• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KEBIJAKSANAAN (WISDOM) 1. Definisi Kebijaksanaan

Paul Baltes mendefinisikan kebijaksanaan sebagai keahlian dalam mengatasi permasalahan mendasar yang berkaitan dengan perilaku dan makna hidup. Menurut Baltes, kebijaksanaan merupakan perpaduan dari intelek dan karakter. Penjelasan Baltes tentang intelek adalah pengetahuan tentang aspek kognitif, motivasi dan emosi dalam perilaku dan pemaknaan hidup (Sternberg & Jordan, 2005).

Robert Sternberg mendefinisikan kebijaksanaan sebagai keseimbangan antara pemahaman individu tentang dirinya sendiri (intrapribadi), orang lain (antarpribadi) dan berbagai aspek kehidupannya (ekstrapribadi) yang dinamakannya sebagai teori kebijaksanaan yang seimbang atau balance theory of

wisdom (Sternberg & Jordan, 2005). Menurut Sternberg, elemen inti dari

kebijaksanaan adalah kecerdasan praktis (tacit knowledge) yang berorientasi pada perilaku dan membantu individu mencapai tujuan pribadi. Kecerdasan praktis ini hanya dapat diperoleh melalui pengalaman nyata yang dialami langsung oleh individu, bukan berasal dari ilmu yang dibaca dari buku-buku atau pengalaman orang lain yang didengarnya (Sternberg & Jordan, 2005).

(2)

perilaku dan makna hidup serta keseimbangan antara pemahaman individu tentang dirinya sendiri (intrapribadi), orang lain (antarpribadi) dan berbagai aspek kehidupannya (ekstrapribadi).

2. Model Kebijaksanaan

Baltes, dkk. mengembangkan sebuah model untuk menjelaskan kebijaksanaan, yang dinamakan sebagai Berlin Wisdom Model. Model ini menjelaskan faktor-faktor yang menjadi pemicu (antecedent), hubungan dan konsekuensi, proses, hasil dan berbagai kriteria dari variabel kebijaksanaan (Sternberg & Jordan, 2005). Baltes meninjau kebijaksanaan dari perspektif psikologi perkembangan. Berikut ini adalah model kebijaksanaan yang dikembangkan oleh Baltes, dkk., yaitu:

(3)

Gambar 1. Berlin Wisdom Model yang dikembangkan oleh Baltes dan rekannya (Sternberg & Jordan, 2005).

3. Kriteria Kebijaksanaan

Menurut Baltes dan Staudinger, ada beberapa kriteria dari kebijaksanaan. Kriteria tersebut dapat dibagi menjadi dua kriteria dasar dan tiga metakriteria (Snyder & Lopez, 2002). Dua kriteria dasar, yaitu kriteria yang wajib dimiliki individu untuk menjadi seorang ahli di bidang apapun, meliputi:

(4)

hubungan antarpribadi, norma-norma yang berlaku di suatu tempat atau budaya, serta perbedaan individu dalam tahapan perkembangan.

b. Memiliki banyak pengetahuan praktis (rich procedural knowledge), yang meliputi kemampuan untuk menerapkan pengetahuan faktual ke dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hidup, seperti cara menangani konflik kehidupan.

Tiga kriteria berikutnya disebut metakriteria karena merupakan kriteria khusus yang harus dimiliki untuk menjadi bijaksana. Adapun ketiga metakriteria tersebut adalah:

c. Memahami konteks rentang kehidupan manusia (lifespan contextualism), yang meliputi pengetahuan tentang tahapan perkembangan manusia dan berbagai tema-teman kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, kebudayaan, persahabatan, keluarga, dan sebagainya, serta kaitan antartema tersebut. Pemahaman tersebut juga menyadari banyaknya perubahan yang terjadi dalam diri individu mulai dari masa bayi sampai usia lanjut.

d. Relativisme atau toleransi nilai (value relativism/tolerance). Kebijaksanaan membuat manusia menyadari bahwa setiap orang atau budaya menganut nilai-nilai yang berbeda dari yang dianut dirinya dan mampu menghormati perbedaan tersebut. Namun, perlu diingat juga bahwa kebijaksanaan juga berusaha menyeimbangkan kepentingan diri sendiri dan orang lain sehingga tidak semua hal dapat ditoleransi.

e. Menyadari serta mampu mengelola ketidakpastian (awareness/management of

(5)

keterbatasan dalam proses pencernaan informasi yang dimilikinya serta banyaknya ketidakpastian di dalam kehidupan ini. Kebijaksanaan juga meliputi cara untuk menghadapi ketidakpastian tersebut.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebijaksanaan

