• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Wilayah Pesisir Dan Laut Provinsi Lampung Oleh Indra Gumay Yudha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kondisi Wilayah Pesisir Dan Laut Provinsi Lampung Oleh Indra Gumay Yudha"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KONDISI PESISIR DAN LAUT PROVINSI LAMPUNG

Oleh: Indra Gumay Yudha

Email: indra_gumay@yahoo.com

1. STATUS

Provinsi Lampung memiliki wilayah pesisir yang luas dengan garis pantai lebih kurang 1.105 km dan 69 pulau-pulau kecil dengan beragam jenis habitat yang berbeda, termasuk lingkungan yang dibuat manusia, seperti tambak udang dan perkotaan. Luas wilayah pesisir sekitar

440.010 ha dan luas perairan laut dalam batas 12 mil adalah 24.820,0 km2 yang merupakan

bagian wilayah Samudera Hindia (pantai barat Lampung), Selat Sunda (Teluk Lampung dan Teluk Semangka), dan Laut Jawa (pantai timur Lampung).

Pantai Barat hampir seluruhnya didominasi oleh pantai berpasir, hutan pantai tipe barringtonia, dengan sisipan tanaman perkebunan rakyat, dan dataran rendah yang berhutan meranti (Dipterocarpaceae) sebagai kelanjutan dari Taman Nasional Bukit Barisan. Pantai berpasir, pantai berbatu, dan hutan pantai mempunyai susunan tumbuhan yang didominasi oleh formasi

Barringtonia, seperti ketapang ( Terminalia catappa) , waru laut (Hibiscus tiliaceus), nyamplung

(Calophyllum inophyllum), cemara (Casuarina equisetifolia), dan rasau putih (Pandanus tectorius) . Penebangan pohon, pembakaran hutan, dan pembukaan lahan secara regular yang terjadi di masa lampau, mengakibatkan terjadinya dominasi lokal oleh pandanus sepanjang Pantai Barat atau casuarina sepanjang pantai Taman Nasional Way Kambas.

Pantai sekitar teluk (Teluk Lampung dan Teluk Semangka) pada dasarnya mempunyai tipe yang sama, namun mengalami degradasi dan kohesi lebih besar lagi karena dampak urbanisasi. Kawasan yang semula merupakan hutan mangrove telah berubah menjadi tambak udang, terutama pada beberapa teluk dan muara sungai.

Pantai Timur yang merupakan bagian dari Laut Jawa memiliki perairan relatif landai dengan tingkat sedimentasi yan tinggi. Wilayah pesisir di daerah ini didominasi tambak udang yang luas dan sedikit sisa hutan mangrove. Industri tampak udang terbesar juga terdapat di wilayah ini, yaitu PT Central Pertiwi Bahari dan PT Aruna Wijaya Sakti (dahulu PT DCD). Kedua industri tambak udang ini terletak di wilayah pesisir Kabupaten Tulang Bawang. Ekosistem mangrove yang masih tampak terpelihara di pantai timur Lampung hanyalah di sekitar TN Way Kambas dan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur. Di Desa Margasari, kawasan mangrove yang dipelihara oleh masyarakat mencapai luasan lebih dari 700 ha.

Terumbu karang, padang lamun, dan rumput laut dapat dijumpai di sepanjang daratan sempit sekitar pulau-pulau di bagian selatan dan barat. Sebagian habitat ini tumbuh dengan baik di

(2)

Teluk Lampung dan di Pantai Barat. Hutan rawa di Pantai Timur sudah banyak dikeringkan, dikonversi menjadi sawah dan tambak, dan pohonnya ditebangi sehingga fungsi rawanya telah berubah. Hutan rawa air tawar merupakan lingkungan yang khas di Pantai Timur, namun tinggal

sedikit dan dalam kondisi kritis. Sisa paya-paya, rumput, dan gelagah (Saccarum spontanium)

yang masih ada di sepanjang Way Mesuji, Way Tulang Bawang, dan Way Seputih merupakan kolam raksasa pengendali banjir.

1.1 Mangrove

Keanekaragaman mangrove di Lampung rendah. Sebagian besar didominasi oleh Api-api (Avicennia alba dan Avicennia marina) pada lahan yang baru terbentuk, ditunjang oleh buta-buta

(Bruguiera parviflora dan Excoecaria agallocha) yang lazim dijumpai di daerah muara. Agak ke

hulu dijumpai nipah (Nypa fruticans) , pedada (Sonneratia caseolaris), dan Xylocarpus granatum

yang menunjukkan adanya pengaruh air tawar. Bakau (Rhizophora stylosa) terbukti

mendominasi mangrove yang berasosiasi dengan terumbu karang. Hal ini terdapat di sepanjang pantai dan pulau-pulau di Teluk Lampung.

Ekosistem mangrve di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung terdapat di sekitar Pantai Puri Gading, Pantai Duta Wisata, serta di lahan reklamasi PT BBS di Kecamatan Teluk Betung Barat. Jika dilihat dari ukuran vegetasinya, sebagian besar ekosistem mangrove tersebut bukan merupakan habitat primer, bahkan di lahan reklamasi PT BBS didominasi oleh vegetasi tingkat semai yang sedang mengalami proses suksesi. Jenis vegetasi yang dominan di Pantai

Puri Gading adalah Sonneratia alba untuk tingkat pohon dan pancang; sedangkan untuk tingkat

semaian selain didominasi oleh Sonneratia alba juga jenis Avicennia officinalis. Beberapa jenis

mangrove lainnya yang ditemukan adalah sebagai berikut: Rhizophora apiculata, Avicennia

marina, Bruguiera silindrica, Excoearia agallocha, Hibiscus tiliaceus, jeruju (Achanthus ilicifolius), basang siap (Finlaysonia maritima), dan nipah (Nypa fruticans). Dari analisis vegetasi diketahui bahwa Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi mangrove tingkat pohon adalah 299,94; INP tingkat pancang adalah 299,96; serta INP tingkat semai adalah 199,96. Saat ini keberadaan ekosistem mangrove tersebut terancam akibat keterbatasan lahan di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan habitat mangrove jika lahan tersebut dibangun.

