PERBANDINGAN AROMATERAPI
LAVENDER
DENGAN TERAPI MUSIK
KERONCONG ABADI TERHADAP KUALITAS TIDUR LANSIA DI PANTI
WREDHA DHARMA BHAKTI KASIH
Mila Rusita
1), Atiek Murharyati
2), Ratih Dwi Lestari Puji Utami
2) 1)Mahasiswa Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
2)Dosen STIKes Kusuma Husada Surakarta
ABSTRAK
Proses degenerasi pada lansia mengakibatkan kuantitas tidur lansia akan semakin
berkurang sehingga tidak tercapai kualitas tidur yang adekuat. Hasil studi pendahuluan
yang dilakukan di panti wreda bhakti kasih surakarta didapatkan dari 7 dari 10 lansia
mengatakan tidur hanya 3-4 jam sehari, ketika sudah terbangun pada malam hari sulit
untuk tidur lagi dan keadaan tersebut membuat lansia merasa lemas dan tidak
bersemangat dalam kegiatan sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbandingan terapi
lavender dengan terapi musik keroncong abadi terhadap kualitas
tidur lansia.
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan rancangan pre test-post test without
control group populasi dalam penelitian ini adalah 60 lansia. Pemilihan sampel dilakukan
dengan metode
purposive
sampling yaitu 30 lansia dengan kualitas tidur kurang dari 6
jam/hari. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisis Wilcoxon.
Hasil penelitian menunjukkan pre test terapi lavender 30 orang dalam parameter
buruk sedangkan post terapi lavender terdapat peningkatan kualitas tidur 14 orang baik
dan 16 orang buruk sedangkan post terapi musik 12 orang baik dan 18 buruk. Nilai
korelasi terapi
lavender
0,609 > terapi musik 0,584 sehingga terapi lavender lebih
berpengaruh dibandingkan terapi musik dalam meningkatkan kualitas tidur. Diharapkan
peneliti lain melakukan penelitian tentang kombinasi terapi
lavender dan musik
keroncong abadi dalam meningkatkan kualitas tidur lansia.
Kata Kunci
: Aromaterapi Lavender, Musik Keroncong, Kualitas Tidur
Daftar Pustaka
: 32 (2006-2016)
Comparison of Effect between Lavender Aromatherapy and Keroncong Music
on Sleep Quality of the Elderly at Dharma Bhakti Kasih Elderly Orphanage
ABSTRACT
Degeneration process in the elderly is reducing the sleep quantity of the
elderlies so that they do not have an adequate sleep quality. The preliminary
research shows that 7 out of 10 elderlies only slept 3-4 hours a day. When they
woke up at night, they were difficult to sleep, and it caused them to feel limp and
not excited in their daily activities. The objective of this research is to investigate
the comparison between the lavender aromatherapy and the keroncong music
therapy on the sleep quality of the elderly.
This research used the quantitative research method with the pre test-post
test without control group design. Its population was 60 elderlies. The samples of
research were determined through the purposive sampling technique and
consisted of 30 elderlies with the sleep quality of less than 6 hours/day. The data
of research were analyzed by using the Wilcoxon’s Test.
The result of research shows that in the pre test therapies, lavender therapy
and keroncong music therapy, the 30 respondents in each group were in the bad
parameter. In the lavender post-therapy, of 30 respondents, 14 had a good
parameter of sleep quality, and in the keroncong music post-therapy 12
respondents had a good parameter sleep quality. The result of the general
estimation shows that the p-value was 0.000, meaning that there was an effect of
the lavender aromatherapy and the keroncong music therapy on the sleep quality.
However, the correlation value of the former = 0.609 was greater than that of the
latter = 0.584, meaning that the lavender aromatherapy had a greater effect on
the sleep quality improvement than the keroncong music therapy. Thus, other
researchers were expected to conduct a research on the combination of the
lavender aromatherapy and the keroncong music therapy for the sleep quality of
the elderlies.