Berikut ini berbagai faktor dari beberapa tokoh dan sumber yang dianggap dapat mempengaruhi perkembangan kebijaksanaan dalam kehidupan individu, yaitu:

a. Usia

Usia dipandang sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kebijaksanaan dengan asumsi bahwa seorang individu akan memiliki lebih banyak pengalaman hidup sehingga lebih memungkinkan untuk menjadi lebih bijaksana dibandingkan generasi yang lebih muda. Usia juga dinominasikan sebagai salah satu faktor penentu kebijaksanaan karena kebijaksanaan dianggap hanya akan muncul setelah kebangkitan spiritual di masa lansia (Sternberg & Jordan, 2005).

Dalam ilmu pengetahuan perilaku manusia, ada tiga model yang mendeskripsikan hubungan antara usia dan kebijaksanaan yang telah dimulai sejak masa remaja (Sternberg & Jordan, 2005). Adapun ketiga model tersebut, yaitu:

i. Positive Model, yang menyatakan bahwa usia berkorelasi positif dengan

(6)

seiring bertambahnya usia kronologis. Model ini tidak didukung oleh bukti empiris.

ii. Decline Model, yang merupakan kebalikan dari Positive Model karena

menyatakan individu menjadi kurang bijaksana seiring bertambahnya usia kronologis. Namun, Meacham berpendapat bahwa model ini mengakui ada beberapa lansia yang bijaksana karena mereka mampu mempertahankan kebijaksanaan mereka sampai lanjut usia. Model ini juga tidak didukung oleh bukti empiris.

iii. Crystallized Model, yang didasari oleh teori Baltes memandang

kebijaksanaan yang telah diperoleh di usia dewasa muda akan tetap bertahan sampai lanjut usia. Hal inilah yang menyebabkan lansia memiliki kesempatan yang sama dengan orang dewasa muda untuk menjadi bijaksana. Model ini menyatakan bahwa pertambahan usia tidak menambah ataupun mencuri kebijaksanaan. Model inilah yang memiliki paling banyak bukti empiris.

Salah satu teori yang mendukung Crystallized Model adalah kebijaksanaan dipandang seperti kecerdasan yang mengkristal (crystallized intelligence) yang akan terus bertahan sampai akhir kehidupan atau sampai penyakit menghambatnya (Schaie & Willis, 2011). Teori crystallized intelligence ini didukung oleh asumsi Baltes yang menyatakan bahwa setelah individu melewati usia 75 tahun, kebijaksanaannya mulai menurun seiring dengan menurunnya fungsi kognitif individu (Snyder & Lopez, 2002). Salah satu hasil penelitian Baltes juga menunjukkan bahwa keahlian individu di suatu bidang lebih banyak

(7)

berkontribusi terhadap kebijaksanaan dalam kehidupan individu dibandingkan faktor usia secara tunggal (Sigelman & Rider, 2003).

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin ternyata dipercaya mempengaruhi kebijaksanaan seseorang. Denney menyatakan bahwa pria dipandang lebih memiliki kebijaksanaan intelektual, sedangkan wanita dipandang lebih bijaksana dalam hubungan sosial (Sternberg & Jordan, 2005).

c. Pengalaman hidup

Pengalaman hidup yang mengasah ketajaman perspektif individu, seperti misalnya mendapat pendidikan dan keterampilan serta bekerja dalam bidang tertentu dapat mengasah kebijaksanaan individu (Dacey & Travers, 2002).

d. Budaya

Kebudayaan ternyata juga mempengaruhi kebijaksanaan individu. Kebudayaan Barat lebih memandang kebijaksanaan secara intelektual, yang banyak menitikberatkan pada perpaduan kemampuan kognitif, wawasan, sikap reflektif, penuh belas kasihan terhadap orang lain, dan ketenangan. Kebudayaan Timur lebih menitikberatkan pada kebijaksanaan secara spiritual (Schaie & Willis, 2011).

e. Kondisi eksternal

Kondisi eksternal individu juga mempengaruhi kebijaksanaan dalam kehidupan individu, misalnya individu yang tinggal dalam lingkungan sosial

(8)

yang suportif selama masa dewasa awal berkaitan secara positif dengan kebijaksanaan pada 40 tahun mendatang (Sternberg & Jordan, 2005).

f. Kepribadian

Kramer menyatakan bahwa kepribadian individu ternyata mempengaruhi kebijaksanaannya. Individu yang memiliki kualitas kognitif, reflektif dan emosional yang berkontribusi terhadap kebijaksanaan cenderung terpelajar, lebih sehat secara fisik, memiliki lebih banyak hubungan positif dengan orang lain, dan memiliki nilai yang lebih tinggi dalam berbagai tes kepribadian untuk dimensi keterbukaan terhadap pengalaman baru (openness) (Sigelman dan Rider, 2003). Baltes menambahkan dimensi generativity dan

creativity sebagai faktor kepribadian yang dianggap mampu memprediksi

kebijaksanaan dengan lebih baik dibandingkan faktor kecerdasan (intelligence) (Santrock, 2011).