Komunitas mangrove di Desa Durian Kecamatan Padang Cermin (Kabupaten Pesawaran)

berupa asosiasi (multi-species), dengan jenis dominan Rhizophora mucronata. INP berkisar

antara 236 hingga 249 dan dengan kerapatan berkisar antara 188 ind/ha hingga 530 ind/ha. Tingkat pertumbuhan pohon di kawasan ini adalah sapihan, tihang, dan pohon. Ketebalan mangrove antara 1 dan 1,5 km. Berbeda halnya dengan komunitas mangrove di Desa Durian,

tipe vegetasi di Desa Sidodadi (Padang Cermin) bertipe konsosiasi, dengan jenis Rhizophora

mucronata sebagai jenis yang dominan dan memiliki INP sebesar 300.

(3)

Di wilayah pesisir Kabupaten Tulang Bawang terdapat 2 jenis mengarove yang dominan, yaitu

jenis Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. Selain kedua jenis dominan tersebut, di

kawasan ini terutama di sepanjang sungai dijumpai vegetasi jenis Nypa fruticans. Ketebalan

mangrove di sepanjang pantai pesisir Tulang Bawang relatif tipis dan sebagian besar telah dikonversi menjadi tambak udang. Wilayah pesisir di sekitar PT CPB yang dialokasikasikan

sebagai green belt saat ini pun kondisinya semakin rusak karena dikonversi menjadi tambak

tradisional milik masyarakat. Kondisi green belt milik PT AWS masih lebih baik bila

dibandingkan dengan PT CPB.

Di wilayah pesisir Labuhan Maringgai (Kabupaten Lampung Timur) ketebalan mangrove relatif tipis, yaitu bervariasi antara 50 hingga 150 meter, kecuali di sekitar Kuala Penet, Desa Margasari. Hamparan mangrove di kawasan ini memiliki luas lebih dari 700 ha yang didominasi

jenis api-api (Avicennia spp) yang tumbuh secara alami dan sebagian kecil Rhizopora spp yang

ditanam oleh masyarakat dan pemerintah. Kondisi mangrove di Desa Margasari ini dalam kondisi baik dengan ketebalan sekitar 1.000 m dari pinggir tambak terluar. Hal ini menunjukkan fungsi ekosistem mangrove sebagai ‘sabuk hijau’ masih tetap terjaga. Kawasan mangrove ini dapat terjaga dengan baik karena ada komitmen yang kuat dari masyarakat setempat untuk tetap melestarikannya. Hal ini diperkuat dengan adanya peraturan desa yang melarang penduduk setempat maupun dari luar desa mengkorversi dan merusak kawasan mangrove tersebut. Pada mulanya kawasan mangrove tersebut merupakan tambak-tambak udang milik masyarakat. Namun akibat abrasi pantai yang semakin hebat hingga menggerus daratan sejauh 1 km ke arah pemukiman warga dan melenyapkan beberapa tambak, maka masyarakat menjadi sadar dan memulai upaya rehabilitasi. Pada saat daratan mulai terbentuk kembali dalam bentuk tanah timbul dan mulai ditumbuhi mangrove jenis api-api, mereka tidak mengubahnya menjadi tambak kembali, tetapi lahan baru tersebut tetap dibiarkan ditumbuhi

mangrove dan dijaga hingga saat ini.

Gambar 1. Mangrove di Desa Margasari yang masih terjaga dengan baik

(4)

Gambar 2. Kawasan mangrove di Desa Margasari yang menghadap ke laut didominasi

jenis api-api (Avicennia spp)

Konsosiasi (mono-species) Avicennia marina yang terdapat di daerah Sriminosari, Labuhan

Maringgai terdiri dari konsosiasi tingkat sapihan dengan kerapatan 2.500 batang/ha yang

tumbuh di habitat yang lebih mantap. Konsosiasi Avicennia marina tingkat semai terdapat

terutama pada habitat yang kurang mantap dan di daerah tanah timbul. Kerapatan dan

konsosiasi ini adalah 4.000 batang/ha. Jenis Nypa fruticans banyak tumbuh di sepanjang sisi

sungai, seperti Way Penet. Mengingat jenis vegetasi ini hidup di daerah dengan salinitas yang lebih rendah, maka banyak tumbuh di daerah lebih hulu dari suatu sungai.

Kondisi vegetasi mangrove di kawasan Taman Nasional Way Kambas tidak banyak berbeda dengan daerah Labuhan Maringgai, khususnya dalam hal ketebalan. Bahkan di daerah ini, ketebalan mangrove sangat tipis, dengan rata-rata ketebalan sekitar 5 meter. Vegetasi mangrove di kawasan ini terkonsentrasi di sepanjang Way Tulang Bawang dan Way Penet. Jenis vegetasi yang mendominasi kawasan mangrove di daerah ini adalah jenis mangrove sejati

Rhizophora mucronata dengan kerapatan sekitar 400 batang/ha. Tipe vegetasinya merupakan konsosiasi dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 300. Selain kedua jenis dominan

tersebut, khususnya di sepanjang sungai dijumpai vegetasi jenis Nypa fruticans.

