72
KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN
INCEPTISOL
Umi Isnatin1, Djati Waluyo. D2, Parjanto2 , Heru Kuswantoro3
1 Mahasiswa Prodi Agronomi Pascasarjana UNS
2 Dosen Pembimbing I Program Studi Agronomi Pascasarjana UNS
3 Dosen Pembimbing II Program Studi Agronomi Pascasarjana UNS
4 Balai Tanaman Kacang kacangan dan umbi umbian Indonsia. Litbang Pertanian
Indonesia
( e-mail: p.parwi@yahoo.com )
ABSTRAK. Produktivitas kedelai rendah (1,3 ton/ha), sedangkan potensi produksi mencapai 2,0–2,5 ton/ha. Salah satu cara untuk meningkatan produktivitas kedelai dapat dilakukan dengan penciptaan varietas baru melalui persilangan antar varietas yang memiliki keunggulan tertentu. Persilangan antara Tanggamus x Anjasmoro dan Tanggamus x Burangrang telah menghasilkan beberapa galur yang memiliki keunggulan dibanding tetuanya. Penelitian ini bertujuan (1) mengkaji keragaan galur-galur kedelai hasil persilangan varietas Tanggamus x Anjasmoro dan Tanggamus x Burangrang di 2 lokasi dengan jenis tanah (Entisol dan Inceptisol. (2) mendapatkan galur kedelai unggul hasil persilangan varietas Tanggamus x Anjasmoro dan Tanggamus x Burangrang. Perlakuan terdiri 4 galur hasil persilangan Tanggamus x Anjasmoro, 3 galur hasil persilangan Tanggamus x Burangrang dan 3 pembanding (Tanggamus, Anjasmoro dan Wilis). Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi genotipe x lokasi menyebabkan perbedaan keragaan kedelai pada umur masak, tinggi tanaman dan jumlah buku subur. Perlakuan genotipe menyebabkan perbedaan keragaan pada umur bunga, berat kering akar, berat segar batang, berat kering daun, jumlah polong isi, berat 100 biji, berat biji per tanaman, berat biji per petak dan berat biji per hektar. Pada jenis tanah yang berbeda terjadi perbedaan keragaan pada umur berbunga, berat kering batang, berat biji per tanaman, berat biji per petak dan berat biji per hektar. Genotipe Tgm/Brg-558 memiliki umur masak lebih pendek dari pembandingnya. Nilai heritabilitas berkisar antara 0.66-0.96 kategori tinggi.
Kata kunci : Keragaan, Kedelai, Tanggamus, Anjasmoro, Burangrang
PENDAHULUAN
Tanaman kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang dibutuhkan dalam jumlah tinggi, setelah beras dan jagung. Total kebutuhan kedelai hanya 35 persen yang dapat dicukupi dari produksi dalam negeri yaitu sebesar 0,71 juta ton. Kekurangan 65 persen dari total
kebutuhan diimpor sebesar 1,31 juta ton (Sulistyo dan Nugrahaeni, 2011).
Produksi kedelai nasional belum dapat memenuhi kebutuhan, karena
produktivitas masih rendah.
Produktivitas pada tingkat petani rata-rata 1,3 ton/ha, sedangkan potensi produksi mencapai 2,0–2,5 ton/ha. Salah
73
satu cara untuk meningkatan
produktivitas kedelai dapat dilakukan dengan cara penciptaan varietas baru
dengan metode persilangan antar
varietas yang memiliki keunggulan
tertentu (Wirnas, et. al., 2012).
Penelitian persilangan untuk
men-dapatkan varietas yang memiliki
keunggulan di lahan masam telah dilakukan dengan persilangan antara Tanggamus x Anjasmoro dan Tanggamus x Burangrang. Hasil penelitian tersebut didapatkan 7 galur yang memiliki daya hasil tinggi 2-3 ton/ha berumur genjah 73-76 hari dan 26 galur berdaya hasil tinggi 2-3 ton/ha berumur genjah 77-79 hari (Purwantoro dan Suhartina,2010). Produktivitas galur hasil persilangan Tanggamus x Burangrang mencapai 1 1.56 ton/ha. Galur tersebut memiliki umur genjah, hasil sama atau lebih tinggi dan ukuran biji lebih besar dibandingkan
Tanggamus (Nugrahaeni et al., 2011).