5. Sifat Kebijaksanaan

Berdasarkan hasil penelitiannya, Baltes menyatakan ada beberapa sifat kebijaksanaan (Sigelman & Rider, 2003), yaitu:

a. Kebijaksanaan bersifat langka. Jumlah orang yang bijaksana dalam masyarakat sangatlah langka karena banyaknya kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang yang bijaksana.

b. Keahlian di bidang tertentu terbukti lebih relevan dengan perkembangan kebijaksanaan dibandingkan faktor usia semata.

(9)

c. Usia tidak memprediksi kebijaksanaan, namun pengetahuan dasar yang berkontribusi terhadap kebijaksanaan seperti berbagai crystallized

intelligence lainnya tergolong tinggi di usia lanjut. Individu akan lebih

mampu menjadi bijaksana dengan memiliki pengalaman hidup mengasah wawasan (insight) tentang kondisi kehidupan manusia.

d. Kebijaksanaan mencerminkan kombinasi dari kecerdasan, kepribadian, dan gaya kognitif. Individu yang sering membandingkan dan mengevaluasi permasalahan relevan dan yang mampu menerima ambiguitas akan lebih mampu menampilkan kebijaksanaan dibandingkan yang kurang.

6. Perkembangan Kebijaksanaan

Dalam mencetuskan konsep teoritis tentang kebijaksanaan dan menghubungkannya dengan psikologi rentang kehidupan (lifespan psychology), Baltes mengajukan beberapa kondisi yang kondusif untuk mematangkan perkembangan kebijaksanaan (Sternberg & Jordan, 2005). Adapun beberapa kondisi yang diajukan Baltes, yaitu:

a. Seperti layaknya perkembangan untuk berbagai keahlian lainnya, Baltes berasumsi bahwa kebijaksanaan diperoleh melalui proses pembelajaran dan pelatihan yang intensif dan meluas. Proses ini tentunya membutuhkan motivasi yang tinggi untuk mencapai keunggulan (excellence) dan lingkungan sekitar yang mendukung perkembangan kebijaksanaan.

(10)

b. Karena kebijaksanaan merupakan perpaduan antara intelek dan karakter yang membuatnya berbeda dengan berbagai karakteristik positif yang lebih terbatas, perkembangan dan pengasahan kebijaksanaan membutuhkan berbagai proses dan faktor. Berbagai proses dan faktor yang dimaksud, meliputi: kemampuan intelektual tertentu, ketersediaannya seorang mentor yang mendampingi individu, penguasaan terhadap berbagai pengalaman hidup yang kritis, keterbukaan individu terhadap pengalaman baru, dan kepemilikan atas nilai-nilai yang mengarah kepada pengembangan diri, kebaikan dan toleransi.

c. Baltes menyatakan bahwa ada banyak jalan yang mengarahkan individu kepada kebijaksanaan. Tingkat kebijaksanaan yang sama dapat diperoleh dengan kombinasi proses dan faktor-faktor fasilitatif yang berbeda. Jika beberapa faktor fasilitatif tertentu tersedia dalam hidup individu, beberapa individu dapat melanjutkan perkembangan kebijaksanaannya sampai kepada tahap yang lebih tinggi. Beberapa faktor fasilitatif yang berpotensi mengembangkan kebijaksanaan adalah latara belakang keluarga tertentu, munculnya kejadian yang kritis dalam kehidupan dan individu mampu menguasainya, pelatihan profesional, perubahan dalam masyarakat, dan sebagainya.

Faktor-faktor fasilitatif yang dimaksud adalah faktor kontekstual, faktor keahlian dan faktor personal (lihat gambar 1). Ketiga faktor tersebut dianggap berpengaruh terhadap perkembangan kebijaksanaan karena ketiga faktor tersebut menentukan cara individu mengalami dunia dan perencanaannya, mengatur dan memandang kehidupannya yang tercakup dalam konteks pengaturan

(11)

perkembangan (lihat gambar 1). Faktor fasilitatif, konteks pengaturan perkembangan, dan kebijaksanaan berhubungan secara dua arah dan bersifat akumulatif sepanjang rentang kehidupan manusia (Sternberg & Jordan, 2005).