1.2 Lamun

Kajian tentang lamun masih jarang dilakukan, sehingga tidak diketahui secara jelas statusnya saat ini. Kajian tentang lamun pernah dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bandar Lampung pada tahun 2006. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa di perairan Kota

(5)

Bandar Lampung masih banyak dijumpai habitat padang lamun (sea grass) yang secara ekologis memiliki peranan yang tidak kalah penting dengan ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove sebagai penjaga stabilitas pantai, sumber produktivitas primer perairan sekitarnya, sebagai daerah pemijahan, tempat asuhan dan mencari makan berbagai jenis larva dan juvenil ikan, sehingga keberadaannya sangat penting sebagai daerah buffer dan penunjang tingkat produktivitas perikanan di perairan sekitarnya.

Hasil survey tentang kondisi padang lamun di lapangan, dari empat stasiun pengamatan terdapat tiga lokasi yang masih memiliki kepadatan lamun yang cukup baik, yaitu lokasi sekitar perairan Pantai Karang Maritim, perairan sebelah timur Pulau Pasaran dan perairan sekitar Pulau Kubur, sementara itu di perairan sekitar Gosong Pamunggutan hanya sedikit ditemui komunitas lamun. Di daerah ini lamun merupakan tumbuhan minoritas yang berasosiasi dengan terumbu karang, alga tuff dan komunitas lainnya. Kondisi ini dimungkinkan karena perairan tersebut relatif cukup dalam jika dibandingkan dengan perairan Karang Maritim, perairan sekitar Pulau Pasaran dan perairan sekitar Pulau Kubur.

A B

C D

Gambar 3. Kondisi lamun di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung Keterangan gambar:

(A) Kegiatan pendataan lamun;

(B) Padang Lamun di Pantai Karang Maritim;

(C) Lamun berasosiasi dengan karang mati di perairan Pulau Pasaran; (D) Lamun berasosiasi dengan tuff alga di perairan Gosong Pamunggutan.

(6)

Selanjutnya dari hasil pengamatan di lapangan, perairan sekitar Pulau Kubur adalah daerah yang paling padat komunitas lamunnya. Pada lokasi ini ditemukan tiga jenis tumbuhan lamun,

yaitu dari jenis Enhalus sp, Thallasia sp, dan Cymodocea sp., dengan indeks Mean Varian

Ratio (VMR) sebesar 0,6778 yang menunjukkan bahwa komunitas lamun di daerah ini tersebar secara random dan mendekati uniform/tersebar merata. Di antara ketiga jenis lamun yang

ditemukan di perairan sekitar Pulau Kubur ini, lamun jenis Enhalus sp, adalah yang paling

dominan keberadaannya.

Selain perairan sekitar Pulau Kubur, di perairan Pantai Karang Maritim juga masih dapat

dijumpai komunitas padang lamun yang didominasi oleh Enhalus sp. dan diselingi oleh Thallasia

sp. sebagai tumbuhan minoritas. Tinggi kanopi berkisar antara 75 cm sampai 93 cm untuk jenis

Enhalus sp dan antara 9 cm sampai 15 cm untuk jenis Thallasia sp. Dari hasil survei diperoleh nilai Varian Mean Ratio sebesar 1,122. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas lamun di perairan Pantai Karang Maritim tersebar teragregasi, artinya kondisi lamun di daerah ini tersebar tidak merata dan hanya berkelompok di beberapa tempat saja di dalam transek, sementara di beberapa tempat lainnya berupa substrat pasir yang tidak ditumbuhi lamun. Kondisi ini terjadi akibat berbagai tekanan dari aktivitas manusia di perairan tersebut, mengingat daerah ini sangat dekat dengan lokasi industri dan permukiman penduduk yang dapat menimbulkan dampak pencemaran di lokasi tersebut. Kerusakan ekosistem di daerah tersebut tidak hanya terjadi pada ekosistem lamun, tetapi juga terjadi terhadap komunitas terumbu karang yang terdapat di perairan Karang Maritim. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tim survei menemui beberapa penduduk yang membuang limbah rumah tangganya di perairan yang menyebabkan kualitas air laut menurun.

Seperti halnya dengan kondisi padang lamun di perairan Pantai Karang Maritim, kondisi lamun di perairan sekitar Pulau Pasaran juga mengalami tekanan akibat aktivitas manusia, seperti limbah buangan rumah tangga dari Pulau Pasaran dan Teluk Betung, limbah minyak dan solar dari aktivitas lalu lintas kapal ikan, serta buangan limbah dan air tawar yang berasal dari Sungai Kuripan. Kondisi ini memberikan tekanan ekologis bagi ekosistem lamun di lokasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil pendataan komunitas lamun di pulau pasaran yang memiliki nilai

indek VMR (varian mean ratio) sebesar 1.789. Nilai VMR sebesar 1.789 mengindikasikan

bahwa komunitas lamun di perairan sekitar Pulau Pasaran tersebar secara tidak merata dan hanya terkumpul pada beberapa tempat saja, sementara tempat lainnya tidak terdapat lamun dan hanya berupa hamparan pasir atau bongkahan karang mati. Kondisi demikian juga dijumpai di perairan Pantai Karang Maritim (Gambar 4).

(7)

Gambar 4. Kondisi lamun di perairan Pulau Pasaran. Keterangan gambar:

ƒ Hidup diantara karang yang telah rusak (kiri)

ƒ Tertutup oleh sedimen yang dapat menghambat pertumbuhannya (kanan).

