• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNIK PENGANGGARAN UNTUK PERENCANAAN SOSIAL? Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEKNIK PENGANGGARAN UNTUK PERENCANAAN SOSIAL? Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP?"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNIK PENGANGGARAN UNTUK PERENCANAAN SOSIAL ?

Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP ?

1. Pengantar

Penyusunan rencana pembangunan yang tidak didukung oleh pemahaman dan penguasaan aparat akan proses dan mekanisme penganggaran seringkali mengakibatkan kegagalan dalam pelaksanaannya. Betapapun, dana yang berasal dari anggaran pemerintah merupakan motor utama penggerak pembangunan di daerah. Oleh sebab itu, mudah dipahami bahwa para perencana harus memiliki kemampuan dan keterampilan teknis yang memadai di bidang teknik-teknik penganggaran. Dari sisi pemerintah, perencana yang kurang mampu meyakinkan para perumus kebijakan di daerah mengenai alokasi anggaran untuk program sosial tertentu pasti tidak akan berhasil mengupayakan dukungan dana sekalipun banyak aspek yang menunjukkan begitu pentingnya program tersebut. Dari sisi masyarakat, perencana yang kurang paham mengenai sistem alokasi anggaran, sistem monitoring dan evaluasi serta akuntabilitasnya akan sulit menjamin tercapainya tujuan dari program sosial yang telah dirancang dengan susah-payah.

2. Masalah Umum Keuangan dan Anggaran Daerah di Indonesia

Untuk memahami mekanisme dan hal- hal teknis yang menyangkut anggaran publik dalam perencanaan sosial di daerah, para perencana hendaknya memiliki wawasan yang utuh mengenai agenda persoalan keuangan publik (public finance) di Indonesia. Masalah keuangan publik tersebut barangkali sudah menjadi wacana umum yang dipahami sebagai masalah dasar oleh kebanyakan birokrat di setiap jenjang pemerintahan, tetapi justru dari sinilah pentingnya pemahaman mengenai kendala ekonomi-politik yang harus dihadapi dalam rangka melaksanakan fungsi anggaran publik. Sebagaimana dikemukakan oleh Musgrave & Musgrave (1969), anggaran publik memiliki tiga fungsi pokok, yaitu: alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Dalam kaitannya

? Materi ini disampaikan pada Pelatihan Perencanaan Pembangunan Sosial-Budaya Provinsi Maluku Utara. Ternate, 14-21 Januari 2008.

(2)

dengan perencanaan sosial, ketiga fungsi ini sangat besar peranannya dalam upaya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat di daerah. Tetapi konteks ekonomi-politik yang ada di Indonesia masih mengalami banyak kendala. Berik ut ini adalah beberapa masalah pokok keuangan dan anggaran daerah tersebut.

a. Kebutuhan anggaran (fiscal need) dan kapasitas anggaran (fiscal capacity) tidak seimbang.

Sebagian besar anggaran pemerintah daerah di Indonesia sebenarnya dalam kondisi yang tidak sehat karena lebih dari 80% pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota, menghadapi masalah celah fiskal (fiscal gap) antara kebutuhan dan kapasitas anggaran. Rekrutmen pegawai yang kurang memperhatikan beban kerja Pemda serta kebijakan daerah yang kurang bijaksana seringkali memperburuk persoalan ini.

b. Berkurangnya subsidi dari pusat sesuai dengan kebijakan otonomi daerah.

Seiring dengan kebijakan desentralisasi dengan terbitnya UU No.22/1999 yang selanjutnya diganti dengan UU No.32/2004, pemerintah memberikan konsesi yang lebih luas kepada daerah dalam bentuk bagi hasil sumberdaya alam. Tetapi pada saat yang sama kemampuan pemerintah pusat untuk memberikan subsidi kepada pemerintah daerah semakin terbatas.

c. Tanggapan negatif atas layanan publik yang mengakibatkan rendahnya ketaatan membayar pajak/retribusi.

