• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI COBA PERANGKAT LUNAK RES2DINV VER. 3.3 PADA PENGUKURAN METODE TAHANAN JENIS DI LABORATORIUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI COBA PERANGKAT LUNAK RES2DINV VER. 3.3 PADA PENGUKURAN METODE TAHANAN JENIS DI LABORATORIUM"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

UJI COBA PERANGKAT LUNAK RES2DINV VER. 3.3 PADA

PENGUKURAN METODE TAHANAN JENIS

DI LABORATORIUM

Frinsyah Virgo

Jurusan Fisika FMIPA Universitas Sriwijaya

ABSTRAK

The test to check the quality of Res2dinv Ver. 3.3 software in the measurement of the resistivity method in laboratory has successfully been performed. The test was performed on the physical model which was made as an analogical for a specific condition. The form of physical model was vessel-alike contains the specific layer model, and in this layer was planted with some anomaly substances, i.e. long block, short block, cylinder and ball shapes in a certain size. The results showed that the software has a quality to be used in the measurement of the resistivity in the laboratory scale. It has been proven by its ability to map accurately the form and the layer limit, the depth and the position of the anomaly substances for the physical model prepared. However, its ability to map the real form of the anomaly substances was not good, since the resistivity distribution contour was unable to distinguish clearly the form of the substances underneath the surface.

Keywords: Resistivity, Res2dinv software, the physical model

PENDAHULUAN

Perangkat lunak Res2dinv telah banyak digunakan sebagai perangkat lunak untuk pengolahan data dan interpretasi pada survei-survei metode tahanan jenis 2-D. Perangkat lunak ini telah dipakai dalam pemetaan zona pelapukan di atas

basement granitik dan metamorfik di

Senegal Utara1. Juga telah digunakan antara lain pada; pemetaaan litologi dekat permukaan yang tercemar oleh polutan pertanian di Denmark, pemetaan rongga bawah permukaan di Austin-Texas, pemetaan daerah akumulasi air tanah pada kasus tanah longsor di Cangkat Jering – Malaysia, survei sulfida logam di sungai Magusi – Kanada, survei tomografi tahanan jenis untuk aliran air asin di antara dua lubang

bor di U.K., dan survei endapan lumpur di Lernacken – Swedia2. Di bidang arkeologi, untuk penentuan situs purba-kala di sekitar candi Gentong, Mojokerto – Jawa Timur3. Perangkat lunak ini juga telah untuk penyelidikan air tanah di pulau Euboea, Yunani4. Dari uraian di atas, dapat digarisbawahi bahwa perang-kat lunak Res2dinv ini cukup handal dan aplikatif sekali digunakan pada penyeli-dikan atau pengukuran distribusi tahanan jenis (

ρ

) dalam skala lapangan.

Hal yang menarik yang menjadi perha-tian adalah bahwa sejauh ini belum ada tulisan atau artikel yang mengungkapkan tentang aplikasi perangkat lunak ini untuk pengukuran tahanan jenis dalam skala laboratorium, misalnya untuk pengukuran tahanan jenis pada

(2)

pemodelan fisis di laboratorium. Jika perangkat lunak tersebut juga dapat diaplikasikan, maka tentunya sangat bermanfaat sekali untuk mengetahui gambaran tentang proses pengukuran dan akuisisi data di lapangan yang harus dilakukan.

Berdasarkan fenomena di atas, maka timbul gagasan untuk menguji kehan-dalan perangkat lunak Res2dinv ini dalam memetakan/menggambarkan ben-tuk perlapisan, dimensi, kedalaman dan posisi benda anomali yang ditanam, pada pengukuran tahanan jenis dalam skala laboraturium. Pengujian dilakukan dengan jalan melakukan pengukuran 2-D distribusi nilai tahanan jenis pada beberapa model fisis yang dibuat sebagai analogi dari suatu kondisi geologi lapangan yang ada.