Komunitas padang lamun memang tidak seindah terumbu karang, tetapi komunitas lamun ini memiliki peranan yang sama pentingnya dengan ekosistem terumbu karang baik secara ekologis maupun secara ekonomis. Secara ekologis ekosistem padang lamun memiliki fungsi penting bagi wilayah pesisir dan laut seperti: (a) sebagai produsen detritus dan zat hara yang sangat penting sebagai sumber produktivitas perairan daerah tersebut. Detritus dan zat hara ini dapat juga dimanfaatkan secara langsung oleh berbagai hewan seperti siput (gastropoda) dan kerang-kerangan (bivalva) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh manusia.; (b) Mengikat sedimen dan menstabilkan subtrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; (c) Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini; dan (d) Sebagai tempat berlindung bagi penghuni komunitas padang lamun dari sengatan cahaya matahari. Fungsi padang lamun ini dapat dilihat secara langsung saat tim survey mengamati komunitas padang lamun yang rapat di perairan Pulau Kubur, di sekitar tumbuhan lamun banyak sekali dijumpai larva dan juvenil ikan yang memanfaatkan padang lamun sebagai daerah asuhan, tempat berlindung dan mencari makan.

Selain fungsi ekologis tersebut, padang lamun juga memiliki fungsi ekonomis yang sama pentingnya dengan terumbu karang. Fungsi ekonomis padang lamun bagi manusia antara lain adalah: (a) sebagai tempat kegiatan budidaya laut seperti ikan, tiram, kerang-kerangan dan teripang; (b) sebagai bagian dari tempat rekreasi dan pariwisata; dan (c) sebagai sumber pupuk hijau bagi kesuburan perairan yang pada akhirnya juga akan meningkatkan hasil perikanan di wilayah tersebut. Mengingat pentingnya ekosistem padang lamun ini, baik secara ekologis maupun secara ekonomis, maka ekosistem ini perlu mendapat perhatian yang serius dan porsi yang setara sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir di Kota Bandar Lampung.

(8)

Indra Gumay Yudha: Kondisi Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Lampung 8 1.3 Terumbu Karang

Kebanyakan terumbu karang di Lampung adalah dan jenis “fringing reef”, dengan luasan relatif

20 - 60 meter. Pertumbuhan karang berhenti pada kedalaman 10 - 17 meter. Di bawah

kedalaman itu terdapat lumpur atau hamparan pasir. Sejumlah terumbu karang tipe “patch reefs

tumbuh dengan baik, dan dapat dijumpai di sepanjang sisi barat Teluk Lampung. Pendataan awal menunjukkan terdapat sekitar 213 jenis karang keras yang berbeda di Selat Sunda (Kepulauan Krakatau, Teluk Lampung, Kalianda, pulau-pulau di pesisir barat Pulau Jawa). Hal ini cukup sesuai bila dibandingkan dengan sekitar 139 jenis yang ditemukan di Kepulauan Seribu. Terumbu Karang di Kepulauan Krakatau menunjukkan total 113 jenis karang besar, sekalipun keanekaragaman jenis rata-rata per lokasi agak rendah (yakni 48,6 ± 9.2).

Pada tahun 2007 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung melakukan kajian terhadap kondisi terumbu karang di Teluk Lampung. Persentase penutupan karang dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung memiliki variasi yang baik hingga buruk (Tabel 1). Kriteria persentase karang hidup menurut Yap dan Gomes (1988) dan Keputusan Menteri Negera Lingkungan Hidup No. 4 tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang bahwa kategori kondisi penutupan karang hidup : 75 - 100% (sangat baik); 50 – 74.9% (baik); 25 – 49.9% (sedang); dan 0-24.9% (rusak/buruk). Berdasarkan criteria tersebut, persentasi tutupan karang hidup sebagai indikator kerusakan terumbu karang di Teluk Lampung termasuk dalam kriteria buruk (rusak) sampai baik. Dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung, kondisi terumbu karang dalam kondisi baik 4 lokasi, kondisi buruk (rusak) ditemukan sebanyak 20 lokasi dan kondisi sedang sebanyak 20 lokasi. Terumbu karang dalam kondisi baik terdapat di perairan Pulau Kelagian, Pulau Balak, Tanjung Putus, dan Pantai Ketapang.

(9)

S and R ubble S ilt

1 P ulau T angkil Upper F ore R eef 05 30 35 105 16 10.7 30 3 30 0 2 24 11 33 30 S edang

2 T eluk P ulau T egal Upper F ore R eef 05 33 53.40 105 16 43.60 8 38 24 6 8 3 13 46 24 S edang

3 P ulau Maitem Upper F ore R eef 05 35 33.50 105 16 44.60 20 22,5 12 8 22,5 5 10 42,5 12 S edang

4 P ulau K elagian L ower F ore R eef 05 37 08.97 105 13 08.28 16,28 45,63 14,97 0 5,03 17,09 1,01 61,91 14,97 B aik 5 P ulau P uhawang L ower F ore R eef 05 39 44.10 105 12 27.8 9,18 29,18 11,12 10 5,1 19,39 16,02 38,36 11,12 S edang 6 P ulau S iuncal Upper F ore R eef 05 48 06 105 18 50.90 5,74 42,01 5,36 1,44 31,87 3,82 9,76 47,75 5,36 S edang

7 P ulau L eg undi L ower F ore R eef 05 47 69.84 105 17 56 0 10,97 10 3,42 28,77 46,84 10,97 10 B uruk

8 T eluk S eles ung (L egundi) Upper F ore R eef 05 47 23.74 105 17 36.4 1,89 27,82 13 5,25 11,13 40,91 29,71 13 S edang 9 P ulau Unang‐unang Upper F ore R eef 05 47 25.95 105 16 44.03 10,53 25,47 10,53 7,37 4,2 1,58 40,32 36 10,53 S edang 10 P ulau S es erot Upper F ore R eef 05 47 35.77 105 14 52.12 8,89 26,67 4,44 0 3,33 7,78 48,89 35,56 4,44 S edang 11 T eluk K ucang reang R eef F lat 05 46 24.06 105 13 2.65 0,52 2,06 44,33 2,37 25,46 25,26 2,58 44,33 B uruk

