• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ilmu Jarh wat Ta dil sebagai Kriteria dalam Klasifikasi Hadis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ilmu Jarh wat Ta dil sebagai Kriteria dalam Klasifikasi Hadis"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

dalam Klasifikasi Hadis

H. Husin Abdul Wahab

Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Abstrak:

Artikel ini mendiskusikan tentang ilmu jarh wat ta’dil. Ilmu ini berkaitan erat dengan penerimaan sebuah Hadis. Pertanyaan bahwa apakah sebuah Hadis dan diterima dan operasional memang cukup mengusik pada muhadditsin. Ada dua tolok ukur yang dipakai untuk memutuskan keberterimaan sebuah Hadis: kritik matan atau disebut juga kritik internal (naqdun dakhiliyun) dan kritik sanad atau kritik eksternal (naqdun kharijiyun) karena tidak menyasar materi pokok hadis langsung. Jarh wat ta’dil sendiri membahas periwayat, yakni keadaan serta kadar keteper-cayaan mereka. Meski hanya menjadi bagian dari kritik eksternal, jarh wat ta’dil banyak dipakai untuk mengklasifikasikan Hadis, bahkan seolah menjadi pertimbangan utama.

Kata Kunci: Jarh wat ta’dil, perawi, klasifikasi Hadis, adil.

A. Pendahuluan

Ketika Nabi Muhammad masih hidup, dialah yang menjadi pembimbing agama dan politik satu-satunya bagi kaum Muslimin. Bimbingan itu dilakukan melalui dua hal: wahyu Alquran maupun ucapan-ucapan Nabi sendiri di luar Alquran serta tingkah lakunya. Di luar sisi positifnya, sifat Nabi yang otoritatif dalam menafsirkan agama itu kelak dianggap berekses “negatif”.

(2)

Pertama, sebagaimana kata Helmut Gatje di dalam Koran and it’s Exegesis, sifat otoritatif itu menimbulkan argumen-argumen

dogmatis kental dalam masyarakat Islam awal. Itu pada gilirannya membuat problem tafsir agama tak muncul ke permukaan. Segala sesuatunya telah tersedia pada Nabi dan untuk apa dipikirkan atau dimetodologikan.1

Karena itu, kedua, apa yang disebut oleh Fazlur Rahman sebagai “abad metodologi” muncul setelah masa Islam awal atau setelah Nabi wafat, sekira 50-150 H atau 670-767 M.2 Ketika bimbingan Nabi yang

berlimpah terputus, pertanyaan yang segera menyergap kaum Muslimin adalah kepada siapa argumen keagamaan mesti didapatkan? Pertanyaan ini, di dalam sejarah, menimbulkan riuh tikai yang tak mudah dilerai di kalangan kaum Muslimin. Pada masa itulah muncul berbagai aliran atau mazhab teologi serta fiqh tahap pertama.3

Manifestasi pertama dari fenomena tersebut muncul Hadis atau Tradisi Nabi yang kemudian dikumpulkan dalam seri kumpulan-kumpulan. Enam di antaranya, yang ditulis pada abad ke-3 H/9 M, dianggap sebagai sumber “otoritatif” kedua setelah Alquran, sebagai “pengganti” Nabi yang wafat. Mayoritas kaum Muslimin memegangi bahwa Hadis benar-benar mencerminkan perkataan-perkataan dan perbuatan Nabi selama masih hidup.

Dalam kenyataannya, pada “abad metodologi” itu, mencari “Hadis yang benar-benar mencerminkan perkataan dan perbuatan Nabi” tidaklah mudah. Salah satu metodologi yang dipakai adalah

jarh wat ta’dil atau di sini disamakan dengan istilah falsifikasi dan

verifikasi dalam metodologi ilmu. Bedanya, pembuktian salah atau benar dalam jarh wat ta’dil hanya dilihat dari sisi tokoh atau rijal. Inilah yang kemudian sering dikatakan bahwa jarh wat ta’dil merupakan bagian dari ilmu rijal hadis atau subilmu hadis yang membahas tentang tokoh-tokoh hadis.

Makalah ini berambisi membahas beberapa aspek jarh wat ta’dil dalam ilmu hadis dan mengemukakan sedikit diskusi ulama tentangnya.