Perangkat Lunak Res2dinv versi 3.3

Perangkat lunak Res2dinv adalah program inversi yang secara otomatis dapat menentukan model 2-D dari ta-hanan jenis di bawah permukaan berda-sarkan data survei tahanan jenis 2-D. Program inversi ini bekerja berdasarkan metoda least square smoothness constrained, yang pada dasarnya proses

mereduksi perbedaan antara nilai taha-nan jenis semu yang dihitung dengan yang terukur4,5

Jika diasumsikan model yang digunakan dalam inversi tahanan jenis 2-D terdiri dari sejumlah blok-blok persegi-panjang dari tahanan jenis konstan, maka digunakan pendekatan konvensional yaitu menggunakan metoda optimasi ite-rasi nonlinier untuk menentukan tahanan jenis dari blok-blok tersebut. Metoda

least square smoothness-constrained

da-pat digunakan untuk menentukan taha-nan jenis dari blok-blok persegi-panjang (parameter model) yang akan memini-mumkan perbedaan antara nilai tahanan

jenis semu yang terukur dan terhitung-nya6. Persamaan least square

smooth-ness-constrained yang digunakan adalah: (JT J +

λ

δ

T

δ

) p = JT g (1)

dengan J adalah matriks Jacobian dari turunan parsial tiap-tiap blok,

λ

adalah faktor redaman (damping factor), g adalah vektor ketidakcocokan

(discre-pancy) yang mengandung perbedaan

logaritmik antara nilai tahanan jenis semu hasil pengukuran dan hasil perhitungan, p adalah vektor koreksi untuk parameter model.

δ

adalah filter

flatness 2-D yang digunakan untuk

memperhalus gangguan pada parameter model menjadi beberapa nilai konstan, amplitudo elemen dari matriks

δ

akan meningkat 10 % pada setiap peningkatan kedalaman blok untuk menstabilkan proses inversi. Logaritma nilai tahanan jenis model digunakan di dalam perhi-tungan vektor koreksi model.

Metode inversi tahanan jenis secara umum dibagi menjadi tiga langkah. Langkah pertama adalah menghitung nilai tahanan jenis semu berdasarkan model yang digunakan, umumnya dilakukan dengan menggunakan metoda beda-hingga atau elemen-hingga. Lang-kah kedua adalah menghitung matriks Jacobian J dari turunan parsial dari tiap-tiap blok. Langkah ketiga adalah mencari solusi sistim persamaan linier persamaan (1) di atas. Banyak metoda yang dapat digunakan untuk mencari solusi sistim persamaan linier tersebut, diantaranya adalah metoda dekomposisi nilai-singular6.

Langkah-langkah metoda inversi untuk memproses penampang vertikal tahanan jenis adalah sebagi berikut6;

1. Logaritma tahanan jenis model awal bumi homogen qo dihitung pertama sekali dengan mengambil nilai rata-rata logaritma nilai tahanan jenis semu yang terukur f menggunakan Persamaan 2 berikut ini:

(3)

qo = m 1

= m i 1 f i (2) Karena respon model yo pada semua titik data adalah sama, sehingga nilai vektor ketidakcocokan g dari tahanan jenis model awal qo dapat dihitung (g

= f - yo).

2. Matriks Jacobian J dihitung untuk tiap konfigurasi elektroda dari nilai-nilai turunan parsial yang telah disimpan pada file data. Nilai faktor redaman λ yang cocok dipilih (biasanya sekitar 0.05), kemudian set-up Persamaan (1). Nilai λ bergantung pada tingkat noise yang ada pada data. Nilai λ yang besar digunakan untuk tingkat noise yang tinggi. Untuk blok-blok dengan ukuran sama akan menurun dengan meningkatnya kedalaman blok. Nilai

δ akan menurun sekitar 10% untuk setiap level kedalaman baris blok. 3. Persamaan (1) kemudian

diselesai-kan untuk menentudiselesai-kan vektor peru-bahan parameter model p. Kemudian tentukan q1 tahanan jenis blok-blok menggunakan Persamaan 3 berikut:

q1 = qo + p (3) Karena distribusi tahanan jenis q1 bawah permukaan yang ditentukan dipengaruhi oleh pemilihan λ, maka sebaiknya perhitungan diulangi untuk nilai λ yang berbeda.