Persilangan Tanggamus x Anjasmoro telah menghasilkan 3 galur Tgm/Anj-933, Tgm/Anj-789 dan Tgm/Anj-824 yang memiliki hasil lebih tinggi dari 2 varietas pembandingnya. Varietas Tanggamus memiliki hasil lebih tinggi daripada
Anjasmoro (Kuswantoro et al., 2012).
Produktivitas kedelai dipengaruhi oleh faktor lingkungan, salah satunya adalah jenis tanah yang menyebabkan pertumbuhan tanaman berbeda sehingga produktivitasnya akan berbeda pula
(Ngalamu, et. al., 2013). Mengingat
permasalahan tersebut maka dilakukan
penelitian mengenai galur hasil persilang-an tpersilang-anampersilang-an kedelai ypersilang-ang bertujupersilang-an (1) Mengkaji keragaan galur-galur kedelai hasil persilangan varietas Tanggamus x Anjasmoro dan Tanggamus x Burangrang di dua lokasi dengan jenis tanah (Entisol dan Inceptisol). (2) Mendapatkan galur kedelai unggul hasil persilangan varietas Tanggamus x Anjasmoro dan Tanggamus x Burangrang .
METODE PENELITIAN
Penelitian telah dilakukan di dua lokasi, yaitu: (1) di Desa Kedungbanteng Kec. Sukorejo Kabupaten Ponorogo dengan jenis tanah Entisol, (2) di Desa
Tambakmas Kecamatan Kebonsari
Kabupaten Madiun dengan jenis tanah Inceptisol.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan untuk menguji 10 genotipe. Macam genotipe (sebagai perlakuan) yang diuji adalah: 4 galur hasil persilangan Tanggamus x Anjasmoro (Tgm/Anj-743, Tgm/Anj-744, Tgm/Anj-773 dan Tgm/Anj-775), 3 galur
hasil persilangan Tanggamus x
Burangrang (Tgm/Brg-558, Tgm/Brg-565 da Tgm/Brg-599) dan 3 varietas sebagai
pembanding (Varietas Tanggamus,
Varietas Anjasmoro dan Varietas Wilis). Pengamatan dilakukan dengan dua cara, yaitu destruktif (merusak) dan non destruktif (tidak merusak). Pada setiap petak, pengamatan dilakukan terhadap 5 tanaman sampel. Variabel-variabel adalah sebagai berikut: tinggi tanaman, umur
74
berbunga, umur masak fisiologis, jumlah buku/ruas subur, jumlah polong isi, berat 100 biji, berat biji per hektar.
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis sesuai dengan metode Rancangan yang
di-gunakan yaitu Rancangan Acak
Kelompok (RAK). Rancangan Time Series (Sastrosupadi, 2000) digunakan untuk menguji interaksi galur di dua lokasi tanam. Uji perbandingn perbedaan rata-rata antar genotipe lanjutan digunakan uji DMRT (Gaspers, 1992). Analisis heritabilitas dilakukan dengan cara menduga heritabilitas dalam arti luas. Heritabilitas ditaksir berdasarkan nilai kuadrat tengah pada analisis ragam gabungan (Basuki, 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara genotipe dan lokasi terhadap umur masak, jmlah buku subur dan tinggi tanaman. Sedangkan
parameter umur berbunga, jumlah
polong isi, berat 100 biji dan berat biji per hektar tidak terjadi interaksi antara genotipe dan lokasi, tetapi berbeda nyata akibat perbedaan genotipe pada semua parameter tersebut. Lokasi perpengaruh nyata pada umur bunga dan berat biji per hektar (Tabel 1).