Keywords
: Lavender aromatherapy, keroncong music, sleeps quality
1
A.
PENDAHULUAN
Proses menua merupakan proses alami
yang disertai adanya penurunan kondisi fisik,
psikologis maupun sosial yang saling
berinteraksi satu sama lain. Keadaan tersebut
berpotensi menimbulkan masalah kesehatan
secara umum maupun kesehatan jiwa secara
khusus pada lanjut usia (Anwar, 2010).
Peningkatan
jumlah
lansia
akibat
peningkatan usia harapan hidup tentunya
akan menimbulkan beberapa masalah di
bidang kesehatan, antara lain perasaan tidak
berguna, mudah sedih, stres, depresi,
ansietas, demensia, delirium dan mengalami
gangguan tidur baik kualitas maupun
kuantitasnya (Wayan, 2006).
Gangguan tidur yang dialami oleh
lanjut usia antara lain sering terjaga pada
malam hari, sering terbangun pada dini hari,
sulit untuk tertidur, dan rasa lelah pada siang
hari (Davison dan Neale, 2006). Faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya gangguan
tidur pada lanjut usia antara lain perubahan
lingkungan sosial, penggunaan obat-obatan
yang meningkat, penyakit dan perubahan
aktivitas. Prevalensi gangguan tidur pada
lanjut usia cukup tinggi, dilaporkan 40-50%
dari populasi lanjut usia di dunia menderita
gangguan tidur (Sadock dan Sadock, 2007).
Secara fisiologis, jika seseorang tidak
mendapatkan tidur yang cukup dapat
menyebabkan
penurunan
nafsu
makan,
kelemahan/kelelahan,
peningkatan
angka
kejadian kecelakaan baik di rumah maupun
di jalan, terjatuh, iritabilitas, menyebabkan
emosi menjadi tidak stabil, sulit untuk
berkonsentrasi,
dan
kesulitan
dalam
mengambil suatu keputusan (Wold, 2004).
Proses degenerasi pada lansia mengakibatkan
kuantitas
tidur
lansia
akan
semakin
berkurang sehingga tidak tercapai kualitas
tidur yang adekuat (Nugroho, 2008).
Proporsi penduduk lansia di Indonesia
mengalami peningkatan cukup signifikan.
Tercatat dalam statistik penduduk lanjut usia
2010 yang sumber datanya berasal dari hasil
Sensus
Penduduk
2010
(2010)
yang
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS),
jumlah penduduk lansia di Indonesia sebnyak
18,04 juta orang atau 7,59% dari keseluruhan
penduduk.
Jumlah
penduduk
lansia
perempuan (9,75 juta orang) lebih banyak
dari jumlah penduduk lansia laki-laki (8,29
juta orang). Sebarannya jauh lebih banyak di
wilayah
pedesaan
(10,36
juta
orang)
dibandngkan di daerah perkotaan (7,69 juta
orang (BPS, 2010).
Cara yang dapat digunakan untuk
mengatasi masalah kualitas tidur terdiri dari
terapi farmakologi dan nonfarmakologi.
Terapi farmakologi yang biasa digunakan dan
dianggap paling efektif adalah obat tidur,
dimana jika digunakan terus-menerus akan
mengalami
ketergantungan
(Soemardini,
Suharsono dan Kusuma, 2013). Terapi
nonfarmakologi untuk mengatasi gangguan
2
tidur yaitu terapi pengaturan tidur, terapi
psikologi, dan terapi relaksasi. Terapi
relaksasi dapat dilakukan dengan cara terapi
musik dan aromaterapi. Penggunaan terapi
musik ditentukan oleh intervensi musikal
dengan maksud memulihkan, merelaksasi,
menjaga,
memperbaiki
emosi,
fisik,
psikologis, dan kesehatan serta kesejahteraan
spiritual (Djohan, 2006).