(3)

B. Jarh wat Ta’dil

Jarh atau tajrih secara etimologi adalah “melukai tubuh atau yang

lain menggunakan benda tajam, pisau, pedang, dan sebagainya”. Luka yang disebabkan benda-benda itu dinamakan jurh. Jarh juga sering diartikan sebagai “memaki dan menistai”, baik secara terang-terangan maupun tidak. Menurut istilah, jarh adalah “menyebut sesuatu yang mengakibatkan seorang perawi atau transmitter cacat”. Sesuatu itu adalah aib atau nista yang menyebabkan riwayatnya ditolak.4

Sebaliknya ta’dil menurut bahasa adalah “menyamaratakan, mengimbangi sesuatu dengan yang lain dan menegakkan keadilan atau berlaku adil”. Menurut istilah, ta’dil adalah “menerakan sifat-sifat adil pada perawi yang membuat riwayatnya diterima”.5

Mengutip dari Imam Hakim dalam Ma’rifah Ulum al-Hadits, Subhi as-Shalih memberi pengertian jarh wat ta’dil sebagai ilmu yang “membahas mengenai para perawi, sekitar masalah yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafaz-lafaz tertentu”.6

Dari pengertian-pengertian tersebut, jelas bahwa jarh wat ta’dil berkaitan erat dengan penerimaan sebuah Hadis. Pertanyaan bahwa apakah sebuah Hadis dan diterima dan operasional memang cukup mengusik pada muhadditsin. Ada dua tolok ukur yang dipakai untuk memutuskan keberterimaan sebuah Hadis.

Pertama, tolok ukur matan atau materi pokok Hadis. Kritik matan sering juga disebut kritik internal (naqdun dakhiliyun) karena memeriksa sebuah hadis berdasarkan materi pokoknya. Kedua, tolok ukur sanad, menyangkut cara periwayatan, sah-tidaknya periwayatan, keadaan perawi atau transmitter serta kadar ketepercayaan mereka. Kritik ini disebut juga kritik eksternal (naqdun kharijiyun) karena tidak menyasar materi pokok hadis langsung.7

Dua tolok ukur itu menjadi pertimbangan penting dalam melihat kualitas hadis. Bila sebuah hadis dengan sanad memadai, seperti cukup periwayat, periwayat berkualitas, jalan transmisi tidak tunggal, serta matan hadis tidak bertentangan dengan ketentuan Allah dan Alquran, hadis juga berkualitas. Kedua tolok ukur tersebut berpadu dan tak terpisahkan dalam sebuah penilaian hadis. Namun karena

(4)

jarh wat ta’dil hanya membahas periwayat, yang tentu saja bagian

dari naqdun kharijiyun, di sini hanya akan dikemukakan tolok ukur periwayat tersebut.

C. Tolok Ukur Periwayat

Ada empat syarat yang harus dipenuhi periwayat agar riwayatnya dapat diterima, yakni berakal, cakap (dhabith), adil (‘adalah), dan Islam.8 Bila periwayat tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat

itu, Hadis yang dia riwayatkan dapat ditolak dan tidak dipakai. Para kritikus Hadis, baik angkatan lama atau baru, menyepakati bahwa syarat-syarat tersebut memerlukan penjabaran lebih lanjut.

Dari angkatan lama, Syu’bah bin al-Hajjaj (160 H) mengatakan bahwa ada dua syarat yang harus dipenuhi seorang perawi, yakni

dhabith dan adil. Syu’bah merinci syarat-syarat itu,

Orang yang meriwayatkan suatu Hadis dari orang-orang terkenal yang justru tidak mereka kenal, Hadisnya tidak terpakai. Atau apabila dia salah memahami suatu hadis. Atau bila dia sering melakukan kesalahan-kesalahan. Atau jika meriwayatkan sebuah hadis yang oleh banyak orang disepakati salah. Maka hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang seperti itu tidak perlu dipakai. Adapun selainnya boleh diriwayatkan.9

Mengapa syarat Islam dan berakal tidak masuk? Menurut Subhi as-Shalih, kedua syarat tersebut sudah mutlak dan Syu’bah merasa tidak perlu menyebutkannya lagi. Bisa dikatakan orang yang adil adalah orang Islam dan cermat atau dhabith sudah dipastikan berakal. Di antara keempat syarat tersebut, adil (’adalah) yang paling banyak diperdebatkan. Perawi yang adil bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi terhadap urusan agama, bebas dari fasik dan hal yang merusak kepribadian. Al-Khatib al-Bughdadi mendefinisikan adil sebagai:

Yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkan kepadanya, dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barangsiapa dapat

(5)

mempertahankan sifat-sifat tersebut ia bisa disebut bersikap adil terhadap agamanya, dan hadis-hadisnya diakui kejujurannya.10 Adil juga menyangkut ukuran-ukuran moral. Khatib mengutip Hadis Nabi berikut:

Orang yang bergaul dengan manusia tanpa bersikap lalim, yang berbicara tanpa berdusta, dan yang berjanji tanpa menyalahinya. Itulah orang yang sempurna kepribadiannya, yang harus diakui keadilannya, yang wajib dianggap saudara, dan yang tidak boleh dipergunjingkan.11 Karena menyangkut persoalan moral juga, maka pelanggar hal yang berlaku lazim di muka umum seperti bersantai di jalan, makan di pasar, suka bersenda-gurau, juga sering dianggap mengurangi sifat keadilan. Demikian pula yang suka mengumbar nafsu dan membuat bidah, keadilannya dianggap kurang.12

D. Tak Ada Beda Periwayat Lelaki dan Perempuan

Yang menarik, dari perspektif feminisme, syarat-syarat tersebut tak membedakan antara lelaki dan perempuan. Dengan kata lain, dari jenis kelamin mana pun, asal memenuhi empat syarat di atas, hadisnya bisa diterima. Dan dalam sejarah memang periwayat perempuan tidak sedikit.

Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), salah seorang imam mazhab terkemuka, menulis satu jilid khusus hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat perempuan (sahabiyat) dalam Musnad-nya. Dari catatan Hanbal terdapat 125 sahabiyat dari sekitar 700 periwayat hadis pada periwayatan pertama (al-rawi al-a’la). Jumlah tersebut sama dengan 18 persen dari jumlah sahabiyat pada masa Nabi.13

Karya lain, yaitu al-Isabah fi Ma’rifah al-Ashab-nya Ibn Hajar al-Asqalani, juga mencatat sejumlah biografi sahabiyat. Menurut Mahmud Atthahan, jumlah sahabiyat dalam karya al-Asqalani tersebut adalah 1.522 di antara 12.267 biografi periwayat. Ini berbeda dengan hitungan Roded atas karya tersebut yang menurutnya sebanyak 1.551 sahabiyat dari jumlah keseluruhan 12.304.14

Perbedaan penghitungan tersebut wajar karena tarajim (biografi) yang ditulis al-Asqalani tidak seluruhnya ditulis per item, melainkan

(6)

kebanyakan bersifat naratif dengan menyebutkan banyak tokoh yang saling terkait dalam satu item.

Jumlah yang disebutkan di atas sesungguhnya ingin mengatakan bahwa terdapat fakta konkret perempuan pada masa awal Islam mengambil peran signifikan dalam transmisi hadis. Harus diakui memang peran itu memudar pada masa setelah sahabat (tabi’in) yang dalam catatan Ibn Hibban hanya sekitar 90 perempuan atau 1,9 persen dari keseluruhan tabi’in periwayat hadis.15 Penurunan jumlah

ini bukan berarti secara intelektual perempuan lebih rendah dari laki-laki atau adanya kelemahan dari yang mereka riwayatkan, melainkan lebih pada adanya faktor sosial-politik yang memengaruhi.

Faktor sosial-politik dimaksud adalah adanya perdebatan tajam antara kalangan muhaddisin (ahli hadis) dan kalangan fuqaha (ahli fikh). Para ahli hadis menyepakati bahwa dalam periwayatan tidak ada ketentuan periwayat harus dari jenis kelamin tertentu, melainkan yang lebih penting adalah faktor ‘adalah (keadilan) dan dhabith (kekuatan daya ingat). Para ahli hadis tidak memandang kedua hal ini ada pada satu jenis kelamin tertentu, tetapi baik laki-laki atau perempuan mempunyai potensi keadilan dan daya ingat yang sama. Alhasil, tidak masalah apakah laki-laki atau perempuan yang meriwayatkan hadis.