12 P ulau B alak R eef F lat 05 45 10.10 105 10 39.70 35 16 9 0 7 23 10 51 9 B aik

13 P ulau L ok F ore R eef 05 44 42.90 105 10 35.20 11 30 5,5 4,5 14,8 14 20,2 41 5,5 S edang

14 G os ong P ulau L ok R eef F lat 05 44 31.96 105 10 46.32 6,82 12,16 10 3,41 3,41 45,45 18,75 18,98 10 B uruk

15 P ulau L unik R eef F lat 05 44 22.25 105 10 26.57 0 0 0 0 0 100 0 0 B uruk

16 G os ong L unikan R eef F lat 05 44 26.70 105 10 16.30 9,95 39,3 10,95 1,11 11,46 17,69 9,55 49,25 10,95 S edang 17 T ajung P utus (1) R eef F lat 05 43 46.94 105 12 40.23 7,14 32,14 35,71 3,57 0 7,14 14,29 39,28 35,71 S edang

18 T anjung P utus (2) R eef F lat 05 43 46.65 105 12 32.83 12 50 8 0 8 12 10 62 8 B aik

19 P ulau L elangg a B alak R eef F lat 05 43 45.75 105 13 46.31 24,6 10 27 0 14,4 14 10 34,6 27 S edang

20 P ulau L elangg a L unik Upper F ore R eef 05 43 10.40 105 14 32.10 10 14 20 0 16 24 16 24 20 B uruk

21 P ulau P uhawang L unik R eef F lat 05 40 35.30 105 14 24.60 2 22 30 5 0 18 23 24 30 B uruk

22 P antai K etapang R eef F lat 05 35 33.50 105 13 59.40 9 50 13 18 5 5 59 13 B aik

23 P antai C anti R eef F lat 05 48 01.30 105 34 58.2 0 15,8 16 11 19 22 16,2 15,8 16 B uruk

24 P ulau T iga L ana F ore R eef 05 48 52.38 105 32 37.15 0 16 4 12 15 18 35 16 4 B uruk

25 P ulau T iga L ok F ore R eef 05 48 59.65 105 32 46.30 0 26 2 4 16 21 31 26 2 S edang

26 P ulau T iga D amar F ore R eef 05 49 9.05 105 33 0.96 0 19 0 12 12 29 28 19 0 B uruk

27 P ulau S ebuku Upper F ore R eef 05 50 48.40 105 31 45 13,8 10,13 16,46 1,27 2,66 54,43 1,27 23,93 16,46 B uruk

28 P ulau E lang (S ebuku K ecil) R eef F lat 05 52 40.11 105 32 29.67 0 12 72 0 0 16 12 72 B uruk

29 P ulau S ebes i L ower F ore R eef 05 55 11.26 105 30 3.18 5,6 15,4 4 7 19 23 26 21 4 B uruk

30 P ulau Umang‐umang R eef F lat 05 55 33.99 105 31 57.11 21,6 25,4 12 10 15 8 8 47 12 S edang

31 P elabuhan K aliandak R eef F lat 05 44 39.61 105 35 10.60 2 10 0 42 0 46 12 0 B uruk

32 P antai P as ir P utih R eef F lat 05 33 32.24 105 22 0.94 23 2 0 17 0 27 31 25 0 B uruk

33 L okas i B atu B ara R eef F lat 05 31 48.90 105 21 14.37 20 8 20 2 1 8 41 28 20 S edang

34 P ulau S ulah (1) Upper F ore R eef 05 32 45.22 105 20 44.12 13,5 10,5 7 0 0 39 30 24 7 B uruk

35 P ulau S ulah (2) L ower F ore R eef 05 32 48.36 105 20 35.98 29,63 14,81 38,89 0 7,41 9,26 44,44 38,89 S edang 36 P ulau C ondong L aut L ower F ore R eef 05 33 25.65 105 20 28.87 28,8 12 15,8 12 0 18 13,4 40,8 15,8 S edang 37 P ulau C ondong D arat R eef F lat 05 33 25 105 20 54.63 27,27 17,27 12,73 4,55 0 18,18 20 44,54 12,73 S edang

38 T anjung S elaki R eef F lat 05 37 23.44 105 24 18.21 36,14 0 0 49,57 0 14,29 36,14 0 S edang

39 Merak B elantung (1) R eef F lat 05 40 29.86 105 32 32.95 0 11 0 55 0 26 8 11 0 B uruk

40 Merak B elantung (2) R eef F lat 05 41 31.45 105 31 59.03 0 8 15 51 0 25 1 8 15 B uruk

41 P antai P uri G ading B ack R eef 05 28 9.21 105 15 27.69 0 0 0 0 0 87 13 0 0 B uruk

42 G udang L elang B ack R eef 05 27 18.45 105 16 14.20 0 0 0 0 24 68 8 0 0 B uruk

43 P ulau K ubur B ack R eef 05 29 14.30 105 15 29.80 0 0 0 0 33,33 66,67 0 0 B uruk

44 P ulau T eg al L ower F ore R eef 05 34 5.53 105 16 7.98 8 39 26 0 2 9 16 47 26 S edang

% K arang 

Mati K ateg ori Alg ae O ther 

F auna

AB IO T IK % K arang 

Hidup B ujur T imur Hard C oral 

(Ac ropora)

Hard C oral (Non 

Ac ropora)

D ead 

S c lerac tinia K ode 

L okas i L okas i P enyelaman S ite Des c ription

L intang 

S elatan

Indra Gumay Yudha: Kondisi Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Lampung 9

Tabel 1. Persen penutupan dan kondisi karang dari beberapa lokasi penyelaman di Teluk Lampung

(10)

1.4 Perikanan

Dengan wilayah pesisir dan laut yang cukup luas, sektor perikanan merupakan salah satu unggulan di Provinsi Lampung. Dalam tiga tahun terakhir, sektor perikanan memiliki pertumbuhan yang cukup signifikan (Gambar 6).