Terapi nonfarmakologi salah satunya
adalah terapi musik, yaitu sebuah terapi
kesehatan yang menggunakan musik di mana
tujuannya adalah untuk meningkatkan atau
memperbaiki kondisi fisik, emosi, kognitif,
dan sosial bagi individu dari berbagai
kalangan usia. Bagi orang sehat, terapi musik
bisa dilakukan untuk mengurangi stres
dengan
cara
mendengarkan
musik
(Javasugar, 2009). Musik memiliki efek
membantu untuk menenangkan otak dan
mengatur sirkulasi darah. Musik bisa
meredakan rasa sakit, mengurangi stres,
menurunkan tekanan darah, memperbaiki
mood, serta menyembuhkan insomnia. Musik
juga dapat mengaktifkan syaraf menjadi
rileks (Tarigan, 2010).
Terapi nonfarmakologi lainnya yaitu
aromaterapi, aromaterapi dapat diberikan
dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan
dan kesejahteraan tubuh, pikiran, dan jiwa.
Aromaterapi dapat diberikan dengan tujuan
untuk
meningkatkan
kesehatan
dan
kesejahteraan tubuh, pikiran, dan jiwa.
Menghirup lavender meningkatkan frekuensi
gelombang alfa dan keadaan ini diasosiasikan
dengan bersantai (relaksasi). Selain itu
lavender juga berguna untuk menenangkan
rasa nyaman, keterbukaan, keyakinan, cinta
kasih, mengurangi sakit kepala, stres,
frustasi,
mengobati
kepanikan,
mereda
histeria, serta mengobati insomnia. Lavender
juga
membantu
penyembuhan
depresi,gelisah, susah tidur dan sakit kepala.
Penyembuhan
nonfarmakologi
terhadap
gangguan tidur sangat diperlukan untuk
meminimalkan efek terapi farmakologi
karena sifatnya yang tidak memberikan efek
samping dan ketergantungan (Soemardini,
Suharsono dan Kusuma, 2013).
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh
Kurnia (2009) bahwa terdapat perbedaan
yang
signifikan
kualitas
tidur
lansia
mengalami perbaikan setelah mendapat
aromaterapi lavender. Sedangkan menurut
Adesla
(2009)
setelah
terapi
musik
keroncong paling banyak memiliki kualitas
tidur baik sebanyak 30 orang (100%). Terapi
musik keroncong dan aromaterapi lavender
sama-sama memiliki efek yang baik untuk
kualitas tidur. Penelitian sebelumnya oleh
Rembulan (2014) tentang pengaruh terapi
musik instrumental dan aromaterapi lavender
eyemask
terhadap
penurunan
tingkat
insomnia pada mahasiswa fisioterapi D3
angkatan 2011, terapi musik memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap penurunan
3
tingkat insomnia pada mahasiswa Fisioterapi
D3
Angkatan
2011
Universita
Muhammadiyah Surakarta (p= 0,018).
Hasil
studi
pendahuluan
yang
dilakukan di panti wreda bhakti kasih
surakarta didapatkan dari 7 dari 10 lansia
mengatakan tidur hanya 3-4 jam sehari,
ketika sudah terbangun pada malam hari sulit
untuk tidur lagi dan keadaan tersebut
membuat lansia merasa lemas dan tidak
bersemangat dalam kegiatan sehari-hari.
Selama
ini
belum
ada
terapi
non
farmakologis untuk meningkatkan kualitas
tidur lansia di Panti Wredha Darma Bhakti
Kasih sehingga lansia sering mengobrol
dengan yang lain untuk mengatasi masalah
tidurnya.
Dari
latar
belakang
diatas
menunjukkan bahwa kualitas tidur pada
lansia mengalami penurunan baik secara
kualitas dan kuantitas, namun terdapat cara
penanganan dengan terapi non farmakologi
yaitu dengan terapi musik dan relaksasi
sehingga penulis tertarik untuk melakukan
penelitian
dengan
judul
“Bagaimana
Perbandingan Terapi
Lavender Dengan
Terapi Musik Keroncong Abadi Terhadap
Kualitas Tidur Lansia “.