Metode Tahanan Jenis

Prinsip pengukuran metoda tahanan jenis

Metoda tahanan jenis merupakan salah satu metoda geolistrik yang mempelajari sifat tahanan jenis dari lapisan batuan di dalam bumi, yaitu dengan mengalirkan arus ke dalam tanah melalui elektroda arus dan kemudian mengukur harga potensial melalui elektroda potensial

yang segaris dengan elektroda arus. Kemudian kita akan dapat menghitung harga tahanan jenis berdasarkan besar arus dan potensial yang terukur (lihat Persamaan 4). Kedalaman pengukuran dapat ditambah dengan menambah jarak spasi antara elektroda (a), karena semakin besar spasi elektroda, maka semakin dalam efek penembusan lapisan batuan yang terjadi.

Harga tahanan jenis semu dapat dihitung dengan menggunakan rumus pada Persamaan 4 berikut ini7:

I V R I V K a= ∆ ; =∆ /

ρ

(4)

dimana

ρ

a adalah tahanan jenis semu, K

adalah faktor geometri,

V adalah beda

potensial antara kedua elektroda potensial, I adalah kuat arus yang diinjeksikan dan R adalah tahanan listrik yang terjadi.

Pemilihan konsfigurasi elektroda

Di dalam pengukuran metoda tahanan jenis dikenal beberapa konfigurasi elek-troda, antara lain konsfigurasi Wenner, Schlumberger, dipole-dipole, pole-dipole dan pole-pole7. Loke, mengungkapkan bahwa setiap konfigurasi memiliki kelebihan dan kekurangan2. Pemilihan konfigurasi elektroda yang digunakan sangat bergantung kepada tipe dari struktur geologi yang akan dipetakan, sensitivitas konsfigurasi terhadap peru-bahan nilai tahanan jenis secara vertikal dan horizontal, kedalaman investigasi, cakupan data horisontal dan kuat sinyal dari peralatan yang digunakan. Sementara itu Ritz dkk., mengungkap- kan bahwa ukuran dari spasi elektroda yang digunakan juga menentukan cakupan data horizontal dan kedalaman investigasi yang dihasilkan1. Dengan demikian keberhasilan dari suatu pengukuran sangat bergantung kepada konsfigurasi dan spasi elektroda yang dipilih.

(4)

METODE PENELITIAN Model Fisis

Model fisis yang dibuat berupa bak berukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 1.8 m, 1.2 m dan 0.8 m. Sedangkan tebal kaca yang digunakan adalah 10 mm, resistivity meter Naniura, accu 12 V sebagai sumber arus DC, elektroda arus dan potensial, terbuat dari kawat tembaga berdiameter 2,5 mm dan panjang 10 cm, kabel konektor, meteran, material ; tanah dengan tahanan jenis 825 Ωm dan lempung dengan tahanan jenis 483 Ωm.

Benda anomali berbentuk balok panjang berongga berukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 52 cm, 26 cm dan 26 cm ; balok pendek berongga beru-kuran panjang 28 cm, lebar 28 cm dan tinggi 25 cm; balok tipis berongga beru-kuran panjang 40 cm, lebar 22 cm dan tinggi 8 cm; silinder berongga berukuran panjang 44,5 cm dan diameter 16 cm; bola berongga berdiameter 20 cm.

Set-up Model Fisis dan Pemilihan Konsfigurasi Elektroda

Pembuatan bak dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 1.8 m, 1.2 m dan 0.8 m. Bak diisi dengan tanah dan lempung Lintasan pengukuran yang digunakan adalah 1 dengan panjang 150 cm dan spasi elektroda terkecil adalah 5 cm.