Hal tersebut sangat berbeda dari yang disepakati dalam fikh (klasik) bahwa persyaratan diterimanya suatu berita harus memuat kriteria zukurah ([ke]lelaki[an]) dan hurriyah (merdeka). Kriteria

zukurah memandang perempuan kurang kuat ingatannya dan sering

emosional sehingga dikhawatirkan akan menyelewengkan berita (persaksian). Karena itu, berita bisa diterima jika mengganti zukurah dengan dua perempuan. Di samping itu, dalam fikh, perempuan juga kurang dipandang memiliki kemerdekaan. Dalam fikh privat atau personal (al-ahwal al-syakhsiyah) perempuan belum bersuami selalu bergantung pada orangtuanya, sementara setelah bersuami

kemerdekaannya bergantung pada suaminya.16

Memang perdebatan muhaddisin dan fuqaha tersebut tetap tidak menyurutkan ahli hadis untuk menerima periwayatan

(7)

perempuan, tetapi efek sosial ketetapan hukum (fikh) tentu akan berakibat sangat luas.

E. Bolehkah Mencela Periwayat?

Karena menyebarkan aib orang lain atau mencela orang lain tidak dibenarkan di dalam Islam, pertanyaannya apakah mencela periwayat atau tajrih dibolehkan? Hasbi as-Shiddieqi mengatakan bahwa mencela periwayat termasuk mencela yang dibolehkan.

Dengan mendasarkan pada al-Ghazali di dalam Ihya’ Ulumiddin dan a-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin-nya, Hasbi mencatat enam alasan kebolehan celaan seperti itu, yang semuanya didasarkan pada alasan kepentingan agama.17

Pertama, teraniaya. Bila teraniaya, boleh mengatakan kepada

penegak hukum bahwa telah teraniaya. Kedua, meminta bantuan menolak kemungkaran. Di sini seseorang boleh melaporkan kepada penguasa bahwa seseorang telah berbuat sesuatu untuk ditegur.

Ketiga, meminta fatwa. Seseorang yang meminta fatwa kepada

seorang mufti, boleh mengatakan orang lain telah berbuat sesuatu kepadanya demi memeroleh kepastian hukum atas perbuatan tersebut.

Keempat, menghindarkan diri dari kejahatan. Di dalam hukum,

mencela saksi di hadapan hakim bahkan wajib demi memeroleh hukum yang benar. Termasuk di sini juga mencela perawi yang memang harus dicela. Kelima, karena bidah. Di sini pelaku bidah boleh dicela secara terbuka agar perbuatannya tak diikuti orang lain.

Keenam, memperkenalkan pribadi yang sebenarnya. Alasannya

hampir sama dengan poin sebelumnya, yakni agar kesalahan atau cacat yang diperbuat tak diikuti.

Namun demikian, tetap saja mencela tidak boleh lebih dari kadar keperluan. Di sini, di luar persoalan periwayatan atau mencela pribadi juga tidak dibolehkan.18 Dan perlu dikemukakan bahwa “kadar

keperluan” juga berarti bahwa celaan diperlukan hanya dalam transmisi sejak Nabi hingga pencatat hadis. Menurut Hasbi, jarh dan

(8)

ta’dil diperlukan karena sebelum dicatat, hadis menyebar secara lisan.

Di sini jarh dan ta’dil diperlukan untuk mengetahui mana hadis yang bisa diterima dan mana yang ditolak.19

Meski dibolehkan, tampaknya para kritikus hadis dalam aktivitas

tajrih dan ta’dil tetap berhati-hati, setidaknya agar tak keluar dari

“di luar keperluan”. Karena itu, dalam catatan Subhi as-Shalih, di dalam buku-buku yang membahas tentang sifat adil dan cacat rawi, penulisnya jarang mengemukakan sebab-sebab kecacatan rawi. Paling banyak para penulis itu hanya mengatakan, si pulan lemah (dha’if), si pulan sama sekali bukan apa-apa, si pulan harus diabaikan, dan sebagainya.20

Yang tak boleh dilupakan juga, ada syarat-syarat tertentu bagi

mu’addil atau jarih. Hasbi mencatat antara lain harus berilmu, takwa, wara’, jauh dari ta’ashub, dan tahu persis sebab-sebab jarh dan ta’dil.

Bila tidak demikian, kata Hasbi, jarih dan ta’dil-nya tidak dapat diterima.