Otonomi daerah sering ditafsirkan oleh banyak pejabat daerah sebagai kesempatan untuk meningkatkan pendapatan daerah sebesar-besarnya yang tidak diimbangi dengan perbaikan dalam pelayanan publik. Akibatnya, ketaatan untuk membayar pajak/retribusi diantara para wajib pajak di daerah sulit ditingkatkan karena kurang adanya keyakinan masyarakat (public consent) akan program-program yang dijalankan oleh pemerintah daerah.

d. Lemahnya infrastruktur, sarana, dan sumberdaya manusia.

Untuk menciptakan sistem keuangan dan mekanisme penganggaran yang baik, daerah seringkali mengalami kendala dalam hal infrastruktur, sarana, maupun sumberdaya manusia. Setelah mengalami masa sentralisasi selama puluhan tahun, banyak pengembangan infrastruktur yang kurang sesuai dengan kebutuhan daerah

(3)

sedangkan sarana dan sumberdaya yang dimiliki oleh daerah senantiasa ketinggalan.

e. Potensi PAD belum mencerminkan kondisi riil.

Meskipun potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di banyak daerah sangat besar, tetapi hasil pemasukan yang diperoleh pemerintah daerah seringkali masih sangat kecil. Sebagian besar daerah memiliki kontribusi PAD terhadap APBD yang angkanya di bawah 15%. Pengembangan ekonomi lokal yang masih lambat, besarnya biaya pungut dalam pengumpulan pajak dan retribusi daerah, serta tingginya tingkat kebocoran dalam pemasukan ke Pemda adalah diantara masalah kronis yang dihadapi oleh banyak daerah.

Berbagai kelemahan dasar dalam sistem pengelolaan keua ngan dan anggaran di daerah tersebut tentu tidak mungkin dapat diatasi dalam satu-dua tahun atau bahkan dalam satu periode pembangunan jangka menengah. Yang dituntut adalah adanya komitmen yang kuat untuk perbaikan dan kesediaan untuk berubah dari segenap jajaran pemerintah.

3. Anggaran Kinerja: Reformasi Sistem Belanja Daerah

Upaya untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang jelas, efisien dan bertanggungjawab terus dilakukan oleh pemerintah. Dalam masa reformasi upaya ini dirintis dari penciptaan dokumen anggaran induk APBN dan APBD yang berubah dari sistem T-account yang telah dipakai selama lebih dari tiga dasawarsa oleh pemerintah Orde Baru menjadi sistem I-account yang lebih terbuka, lugas dan menuntut pertanggungjawaban anggaran yang jelas. Kecuali itu, dari aspek belanja tidak dibedakan lagi antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Sebagaimana diketahui, pembedaan anggaran ini ternyata seringkali hanya mengakibatkan kebocoran dan pemborosan anggaran publik.

Selanjutnya, terobosan kebijakan yang kini diterapkan oleh perumus kebijakan keuangan publik adalah diterapkannya sistem anggaran berbasis kinerja ( performance-based budgeting). Ada banyak hal yang menjanjikan di dalam sistem penganggaran ini. Namun sekali lagi pelaksanaannya tentu menuntut kerja keras dan komitmen dari semua perumus dan penyelenggara administrasi pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah.

(4)

Menurut Mercer (2002), anggaran kinerja adalah sistem yang menekankan keterkaitan antara pendanaan dengan hasil- hasil yang dicapai; A performance budget is an integrated annual performance plan and annual budget that shows the relationship between program funding levels and expected results. It indicates that a goal or a set of goals should be achieved at a given level of spending. Secara ideal, anggaran kinerja akan dapat meningkatkan prestasi jajaran pemerintahan dalam penyelenggaraan kegiatan administrasi atau pelayanan publik. Bahkan dalam salah satu laporannya Bank Dunia mengatakan bahwa dengan menyertakan informasi yang jelas tentang kinerja pemerintah, anggaran kinerja akan dapat meningkatkan akuntabilitas publik dan meningkatkan kualitas pelayanan publik (World Bank, 2003).