7. Karakteristik Orang yang Bijaksana

Baltes dan Kunzmann merumuskan karakteristik orang yang bijaksana berdasarkan hasil penelitian mereka (Sternberg & Jordan, 2005), yaitu:

a. Memandang fenomena dari perspektif yang lebih luas.

b. Menampilkan sikap detached (membatasi diri) dan kurang emosional. Hal ini bukan berarti orang yang bijaksana memiliki alam emosi yang datar dan dangkal. Sebaliknya, orang yang bijaksana justru dapat lebih menunjukkan kepeduliannya terhadap permasalahan yang dihadapi orang lain karena pengetahuannya yang mendasar tentang permasalahan hidup yang kompleks serta dinamika keberhasilan dan kegagalan yang mewarnai sepanjang perkembangan kehidupan manusia. Di samping itu, mereka juga cerdas dalam membatasi pengaruh negatif masalah yang dapat melumpuhkan keberdayaan mereka. Baltes menyebut kemampuan ini sebagai “constructive melancholy”. c. Lebih mementingkan pengembangan diri, wawasan, dan kesejahteraan orang

lain daripada kehidupan yang penuh dengan kesenangan dan kenyamanan. d. Lebih menggunakan pendekatan kooperatif dalam menyelesaikan konflik

antarpribadi daripada menggunakan pendekatan dominan, submisif, atau menghindar.

(12)

e. Lebih menampilkan struktur afektif yang lebih berorientasi kepada proses dan lingkungan, seperti inspirasi dan minat, daripada orientasi yang bersifat evaluatif dan mementingkan diri sendiri.

B. JENIS PEKERJAAN

Pekerjaan (occupation) adalah sekelompok jabatan (job) yang serupa dan dapat ditemukan dalam beberapa organisasi berbeda dalam waktu yang berbeda (Cascio & Aguinis, 2011). Contoh dari pekerjaan adalah masinis, dokter, guru, manajer, direktur, petani, distributor, dan sebagainya. Jenis pekerjaan adalah kelompok pekerjaan yang memiliki karakteristik yang sama dalam kerja (work), keterampilan yang digunakan, dan pendidikan atau pelatihan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut (Brown & Lent, 2005).

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, sistem klasifikasi pekerjaan juga ikut berkembang. Saat ini, ada beberapa sistem klasifikasi pekerjaan yang banyak digunakan dalam dunia pendidikan dan pekerjaan, yaitu The Standard of Occupational Classfication System (SOC

System), Holland’s Hexagon, World of Work Map (WWM), dan The Minnesota Occupational Classification System (Brown & Lent, 2005). Setelah

mempertimbangkan beberapa sistem pekerjaan tersebut, peneliti memilih World

of Work Map (WWM) sebagai sistem untuk menjelaskan jenis pekerjaan dalam

(13)

1. World of Work Map (WWM)

World of Work Map (WWM) memetakan 26 karir (kelompok pekerjaan

yang serupa) ke dalam 12 region, yang menghasilkan sistem klasifikasi pekerjaan secara bipolar (Data/Ide) dan bisektor (Benda/Orang) (Brown & Lent, 2005). Diagram World of Work Map (WWM) disajikan pada gambar 2.

Pekerjaan dengan sifat dasar Data akan nyaman bekerja dengan fakta-fakta, angka, berkas-berkas, akun-akun, dan berbagai prosedur bisnis. Pekerjaan dengan sifat dasar Data contohnya akuntan, analis finansial, administrator data kesehatan, dan sebagainya. Pekerjaan dengan sifat dasar Ide akan nyaman bekerja dengan wawasan, teori, cara baru untuk menyampaikan atau melakukan sesuatu. Contoh pekerjaan dengan sifat dasar Ide yaitu penulis, seniman, ekonom, dan psikolog yang menggunakan konsep teori yang abstrak atau yang menekankan ekspresi, kreativitas dan orisinalitas (Brown & Lent, 2005).