Pertama dibuat 2 lapisan horizontal, lapisan atas adalah tanah dengan tebal 25 cm dan lapisan bawah adalah lempung dengan tebal 35 cm (lihat Gambar 1.a). Kemudian dilakukan pemilihan konsfi-gurasi elektroda untuk diterapkan pada bentuk lapisan ini, dengan jalan mela-kukan pengukuran menggunakan ketiga konfigurasi elektroda yang ada (Wenner, Schulumberger dan dipole-dipole). Se-lanjutnya berdasarkan penampang verti-kal yang terbentuk dan kriteria pemilihan konsfigurasi elektroda (faktor penetrasi kedalaman dan kemampuan dalam

memetakan kedalaman batas perla-pisan), maka dapat dipilih satu kons-figurasi elektroda yang memberikan hasil paling baik

Kemudian dibuat 2 lapisan vertikal, lapi-san sebelah kiri adalah tanah dan sebelah kanan lempung (lihat Gambar 1.b). Lalu dilakukan prosedur pemilihan konsfigu-rasi elektroda (sama seperti pada perla-pisan horizontal) yang paling baik untuk diterapkan pada perlapisan vertikal ini nantinya.

Selanjutnya dibuat bentuk perlapisan horizontal-vertikal (lihat Gambar 1.c). Lalu dilakukan juga pemilihan konsfi-gurasi elektroda yang paling baik untuk diterapkan pada bentuk perlapisan ini.

Modifikasi Model Fisis dan Pengukuran dengan Konsfigurasi Elektroda Terpilih

Pada tahap ini masing-masing benda anomali berongga akan ditanam ke dalam 3 bentuk perlapisan yang ada pada model fisis yang telah dibuat. Kemudian dilakukan pengukuran menggunakan konsfigurasi elektroda yang terpilih, sesuai dengan hasil pemilihan konsfigu-rasi elektroda yang telah dilakukan. Lintasan pengukuran dan spasi elektroda yang digunakan sama dengan pengukuran sebelumnya. Tanah ρ1 Lempung ρ2 60 cm 25 cm 35 cm Gb. 1a Tanah 1 ρ ρ2 Gb. 1b Lempung Tanah 1 1 ρ Lempung Gb. 1c Tanah 2 3 ρ 25 cm 35 cm

Gambar 1. Bentuk-bentuk perlapisan yang digunakan dalam model fisis ; (a) Perlapisan horizontal (b) Perlapisan vertikal (c) Perlapisan Horizontal-vertikal.

Pengolahan dan Analisa Data

Pada tahap ini data hasil pengukuran diolah menggunakan perangkat lunak Res2dinv untuk mendapatkan penam-pang vertikal distribusi tahanan jenis terhadap kedalamannya. Parameter

(5)

input-nya adalah jenis konfigurasi elektroda, posisi titik data (x), spasi elektroda (a), faktor separasi elektroda (n), nilai arus (I) dan beda potensial (V) yang terukur. Sedangkan outputnya adalah nilai taha-nan jenis (ρ) yang berubah terhadap kedalaman (d).

Selanjutnya akan dilakukan analisis terhadap karakteristik setiap konfigurasi elektroda, termasuk kelebihan dan kekurangannya berdasarkan penerapan-nya pada model fisis yang dibuat. Kemu-dian dilanjutkan dengan analisis dan pengujian terhadap keakuratan tampilan penampang vertikal tahanan jenis yang dihasilkan dalam menggambarkan batas perlapisan, dimensi dan posisi kedalaman benda anomali; apakah mendekati, sesuai atau menyimpang dari kondisi yang telah dimodelkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Spasi elektroda terkecil yang digunakan pada perangkat lunak Res2dinv adalah 1 meter. Untuk itu telah dilakukan perbandingan agar pemodelan fisis yang telah dibuat dapat diolah dengan perang-kat lunak ini, yaitu 1 m mewakili 1 cm satuan panjang pada pemodelan fisis.