Secara umum, ciri pokok anggaran kinerja adalah: 1) Sasaran yang jelas, 2) Pengukuran kinerja, 3) Keterkaitan yang erat antara tujuan, sasaran dan proses penganggaran, dan 4) Akuntabilitas anggaran. Dengan mendasarkan diri pada prinsip-prinsip yang kuat tentang pentingnya kinerja aparat pemerintahan, anggaran kinerja diharapkan akan merupakan sistem yang akan dapat mengatasi kelemahan dalam sistem penganggaran yang selama ini diterapkan. Sebagaimana diketahui, di dalam wacana yang terdapat dalam sistem penganggaran, selama ini dikenal berbagai macam sistem penganggaran, seperti sistem anggaran rincian (line-item budgeting), sistem PPBS (Planning, Programming and Budgeting System), hingga sistem ZBB (Zero Based Budgeting). Kelemahan penting di dalam sistem penganggaran konvensional tersebut ialah kurang adanya keterkaitan langsung antara pendanaan dengan kinerja atau hasil pembiayaan yang diperoleh. Inilah yang tengah dicoba diatasi dengan penerapan sistem anggaran berbasis kinerja. Amanat tentang sistem anggaran berbasis kinerja ini telah dituangkan oleh pemerintah sejak keluarnya Kepmendagri No.29 tahun 2002, yang kemudian diperbarui dengan Permendagri No.13 tahun 2006 dan terakhir dengan Permendagri No.59 tahun 2007. Pada saat yang sama keluarnya UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan negara merupakan salah satu kebijakan nasional untuk menyempurnakan sistem penganggaran yang sesuai dengan kebutuhan di Indonesia.

Selanjutnya, prasyarat pokok yang harus dipenuhi untuk mewujudkan sistem anggaran kinerja adalah sebagai berikut:

(5)

Untuk tingkat daerah, sekarang ini masih terus dilakukan penyempurnaan untuk memastikan keterkaitan antara rencana jangka- menengah daerah yang tertuang di dalam RPJMD dengan Rencana Strategis yang dikembangkan oleh masing-masing SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Lebih rinci lagi, Rencana Kerja dari masing- masing SKPD juga harus selaras dengan sistem penganggaran kinerja yang diterapkan. Tolok-ukur kinerja untuk perencanaan sosial mungkin relatif sulit untuk dibuat parametris seperti halnya tolok- ukur untuk perencanaan pembangunan fisik. Tetapi dengan analisis yang serius dan komitmen yang kuat bagi pembangunan sosial-budaya, diharapkan penyempurnaan anggaran untuk program-program itu dapat dilakukan secara berkesinambungan.

2. Realistis;

Rencana pembangunan sosial-kemasyarakatan hendaknya disesuaikan dengan kemampuan dan aspirasi masyarakat. Dengan sistem administrasi dan dokumentasi yang lebih rumit, anggaran kinerja seringkali dipandang sebagai penghambat administrasi penganggaran. Tetapi kalau dikaji lebih cermat, anggaran kinerja mestinya disesuaikan dengan kemampuan aparat dan aspirasi masyarakat setempat. Realistis juga berarti bahwa target-target yang ditetapkan di dalam anggaran untuk program sosial harus terukur dan benar-benar menghasilkan perubahan yang signifikan.

3. Hubungan antar kegiatan yang erat;

Anggaran kinerja menuntut adanya hubungan yang erat antara kegiatan yang satu dengan kegiatan yang lain diantara satuan pemerintah daerah. Dokumen Kerja Anggaran seperti terangkum di dalam dokumen induk APBD hendaknya memiliki keterkaitan dengan rincian anggaran, yang dalam rancangan awalnya disebut sebagai RKA-SKPD (Rencana Kegiatan dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah).

