekreasi atau berolah raga, apalagi bagi para eksekutif hampirtiap hari
haruslunch
ataudinner
dengan para relasinya dengan menu makananbaratyang 'aduhai'. Polahidup berisiko
sepertiinilah
yang menyebabkantinggiiiya
kekerapan penyakitjantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes, hiperlipidemia. Menarik sekali apa yang dimu at dalam majalah Fortune edisi bulan
Juni
1991 yang menganalisis perkembangan ekonomi di Asia. Dikatakan bahwa perkembangan ekonomi di kawasanini
sangat menggembirakan. Yang aneh tetapinyata adalah
di
antaraparameter untuk mengukur kemajuan ekonomi itu adalah j umlah re stor at Mc D o nal d.Di
Thallandada 6 buah, di Malaysia 23buah, di Singapura 37 buah,
di
Filippina 34btnhdan
di Jepang 809 buah dan dua rregara yang mempunyai hanya 1 buah restoran McDonaldyaitu
Indonesia dan Cina. Pada tahun 1996hanya dalam waktu
5
tahun saja
di
Indonesia
sudah ada40 gerai. 33
di
antaranya beradadi
Jakarta.Data terakhir
tahun 2006jumlah
restoran McDoanlddi
Indonesia sudah mencapai120 gerai.
Akibat
lain dari cara hidupberisiko'ini
adalahbiaya kesehatan menjadi sangat mahal. Sebagai contoh,
dapat
dikemukakan
angka-angka
di
bawah
inil.
Di
Massachussetts
AS,
seoranglaki-Iaki
berumur 80 tahundirawat karena
sakit
jantung.
Biaya
perawatannya
mencapai 800.000 dollar. Masyarakat AS memang
mulai
gelisah menghadapi biaya kesehatan yang makin
membengkak ini. Anggaran biaya kesehatan tahun I 991
di
negara
ini
mencapai 671miliar
dollar
(12%
GNP AS). Anehnya adalah, meskipun sudah sedemikian besarnya biaya yang dikeluarkan, tarafkesehatan mereka tetaptidak
lebih
baik
daripada negaramaju
lain,
seperti
Kanada,Inggris,
Jerman, Swedia dan Jepang. Keadaanini
dapatdilihat
pada angka kematianbayi
(tiap
1000 kelahiran) misalnyadiAS
10,4, jauh lebih tinggi daripada di Kanada7,3,
Inggris
7,3, Jermat 5,6, Swedia 5,9 dan Jepang 4,5.Begitu juga
denganusia
harapan
hidup
di AS
baru mencapai 75,6 tahun, sedangkandi
Kanada 79,2tahw,
Inggris 76,3 tahun, Jerman77,2tahln,
Swedia 77,7tahw
dan Jepang
79,3
tahun.Ironisnya
adalah bahwa biayakesehatan di negara-negara itu
jauh
lebih murah.Diakui
bahwa perkembangan
ilmu
dan
teknologi
kedokteran telah banyak menyelamatkan nyawa manusia.
Penyakit-penyakit yang selama
ini
tidak terdiagnosis danterobati
sekarang sudahbanyak yang teratasi.
Tetapiuntuk
memperbaikitaraf
kesehatan secaraglobal tidak
dapat mengandalkan hanya pada tindakan
kuratif,
karenapenyakit-penyakit yang memerlukan biaya mahal
itu
sebagian besar dapat dicegah dengan
pola
hidup
sehatdan menjauhi
pola
hidup
berisiko. Artinya
para
pengambil
kebij akan harus mempertimbangkanuntuk
mengalokasikan dana kesehatan yang lebih menekankan kepada segipreventif
daripadakuratif.
Rupanyainilah
keunggulan
negara-negaramaju
di
luar
AS
yang tadi
disebut.DIABETES MELITUS
DIMASA DATANG
Di
antarapenyakit degeneratif, diabetes adalah salah satudi
antarapenyakit tidak
menularyang
akan meningkatjumlahnya
di
masa datang. Diabetes sudah merupakan salah sau ancaman utama bagi kesehatan umat manusiapada abad
21.