Tabel 1. Analisis ragam
SK dB UB UM TT PI BS 100B BB
L 1 673.15** 3435.12** 9226.34** 4492.46 18.18 9.08 2.73* G 9 11.02** 227.57** 98.45** 896.04** 106.38** 15.12** 0.97* GxL 9 3.71 23.44** 74.09** 188.48 28.83 2.07 0.27 Galat 36 1.84 8.09 24.97 220.34 10.95 1,78 0.22
Ket : ** = beda sangat nyata, * = beda nyata, UB= umur berbunga, UM=umur masak, TT=tinggi tanaman, PI =jumlah polong isi, BS=jumlah buku subur, 100B=berat 100 biji, BB=berat biji per hektar
Genotipe yang ditanam di lokasi Entisol memiliki berat biji per hektar lebih tinggi dari pada ditanam di Inceptisol (Tabel 3). Hal ini terjadi karena semua genotipe yang ditanam di Entisol memiliki tinggi tanaman dan jumlah polong isi lebih tinggi daripada di Inceptisol. Peningkatan jumlah polong akan berpengaruh pada peningkatan
hasil tanaman kedelai (Ngalamu et al.
2013). Berat biji per hektar semua genotipe bila dihubungkan dengan hasil analisis tanah seharusnya Inceptisol lebih baik dari Entisol karena tanah Inceptisol memiliki tingkat kesuburan lebih tinggi daripada Entisol berdasar kandungan N, P dan K. Pada tanah Inceptisol memiliki kandungan N, P dan K masing masing 0.08 %, 73.2 ppm dan 0.62 Cmol/kg, sedangkan pada tanah Entisol memiliki kandungan N, P dan K masing masing sebesar 1.74%, 71.4 ppm dan 0.46 Cmol/kg (Tabel 2). Hal ini terjadi karena pada tanah Inceptisol terjadi genangan air yang mempengaruhi berat biji per hektar. Pada saat tanaman kedelai tergenang air maka pori tanah yang berisi oksigen akan diisi oleh air sehingga tanah miskin oksigen. Kadar oksigen rendah
75
akan mempengaruhi respirasi akar dan mikroorganisme tanah, yang mengganggu proses serapan hara tanaman sehingga pada akhirnya dapat menurunkan hasil
tanaman kedelai (Helms et al.,2007).
Tabel 2. Hasil analisi tanah
No Parameter Metode Satuan Inceptisol Entisol
1 pH H2O 1:05 7.4 6.2 2 pH KCl 1:05 7 5.6 3 C-Organik Kurmis % 1.82 1.74 4 N Kjeldahl % 0.08 0.04 5 P2O5 Bray I ppm 73.2 71.4 6 K NH4OAc pH 4,8 Cmol+/kg 0.62 0.46 7 SO4 NH4OAc pH 4,8 ppm 64.9 21.2 8 Ca NH4OAc pH 4,8 Cmol+/kg 20.4 12.4 9 Mg NH4,8 4OAc pH Cmol+/kg 6.68 3.94 10 Na NH4OAc pH 4,8 Cmol+/kg 0.71 0.42 11 Fe Pengekstrak DTPA ppm 21.41 22.62 12 Zn Pengekstrak DTPA ppm 0.96 2.14 13 Cu Pengekstrak DTPA ppm 3.9 10.7 14 Mn Pengekstrak DTPA ppm 13.8 112 15 H-dd KCl 1 N Cmol+/kg 1.7 1.9 16 Al-dd KCl 1 N Cmol+/kg 0 0
17 KTK Pengekstrak DTPA Cmol+/kg 28.1 12.6
18 Tekstr Pipet Klei Klei
Debu 23.39 26.9
Klei 53.61 62.77
Pasir 23 10.33
Genotipe Tgm/Anj-773 memiliki
berat bijil per hektar lebih tinggi
daripada genotipe Tgm/Anj-743
Tgm/Brg-558 dan Tgm/Brg-565, tetapi tidak berbeda nyata dengan genotipe
Tgm/Anj-744 Tgm/Anj-775 dan