B.
METODOLOGI
Rancangan penelitian yang digunakan
adalah rancangan
quasi eksperiment.
Desain
penelitian yang digunakan yaitu kuantitatif
dengan
pre test-post test without control
group.
Dalam penelitian ini populasinya
adalah seluruh lansia yang tinggal di Panti
Wreda Darma Bhakti kasih surakarta
sejumlah 60 lansia terdapat 30 lansia yang
mengalami gangguan tidur. Adapun kriteria
inklusi pada penelitian ini adalah :
1.
Lansia yang berusia 60 tahun keatas
(laki-laki ataupun perempuan)
2.
Lansia dengan kualitas tidur <6 jam/hari
(insomnia, terbangun lebih awal, sulit
untuk memulai tidur)
3.
Tidak pusing ketika diberi aromaterapi
4.
Tidak menggunakan obat tidur atau obat
penenang
5.
Bersedia menjadi responden
Analisis bivariat
dilakukan terhadap
dua variabel yang diduga berhubungan atau
berkorelasi.
Dalam
penelitian
ini
menggunakan skala ordinal sehingga uji yang
digunakan adalah uji nonparametrik yaitu uji
Wilcoxon.
C.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
1.
Karakteristik responden berdasarkan
usia
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi
karakteristik responden berdasarkan usia
Usia
f
%
60-74 tahun
(lanjut usia dini)
16
53,3
75-90 tahun
(lanjut usia tua)
14
46,7
4
Berdasarkan
hasil
penelitian
diketahui bahwa usia responden terbanyak
adalah usia 60-74 tahun sebanyak 16
(53,3%)
orang.
Lanjut
usia
akan
mengalami
perubahan
fisik
berupa
penurunan fungsi organ sehingga rentan
terhadap berbagai penyakit seperti nyeri
pinggang, nyeri dada, nyeri sendi, pusing
dan gangguan tidur (Bandiyah 2009). Hal
tersebut dapat terjadi pada lanjut usia dini
karena adanya proses degenerasi dan hal
ini dapat menyebabkan kualitas tidur tidak
adekuat (Erliana 2008). Kualitas tidur
yang kurang pada lanjut usia terjadi
karena adanya penurunan yang progresif
pada tahap tidur NREM 3 dan 4, beberapa
lansia hampir tidak memiliki tahap tidur
NREM 4 dan tidur yang dalam (Potter dan
Perry 2006).
2.
Karakteristik responden berdasarkan jenis
kelamin
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi
karakteristik responden berdasarkan jenis
kelamin
Jenis Kelamin
f
%
Perempuan
17
56,7
Laki-laki
13
43,3
Total
30
100
Berdasarkan
hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
responden
jenis
kelamin yang paling banyak adalah
perempuan sebanyak 17 orang (56,7%)
memiliki kualitas tidur buruk. Perempuan
cenderung memiliki kualitas tidur buruk
dibandingkan dengan laki-laki karena
perempuan
lebih
sering
mengalami
gangguan pada faktor psikis seperti stres
atau depresi (Widya 2010). Keadaan stres
dapat membuat tidur tidak lelap, susah tidur
bahkan tidak bisa tidur. Stress tingkat tinggi
juga menghambat kerja hormon melatonin
yang disekresikan pada saat tidur dalam
terutama pada malam hari, sehingga
penurunan kadar hormon tersebut akan
menyebabkan
lansia
sulit
untuk
mempertahankan tidur (Siregar 2011).
3.