F. Ketika Jarh dan Ta’dil Bertentangan

Dalam prosesnya, penilaian jarh dan ta’dil terhadap seorang perawi bisa saling bertentangan. Bisa jadi seseorang mengatakan perawi A cacat dan orang lain men-ta’dil-kannya. Bila hal tersebut terjadi, menurut Ibn Shalah, al-Razy, dan al-Amidy, sebagaimana dikutip Hasbi as-Shiddieqy, yang lebih diprioritaskan adalah penyimpulan

jarh. Hal itu berlaku juga meski yang melakukan ta’dil jauh lebih

banyak ketimbang yang menilai jarh. Itu dikarenakan orang yang menilai jarh punya pengetahuan (bahwa si perawi cacat) yang tidak dipunyai yang menilainya sebagai adil.21

Namun al-Khatib berbeda pendapat. Di dalam al-Kifayah dikaakan bahwa jika jumlah yang memandang adil lebih banyak, ta’dil didahulukan. Itu karena jumlah yang banyak menguatkan pendapat keadilannya dan mengharuskan kita menghargai pendapat yang banyak itu. Al-Khatib bahkan mengatakan, sejumlah orang yang memandang seorang perawi sebagai adil, tidak mempersoalkan

(9)

kecacatannya. Di sinilah kemudian, kata al-Khatib, memegangi ta’dil mesti didahulukan ketimbang memandangnya sebagai jarh, dengan syarat jumlah pen-ta’dil lebih banyak.22

Ilmuwan lain, yakni al-‘Iraqi dan al-Sayuthi di dalam at-Tadrib mengatakan, jika jarh dan ta’dil bertentangan, keduanya tidak ada yang kuat (dan dipegangi), kecuali jika ada penguat.23 Pendapat ini

secara implisit mengatakan bahwa di dalam aktivitas tajrih atau ta’dil, yang tak boleh dilupakan adalah argumen atau penguat. Dan di sini keduanya memandang argumen yang terkuatlah yang kemudian diambil, meski jumlah yang berpendapat demikian sedikit. Al-Suyuthi mengatakan, jarh lebih didahulukan atas ta’dil jika diterangkan penyebabnya, walau yang mengadilkan lebih banyak.24 Penyebab

perlu digarisbawahi. Artinya, argumen menjadi penting dan tak boleh diabaikan.

Persoalan tentang jarh dan ta’dil juga menyangkut periwayatan oleh seseorang yang adil (misal A) dari orang lain (B) apakah menunjukkan sebuah ta’dil dari A terhadap B? Mayoritas memandang tidak dan bisa jadi atau bukan masalah seseorang meriwayatkan dari orang yang tidak adil. Karena itu riwayatnya juga bukan merupakan pernyataan ta’dil dari A terhadap B.25

Namun sebagian al-Syafiiyah memandang berbeda. Menurut mereka, periwayatan oleh A dari B menunjukkan bahwa A mengakui B sebagai adil.26 Itu karena tidak mungkin A mau meriwayatkan

sebuah hadis dari orang yang dia anggap tidak kredibel.

G. Para Sahabat: Semua Adil?

Di dalam studi hadis, perdebatan tentang keadilan sahabat (‘adalatus

sahabah) menjadi topik menarik, termasuk menjadi diskusi

kontemporer, terutama atas pertanyaan apakah mereka semua adil dan tak ada yang cacat (jarh). Tapi siapakah yang dimaksud dengan sahabat? Di dalam hadis, sahabat adalah orang yang pernah sekelompok transmitter pertama, yang mentransmisikan hadis dari Nabi langsung. Di sini disyaratkan bahwa sahabat adalah orang yang

(10)

pernah bergaul dengan Nabi atau melihatnya, beriman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan Islam. Namun di dalam studi hadis, tidak semua orang itu dinamakan sahabat. Unsur pembeda atau ciri terpenting adalah sahabat yang meriwayatkan hadis.27

Kalau di dalam penelitian hadis konsep ‘adalah perlu dilihat untuk menjamin sebuah hadis, dengan ‘adalah setiap generasi (thabaqat) perlu dibuktikan, tidak demikian dengan sahabat. Mereka telah dijamin sebagai adil oleh Allah dan Nabi.28 Jaminan ini

kemudian menjadi titik krusial diskusi.