Tgm/Brg-599. Hal ini dapat terjadi karena pada Tgm/Anj-773 memiliki buku subur, jumlah polong isi lebih besar dibanding genotipe Tgm/Anj-743 Tgm/Brg-558 dan Tgm/Brg-565. Jumlah buku subur akan mempengaruhi hasil tanaman (Hakim, 2012). Selain itu jumlah buku subur akan
menentukan jumlah polong yang
terbentuk sehingga akan meningkatkan
produksi kedelai. Produksi kedelai
semakin besar apabila jumlah polong isi semakin besar pula (Hapsari dan Adie, 2010; Kuswantoro and Zen, 2013). Berat biji per hektar berkorelasi positif dengan
jumlah polong isi (Kuswantoro, 2014b). Genotipe hasil persilangan Tanggamus x Anjasmoro memiliki berat biji (1.56–2.36 ton/ha) lebih rendah daripada varietas pembandingnya yaitu Tanggamus dan Anjasmoro masing–masing sebesar 2.43 ton/ha dan 2.41 ton/ha. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Kuswantoro (2014a) menyatakan bahwa terdapat 15 galur hasil persilangan Tgm/Anj yang memiliki hasil lebih tinggi (1.29–2.53 ton/ha di Jambegede Malang dan 1.88–2.50 ton/ha di Ngale Ngawi)
dari varietas pembandingnya yaitu
varietas Anjasmoro.
Tabel 3. Rata – rata berat biji per hektar (ton) dan umur berbunga (hari)
Berat biji per hektar
Umur berbunga Lokasi Inceptisol 1.78 a 47.23 a Entisol 2.21 b 40.53 b Genotipe Tanggamus x Anjasmoro Tgm/Anj-743 1.56 a 43.83 bc Tgm/Anj-744 1.93 abc 45.16 cd Tgm/Anj-773 2.36 c 42.84 ab Tgm/Anj-775 2.19 bc 44.50 acd Tanggamus x Burangrang Tgm/Brg-558 1.64 ab 41.17 a Tgm/Brg-565 1.51 a 42.84 ab Tgm/Brg-599 2.33 c 43.84 bc Pembanding Tanggamus 2.43 c 46.00 d Anjasmoro 2.41 c 44.17 bc Wilis 1.52 a 44.50 bcd
Ket : Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT
Umur berbunga rata-rata kesepuluh genotipe yang ditanam di Inceptisol (47.23 hari) lebih panjang dibanding dengan di Entisol sebesar 40.53 hari (Tabel 4). Hal ini disebabkan pada lahan Inceptisol, pada saat tanaman berumur kurang dari 20 hari terjadi curah hujan yang cukup tinggi sehingga lahan tergenang air (waterlogging). Kondisi
tanaman kedelai yang tergenang
(waterlogging) akan menghambat
76
yang berdampak pada munculnya bunga
(Cornelious et al., 2003).
Genotipe baru hasil persilangan yang diuji Tgm/Brg-558 memiliki umur ber-bunga (41.17 hari) lebih pendek
di-bandingkan dengan genotipe
pem-banding Tanggamus, Anjasmoro dan varietas Wilis masing masing sebesar 46.00 hari, 44.17 hari dan 44.50 hari (Tabel 4). Umur berbunga memiliki kisaran antar 41.17 hari–46 hari. Menurut
Indriani et. al., (2011) umur berbunga
varietas Tanggamus 35 hari dan varietas Wilis 41 hari. Hal ini berarti umur berbunga pada penelitian ini lebih lama
dibanding hasil penelitian Indriani
et.al.,(2011) di musim kemarau.