Perserikatan Bangsa-Bangsa
(WHO)
membuat
perkiraan
bahwa pada
tahun
2000
jumlah
pengidap diabetesdi
atasumur
20 tahunberjumlah
150juta
orang dan dalamkurun waktu
25
tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlahitu
akan membengkak menjadi 300juta orang.Masalah diabetes melitus di negara-negara berkembang
tidak
pernah mendapat perhatianpara
ahli
diabetesdi
negara-negarabarat
sampai denganKongres
Interna-tional
DiabetesFederation
(IDF) ke
IX
tahun
1973di
Brussel. Baru pada tahun 1976, ketika kongres IDF di New
Delhi
India, diadakan acara khusus yang membahas dia-betes melitusdi
daerahtropis.
Setelahitu
banyak sekalipenelitian yang dilakukan di negara berkembang dan data
terakhir dari WHO
menunjukkan
justru
peningkatantertinggi
jumlah
pasien diabetesmalah
di
negaraAsia
Tenggara tennasuk Indonesia
(Gambarl).
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran
di
flegara bersangkutan,akhir-akhir
ini
banyak disoroti.
Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gayahidup terutama
di
kota-kota besar,
menyebabkan
peningkatan prevalensi
penyakit
degeneratif,
sepertipenyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia,
diabetes dan
lain-lain.
Data epidemiologis
di
negara berkembang memang masih belum banyak. Oleh karena itu angka prevalensi yang dapat ditelusuri terutama berasal dari negara maju.DIABETES MELITUS
TIPE2
Prevalensi
DM
Tipe
2
pada bangsakulit
putih
berkisarantara3-6Yo dari orang dewasanya. Angka
ini
merupakanbaku
emasuntuk
membandingkan kekerapan diabetesantar berbagai
kelompok etnik
di
seluruh dunia, hinggadengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi
di
suatu negara atau suatu kelompok
etnik
tertentu dengankelompok etnik
kulit
putih
pada umrunnya.Misalnya di
negara-negara berkembang
yang
laju
pertumbuhan
ekonominya sangat
menonjol,
seperti
di
Singapura, kekerapan diabetes sangat meningkat dibanding denganl0
tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompokehik
di beberaparregaruyar,g mengalami perubahan gaya hidup yang sangat berbeda dengan cara hidup sebelumnya karena memang mereka lebih makrnur, kekerapan diabetes bisa mencapai 35% seperti misalnyadi
beberapa bangsaMikronesia dan Polinesia
di
Pasifik, Indian Pimadi
AS,1875
DIABETES MELITUS DI INDONESIA1 995
f 2ooo I
zoosAfrika
Amerika
MediteranianEropa
Asia tenggara Pasifik barat timurSumber: World Health Organization The World Health Report'1997
Gambar 1. Prediksi perkembangan rata-rata pasien DM di dunia
dan Suriname, penduduk asli Australia dan imigran
India
di Asia. Prevalensi tinggi
juga
ditemukandi
Malta, Arab Saudi,Indian
Canada dan Cinadi
Mauritius,
Singapura dan Taiwan.Tentang baku emas yang tadi dibicarakan, sebenarnya
juga
ada kekecualiannya,misalnya
suatupenelitian di
Wadena AS2, mendapatkan bahwa prevalensi pada orang
kulit putih
sangattinggi
dibandingkan dengan baku emastadi (Eropa)
yaitu
sebesar 23,2yo untuk semua gangguantoleransi,
terdiri
dari
15,lo/oTGT
(Toleransi
Glukosa Terganggu) danS,lYoDM
Tipe2.Dengan
kenyataanini
dapat diambil kesimpulan bahwa faktor lingkungan sangat
berperan.
Hal
ini
dapatdilihat
padastudi
Wadena tadibahwa secara genetik mereka sama-sama
kulit
putih, tetapidi
Eropa prevalensinya lebih rendah.Di
sinijelas
karena orang-orang-di
Wadena lebih gemuk dan hidupnya lebih santai.Hal
ini
akanberlaku bagi
bangsa-bangsalain,
terutamadi
negarayang tergolong
sangat berkembangseperti Singapura, Korea dan barangkali Indonesia. Contoh lain yang baikbahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh adalah di Mauritius, suatu negara kepulauan,
yang penduduknya
terdiri
dari berbagai kelompok etnik.Pada suatu penelitian epidemiologi yang dilakukan di sana
dengan
jumlah
responden sebanyak 5080
orang,
didapatkan prevalensiTGT
danDMTTI
seperti tertera padatabel
3.