Ahmad Amin di dalam karangannya yang terkenal, Fajrul Islam, menyatakan tentang keadilan sahabat:

Kebanyakan kritikus hadis menilai semua sahabat adil baik secara garis besar maupun rinci, sehingga para kritikus itu tidak akan mengenakan keburukan (jarh) sedikit pun kepada para sahabat. Tak seorang pun dari sahabat itu yang dinisbatkan pada kebohongan. Sedikit saja dari kritikus yang memperlakukan para sahabat sama seperti mereka memperlakukan yang lain. Intinya, yang dilakukan sebagian besar para kritikus hadis, terutama yang kemudian, adalah menganggap semua sahabat sebagai adil dan tidak menuduh satu pun dari mereka berbohong atau memalsukan sesuatu. Mereka hanya mengkritik generasi sesudah sahabat.29

Menurut Musthafa as-Siba’i, apa yang menjadi pangkal kritik Ahmad Amin adalah hal yang telah disepakati para tabi’in dan setelahnya, bahkan kelompok terbesar kaum Muslimin serta kritikus hadis. Mereka membebaskan semua sahabat dari sifat tak adil serta dusta. Yang menyimpang dari penilaian itu terdiri atas kaum Khawarij, Mu’tazilah, dan Syi’ah.

Dari kedua pandangan itu, tampak bahwa baik Amin maupun as-Syiba’i sama-sama sepakat soal urgensi konsep ‘adalah dalam studi hadis. Dengan melewati ujian keadilan (ta’dil, yang berarti sekaligus

tajrih), periwayatan hadis memeroleh legalitas keasliannya. Yang

berbeda hanya as-Syiba’i berpegang pada konvensi kritikus hadis yang menyepakati semua sahabat sebagai adil, sementara Amin tidak demikian. Balasan kritik as-Syiba’i menarik disimak, walau sebagian hanya bicara soal “kulit” tanpa menyentuh isi persoalan yang dikritik

(11)

Amin.30

Yang paling mengena barangkali argumen Amin yang dipinjam dari al-Ghazali bahwa sedikit sekali para kritikus hadis memperlakukan para sahabat seperti mereka memperlakukan atas yang lain. Padahal, al-Ghazali sendiri termasuk pembela “mazhab”

as-sahabah kulluhum ‘udul. Demikian pula “yang sedikit” yang

mengkiritk sahabat bukanlah dari kritikus hadis, melainkan sekelompok golongan yang dalam sejarah Islam mempunyai fanatisme terhadap sebagian sahabat atas yang lain.31

Meski demikian, kritik dari Amin tak boleh diabaikan. Setidaknya Amin mengingatkan kepada kita untuk tidak menerima begitu saja klaim tertentu dan memeriksanya ulang. Amin bahkan mengemukakan fakta penting, semisal “para sahabat sendiri pada zaman mereka saling mengkritik, sebagian mengkritik dan sebagian dikritik.”32 Dan tanggapan as-Syiba’i adalah sebentuk pelurusan

bahwa kritisisme mestinya tetap berangkat dari fakta. Di sini, sekali lagi, keduanya meneguhkan bahwa aktivitas kritik tajrih dan ta’dil tidak boleh mengabaikan argumen.

H. Penutup: Jarh wat Ta’dil dan Kriteria Hadis

Kriteria-kriteria yang diperiksa melalui tajrih dan ta’dil, terutama kriteria adil (‘adalah), tidak hanya terkait dengan sebuah hadis diterima atau ditolak, melainkan juga menjadi dasar penamaan hadis. Dalam banyak kategorisasi hadis, yang menurut Ibn Shalah jumlahnya lebih dari 65 jenis,33 kriteria berdasarkan keadaan perawi

atau transmitter sangat menentukan—meski tak dimungkiri juga ada kriteria berdasarkan matan atau materi hadis.

Pengertian hadis sahih, misalnya, adalah “hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama sampai berakhir pada Rasulullah saw atau kepada sahabat atau kepada tabi’in, bukan hadis yang syaz (kontroversial) dan terkena

illat, yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.”34 Jelas definisi

(12)

ta’dil.

Kriteria kualitas perawi juga tampak dari definisi hadis hasan (adil tapi ingatan tak terlalu kuat) serta hadis dha’if (periwayatnya lemah). Kriteria dengan kuantitas perawi, seperti hadis mutawatir,

masyhur, atau ahad, juga merupakan pembagian berdasarkan perawi

yang tentu awalnya dengan melihat kualitasnya (berangkat dari jarh dan ta’dil).