Umur masak rata-rata kesepuluh
genotipe yang ditanam di lokasi
Inceptisol lebih lama bila dibandingkan di lokasi Entisol (Tabel 5). Hal ini terjadi karena curah hujan yang lebih tinggi di Inceptisol daripada di Entisol. Tanaman yang kelebihan air akan mengalami (waterlogging) jenuh air sehingga akan menghambat pertumbuhan dan
per-kembangan tanaman (Helms, et al., 2007).
Umur masak sangat dipengaruhi oleh jumlah radiasi matahari yang diterima oleh tanaman, semakin tinggi intensitas radiasi yang diterima tanaman semakin cepat jumlah panas yang diperlukan
tanaman terpenuhi (Nugrahaeni et al,
2011). Lokasi Inceptisol, genotipe baru hasil persilangan yang diuji Tgm/Brg-558 memiliki umur masak 68.33 hari lebih pendek dari genotipe pembanding. Hal
sama juga terjadi di Lokasi Entisol, genotipe baru hasil persilangan Tgm/Brg-558 memiliki umur masak 82.00 hari
lebih rendah dibanding varietas
Tanggamus dan varietas Wilis tetapi tidak
berbeda nyata dengan varietas
Anjasmoro yaitu sebesar 84 hari. Dengan
demikian maka genotipe hasil
persilangan Tgm/Brg-558 memiliki
kemampuan yang konsisten pada kedua lokasi yaitu memiliki umur masak paling rendah .
Tabel 4. Umur masak, tinggi tanaman, buku subur
Masak (hari) Umur Tanaman (cm) Tinggi subur Buku Inceptisol Tgm/Anj-743 99.33 de 52.67 a 18.40 cde Tgm/Anj-744 101.67 de 64.33 bc 21.00 cdef Tgm/Anj-773 101.33 de 49.00 a 25.53 fg Tgm/Anj-775 97.00 d 49.33 a 25.40 fg Tgm/Brg-558 82.00 ab 51.67 a 12.13 ab Tgm/Brg-565 88.00 c 58.33 ab 11.33 a Tgm/Brg-599 104.00 e 52.00 a 17.73 bcde Tanggamus 104.00 e 58.00 ab 30.40 g Anjasmoro 97.00 d 52.67 a 15.00 abc Wilis 103.33 e 50.33 a 20.60 cdef Entisol
Tgm/Anj-743 81.00 ab 74.47 def 18.60 cde Tgm/Anj-744 84.00 ab 81.67 efgh 20.67 cdef Tgm/Anj-773 84.00 ab 71.40 cde 21.73 def Tgm/Anj-775 86.00 bc 76.40 defg 23.53 ef Tgm/Brg-558 68.33 a 77.60 defg 18.47 cde Tgm/Brg-565 81.00 ab 70.80 cd 16.93 abcd Tgm/Brg-599 84.00 ab 77.87 defg 20.07 cdef Tanggamus 88.00 c 84.93 gh 23.60 ef Anjasmoro 84.00 ab 82.47 fgh 19.33 cdef Wilis 86.00 bc 88.73 h 25.60 fg
Ket: Angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT
Rata–rata kesepuluh genotipe yang ditanam di lokasi Inceptisol mempunyai tinggi tanaman lebih rendah bila dibandingkan di lokasi Entisol (Tabel 5). Tinggi tanaman berkisar antara 49.00 cm–88.73 cm. Perbedaan tinggi dikedua lokasi dapat disebabkan oleh perbedaan
kondisi lingkungan baik tingkat
kesuburan maupun perbedaan curah hujan. Pada lokasi di Inceptisol memiliki curah hujan tinggi saat awal tanam sehingga tanaman mengalami stress akibat jenuh airi. Faktor lingkungan yang
77
berpengaruh kuat terhadap petumbuhan beberapa varietas kedelai di lokasi kajian adalah curah hujan. Menurut Doorenbos
dan Proit (1977) dalam Sumarno et al.,
(2007) tanaman kedelai selama hidupnya memerlukan air 450–850 mm atau 4.5 mm/hari. Oleh karena itu kedelai yang berumur 75–90 hari memerlukan air 337.5-405 mm/hari atau setara dengan curah hujan 135 mm. Sedangkan dalam penelitian ini pada saat umur 20 hari memiliki total curah hujan 216 mm selama 8 hari berturut-turut sehingga tanaman terjadi gangguan pertumbuhan. Pada lokasi Incepsitol, genotipe baru hasil persilangan yang diuji Tgm/Ajm-744 memiliki hasil lebih tinggi (64.33 cm) dibandingkan dengan varietas pem-bandingnya. Begitu juga di Lokasi Entisol, genotipe baru hasil persilangan yang diuji Tgm/Ajm-744, memiliki tinggi tanaman lebih tinggi dibanding genotip baru yang lainnya tetapi lebih rendah
dibandingkan dengan genotipe
pembanding (Tabel 5).