Pekerjaan dengan sifat dasar Orang akan nyaman bekerja dengan menolong, menginformasikan, melayani, menjaga, dan menjual barang/jasa kepada manusia, seperti petugas kesehatan dan pekerja sosial. Pekerjaan dengan sifat dasar Benda akan merasa nyaman bekerja dengan mesin, peralatan, benda hidup, dan berbagai materi seperti makanan, barang tambang, dan sebagainya. Contoh pekerjaan dengan sifat dasar benda contohnya kuli bangunan, tukang listrik, dan sebagainya (Brown & Lent, 2005).

(14)

Gambar 2. Sistem Klasifikasi Pekerjaan

membagi pekerjaan menjadi bipolar (Data/Ide) dan bisektor (Orang/Benda).

2. Human Services dan

Pekerjaan yang tergolong

melayani manusia. Berdasarkan sistem klasifikasi pekerjaan (WWM), pekerjaan yang tergolong

. Sistem Klasifikasi Pekerjaan World of Work Map (

membagi pekerjaan menjadi bipolar (Data/Ide) dan bisektor (Orang/Benda).

dan Nonhuman Services

Pekerjaan yang tergolong human services adalah berbagai pekerjaan yang melayani manusia. Berdasarkan sistem klasifikasi pekerjaan World of Work Map

(WWM), pekerjaan yang tergolong human services adalah pekerjaan yang

Work Map (WWM) yang

membagi pekerjaan menjadi bipolar (Data/Ide) dan bisektor (Orang/Benda).

adalah berbagai pekerjaan yang World of Work Map adalah pekerjaan yang

(15)

memiliki sifat dasar Orang dan perpaduannya dengan Data/Ide. Karena pekerjaan ini melayani manusia, para pekerja dalam bidang ini membutuhkan keterampilan khusus dalam menjalankan tugasnya, misalnya keterampilan komunikasi yang efektif, mendengar secara aktif, dan sebagainya. Di beberapa negara, para pekerja

human services wajib memiliki sertifikat yang menyatakan bahwa mereka telah

memiliki keterampilan tertentu dalam menjalankan tugasnya (“Human services”, 2012). Adapun beberapa contoh dari pekerjaan yang tergolong human services adalah petugas kesehatan, guru, pekerja sosial, petugas keamanan, dan sebagainya.

Pekerjaan yang dikategorikan sebagai pekerjaan nonhuman services adalah berbagai pekerjaan yang tidak melayani manusia. Dalam sistem klasifikasi pekerjaan World of Work Map (WWM), pekerjaan yang tergolong nonhuman

services adalah pekerjaan yang memiliki sifat dasar Benda dan perpaduannya

dengan Data/Ide. Contoh dari pekerjaan yang tergolong nonhuman services adalah teknisi, petugas kehutanan, kuli bangunan, petugas pembukuan, dan sebagainya.

C. Lansia 1. Masa Lansia

Masa lansia merupakan merupakan tahap terakhir dari masa dewasa, sehingga masa lansia sering juga disebut sebagai masa dewasa akhir sebelum memasuki tahap terakhir dari perkembangan manusia yaitu kematian. Masa lansia, yang biasanya dimulai pada usia 65 tahun, ditandai dengan banyaknya

(16)

(Feldman, 2012). Dari ketiga perubahan tersebut, perubahan yang paling dirasakan dan dapat dilihat oleh individu lain adalah perubahan fisik, yang disebut juga sebagai proses penuaan (aging).

Proses penuaan (aging) ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu penuaan primer (senescence) dan penuaan sekunder. Penuaan primer, atau yang lebih dikenal dengan istilah senescence, adalah proses penuaan fisik individu lansia yang terjadi pada semua manusia yang tidak dapat dicegah karena bersifat genetik dan tidak dapat dicegah. Sebaliknya, penuaan sekunder merupakan perubahan pada fisik lansia yang disebabkan oleh penyakit, kebiasaan hidup sehat, dan berbagai faktor lainnya yang sebenarnya dapat dicegah oleh individu bersangkutan. Sebagai contoh, hanya beberapa individu lansia yang mengalami penyakit kencing manis (diabetes mellitus) karena sering mengkonsumsi makanan yang manis dan jarang berolahraga.

Secara fisik, individu yang telah berusia 65 tahun ke atas tentunya mengalami perubahan bertahap dari kondisi tubuhnya yang sehat menuju kondisi yang memprihatinkan seperti rasa sakit dan penyakit. Namun, ada beberapa individu lansia masih dapat bertahan dalam kondisi sehat dan tetap menikmati banyak kegiatan yang dilakukannya ketika masih muda dulu. Secara kognitif, individu lansia mengalami kemunduran dalam proses penalarannya, namun dapat mencari strategi untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan tersebut. Secara psikososial, individu lansia menyesuaikan diri dalam menghadapi perubahan yang terjadi di lingkungannya, seperti kematian orang yang dikasihinya dan waktunya untuk pensiun dari pekerjaannya (Feldman, 2012).