Gambar 6. Pertumbuhan sektor perikanan 2002-2007

Keragaan perikanan laut pada tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 2. Produksi perikanan laut yang berasal dari penangkapan mencapai 133.545,9 ton. Kabupaten Lampung Timur dan Lampung Selatan merupakan kabupaten yang memiliki produksi perikanan laut dari usaha penangkapan yang cukup dominan bila dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Kabupaten Lampung Utara, Way Kanan, dan Metro tidak memiliki wilayah laut, sehingga produksinya nihil. Kabupaten Tulang Bawang mendominasi produk perikanan yang dihasilkan dari tambak udang, yaitu sekitar 76,7%. Di wilayah pesisir Kabupaten Tulang Bawang inilah terdapat industri tambak udang modern, PT CPB dan PT AWS.

Tabel 2. Produksi perikanan di wilayah pesisir dan laut Provinsi Lampung tahun 2006

Sumber: BPS Provinsi Lampung , 2007 (Tidak tersedia data 2008)

(11)

Budidaya laut sebagian besar dihasilkan di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Selatan (92,7%). Di wilayah pesisir dan laut Kabupaten Lampung Selatan memang banyak dikembangkan usaha budidaya ikan kerapu, mutiara, dan rumput laut. Sejak November 2007 sentra-sentra budidaya laut yang sebagian besar terletak di wilayah pesisir dan laut Kabupaten Lampung Selatan masuk wilayah Kabupaten Pesawaran sebagai hasil dari pemekaran kabupaten tersebut.

2. TEKANAN 2.1 Mangrove

Kerusakan mangrove di sepanjang pesisir timur Lampung yang meliputi wilayah Tulang Bawang, Lampung Timur, dan Lampung Selatan sebagian besar akibat dikonversi menjadi tambak udang yang meluas hingga tepi pantai dan tidak menyisakan sebagian kawasan

mangrove sebagai green belt. Seluruh hutan mangrove di Lampung akan punah dalam

beberapa tahun seandainya pengubahan ke tambak udang tidak dikontrol/diawasi. Mungkin yang tersisa hanya mangrove yang terdapat di pulau-pulau wilayah teluk.

Kerusakan wilayah pantai timur Lampung yang membentang sepanjang pesisir Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Timur dan Lampung Selatan telah dimulai sejak berkembangnya pertambakan udang secara besar-besaran di wilayah tersebut pada tahun 1990-an yang mengkonversi areal mangrove. Sejarah pertambakan udang yang berkembang di pantai timur Lampung telah dimulai sejak sebelum tahun 1960-an. Pada saat itu telah berkembang budidaya tambak ekstensif skala sangat kecil untuk ikan bandeng, udang, dan kepiting liar di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Tengah dan Lampung Timur. Pada era tahun 1976 pembukaan lahan tambak yang pertama terjadi di Muara Gading Mas (Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur) seluas 14 ha dan hingga tahun 1980 terjadi perluasan tambak udang yang sangat cepat di sepanjang pantai timur. Selanjutnya mulai tahun 1990-an perkembangan usaha tambak udang semakin pesat yang ditandai dengan konversi secara besar-besaran kawasan mangrove untuk lahan tambak hingga luasnya diperkirakan mencapai lebih dari 60.000 ha.

Selain tambak udang yang dimiliki oleh masyarakat, kawasan tambak udang intensif telah dikembangkan di pesisir timur dengan pola tambak inti rakyat oleh PT CPB dan PT DCD yang terletak di pesisir Kabupaten Tulang Bawang. Areal pertambakan PT DCD menempati lahan seluas 16.250 ha yang terletak di antara Muara Way Mesuji dan Muara Way Tulang Bawang di Kecamatan Rawajitu Timur; sedangkan areal pertambakan milik PT CPB terletak di lahan pesisir antara Muara Way Tulang Bawang dan Way Seputih dengan alokasi lahan sekitar 23.900 ha

yang terletak di Kecamatan Dente Teladas. Namun dalam perkembangannya, tidak semua

lahan yang dialokasikan digunakan oleh PT CPB; lahan-lahan tersebut banyak yang

(12)

dimanfaatkan oleh masyarakat untuk lahan pertanian, pemukiman, maupun tambak rakyat. Dalam pembangunan areal pertambakannya, PT DCD dan PT CPB telah mengalokasikan lahan

yang berbatasan langsung dengan laut selebar 200 m sebagai kawasan green belt yang

ditumbuhi oleh vegetasi mangrove.

Selain kedua perusahaan tersebut, di pesisir Tulang Bawang juga berkembang tambak rakyat dengan sistem tradisional yang menempati lahan lebih dari 2.000 ha. Tambak-tambak rakyat ini umumnya dibangun di lahan yang terdapat di sekitar muara-muara sungai hingga pesisir pantai

dengan tidak menyisakan areal mangrove sebagai green belt. Bahkan di beberapa tempat yang

dialokasikan sebagai green belt milik PT DCD dan PT CPB telah dijadikan tambak oleh

masyarakat sejak tahun 1997 hingga sekarang. Kedua perusahaan tidak dapat bertindak mencegah perambahan tersebut karena khawatir terjadi bentrokan, sehingga perambahan semakin meluas.