Begitu pula pembagian seperti majhul, maqbul, maudhu’mu’dal,

mutharib, munkar, mursal, dll. Demikianlah, kriteria jarh dan ta’dil

menjadi penting diketahui dalam disiplin ilmu hadis. Wallahu a’lam.

Catatan:

1. Seperti dikutip Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 50.

2. Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 51.

3. Rahman, Islam. Tentang “kelahiran” fiqh, bandingkan dengan Faisar Ananda Arfa, “Debat sekitar ‘Hari Lahir’ Hukum Islam”, dalam Ulumul Quran Nomor 1 Vol VI 1995, hlm. 52-59. Tulisan Faisar menarik karena mendiskusikan perdebatan dari para orientalis seperti JND. Anderson, Joseph Schacht, dan Goitein.

4. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, cet. IV 1999), hlm. 326. 5. ash-Shiddieqy, Sejarah, hlm. 326-327.

6. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. V 2002), hlm. 112-113.

7. ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, hlm. 327. 8. ash-Shiddieqy, Membahas, hlm. 124.

9. Dikutip oleh Subhi, Membahas, hlm. 124. 10. Seperti dikutip Subhi, Membahas, hlm. 127. 11. Subhi, Membahas, hlm. 128.

12. Subhi, Membahas, hlm. 130-131.

13. Ruth Roded, Kembang Peradaban: Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi Muslim (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 17.

14. Roded, Kembang Peradaban, hlm. 18. 15. Roded, Kembang Peradaban, hlm. 11.

16. Yang pertama misalnya dalam ekspresi persetujuan perkawinan serta harus sepengetahuan orangtua (wali) ketika menikah; ini sangat berbeda dengan laki-laki. Sementara yang kedua dapat dilihat pada, misalnya, bagaimana fikh mengatur kepatuhan istri terhadap suami, seperti istri tidak boleh keluar dari tempat tidurnya tanpa seizin suaminya, demikian

(13)

juga ketika ia akan berpuasa sunat.

17. ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, hlm. 329-330. 18. ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, hlm. 331. 19. ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, hlm. 331. 20.Subhi, Membahas, hlm. 131.

21. ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, hlm. 334. 22. ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, hlm. 334-335. 23. ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, hlm. 335. 24. ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, hlm. 335. 25. ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, hlm. 335. 26. ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, hlm. 335.

27. Subhi, Membahas, hlm. 325-330. Lihat juga thabaqat lain dalam halaman-halaman setelahnya.

28.Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan asl-Sunnah (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 189.

29. Ahmad Amin, Fajrul Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1975), hlm. 216.

30.Misalnya kalau Amin mengatakan bahwa “sebagian besar” kritikus memandang sahabat adil, as-Syiba’i membalasnya dengan (padahal) “semua”.

31. Erfan, Menguak, hlm. 191-192. 32. Erfan, Menguak, hlm. 194.

33. Ibn Shalah lebih lanjut mengatakan bahwa jumlah 65 “bukan jumlah maksimal. Masih banyak lagi jenis yang tidak terhitung, sesuai dengan tidak terhitungnya keadaan rawi berikut sifat-sifatnya, keadaan matan berikut sifat-sifatnya.” Lihat dalam Subhi, Membahas, hlm. 140. 34. Subhi, Membahas, hlm. 141. Lihat juga halaman-halaman setelahnya.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad, Fajrul Islam (Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah, 1975).

Arfa, Faisar Ananda, “Debat sekitar ‘Hari Lahir’ Hukum Islam”, dalam

Ulumul Quran Nomor 1 Vol VI 1995.

Rahman, Fazlur, Islam (Bandung: Pustaka, 1984).

Roded, Ruth, Kembang Peradaban: Citra Wanita di Mata Para

Penulis Biografi Muslim (Bandung: Mizan, 1999).

Saenong, Ilham B., Hermeneutika Pembebasan (Jakarta: Teraju, 2002).

ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar

Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, cet. IV 1999).

as-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. V 2002).

Soebahar, Erfan, Menguak Fakta Keabsahan asl-Sunnah (Bogor: Kencana, 2003).

Referensi

Dokumen terkait