Kualitas tidur lansia dengan pemberian
aromaterapi lavender dan musik
Tabel 4.3 kualitas tidur lansia dengan
pemberian aromaterapi lavender
Terapi Lavender p Terapi Musik P Kualitas Tidur
Pre Post Pre Post f f 0,00 f f 0,00 Baik 0 14 0 12 Buruk 30 16 30 18 Total 30 30 30 30
Lansia yang mengalami kualitas tidur
buruk terjadi karena gangguan fisik, mental
dan psikososial (Anwar 2010). Hal tessebut
sesuai dengan pernyataan Kupfer dan
Reyold (2012) mengenai masalah tidur
yang sering muncul adalah kesulitan untuk
memulai tidur dan mempertahankan tidur.
Menurut Kurnia dkk (2009) menyatakan
bahwa sebelum diberikan aromaterapi
lavender sebanyak 18 responden (100%)
mengalami gangguan kualitas tidur buruk.
5
Pada penelitian ini Kualitas tidur
lansia setelah pemberian terapi lavender
menunjukkan kualitas tidur buruk sebanyak
16 orang (53,5%) dan kualitas tidur baik
sebanyak
14
orang
(46,7),
setelah
pemberian terapi musik kualitas tidur naik
sebanyak 12 orang (40%) dan kualitas tudur
buruk 18 (60%) dengan p value 0,000.
Aromaterapi merupakan salah satu
terapi non farmakologi yang bisa diberikan
untuk mengatasi masalah gangguan tidur.
Aromaterapi merupakan terapi dengan
menggunakan minyak essensial oil atau sari
minyak murni yang berasal dari tumbuhan
yang
digunakan
untuk
membantu
memperbaiki kesehatan, membangkitkan
semangat,
menyegarkan
serta
menenangkan jiwa dan raga. Aromaterapi
lavender merupakan salah satu minyak
yang paling aman digunakan sekaligus
mempunyai daya antiseptik yang kuat,
antivirus, anti jamur, bersifat menenangkan
dan sedatif. Kandungan kimia
lynalil ester
yang
berkhasiat
menenangkan
dan
memberikan efek rileks sistem syaraf pusat
dengan menstimulasi syaraf
olfaktorius
(Stanley, 2007).
Kelemahan aromaterapi yaitu susah
untuk didapatkan dan tidak bisa digunakan
secara berulang kali, aromaterapi lavender
dijual dalam bentuk sudah olahan seperti
minyak atau lilin sehingga memerlukan
biaya untuk membelinya. Akan tetapi
aroma terapi juga mempunyai manfaat yang
baik
untuk
kesehatan.
Pemberian
aromaterapi lavender melalui inhalasi dapat
dirasakan manfaatnya secara langsung oleh
pasien dan mampu melatih otot-otot
pernapasan melalui teknik relaksasi napas
dalam disertai penghirupan aromaterapi.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa
aromaterapi lavender memiliki khasiat
menenangkan,
sedatif
dan
membantu
meregulasi sistem syaraf pusat. Mekanisme
aromaterapi ini dimulai dari aromaterapi
bunga lavender yang dihirup memasuki
hidung dan berhubungan dengan silia,
bulu-bulu halus di dalam lapisan hidung.
Penerima-penerima
didalam
silia
dihubungkan dengan alat penghirup yang
berada di ujung saluran bau. Ujung saluran
ini selanjutnya dihubungkan dengan otak
itu sendiri. Bau-bauan diubah oleh silia
menjadi
impuls listrik yang dipancarkan ke
otak melalui sistem penghirup. Semua
impulsi
mencapai
sistem
limbik
di
hipotalamus
yang
selanjutnya
akan
meningkatkan gelombang alfa didalam otak
dan gelombang inilah yang membantu kita
untuk merasa rileks (Sharma, 2011).