2.2 Lamun dan Terumbu Karang

Ekosistem lamun dan terumbu karang mengalami tekanan akibat berbagai aktivitas manusia di wilayah pesisir. Seperti halnya wilayah pesisir lainnya di Indonesia, tekanan terhadap ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Provinsi Lampung diakibatkan oleh berbagai hal, seperti: reklamasi pantai, pengeboman ikan, penangkapan ikan dengan racun sianida, penambangan karang sebagai bahan bangunan dan urugan (reklamasi), pencemaran perairan, dan lain-lain. Padang lamun juga mengalami kematian akibat adanya reklamasi pantai, pencemaran, sedimentasi yang tinggi, dan lain-lain.

Terumbu karang dan padang lamun sangat mendukung usaha-usaha perikanan yang produktif. Terdapat ribuan bagan yang menggantungkan hasil tangkapannya di sekitar terumbu karang. Namun sangat disayangkan, ada indikasi beberapa nelayan bagan menggunakan bahan peledak. Terumbu karang juga penting dalam melindungi pantai dari erosi dan menyediakan pasir guna membentuk pantai berpasir. Tanpa adanya terumbu karang, maka banyak tempat wisata pantai akan musnah. Ironisnya, banyak obyek wisata menggunakan terumbu karang sebagai lahan reklamasi.

Penangkapan ikan dengan bom merupakan masalah khusus di Teluk Lampung. Penggunaan bom dalam penangkapan ikan telah dimulai pada tahun 1975 setelah diperkenalkan oleh satu keluarga Bugis. Penggunaan bom banyak dilakukan di sekitar perairan Pulau Legundi, P. Siuncal, P. Sijebi, P. Sertung, P. Sebuku, P. Tabuan, dan Teluk Kiluan. Penggunaan bom ini juga telah merambah wilayah pantai barat terutama di sekitar Pulau Pisang. Di samping kegiatan pengeboman, kegiatan penambangan karang batu untuk bahan bangunan dan hiasan juga menjadi salah satu penyebab kerusakan terumbu karang.

(13)

E

Gambar 7. Aktivitas yang merusak terumbu karang.

Keterangan: A. Rumah yang terbuat dari terumbu karang di Lampung Barat B. Kematian terumbu karang akibat bom ikan

C. Reklamasi pantai di Bandar Lampung

D. Pengambilan terumbu karang untuk bahan reklamasi E. Reklamasi dari terumbu karang (hasil kegiatan D).

(14)

3. RESPON 3.1 Mangrove

Kerusakan mangrove di Pantai Timur Lampung menuntut tindakan cepat. Dalam rangka penanggulangan kerusakaan pantai timur Lampung beberapa upaya dan program kegiatan telah dilakukan, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Upaya-upaya ini dilakukan oleh berbagai pihak, seperti pemerintah provinsi/kabupaten, PT CPB, masyarakat setempat, LSM, Perguruan Tingi, dan lain-lain.

Pemerintah daerah melalui Dinas Kehutanan Provinsi Lampung bekerjasama dengan LPM Univesitas Lampung pada tahun 2006 telah menyusun dokumen Masterplan Rehabilitasi Hutan Mangrove Pesisir Timur Lampung. Dalam masterplan tersebut dipaparkan beberapa permasalahan, baik fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain, yang dihadapi dalam rangka merehabilitasi pesisir timur Lampung. Perbaikan ekosistem mangrove tidak hanya mencakup kegiatan merehabilitasi lahan-lahan yang kritis saja, tetapi permasalahan lebih kompleks karena menyangkut faktor ekonomi, sosial, dan budaya.

Pada tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung bekerjasama dengan Universitas Lampung melakukan kajian dan demonstrasi plot tentang tambak udang ramah

lingkungan dengan model wanamina (silvofisheries) di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan

Maringgai, Lampung Timur, yangbertujuan untuk mengaplikasikan konsep budidaya perikanan

sistem wanamina (silvofishery) di kawasan mangrove dalam bentuk demonstrasi pond

(dempond), yang mana hasilnya diupayakan dapat diterapkan kepada masyarakat.

Pada Oktober 2007 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung melaksanakan kegiatan rehabilitasi mangrove di Desa Pematang Pasir, Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan seluas 10 ha, yaitu sepanjang 1.000 m dengan ketebalan mangrove sekitar 100 m. Kegiatan ini dilakukan alam rangka upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir yang melibatkan masyarakat

setempat. Jenis mangrove yang ditanam adalah Rhizopora mucronata. Selanjutnya pada tahun

2008 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung melaksanakan rehabilitasi mangrove di

Desa Pematang Pasir (Lampung Selatan) dalam bentuk minawana atau silvofishery seluas 50

ha.

Pemkab Lampung Timur telah mengeluarkan Perda No.3 tahun 2002 yang mengatur hutan bakau di pesisir pantai setidaknya harus memiliki ketebalan 100 meter dari garis pantai pasang tertinggi. Upaya ini ditempuh untuk memberi payung hukum pengelolaan dan perlindungan kawasan mangrove yang akan dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Timur. Setidaknya dengan adanya perda ini maka Pemda Kabupaten Lampung Timur memiliki kekuatan hukum untuk mencegah perusakan kawasan mangrove lebih lanjut.

(15)

Melalui kegiatan rehabilitasi lahan pemerintah Kabupaten Lampung Timur telah melakukan penanaman mangrove di sekitar pantai timur. Pada tahun 2005 program rehabilitasi hutan mangrove dilakukan pada areal seluas 53 hektare di Labuhanmaringgai. Selanjutnya pada tahun 2006, rehabilitasi dilakukan pada areal seluas 150 hektare, masing-masing 75 hektare di Pasirsakti dan Labuhanmaringgai. Tahun 2007 dilaksanakan program lanjutan di dua kecamatan tersebut (Pasirsakti dan Labuhanmaringgai) dengan areal seluas 200 hektare.