4. Perhitungan lebih akurat;

Acuan setiap satuan kerja pemerintah daerah dibuat sama sehingga perhitungan anggaran akan objektif dan akurat. Standarisasi dokumen anggaran, termasuk dalam hal kegiatan riil dan nomor rekening yang dijadikan sebagai rujukan untuk melakukan alokasi anggaran, merupakan upaya agar perhitungan anggaran

(6)

menjadi lebih akurat. Harus diakui bahwa prasyarat untuk standarisasi ini belum berjalan dengan baik dan di beberapa daerah justru menimbulkan efisiensi dan penyalahgunaan anggaran. Tetapi upaya teknis harus dilakukan terus agar tujuan akurasi, pengawasan dan akuntabilitas anggaran dapat dicapai.

Pelaksanaan anggaran kinerja merupakan bagian penting dari reformasi sistem penganggaran. Untuk perencanaan sosial, mekanisme anggaran kinerja menuntut sumberdaya yang profesional dengan kemampuan yang baik untuk mengetahui hasil-hasil pembangunan sosial-budaya yang telah dilaksanakan. Pengetahuan dasar yang perlu dimiliki tentunya terkait dengan berbagai macam peraturan yang telah digariskan untuk tujuan pelaksanaan anggaran kinerja yang konsisten.

5. Mekanisme Anggaran di Daerah: Peraturan yang Terus Disempurnakan

Di dalam mekanisme pelaksanaan anggaran kinerja yang masih terus dibenahi oleh pemerintah, mungkin agak sulit untuk memahami secara pasti apa yang dilakukan oleh setiap lembaga pemerintah dan perumus kebijakan anggaran. Harus diakui bahwa produk-produk peraturan yang menentukan prosedur perencanaan, penganggaran, dan pengawasan keuangan seringkali masih belum sinkron satu dengan lainnya. Akan tetapi bahwa setiap lembaga kini disertai dengan peraturan perundangan yang khusus beserta mekanisme penganggaran yang lebih bertanggungjawab, kiranya merupakan suatu kemajuan untuk terciptanya koordinasi kebijakan dan dasar efisiensi penganggaran di masa- masa mendatang.

Dari segi perencanaan, UU No.25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional merupakan landasan pokok bagi setiap lembaga yang bergerak di bidang perencanaan, dalam hal ini Bappenas di pusat dan Bappeda di daerah. Terbitnya UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan negara merupakan kemajuan sangat penting bagi penciptaan sistem keuangan yang sesuai dengan karakteristik dan sumberdaya aparat di Indonesia. Sebagaimana diketahui, sebelum terbitnya undang-undang ini sebenarnya pemerintah masih mendasarkan produk keuangan negara warisan Belanda yang tertuang dalam dokumen BW dan ICW. Selanjutnya, UU No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara juga merupakan produk penunjang yang dimaksudkan untuk melancarkan alokasi dana diantara lembaga pemerintah di pusat maupun di daerah.

(7)

UU 17/2003 UU 1/2004 UU 15/2004 UU 25/2004 UU 33/2004 PP PP PPPP PPPP PERMENDAGRI 13 / 2006 Pedoman Pengelolaan keuangan Daerah misal misal: PP 24/2005: PP 24/2005 PP 58/2005: Pengelolaan Keuda (Omnibus Regulation) UU 32/2004

PENYEMPURNAAAN PERATURAN DALAM

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Pasal 182 & Pasal 194 UU 32/2004

Pasal 69 & Pasal 86 UU 33/2004 Pasal 155 PP 58 /2005

Perda Pokok2

Pengelolaan Keu Daerah

Perkada ttg Sistem & Prosedur Pengelolaan Keu Daerah

Psl 330 Permendagri 13/2006 Kandungan lokal berdasarkan kesepakatan bersama yg tidak bertentangan dng peraturan perUUan SE ttg Pedoman Penyusunan RKA - SKPD 1 Psl 151 Ayat 1 PP 58 / 2005 Psl 151 Ayt 1 PP 58 /2005

(8)