Model 2 Lapis Horizontal Tanpa Benda Anomali

Hasil inversi menggunakan perangkat lunak Res2dinv untuk pemodelan dan pengukuran yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini. Dari Gambar 1 terlihat bahwa pengukuran dengan menggunakan konfigurasi elek-troda dipole-dipole memberikan laman investigasi atau penetrasi keda-laman yang paling dalam, dibanding dengan kedua konfigurasi elektroda lainnya, yaitu sampai dengan ± 34,5 cm. Tebal perlapisan yang dimodelkan dalam pemodelan fisis adalah 25 cm tebal lapisan tanah (lapisan atas) dan 35 cm tebal lapisan lempung (lapisan bawah),

sementara kemampuan penetrasi keda-laman menggunakan konfigurasi elek-troda Wenner dan Schlumberger hanya sampai pada kedalaman ± 29,3 cm. Hal ini menggambarkan bahwa kedalaman perlapisan yang dipetakan jauh lebih baik dengan menggunakan konfigurasi elektroda dipole-dipole.

Dari ketiga gambar hasil inversi masing-masing konsfigurasi elektroda, berda-sarkan pola kontur tahanan jenis yang terbentuk terlihat bahwa pola kontur yang dihasilkan dengan menggunakan konfigurasi elektroda dipole-dipole lebih teratur (gradasi warna) dan lebih landai (gradasi warnanya) dibanding dengan konfigurasi lainnya. Hal ini memper-lihatkan bahwa model perlapisan yang dibentuk jauh lebih baik dan cukup sesuai dengan kondisi model fisis yang dibuat.

Dengan konsfigurasi Schlumberger dan Wenner kedua warna tersebut diplot pada kedalaman lebih dangkal di bawah

± 16,25 cm, sedangkan dengan konsfi-gurasi dipole-dipole warna tersebut di plot pada kedalaman ± 21 21 cm. Sementara batas perlapisan yang dibuat pada pemodelan fisis adalah pada kedalaman 25 cm. Hal ini memper-lihatkan bahwa konsfigurasi dipole-dipole lebih mampu memetakan batas perlapisan yang ada.

Dengan demikian konsfigurasi elektroda yang paling cocok diterapkan pada model fisis 2 lapis horizontal tanpa benda anomali adalah konsfigurasi elek-troda dipole-dipole.

Model 2 Lapis Vertikal Tanpa Benda Anomali

Hasil inversi menggunakan perangkat lunak Res2dinv untuk pemodelan dan pengukuran yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

(6)

a

b

c

Gambar 1. Model 2 lapis horizontal tanpa benda anomali menggunakan konsfigurasi ; (a) Schlumberger (b) Wenner (c) Dipole-Dipole

a

b

c

Gambar 2. Model 2 lapis vertikal tanpa benda anomali menggunakan konsfigurasi : (a) Schlumberger (b) Wenner (c) Dipole-Dipole

(7)

a

b

c

Gambar 3. Model 3 lapis horizontal-vertikal tanpa benda anomali menggunakan konsfigurasi : (a) Schlumberger (b) Wenner (c) Dipole-Dipole

a

b

c

Gambar 4. Model 2 lapis horizontal + benda anomali menggunakan konsfigurasi : (a) Dipole-Dipole (b) Wenner (c)Schlumberger

(8)

Sama halnya dengan Gambar 1, Gambar 2 juga memperlihatkan bahwa keda-laman perlapisan yang dipetakan jauh lebih baik dengan menggunakan kons-figurasi elektroda dipole-dipole.

Dari ketiga gambar hasil inversi masing-masing konsfigurasi elektroda, berda-sarkan pola kontur tahanan jenis yang terbentuk terlihat bahwa pola kontur yang dihasilkan dengan menggunakan konfigurasi elektroda dipole-dipole lebih homogen dan lebih kontras antara lapi-san kiri dan kanan (lebih sedikit kontur tahanan jenis yang terjadi).