Jumlah buku subur genotipe yang ditanam di lokasi Inceptisol tidak berbeda nyata dengan di Entisol yaitu Tgm/Ajm (Tgm/Anj-743, Tgm/Anj-744, Tgm/Anj-773, Tgm/Anj-775), Tgm/Brg (Tgm/Brg-558, Tgm/Brg-599), Varietas Anjasmoro dan Varietas Wilis. Genotipe hasil persilangan Tgm/Brg-558 yang ditanam dilokasi Inceptisol memiliki jumlah buku subur lebih rendah dibanding dengan di Entisol. Sedangkan untuk varietas Tanggamus yang ditanam
di Inceptisol memiliki jumlah buku subur lebih tinggi dibanding di Entisol (Tabel 5). Lokasi Inceptisol, genotipe baru hasil persilangan Tgm/Ajm (Tgm/Anj-743,
Tgm/Anj-744), Tgm/Brg
(Tgm/Brg-558,Tgm/Brg-599) memiliki jumlah buku subur lebih kecil dibandingkan dengan varietas Tanggamus. Genotipe baru hasil
persilangan Tgm/Anj-773 memiliki
jumlah buku subur lebih banyak dibanding dengan genotipe baru hasil persilangan lainnya. Lokasi Entisol,
genotipe baru hasil persilangan
Tgm/Ajm-775 memiliki jumlah buku subur lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe baru hasil persilangan lainnya. Kuswantoro dan Arsysd (2002), yang
menyatakan bahwa jumlah buku
pertanaman lebih banyak didapatkan pada tanaman yang memiliki postur lebih tinggi. Namun dalam penelitian ini G4 memiliki tinggi tanaman lebih rendah dari G2 tetapi memiliki jumlah cabang lebih banyak.
Genotipe Tgm/Ajm-773 memiliki jumlah polong isi (64.23) lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Anjasmoro sebesar 53.24 polong dan varietas Wilis (58.24 polong), tetapi lebih rendah dari varietas Tanggamus sebesar 69.63 polong (Tabel 5). Jumlah polong berhubungan positif dengan hasil tanaman. Jumlah polong tergantung pada banyaknya asimilat yang dialokasikan ke bunga (Kuswantoro, 2014a)
78
Tabel 5. Polong isi dan berat 100 biji
Polong Isi Berat 100 biji (g)
Lokasi Inceptisol 43.92 a 12.58 a Entisol 61.23 a 11.8 a Genotipe Tanggamus x Anjasmoro Tgm/Anj-743 44.77 ab 10.95 ab Tgm/Anj-744 54.7 bc 12.80 cd Tgm/Anj-773 64.23 bc 11.43 bc Tgm/Anj-775 63.34 bc 12.3 bcd Tangamus x Burangrang Tgm/Brg-558 34.53 a 12.8 cd Tgm/Brg-565 33.2 a 13.55 de Tgm/Brg-599 50.84 abc 13.05 cd Pembanding Tanggamus 69.63 c 9.42 a Anjasmoro 53.34 bc 14.92 e Wilis 58.24 bc 10.74 ab
Ket: Angka yang didampingi huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT
Ketujuh genotipe baru hasil
persilangan yang diuji memiliki berat 100 biji (10.95–13.55 g) lebih besar
dibandingkan dengan varietas
Tanggamus 9.42 g dan varietas Wilis 10.74 g, tetapi lebih kecil dari varietas Anjasmoro yaitu sebesar 14.92 g.