(17)

2. Usia Lansia

Feldman (2012) menyatakan bahwa masa lansia dimulai dari usia 65 tahun ke atas. Santrock (2011) menyebut masa lansia dimulai dari 60 tahun ke atas sampai sekitar 120 tahun atau 125 tahun yang merupakan perkiraan masa hidup terlama manusia zaman sekarang. Lansia merupakan individu yang telah memasuki usia 65 tahun atau lebih (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Menurut PBB atau United Nations (UN), lansia adalah individu yang berusia 60 tahun ke atas (Blackburn & Dulmus, 2007).

Secara spesifik, Charness dan Bosman membagi usia lansia menjadi beberapa tahap (Santrock, 2011), yaitu:

a. Tahap young-old (usia 65 sampai 74 tahun) b. Tahap old-old (usia 75 tahun ke atas)

Seorang ahli lain bernama Dunkle membagi usia lansia menjadi beberapa tahapan (Santrock, 2011). Tahapan tersebut meliputi:

a. Tahap young old adult (usia 65 sampai 74 tahun) b. Tahap old-old adult (usia 75 sampai 84 tahun) c. Tahap oldest-old adult (usia 85 tahun ke atas)

Dari beberapa definisi ahli di atas, seorang individu telah memasuki kategori lansia apabila berusia 60 atau 65 tahun ke atas, terlepas dari bagaimana para ahli membagi usia lansia sendiri menjadi beberapa tahap.

(18)

3. Perkembangan Psikososial Lansia

Aspek psikososial pada masa lansia menentukan proses penuaan yang sukses dalam kehidupan lansia yang bersangkutan. Berikut ini adalah paparan beberapa teori tentang proses penuaan yang sukses pada masa lansia, yaitu:

a. Disengagement theory

Cummings dan Henry menyatakan bahwa individu lansia secara perlahan-lahan mulai menarik diri dari dunia secara fisik, psikologis, dan sosial (Feldman, 2012). Secara fisik, lansia mengalami penurunan stamina tubuh sehingga aktivitas fisiknya mengalami perlambatan secara bertahap. Secara psikologis, lansia mulai menarik diri dari dunia luar dan lebih berfokus pada dunia psikologisnya sendiri. Secara sosial, Quinnan berpendapat bahwa lansia menarik diri dari pergaulan sosial dan jarang bertemu dengan orang lain lagi (Feldman, 2012).

Teori ini tidak banyak didukung dengan hasil penelitian. Di samping itu, teori ini menerima penolakan dari masyarakat karena teori ini memberikan gambaran masyarakat yang tidak mampu menyediakan pelayanan bagi lansia. Teori ini juga menyalahkan lansia karena menarik diri dari masyarakat. Menurut Crosnoe & Elder, para ahli gerontologi pada zaman sekarang juga menolak

disengagement theory ini karena tidak semua lansia menarik diri dari masyarakat

(Feldman, 2012). b. Activity theory

Teori ini merupakan kebalikan dari disengagement theory. Teori ini menyatakan bahwa proses penuaan yang sukses terjadi apabila individu lansia tetap berhubungan dengan teman-temannya dan aktif dalam pergaulan sosial.

(19)

Hutchinson & Wexler menyatakan bahwa kebahagiaan individu berasal dari keterlibatannya dalam pergaulan masyarakat (Feldman, 2012).

Teori ini juga tidak terlalu banyak mendapat dukungan karena tidak semua aktivitas dapat memberikan kepuasan yang sama bagi lansia. Adams menyatakan bahwa yang memberikan kepuasan dalam kehidupan individu adalah sifat dasar aktivitas tersebut, bukan frekuensi mengikuti aktivitas (Feldman, 2012).

c. Continuity theory

Pushkar berpendapat bahwa individu yang mengetahui kapan waktunya untuk menarik diri dan kapan bergaul dengan masyarakatlah yang dapat menjalani proses penuaan dengan sukses (Feldman, 2012). Menurut Holahan dan Chapman, individu yang senang bergaul dengan masyarakat akan memperoleh lebih banyak kesenangan ketika bergaul dengan teman-temannya, sebaliknya individu yang senang menikmati waktunya sendirian akan menemukan lebih banyak kepuasan dengan aktivitas membaca atau berjalan-jalan sendiri di taman (Feldman, 2012).

d. Selective optimization

Paul Baltes dan Margaret Baltes mengemukakan model selective optimization sebagai kunci bagi lansia untuk menjalani proses penuaan yang sukses. Selective

optimization adalah sebuah proses yang dilakukan individu dengan berfokus pada

kemampuannya yang lain sebagai kompensasi atas kekurangannya pada keterampilan lain (Feldman, 2012). Proses ini dilakukan untuk memperkuat sumber daya kognitif, motivasi dan fisik secara umum.