Hal ini memperlihatkan bahwa model perlapisan yang dibentuk jauh lebih baik dan cukup sesuai dengan kondisi model fisis yang dibuat. Sehingga batas lapisan (terletak pada jarak 70 cm dari titik 0) lebih kontras terlihat.

Dengan demikian konsfigurasi elektroda yang paling cocok diterapkan pada model fisis 2 lapis vertikal tanpa benda anomali ini adalah konsfigurasi elek-troda dipole-dipole.

Model 3 Lapis Horizontal-Vertikal Tanpa Benda Anomali

Hasil inversi menggunakan perangkat lunak Res2dinv untuk pemodelan dan pengukuran yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.

Sama halnya dengan Gambar 2, Gambar 3 juga memperlihatkan bahwa keda-laman perlapisan dan model perlapisan yang dipetakan jauh lebih baik dengan menggunakan konsfigurasi elektroda dipole-dipole dibandingkan dengan kedua konsfigurasi lainnya.

Dengan demikian konsfigurasi elektroda yang paling cocok diterapkan pada

model fisis 3 lapis horizontal-vertikal tanpa benda anomali ini juga adalah konsfigurasi elektroda dipole-dipole.

Model 2 Lapis Horizontal dengan Benda Anomali

Hasil inversi menggunakan perangkat lunak Res2dinv untuk pemodelan dan pengukuran yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4.

Benda anomali yang ditanam pada model fisis ini berbentuk balok panjang dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 52 cm, 26 cm dan 26 cm. Ditanam pada kedalaman 13 cm dari permukaan.

Sama halnya dengan Gambar 1, Gambar 4 juga memperlihatkan bahwa keda-laman perlapisan yang dipetakan jauh lebih baik dengan menggunakan kons-figurasi elektroda dipole-dipole, yaitu sampai dengan ± 34,5 cm.

Dari Gambar 4 terlihat bahwa bentuk benda yang paling baik dipetakan oleh konsfigurasi dipole-dipole (Gambar 4.a). Hal ini disebabkan pola kontur klosur yang terjadi lebih menyerupai balok panjang, jika diamati gradasi warna dipetakan dengan panjang ± 50 cm dan tinggi ± 26 cm ini sangat sesuai dengan dimensi dari benda anomali. Demikian juga dengan kedalaman warna-warna tersebut dimulai pada kedalaman ± 13 cm dari permukaan, dan ini sangat sesuai dengan kedalalaman benda pada pemodelan fisis.

Dari uraian di atas, maka konsfigurasi elektroda yang paling cocok diterapkan pada model fisis 2 lapis horizontal dengan benda anomali balok panjang adalah konsfigurasi elektroda dipole-dipole.

(9)

Model 2 Lapis Vertikal dengan Benda Anomali

Hasil inversi menggunakan perangkat lunak Res2dinv untuk pemodelan dan pengukuran yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 5.

Benda anomali yang ditanam pada model perlapisan ini adalah sama dengan benda anomali yang ditanam pada model 2 lapis horizontal. Sama halnya dengan Gambar 4, Gambar 5 juga memper-lihatkan bahwa kedalaman dan bentuk perlapisan serta bentuk benda anomali yang dipetakan jauh lebih baik dengan menggunakan konsfigurasi elektroda dipole-dipole.

Dengan demikian, maka konsfigurasi elektroda yang paling cocok diterapkan pada model fisis 2 lapis vertikal dengan

benda anomali balok panjang adalah konfigurasi elektroda dipole-dipole.

Model 3 Lapis Horizontal-Vertikal dengan Benda Anomali

Hasil inversi menggunakan perangkat lunak Res2dinv untuk pemodelan dan pengukuran yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 6.