Dari
tabel
tersebuttampak bahwa
pada bangsa-bangsa India, Cina dan Creole (campuranAfrika,
Eropa dan India) prevalensi DM jauh lebih tinggi daribaku
emas, padahal
di
negara asalnya prevalensiDM
sangatrendah.
Perlu diketahui
bahwa keadaan
ekonomi di
Mauritius untuk
golongan
etnik tadi jauh lebih baik
dibanding dengan di negara asalnya.Dari
dataini
semua dapatlah disimpulkan bahwa faktor lingkungan terutama peningkatan kemakmuran suatu bangsa merupakan faktorkuat yang
akan
meningkatkan
kekerapan
diabetes. Keadaanini
tentu saja harus diantisipasioleh
pembuat kebijaksanaandi
tiap
negara berkembang supaya dalam menentukan rencana j angka panj ang kebij akan.pelayanankesehatan
di
negaranya,
masalah
ini
harusdipertimbangkan.
DM
TIPE 2 DI INDONESIA
Menurut penelitian epidemiologi yang
sampai saatini
dilaksanakan
di
Indonesia, kekerapan diabetes di
Indonesia berkisar antara 1,4 dengart l,6%0, kecuali di dua tempat
yaitu di
Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3Yo dandiManado 6%o(Gambar
2).Di Pekajangan prevalensi
ini
agak tinggi disebabkandi
daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan
di
Manado, Waspadji menyimpulkanmungkin
angkaitu
tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari orang-orang yang datang dengan sukarela, jadi agaklebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geograf,r dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensidi Manado memang
tinggi,
karena prevalensi diabetesdi
Filipinajuga tinggi yaitu sekitat 8,4Yo sampai l2oh di daerah urban dan 3,85 sampai 9,7% didaerah rural.Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun I 993,
kekerapan
DM
di
daerah
urban
yaitu
di
kelurahan
Kayuputih adalah 5,69yo, sedangkan di daerah rural yangdilakukan oleh Augusta
Arifin6
di
suatu daerahdi
Jawa Barat tahun 199 5, angka itu hanyal,lyo. Di
sini j elas adaperbedaan antara
prevalensi
di
daerahurban
dengandaerah
rural. Hal
ini
menunjukkan bahwa
gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapidi
JawaTimur
angka itu tidak berbeda yait:u 1,43 %o
di
daetah urban dan1,47o/o
di
daerahrural. Hal
ini
mungkin
disebabkan tingginya prevalensi DiabetesMelitus
TerkaitMalnutrisi
(DMTM)
atau yang sekarang disebut diabetes tipe laindi
daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21 ,2% dari seluruh diabetes
di
daerah itu.Penelitian antara tahun 200
I
dan 2005 di daerah Depok didapatkan pevalensiDM
Tipe
2
sebesar l4.7Yo, sua1ut1876
METABOLIKENT'OKRINGambar 2. Prevalens DM di lndonesia
prevalensi diabetes
terakhir
tahun 2005 yang mencapai 125%. Pada tahun 2006, Departemen IlmuPenyakitDalamFakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan melakukan Surveilans Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular
di
Jakarta yang melibatkan 1591 subyek,terdiri dari
640laki-laki
dan 951 wanita. Survei tersebut melaporkan prevalensiDM
(unadjusted)dilima
wilayah
DKI
Jakarta sebesarl2,lo/o
detganDM
yang terdeteksisebesar 3,8olo dan DM yang tidak terdeteksi sebesar
ll,2%.