Menurut peneliti aromaterapi sangat
efektif jika digunakan di lembaga atau panti
sebagai implementasi untuk meningkatkan
kualitas tidur lansia. Aromaterapi dapat
ditempatkan di berbagai sudut ruangan
sehingga baunya dapat memberikan efek
6
rileks terhadap lansia yang berada di
ruangan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan setelah
pemberian terapi musik kualitas tidur naik
sebanyak 12 orang (40%) dan kualitas tudur
buruk 18 (60%). Kualitas tidur lansia
sebelum pemberian terapi musik keroncong
yang paling banyak adalah buruk sebanyak
30 orang (100%) dan setelah pemberian
terapi musik keroncong yang paling banyak
adalah baik sebanyak 30 orang (100%)
dengan dengan p value 0,000. Terapi musik
keroncong
ini
merupakan
terapi
nonfarmakologi yang dapat meningkatkan
kualitas
tidur
dan
termasuk
dalam
relaxation therapy. Teknik
relaxation
therapy ini melatih otot dan pikiran menjadi
rileks dengan cara yang cukup sederhana
(Adesla 2009).
Menurut
Rachmawati
(2005)
menyebutkan bahwa musik menghasilkan
rangsangan
ritmis
yang
kemudian
ditangkap melalui organ pendengaran dan
diolah di dalam sistem syaraf dan kelenjar
yang
selanjutnya
mengorganisasi
interpretasi bunyi ke dalam ritme internal
pendengarnya. Musik pada dasarnya dapat
membuat relaksasi dan membawa efek
menenangkan
otak,
hal
ini
dapat
mempercepat lanjut usia untuk tertidur, dan
tentunya musik yang digunakan adalah
musik yang lembut. Mendengarkan musik
selama satu setengah jam sama efektifnya
dengan memperoleh suntikan 10 miligram
valium (sejenis obat tidur) (Purwanto,
2007). Pemberian terapi musik keroncong
untuk terapi tidur, dengan memberikan
suara yang berbeda tempo irama lagu, dan
dapat mempengaruhi telinga dan otak
kemudian akan menangkap selisih dari
perbedaan frekuensi tersebut kemudian
mengikutinya sebagai gelombang otak.
Mekanisme ini disebut dengan FFR
(Frequency Following Response) dan
terjadi di dalam otak, tepatnya di dua
superior olivary nuclei. FFR didefinisikan
sebagai penyesuaian frekuensi gelombang
otak oleh karena respon dari stimulus
auditori dan mendorong perubahan
gelombang otak secara keseluruhan serta
tingkat kesadaran (Atwater, 2009).
Sesuai mekanisme yang dijelaskan
oleh Atwater diatas, gelombang alfa
tercipta pada korteks cerebri melalui
hubungan
kortikal
dengan
thalamus.
Gelombang ini merupakan hasil dari osilasi
umpan
balik
spontan
dalam
sistem
talamokortikal. Perubahan gelombang otak
menjadi
gelombang
otak
alfa
akan
menyebabkan
peningkatan
serotonin.
Serotonin adalah suatu neurotransmitter
yang bertanggung jawab terhadap peristiwa
lapar dan perubahan
mood.
Serotonin
dalam tubuh kemudian diubah menjadi
hormon melatonin yang memiliki efek
regulasi terhadap relaksasi tubuh. Keadaan
7
tenang dan rileks itu membantu seseorang
untuk tertidur (Guyton & Hall, 2006).
Peneliti berasumsi bahwa terapi
musik yang didengarkan oleh responden
memiliki efek yang positif ditandai dengan
hasil
observasi
ditemukan
responden
mengalami
kenyamanan,
akan
tetapi
beberapa lansia justru mengikuti irama
musik keroncong sehingga
menggerak-gerakkan anggota tubuhnya, maka dari itu
musik
keroncong
yang
didengarkan
membuat lansia lebih lama untuk tertidur.
4.
Hasil
analisis
General
Estimasi
pemberiaan aromaterapi
lavender dan
terapi musik keroncong abadi
Parameter Tes Hipotesis Sig. r
Pre Post Bk Brk Bk Brk Terapi lavender Terapi musik 0 0 30 30 14 12 16 18 0,000 0,000 0,609 0,584