$ NKLU0 HL 0 HG- XQ 0 J ,, - XOL 0 LQJJX , 2 NWREHU $NKLU1 RY ' HV 5 . 3 ' 5 HQMD 5 HQVWUD 5 3 - 0 ' 5 DQF . 8 $ 0 HPEDKDV . 8 $ 3HPEDKDVDQ 33$6 5 DQF 33$6 1 RWD . HVHSDNDWDQ . HS' D ' 3 5 ' 3HGRP DQ 3HQ\ XVXQDQ 5 . $ 6. 3' 5 . $ 6 . 3 ' 3HPEDKDVDQ 5 . $ ROHK7LP $ QJJDUDQ 3HPGD 5 DSHUGD $3%' 3HPEDKDVDQ 5 DSHUGD $ 3 %' 3HUVHWXMXDQ %HUVDP D 5 DQFDQJDQ 3HU. D' D7WJ 3HQMDEDUDQ $ 3 %' ( YDOXDVL 9 HULILNDVL ' 3 $ ROHK7LP $QJJDUDQ 3HPGD 5 DQF ' 3$ 6 . 3 ' ' 3 $ 6 . 3 ' 3 HU. D' D 3HQMDEDUDQ $3%' 3HUGD $3%'

(9)

Keterkaitan antara anggaran pemerintah pusat dengan pemerintah daerah juga terlihat dari ketentuan di dalam UU No.32 tahun 2004 tentang sistem pemerintahan daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Seiring dengan semangat otonomi daerah, besaran dana yang diserahkan kepada daerah menjadi semakin besar. Untuk itu pengembangan kapasitas daerah dalam penganggaran perlu terus ditingkatkan.

Jika melihat mekanisme yang kini dikembangkan dalam kaitannya dengan siklus anggaran (budget cycles) di daerah, tampak bahwa hampir setiap bulan di dalam satu tahun fiskal terdapat aktivitas lembaga daerah yang terkait dengan penganggaran. Siklus itu dimulai sejak penerjemahan RPJMD menjadi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA). Lalu, tahapan penting selanjutnya adalah pembuatan PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara) yang dibahas antara pemerintah daerah dengan pihak DPRD. Apabila telah terjadi kesepakatan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif mengenai PPAS, maka disusunlah rincian anggaran setiap satuan seperti tertuang di dalam RKA-SKPD (Rencana Kegiatan dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah). Dokumen final yang dapat dijadikan sebagai rujukan untuk alokasi anggaran disebut DPA-SKPD (Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah).

5. Efektivitas Anggaran: Penetapan SPM dan SAB

Untuk terciptanya penganggaran yang efektif, unsur-unsur penting yang menjadi penunjang sistem penganggaran berbasis kinerja adalah: 1) Standar Pelayanan Minimal (SPM), 2) Standar Biaya, dan 3) Standar Analisis Biaya (SAB). Standar Pelayanan Minimal merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah, masyarakat dan semua pemangku kepentingan (stake-holders) mengenai apa yang harus dicapai oleh sebuah satuan kerja pemerintah terkait dengan program pengembangan sosial masyarakat. SPM di bidang kesehatan, misalnya, akan menyangkut pencapaian dalam parameter Tingkat Kematian Bayi (IMR, Infant Mortality Rate), angka prevalensi penggunaan kontrasepsi diantara PUS (Pasangan Usia Subur), dan sebagainya. Untuk bidang ketenagakerjaan, SPM bisa terkait dengan angka pengangguran terbuka (open nemployment), angkatan kerja yang terserap dalam lapangan kerja baru, prosentase peningkatan UMR (Upah

(10)

Minimum Regional), dan sebagainya. Dibandingkan dengan perencanaan di bidang infrastruktur fisik, tolok-ukur bagi perencanaan di bidang sosial mungkin tidak semuanya bisa diukur secara kuant itatif. Tetapi sedapat mungkin SPM tetap harus dirumuskan dengan jelas sehingga hasil- hasil dari program sosial dapat dilihat capaiannya secara objektif. Saat ini masih terdapat kecenderungan bahwa banyak satuan kerja di jajaran pemerintah daerah masih terus menunggu satuan pemerintah pusat untuk membuatkan SPM pada hal semestinya SPM adalah tugas dari pemerintah daerah karena merekalah yang mengetahui pasti sumberdaya dan capaian yang dikehendaki di daerah.