Sama halnya dengan Gambar 5, Gambar 6 juga memperlihatkan bahwa keda-laman dan bentuk perlapisan serta bentuk benda anomali yang dipetakan jauh lebih baik dengan menggunakan konfigurasi elektroda dipole-dipole. Dengan demikian, maka konfigurasi elektroda yang paling cocok diterapkan pada model fisis ini juga adalah konsfigurasi elektroda dipole-dipole.

a

b

c

Gambar 5. Model 2 lapis vertikal + benda anomali menggunakan konsfigurasi : (a) Dipole-Dipole (b) Wenner (c)Schlumberger

(10)

a

b

c

Gambar 6. Model 3 lapis horizontal-vertikal + benda anomali menggunakan konsfigurasi : (a) Dipole-Dipole (b) Wenner (c)Schlumberger

Penerapan Konsfigurasi Elektroda pada Pengukuran Benda Anomali

Berdasarkan uji coba penerapan kons-figurasi elektroda pada ke tiga model perlapisan tersebut, baik tanpa benda anomali maupun dengan menggunakan benda anomali, diperoleh bahwa kons-figurasi elektroda yang paling cocok diterapkan kepada model fisis yang dibuat adalah konsfigurasi elektroda dipole-dipole. Selanjutnya konfigurasi dipole-dipole ini digunakan pada peng-ukuran model 2 lapis horizontal yang didalamnya ditanam benda anomali berbentuk balok panjang, balok pendek, silinder dan bola. Hasil inversi menggunakan perangkat lunak Res2dinv untuk pemodelan dan pengukuran yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 7.

Dari Gambar 7.a – d yang dapat diamati antara lain adalah :

1. Pola kontur yang terbentuk memperlihatkan model dan batas perlapisan yang relatif sesuai dengan model fisis yang dibuat, yaitu model 2 lapis horizontal dengan batas perlapisan pada kedalaman 25cm. 2. Dimensi benda anomali dipetakan

cukup akurat, ini dapat dilihat dari dimensi panjang dan tinggi (tampilan 2D) untuk balok dan silinder adalah relatif sama dengan ukuran panjang dan tinggi dari benda anomali yang sebenarnya.

3. Namun demikian jika tidak dilakukan pemodelan fisis, maka akan sulit membedakan apa bentuk benda anomali dibawah permukaan, karena respon atau pola pencitraan yang dihasilkan adalah relatif sama. Misalnya membedakan antara balok dan silinder, atau antara balok kubus dengan bola.

(11)

Gambar 7.a. Model 2 lapis horizontal dengan anomali berbentuk balok panjang

Gambar 7.b. Model 2 lapis horizontal dengan anomali berbentuk silinder

Gambar 7.c. Model 2 lapis horizontal dengan anomali berbentuk balok pendek

Gambar 7.d. Model 2 lapis horizontal dengan anomali berbentuk bola

Dari hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat digarisbawahi bahwa pemakaian perangkat lunak Res2dinv ver. 3.3 adalah cukup handal digunakan pada pengukuran metoda tahanan jenis di laboraturium. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan perangkat lunak ini dalam memetakan bentuk dan batas perlapisan, kedalaman dan posisi benda anomali yang ditanam. Sedangkan kemampuan dalam memetakan bentuk benda anomali adalah kurang baik, hal

ini dikarenakan keterbatasan iterasi yang dapat dilakukan oleh perangkat lunak ini, yaitu hanya sampai 3 iterasi saja. Sehingga dari pola bentuk kontur yang terjadi sulit membedakan bentuk benda anomali yang sebenarnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan uji coba perangkat lunak Res2dinv ver. 3.3 pada pengukuran metoda tahanan jenis untuk beberapa

(12)

model fisis yang telah dibuat, maka dapat disimpulkan bahwa pemakaian perangkat lunak Res2dinv ini adalah cukup handal untuk digunakan pada pengukuran metoda tahanan jenis di laboraturium.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ritz, M., Jean C. P., Diouf, S.A., Beauvais, F., Dione, and Niang, M., 1999, Electrical Imaging of Lateritic Weathering Mantles Over Granitic and Metamorphic Basement of Eastern Senegal - West Africa,

Journal of Applied Geophysics, Vol.