(20)

menggalang konser pianonya dengan mengurangi jumlah lagu yang dimainkannya sebagai bentuk selektif dan berfokus pada beberapa lagu yang dimainkannya sebagai bentuk optimisasi (Feldman, 2012).

Aspek psikososial dalam kehidupan individu lansia tidak hanya berupa proses penuaan yang sukses, tetapi juga hubungan sosialnya dengan orang lain. Pertemanan merupakan salah satu hubungan yang sangat penting dan berarti dalam kehidupan lansia. Dalam pertemanan, individu memilih siapa yang mereka sukai dan tidak disukai. Teman juga dapat menjadi pengganti ikatan yang hilang karena ditinggal mati pasangan. Namun, teman sendiri juga dapat meninggal dunia. Persepsi lansia terhadap pertemanan juga menentukan bagaimana lansia berekasi terhadap kematian temannya. Hartshorne menyatakan bahwa lansia yang memandang pertemanan sebagai hubungan yang tidak tergantikan akan mengalami kesulitan yang lebih besar dalam menghadapi kematian temannya dibandingkan dengan lansia yang memandang temannya sebagai satu di antara sejumlah teman lainnya (Feldman, 2012).

Hubungan pertemanan juga dapat menjadi dukungan sosial (social support) bagi lansia. Dukungan sosial adalah pemberian bantuan dan rasa nyaman oleh suatu jaringan yang terdiri dari orang-orang yang tertarik dan mengasihi (Feldman, 2012). Memiliki dukungan sosial dapat memberikan manfaat bagi lansia, yaitu sebagai tempat menceritakan permasalahan hidup lansia terutama bila orang yang memberikan dukungan sosial juga memiliki pengalaman yang serupa dengan individu yang sedang didukungnya, memberikan bantuan material seperti mengurus rumah tangga, dan memberikan solusi untuk mengatasi permasalahan

(21)

hidup sehari-hari (Feldman, 2012). Memberikan dukungan sosial kepada orang lain ternyata juga dapat meningkatkan rasa percaya diri (self-esteem) dan merasa berguna pada lansia karena telah berkontribusi dalam kehidupan orang lain (Feldman, 2012).

D. PERBEDAAN KEBIJAKSANAAN (WISDOM) PADA LANSIA DITINJAU DARI JENIS PEKERJAAN

Populasi lansia di Indonesia berjumlah sekitar 24 juta jiwa dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia (Wahyuningsih, 2011). Dengan begitu besarnya jumlah lansia di Indonesia, seharusnya kualitas pelayanan masyarakat terhadap lansia tergolong baik. Faktanya, masih banyak fasilitas umum yang tidak mendukung lansia (Wahyuningsih, 2011). Hal ini mungkin dikarenakan adanya prasangka (stereotype) masyarakat terhadap lansia.

Kuntjoro (2010) mencantumkan beberapa prasangka negatif yang dimiliki masyarakat Indonesia terhadap lansia. Penelitian Hummert menemukan bahwa masyarakat Amerika memiliki prasangka positif dan negatif terhadap lansia (Willis & Schaie, 2011). Hasil penemuan tersebut tentunya tidak jauh berbeda dengan kondisi negara kita karena terdapat beberapa persamaan dengan penelitian yang dilakukan Kuntjoro (2010). Salah satu prasangka positif yang dimiliki masyarakat terhadap lansia adalah bahwa lansia dipandang sebagai tokoh masyarakat yang bijaksana.

(22)

pengetahuan. Baltes menyatakan bahwa kebijaksanaan merupakan keahlian dalam mengatasi permasalahan mendasar yang berkaitan dengan perilaku dan makna hidup (Sternberg & Jordan, 2005). Baltes mengajukan lima kriteria kebijaksanaan yang wajib dipenuhi semuanya agar seseorang dapat dinyatakan sebagai orang yang memiliki kebijaksanaan. Kelima kriteria kebijaksanaan Baltes adalah rich

factual knowledge, rich procedural knowledge, lifespan contextualism, values relativism/tolerance, dan awareness/management of uncertainty (Sternberg &

Jordan, 2005).