Informasi berikutnya yang harus diketahui dalam penganggaran program sosial ialah Standar Biaya. Yang harus diperhitungkan dalam hal ini adalah harga patokan atas satuan biaya yang berlaku di masing- masing daerah. Dasar yang dapat dipakai untuk penetapan Standar Biaya antara lain PP No.105 tahun 2000. Tetapi sekarang ini pihak Departemen Keuangan juga telah mengeluarkan Standar Biaya untuk setiap daerah secara periodik yang dapat dijadikan sebagai acuan oleh para perumus kebijakan di daerah. Tentu saja pemerintah daerah juga dapat memperbarui terus informasi tersebut sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Untuk melaksanakan kegiatan sosial yang berupa pelatihan tentang Musrenbang atau pelatihan tentang PRA (Participatory Rural Assessment), misalnya, Sandar Biaya untuk keperluan alat tulis- menulis dan perkantoran (ATK), honorarium instruktur, atau alat peraga mungkin berubah terus sesuai dengan perkembangan inflasi di masing- masing daerah.

Setelah dokumen SPM dan Standar Biaya diketahui, hasilnya adalah dokumen Standar Analisis Belanja (SAB) yang merupakan acuan penting bagi penyusunan anggaran kinerja satuan kerja yang ada. SAB merupakan hasil penentuan besarnya biaya yang diperlukan untuk masing- masing kegiatan pelayanan berdasarkan SPM- nya. Kelemahan dalam penerapan sistem anggaran kinerja di kebanyakan daerah sekarang ini adalah belum adanya SAB yang disusun secara cermat sesuai dengan kondisi yang berlaku di daerah. Karena penentuan alokasi anggaran hanya berdasarkan plafon dan perkiraan kasar, maka manfaat anggaran kinerja belum dapat dirasakan secara optimal dalam pembuatan program-program pelayanan sosial.

Hal terakhir yang sangat mendasar bagi efektivitas penganggaran untuk program pelayanan sosial di daerah ialah pentingnya komitmen para pejabat di daerah. Setelah

(11)

kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah, tampak jelas bahwa keberhasilan perencanaan dan penganggaran sangat tergantung kepada komitmen tersebut. Transfer atau subsidi dari pemerintah pusat yang besar dalam bentuk DAU ternyata tidak selalu diikuti oleh peningkatan belanja pelayanan dasar. Hingga tahun 2006, rata-rata belanja pelayanan dasar seluruh daerah hanya sebesar 9,5 % dari APBD. Yang dimaksud pelayanan dasar dalam hal ini antara lain adalah untuk pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial. Setelah otonomi daerah, sebagian besar dana APBD ternyata masih terserap dalam bentuk BAU (Belanja Administrasi Umum) dan BOP (Belanja Operasional dan Pemeliharaan), sedangkan Belanja Modal (BM) masih sangat sedikit prosentasenya.