Berdasarkan data
ini
diketahui bahwa kejadianDM
yang belum terdiagnosis masih cukuptinggi,
hamper3x lipat
dari
jumlah
kasusDM
yang sudah terdeteksi.Melihat
tendensi kenaikan kekerapan diabetes secaraglobal yang
tadi
dibicarakan terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suafu populasi, makadengan
demikian
dapat dimengertibila
suatu saat ataulebih tepat
lagi
dalam kurunwaktu
I
atau 2 dekade yang akan datang kekerapanDM
di Indonesia akan meningkat dengan drastis.Ini
sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan olehWHO seperti
tampak pada
tabel
2,
Indonesia
akan menempatiperingkat nomor
5
sedunia denganjumlah
pengidap diabetes sebanyak 12,4 jtrta orang pada tahun 2025,
nak
2 tingkat dibanding tahun I 995.Untuk dapat meramal keadaan diabetes di masa datang
ada baiknya kita menyimak sedikit apa yang dilakukan oleh
ahli-ahli demografi di Indonesia.
Ananta
menyatakanbahwa
revolusi
demografi di
Indonesia adalah salah safu contohdi
mana perubahandemografik
tidak
perlu
menunggu
perubahan
sosioekonomi. Intervensi pemerintah
secara langsung dalam memperbaiki angkafertilitas
dan mortalitas jelasmempercepat proses transisi demografi. Angka kematian
bayi
menurun dan usia harapanhidup
orang Indonesiamakin
panjang. Piramida penduduk akan
mengalamiperubahan dari yang berbentuk kerucut (ekspansif) menjadi
lebih
berbentuk panjang, mendekati stasionerdi
mana penduduk usia dewasa dan lanjut usia lebih banyak dari pada keadaan tahun 1990. Dari segi diabetes halini
sangatmenarik
karena seperti
tadi
sudah dikatakan
bahwaumumnya DM Tipe 2 timbul setelah dekade 4. Ini berarti bila
nanti pada tahun 2020 menjadikenyataan jumlah pengidap diabetes akan mengalami ledakan yang luar biasa besarnya.
Kenaikan
ini
sungguh
sangat besardibandingkan
kenaikan seluuh penduduk dari I 80,3 8 3,697 orang meniadi
253,667,565 orang atau kenaikan hanya sebesar 40,6oh.
Selain
itu
penduduk perkotaanyang
padatahun
1990berjumlah 51,932,467 orang atau 28,79yo dari penduduk,
pada tahnn 2020 akan meningkat menjadi 132,465,221
oratg
Negara {995 Urutan Negara
2025(Juta)
(Juta) 1 2 J 4 5 6 7 o o 10 lndia Cina Amerika Serikat Federasi Russia Jepang Brazil lndonesia Pakistan Meksiko Ukraine Semualndia
57 2Cina
37 6Amerika
21I
Pakistan
14 519.4
116.0
213.9
38.9
46.3
54.9
64.5
74.3
83.8
I
3.6
10 49.7lndonesia
12.4Federasi
12.2 RussiaMeksiko
11.7Brazil
11 6Mesir
8.8Jepang
8.5 103.6 135.3t877
DIABETES MELITUS DI INDONESIA
atau 52,2%o dari semua penduduk. Hal lain yang menarik adalah
jumlah usia lanjut.
Penduduk
65 tahun
akanbertambah
daiT
,ljuta
pada tahun 1990 menjadi 18,5juta
pada tahun 2020. Jadi selama 30 tahun itu jumlah penduduk dengan usia lanjut akan bertambah sebanyakll,4
jutayang
menurut Ananta jumlah itu sama dengan jumlah penduduk Jakarta ditambah penduduk Yogya,saatini.
Kekerapandiabetes pada usia lanjut jauh lebih
tinggi
lagi bisa 4kali
lipat
darirata-rdta.Dari angka-angka tadi dapat diambil kesimpulan bahwa dalam jangka
waktu
30 tahun penduduk Indonesia akannaik
sebesar40o/,
dengan peningkatanjumlah
pasien diabetesyang
jauh lebih
besaryaitu
86-138o/o,yang
disebabkan oleh karena:.
faktor demografi: 1). Jumlah penduduk meningkat; 2). Pendudukusia lanjut bertambahbanya(
3). Urbanisasi makin takterkendali.
gaya hidup yang ke barat-baratan: 1)'Penghasilanpercapita
tinggi; 2). Restoran siap santap; 3). Teknologi canggihmenimbulkan
sedentarylife, ktttang
getakbadan
.
berkurangnya penyakit infeksi dan kuranggizi
.