Usia lanjut memang bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan kebijaksanaan dalam diri individu (Schaie & Willis, 2011), namun masyarakat Indonesia masih memandang lansia sebagai model yang paling identik dengan kebijaksanaan. Hal ini terlihat dari pola hidup sehari-hari masyarakat Indonesia yang mendatangi individu lansia untu keminta nasihat ketika menghadapi permasalahan. Baltes mengasumsikan bahwa kebijaksanaan individu lansia mulai menurun setelah usia 75 tahun seiring dengan menurunnya fungsi kognitifnya yang mereka miliki (Snyder & Lopez, 2002).

Pengalaman hidup juga merupakan satu dari beberapa faktor yang dianggap dapat mempengaruhi tingkat kebijaksanaan individu. Salah satu pengalaman hidup yang dimaksud berupa pendidikan dan jenis pekerjaan yang dipilih individu, yang didukung oleh hasil penelitian Baltes dan Staudinger yang menemukan bahwa individu yang bekerja melayani manusia (human services) memperoleh nilai yang lebih tinggi untuk kriteria kebijaksanaan dibandingkan individu yang tidak bekerja melayani manusia (nonhuman services) (Sternberg &

(23)

Jordan, 2005). Penjelasan di balik hasil penelitian tersebut diduga bahwa individu yang bekerja melayani manusia mendapatkan kesempatan untuk mengasah ketajaman perspektif mereka dalam memandang masalah dan keterampilan memecahkan masalah kehidupan yang kompleks.

Penelitian ini bermaksud untuk membandingkan kebijaksanaan pada lansia yang pernah bekerja di bidang pekerjaan yang melayani manusia (human services) dan lansia yang pernah bekerja di bidang yang tidak melayani manusia (nonhuman services) dengan jenis pekerjaan yang lebih beragam dibandingkan penelitian yang telah dilakukan oleh Baltes dan Staudinger. Berikut ini adalah kerangka berpikir penelitian ini:

(24)

Gambar 3. Kerangka berpikir penelitian

E. HIPOTESA PENELITIAN

H0: Tidak ada perbedaan kebijaksanaan pada lansia ditinjau dari jenis

pekerjaan.

H1: Ada perbedaan kebijaksanaan pada lansia ditinjau dari jenis pekerjaan,

yaitu lansia yang pernah bekerja di bidang pekerjaan yang melayani manusia (human services) lebih bijaksana dibandingkan dengan lansia yang pernah bekerja di bidang pekerjaan yang tidak melayani manusia

Gambar

Gambar  1.  Berlin  Wisdom  Model  yang  dikembangkan  oleh  Baltes  dan  rekannya (Sternberg & Jordan, 2005)
Gambar 2 . Sistem Klasifikasi Pekerjaan
Gambar 3. Kerangka berpikir penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengenkapsulasi logam Fe didapatkan penurunan energi LUMO pada struktur pita BNNTs dan menurunkan celah pita sebesar 1,49 eV, sedangkan dengan mengenkapsulasi logam Cu

Bentuk reduplikasi utuh menyatakan banyak atau bermacam-macam, sifat/ keadaan, hal/ tentang, kesamaan waktu, pekerjaan berulang-ulang, sesuatu yang dikenal karena

Pada kegiatan ini produk olahan ikan yang dipilih untuk diintroduksikan kepada mitra PKM adalah kerupuk dan bakso ikan dengan bahan baku ikan asli Kalimantan yang

Risiko sederhana kritikal pula ialah risiko yang walaupun memberikan impak yang sederhana kepada program namun apabila risiko tersebut wujud dalam jumlah yang banyak ia

Islam mengemukakan bahwa Al-Qur’an memberikan ilustrasi atau contoh tentang perencanaan Nabi Musa AS pada saat hendak menghadapi Fir’aun, yaitu dengan mempersiapkan

Model Komponen Adaptif Pencapaian dari gameplay akan menjadi ukuran yang digunakan oleh komponen adaptif dalam melakukan penyesuaian aktivitas pembelajaran dan skenario

(2) Kawasan permukiman perdesaan seluas 5.072,49 Ha atau 1,46 % dari luas wilayah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah suatu kawasan untuk

Gambar 4.56 Hasil Test Case 15 “ Mengetahui respon sistem ketika data sisa pengiriman ditambahkan ” – Form Lihat Transaksi untuk Bagian Admin. A.6 Uji Coba Proses Input