Genotipe hasil persilangan baru
Tgm/Brg-565 memiliki berat 100 biji lebih besar daripada genotipe baru yang lainnya (Tabel 5). Berat 100 biji
menunjukkan ukuran biji kedelai.
Ukuran biji varietas kedelai di Indonesia berkisar 7–23 g per 100 biji. Penelitian ini memiliki ukuran biji 9- 15 g per 100 biji. Ukuran biji kedelai ditentukan oleh laju pertumbuhan biji dan periode pengisian biji, keduanya dikendalikan oleh faktor genetik (El Badawi dan Mehasen, 2012). Pengelompokan ukuran biji adalah kecil (<10 g/100 bji) sedang (10-14 g /100 biji), besar (>14 g/100 biji)
(Purwantoro dan Suhartina, 2010),
sehingga pada penelitian ini genotipe baru hasil persilangan Tgm/Ajm dan Tgm/Brg memiliki ukuran biji sedang
Nilai heritabiltas arti luas yang diamati berkisar antara 0.66-0.96 (Tabel 6). Nilai heritabilitas arti luas menurut Stanfield (1983) dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu heritabilitas tinggi (0.50
< h2<1.00), heritabilitas sedang (0.20 < h2
<0.50) dan heritabilitas rendah ( h2<0.20).
Tabel 6. Nilai heritabilitas arti luas beberapa karakter fenotipe dari sepuluh genotipe
Karakter h2 Kriteria
1 Umur berbunga 0.80 Tinggi
2 Umur masak 0.96 Tinggi
3 Tinggi tanaman 0.66 Tinggi
4 Jumlah polong isi 0.76 Tinggi 5 Jumlah buku subur 0.88 Tinggi
6 Berat 100 biji 0.88 Tinggi
7 Berat biji perhektar 0.76 Tinggi
Karakter umur berbunga, umur masak, tinggi tanaman, jumlah polong isi, jumlah buku subur, berat 100 biji dan berat biji per hektar mempunyai nilai heritabilitas dengan kriteria tinggi. Hal ini
serupa dengan penelitian Indriani et. al.,
(2011) yang melaporkan bahwa karakter umur masak, jumlah cabang, jumlah polong, jumlah buku subur dan berat 100 biji mempunyai nilai heritabilitas dengan kriteria tinggi. Heritabilitas kriteria tinggi berarti faktor genetik lebih dominan berperan daripada faktor lingkungan terhadap penampilan karakter tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Interaksi genotipe x lokasi menyebabkan perbedaan keragaan pada umur masak, tinggi tanaman dan jumlah buku subur. Perlakuan genotipe menyebabkan per-bedaan keragaan pada umur berbunga, jumlah polong isi, berat 100 biji, dan berat biji per hektar. Pada jenis tanah yang berbeda terjadi perbedaan keragaan
79
pada umur berbunga dan berat biji per hektar. Genotipe Tgm/Brg-558 memiliki
umur masak lebih pendek dari
pembandingnya. Nilai heritabiltas arti luas yang diamati berkisar antara 0.66-0.96 (kategori tinggi).
Saran
Pada penelitian ini diperoleh galur
tanaman kedelai yang memiliki
keunggulan umur masak paling genjah
yaitu Tgm/Brg-558 sehingga perlu
penelitian lebih lanjut mengenai toleransi (daya adaptasi) genotipe tersebut pada daerah lain.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, N. 2005. Genetika kuantitatif.
Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya. Malang
Cornelious, B., P. Chen, Y. Chen, N. de Leon, J.G. Shannon and D. Wang,
2005 Identification of QTLs
underlying water-logging tolerance in
soybean. Molecular Breeding 16: 103–
112
El. Badawy, M.El.M and S.A.S Mehasen,
2012. Correlation and path
coefficient analysis for yield and
yield component of Soybean
genotype under different planting
density. Asia Journal of Crop Science
4 (4) : 150-158
Gaspersz, V.1992. Teknik Analisis dalam
Penelitian Percobaan. Pen. Tarsito.
Bandung. 719 hal.
Helms, T.C., B. J. Werk, B. D. Nelson, and E. Deckard , 2007. Soybean tolerance to water-saturated soil and role of
resistance to phytophthora
sojae.J.Crop Science, vol. 47 :
2292-2302
Indriani, F.C., H. Kusworo, N.R.
Patriyawati dan A. Supeno, 2011.
Keragaan dan heritabilitas
galurgalur kedelai toleran lahan
kering masam, hal 79-85. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Malang Kuswantoro, H, 2014a. Potential Yield of
Soybean Lines Are Higher Than Their Parent Indonesian Lowland Popular
Variety. International Journal of
Biology ol. 6 (2) : 49-57
--- 2014b. Potential yield of soybean promising lines in acid soil
of central Lampung, Indonesia.u
International Journal of Plant Biology
5 (5566) : 45-48
Kuswantoro, H and S. Zen. 2013. Performance of acid-tolerant soybean promising lines in two planting
seasons. International Journal of
Biology.5 ( 3) : 49-56
Kuswantoro, H dan D.M. Arsyad. 2001.
Identifikasi Kedelai toleran
kekeringan. Kenerja teknologi untuk meningkatkan produktivitas tanaman kacang kacangan dan umbi umbian. Puslitbantang. Badan litbang.
Kuswantoro, H., Sutrisno dan A, Supeno,
2012. Daya hasil galur-galur kedelai
toleran hama penggerek polong, hal
45-57. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Malang
Ngalamu, T., M. Ashraf, and S. Meska. 2013. Soybean (Glycine max L) genotipe and eviroment interaction effect on yield and other related
traits. Amirican Journal of
Experimental Agricultural 3 (4) :
977-987.
Nugrahaeni, N., T. Sundari dan G. Wahyu,
2011. Hasil dan komponen hasil
galur-galur kedelai berumur genjah
di Lahan kering masam di Lampung,
hal 35-44. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Malang
Patriyawati, N.R., H. Kuswantoro, F.C.
Indriani dan A. Supeno, 2012. Daya
hasil galur–galur kedelai toleran lahan kering masam di Lampung
Selatani, hal 105-109. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Malang
80
Purwantoro dan Suhartina, 2010.
Identifikasi galur-galur kedelai F5 berbiji sedang dan besar, berumur
genjah dan berdaya hasil tinggi, hal
97-101. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Malang
Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan
Percobaan Praktis Bidang Pertanian.
Pen. Kanisius. Yogjakarta. 212 hal.
Sulistyo, A, dan N. Nugrahaeni. 2011.
Evaluasi ketahanan galur–galur
kedelai terhadap hama kutu kebul
(Bemisia tabaci Genn). Prosiding
Seminar Nasional Hasil Penelitian Pertanian Balitkabi Malang.
Sumarno, Suyatmo, A. Widjono,
Hermanto dan H. Kasim, 2007.
Kedelai: Teknik produksi dan
pengembangannya Puslitbang
Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Wirnas, D., Trikoesoemaningtiayas, S.H. Sutjahjo, D. Sopandie, W.R. Rohaeni, S. Marwiyah dan Sumiati. 2012. Keragaman karakter komponen hasil dan hasil pada genotipe kedelai
hitam. J. Agron. Indonesia 40 (3) :
184-189.
Zakaria, A.K., 2010. Program
Pengembangan Agribisnis Kedelai dalam Peningkatan Produksi dan
Pendapatn Petani. Jurnal Litbang