meningkafirya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang.DM
TIPE LAIN
Salah satu
jenis
ini
adalah DiabetesMelitus Tipe
Lain. Jenisini
sering ditemukandi
daerahtropis
dan rrcgara berkembang. Bentuk ini biasanya disebabkan oleh adanyamalnutirisi disertai kekurangan protein yang nyata. Diduga
zat sia:nidayang terdapat pada cassava atau singkong yang
menjadi sumber karbohidrat di beberapa kawasan di Asia
dan
Afrika
berperan dalam patogenesisnya.Di
JawaTimur
sudah dilakukan survei dan didapatkan bahwa prevalensi
diabetes
di
pedesaanadalah
l,47yo
samadengan
di
perkotaan (1,43%). Sebesar
2l,2yo
dari kasus diabetesdi
pedesaan adalah jenis ini. Diabetes jenis
ini
di masa datangmasih
akan banyak, mengingatjumlah
penduduk yangmasih berada di bawah kemiskinan yang masih tinggi.
Dulu
jenis ini disebut Diabetes Terkait Malnutrisi (MRDM), teapi oleh karena patogenesis jenisini
tidak jelas maka jenisini
padaklasifikasi
terakhir (1999) tidak lagi disebut sebagaiMRDM
tetapi disebut Diabetes Tipe Lain.Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang
timbul
selamakehamilan.
Ini meliputi
2-5o/o dalrr seluruh diabetes. Jenisini
sangat penting diketahui karena dampaknya padajaninkurang
baik bila tidak
ditangani
dengan benar.Adam
mendapatkan prevalensi diabetes gestasi sebesar
2-2,6'h
dari wanita
hamil.
Karena pentingnya. masalahini
akan dibicarakan lebih lanjut dalam bab tersendiri.Langkah-langkah
yang
Dapat Dikerjakan
Mengingat
jumlah
pasienyang
akan membengkak dan besarnya biaya perawatan pasien diabetes yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yangpaling
baik
adalah pencegahan.Menurut WHO tahun
1994,tpaya
pencegahan padadiabetes
adatigajenis
atau tahap yaitu:Pencegahan
primer.'
Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegahtimbulnya hiperglikemia
padaindividu
yangberisiko untuk
jadi
diabetes ata.upadapopulasi umum. Pencegahan sekunder.' Menemukan pengidapDM
sedinimungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada
populasi
risiko tinggi,
Dengan demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat dilakukan upaya untuk mencegahkomplikasi
atau kalaupun sudah adakomplikasi
masih reversibel,Pencegahan
tersier.
Semuaupaya
untuk
mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu' Usahaini
meliputi:.
mencegahtimbulnyakomPlikasi.
mencegah progresi dari padakomplikasi itu suptiyatidak menj adi ke gagalan organ.
mencegah kecacatan tubuhDalam hal
ini
Indonesia cukup beruntung karena sejak tahun 1993 PERKENI telah menyusun dan memberlakukankonsensus
pengelolaan
diabetes
di
Indonesia
yang
ditandatangani oleh seluruh ahli dibidang diabetes. Di dalam
buku konsensus
itu
sudah dicanangkan bahwa pencegahan adalah upaya yang harus dilaksanakan sejak dini. Mengenai pencegahanini
ada sedikit perbedaan mengenai definisi pencegahanyang tidak terlalu
mengganggu. Dalam
konsensus yang mengacu ke pada
WHO
1985, pencegahanada 3
jenis
yaitu
pencegahanprimer berarti
mencegahtimbulnya hiperglikemia, pencegahan sekunder mencegah
komplikasi
sedangkan pencegahantersier
mencegahkecacatan akibat komplikasi. Menurut laporan
WHO
1994 pada pencegahan sekunder termasuk deteksidini
diabetesdengan
skrining,
sedangkan mencegah
komplikasi
dimasukkan ke dalam pencegahan tersier.
Strategi
Pencegahan
Dalam menyelenggarakan rtpaya pencegahan
ini
diperlukan
suatu strategi yang efisien danefektif
untuk mendapatkanhasil yang
maksimal'
Sepertijuga
pada pencegahan penyakit menulal
ada2macam strategiuntuk
dij alankan, antara lain :Pendekatan p opulasi/masy ar akat (p op ulatio n/c omm