Perlu diketahui dalam hal ini bahwa anggaran daerah yang besar tidak selalu signifikan bagi peningkatan kemakmuran rakyat apabila alokasi untuk bidang sosial kurang diperhatikan. Sebagai contoh, Pemda kota Bandung yang memiliki volume APBD lebih dari Rp 900 milyar ternyata hanya mengalokasikan dana untuk pendidikan sebesar Rp 32,7 milyar (3,67%) dan kesehatan sebesar Rp 23,87 milyar (2,68%). Tidak heran bahwa di kota ini terdapat 3.793 gedung SD yang rusak dan 233 gedung Puskesmas yang dibiarkan terbengkalai. Kabupaten Tasikmalaya bahkan hanya mengalokasikan 0,73% untuk pendidikan dan 0,43% untuk kesehatan. Sebaliknya, terdapat beberapa daerah yang meskipun dana APBD-nya terbatas tetapi karena komitmen pimpinan yang kuat bisa meningkatkan pelayanan di bidang sosial secara signifikan. Misalnya, kabupaten Simeuleu di provinsi Nangroe Aceh Darussalam, kabupaten Blitar dan Mojokerto di provinsi Jawa Timur yang memiliki APBD di bawah Rp 200 milyar justru mengalokasikan lebih dari 20% APBD untuk pelayanan dasar. Pelatihan perencanaan sosial di bawah program Peace Through Development (PTD) di Maluku Utara yang dibiayai oleh UNDP ini kiranya dapat dijadikan sebagai tonggak baru bagi para aparat perencana untuk memikirkan apa yang terbaik bagi daerahnya. Salah satu yang segera terlihat dari komitmen tersebut adalah proporsi alokasi anggaran yang diperuntukkan bagi program-program pembangunan sosial kemasyarakatan.

(12)

Daftar Pustaka

1. Austin, Ian, Pragmatism and Public Policy in East Asia: Origins, Adaptations and Developments, Fairmont International, Singapore, 2001

2. Bird, Richard M. & Francois Vaillancourt, Fiscal Decentralization in Developing Countries, Cambridge University Press, 1998

3. Breton, Albert, An Introduction to Decentralisation Failure, paper, Department of Economics, University of Toronto, 2000

4. Chandler, J.A., Public Policy-Making for Local Government, Croom Helm, London, 1988

5. Devas, Nick et al, Financing Local Government in Indonesia, Ohio Centre for International Studies, Ohio, 1989

6. Eaton, Kent, Political and Obstacle to Decentralisation: Evidence from Argent ina and the Philippines, in Development and Change, Vol.32 No.1, Institute of Social Studies, January 2000

7. Hill, Hall, Intra-Country Regional Disparities, The Second Asian Development Forum, Singapore, 2000

8. Kumorotomo, Wahyudi & Erwan Agus Purwanto (eds.), Anggaran Berbasis Kinerja: Konsep dan Aplikasinya, MAP Press, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, 2005

9. Kunarjo, Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan, UI-Press, Jakarta, 1996

10.Subiyantoro, Heru and Singgih Riphat (eds.), Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi, Penerbit Kompas, Jakarta, 2004

11.Tedjakusuma, Edi Effendi, Analysis of the Impacts of Fiscal Decentralisation on Regional Development in Indonesia, Unpublished PhD Thesis, Nagoya University, 2000

12.Urrutia, Miguel, Shinichi Ichimura & Setsuko Yukawa (eds.), The Political Economy of Fiscal Policy, UNU Press, Tokyo, 1989

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai re- tensi protein dan retensi lemak ikan yang diberi pakan dengan penambahan crude enzim (pakan B, C, dan D) lebih tinggi

Dirancang untuk lebih menampung sifat alamiah manusia ketimbang memaksa kita ke cara berfikir yang mungkin justru berlawanan dengan hati nurani, AHP merupakan

Namun jika kita perhatikan posisi Ka’bah pada suatu tempat di permukaan bumi dengan bentuk bumi yang menyerupai bola tidak dapat kita abaikan, maka dalam penentuan posisi

Dari Grafik 3 dapat dilihat hubungan kuat tarik lentur pada umur beton 28 hari memiliki nilai terbesar pada presentase tailing 0% atau pada campuran beton

Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi, menentukan bobot molekul, dan membuktikan kebenaran struktur senyawa A1 santon yang terdapat dalam kulit akar tumbuhan

1. Jika candle bank sekitar 100pips. Tunggu candle patah balik sekitar 60pips dan masuk. Jika candle bank sekitar 80pips. Tunggu candle patah balik sekitar 40pips dan masuk.

Hal ini diduga karena pada mulsa plastik hitam perak lebih terjaga kelembaban tanahnya, tertutup rapat sehingga tidak tumbuh gulma, jadi tidak ada persaingan dalam