47, pp. 335-344.

2. Loke, M.H., 2000, Electrical Imaging Surveys for Environmental and Engineering Studies : A Pratical Guide to 2-D and 3-D Surveys,

Penang, Malaysia.

3. Candranofa, A., Haris dan Seno, P., 2001, Penentuan Situs Purbakala di Sekitar Candi Gentong dengan Metoda Resistivitas, The 26th HAGI Annual Meeting, Jakarta.

4. Louis, I. F., Filippos I. L. And Grambas A., 2002, Exploring for Favorable Groundwater Conditions in Hardrock Environments By Resistivity Imaging Methods: Synthetic Simulation Approach and Case Study Example, Journal of

Electrical & Electronics Engineering, pp. 1- 4.

5. Loke, M.H., 1999, RES2DINV ver.

3.3 for Windows 3.1, 95 and NT; Rapid 2D Resistivity & IP Inversion Using The Least-squares Method (Wenner, didipole, inline pole-pole, pole-dipoe, equatorial dipole-dipole, Schlumberger) On land, Underwater and Cross-Borehole Surveys, Penang, Malaysia.

6. Loke, M.H. and Barker, R. D., 1996. Least-square Deconvolution of Apparent Resistivity Pseudosection,

Geophysics, Vol. 60, pp. 1682-1690.

7. Virgo, F., 2002, Pemodelan Fisis

Metoda Tahanan Jenis Untuk Benda Berongga di Bawah Lapisan Mendatar, Tesis S-2, Prog. Magister

Gambar

Gambar 1. Model 2 lapis horizontal tanpa benda anomali menggunakan konsfigurasi ; (a)  Schlumberger (b) Wenner  (c) Dipole-Dipole
Gambar 3. Model 3 lapis horizontal-vertikal tanpa benda anomali menggunakan konsfigurasi : (a)  Schlumberger (b) Wenner (c) Dipole-Dipole
Gambar 5. Model 2 lapis vertikal + benda anomali menggunakan konsfigurasi : (a) Dipole-Dipole    (b) Wenner   (c)Schlumberger
Gambar 6. Model 3 lapis horizontal-vertikal + benda anomali menggunakan konsfigurasi : (a)  Dipole-Dipole   (b) Wenner   (c)Schlumberger
+2

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip-prinsip tersebut adalah: (1) Kurikulum harus mencakup semua aspek perkembangan anak melalui pendekatan yang terpadu, (2) Perencanaan kurikulum yang tepat harus didasarkan

kesehatan (akses kedalam sistem gawat darurat). b) Untuk mengatur dan membimbing pertolongan medis yang diberikan di tempat kejadian dan selama perjaanan ke sarana kesehatan

Tujuan kajian ini adalah mengetahui keswadayaan Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KUSP), faktor-faktor yang menghambat dan mendukung keswadayaan, mengidentifikasi peluang

Garansi ini tidak dapat dipindahkan.Garansi ini tidak berlaku jika kerusakan produk tersebut disebabkan oleh penyalahgunaan atau kesalahan tata cara pemakaian, pemakaian

Judul Penelitian : Pengaruh Ekstrak Pegagan ( Centella asiatica Linn.) terhadap Pertumbuhan Kultur Primer Hepar Baby Hamster yang Dipapar

Klasifikasi morfokonser- vasi/arahan umum peng-gunaan lahan terhadap 119 satuan lahan di daerah Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah: (a)

ini mampu melatih peserta didik untuk menunjukkan sikap sosial misalnya sikap peduli dan sikap toleransi dalam perbedaan sosial budaya untuk meminimalkan konflik budaya