Selain kegiatan rehabilitasi lahan, penegakan hukum juga dilakukan oleh Pemkab Lampung Timur terhadap masyarakat yang merambah. Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Lampung Timur bersama aparat kepolisian setempat akan menutup ratusan hektare tambak liar di kawasan pantai timur Kuala Penet, Margasari, Labuhanmaringgai dan Pasir Sakti. Pasalnya, ratusan hektare tambak itu berada di kawasan Register 15 Muara Sekampung. Berdasar Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 256/Kpts-2/II/2000 tanggal 23 Agustus 2000 tentang Kehutanan, kawasan pantai timur Lampung Timur masuk kawasan Register 15 Muara Sekampung. Penutupan itu merupakan kelanjutan dari operasi pengamanan hutan Register 15 Muara Sekampung yang merupakan perairan pantai timur. Operasi pengamanan yang dilakukan selain melibatkan jajaran Disbunhut juga melibatkan sejumlah anggota Sat Intelkam dan Satreskrim Kepolisian Resor (Polres) Lampung Timur. Sasaran utama operasi itu adalah pengamanan Register 15 Muara Sekampung yang merupakan kawasan pesisir pantai timur Lampung Timur sepanjang 30 kilometer yang memanjang dari Kuala Penet Margasari Labuhanmaringgai hingga Pasir Sakti saat ini sangat memprihatinkan. Pada jalur itu, sedikitnya

500 hektare hutan bakau (mangrove) telah dikonversi warga menjadi areal tambak.

Melihat betapa penting dan bermanfaatnya penanaman mangrove bagi industri budidaya udang, manajemen PT CPB Bahari berkomitmen untuk selalu melestarikan mangrove yang diwujudkan

dengan adanya program konservasi mangrove atau mangrove conservation program (MCP).

Program ini merupakan program rehabilitasi mangrove yang habis dirambah pada 1999-2000. Sebelumnya, yakni pada kurun waktu 1995-1998, PT CPB telah melakukan rehabilitasi (penghijauan) mangrove di pesisir timur Lampung dengan luas area mencapai 2.819 ha, sepanjang 50 km dengan ketebalan 500-1.500 meter. Program konservasi mangrove (MCP) ini telah dimulai sejak tahun 2004. Hingga 2006 telah dilakukan penanaman kembali sebanyak 140.000 bibit bakau, dan jumlah tersebut akan terus bertambah. Bibit bakau disemai di bedeng

persemaian yang berada di dalam kawasan pond site PT CPB, sehingga setiap saat dapat

dipantau pertumbuhannya.

(16)

3.2 Terumbu Karang

Perusakan terumbu karang akibat penangkapan ikan dengan cara-cara yang merusak haruslah dihentikan. Hal ini dapat dilakukan melalui dua program yang dipusatkan pada:

(a) Pengawasan ketat dan tindakan tegas terhadap beberapa kelompok nelayan yang diketahui menggunakan bahan peledak dan racun.

(b) Pengembangan program oleh masyarakat setempat di pulau-pulau guna menerapkan kepemilikan terhadap sumberdaya terumbu karang, digabungkan dengan pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya.

Pengawasan terhadap terumbu karang yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dapat menjadi “kontrol sosial”. Para petugas pengawas ini dapat juga sekaligus dilatih sebagai pemandu wisata bahari. Saat ini di beberapa desa pesisir telah terbentuk beberapa kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) yang bertugas menjaga dan mencegah kerusakan sumberdaya di wilayah pesisir masing-masing.

Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat merupakan pendekatan yang umum diterapkan pada sebagian besar program-program pengelolaan sumberdaya pesisir di dunia, khususnya di negara-negara berkembang dimana terumbu karang merupakan bagian yang signifikan dari ekosistem pesisir. Daerah perlindungan laut berfungsi sebagai zona inti yang secara permanen tertutup bagi penangkapan ikan dan kegiatan ektraktif lainnya sementara zona penyangga yang mengelilingi diatur dengan peraturan lebih longgar.

Pengalokasian suatu wilayah laut menjadi kawasan yang dilindungi dari kegiatan pemanfaatan tertentu merupakan upaya pengelolaan yang bertujuan untuk konservasi. Secara umum, adanya DPL dapat dianggap sebagai manifestasi dari keinginan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, seperti terhadap sumberdaya alam yang dimanfaatkannya dapat lestari, kebutuhan untuk menikmati keindahan alam dan kebutuhan untuk melindungi "hak sebagai pemilik" sumberdaya dari gangguan pengguna luar.

Daerah perlindungan laut berbasis masyarakat (DPL-BM) yang berhasil apabila DPL tersebut dapat memberikan manfaat kepada masyarakat seperti memberikan tambahan sumber pendapatan dari peningkatan produksi perikanan dan sektor pariwisata. DPL juga dapat berfungsi sebagai upaya konservasi dengan adanya perbaikan kualitas sumberdaya alam seperti komunitas terumbu karang. Manfaat tambahan lainnya adalah peningkatan kemampuan dan kesadaran masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di lingkungannya. Selain itu DPL-BM dapat menjadi alat untuk membantu mengatasi isu pengelolaan sumberdaya pesisir pesisir yang lebih luas. Dalam jangka panjang, DPL-BM lebih efektif dari segi biaya dan kesinambungannya.

(17)

Dengan diinisiasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung sejak tahun 2005 telah dilakukan kajian dan sosialisasi tentang Daerah Perlindungan Laut berbasis Masyarakat (DPLBM) di Pulau Legundi. Hal yang sama juga dilakukan di Pulau Puhawang pada tahun 2006. Tahun 2007 telah dilakukan inisiasi pembentukan peraturan desa yang mengakomodasi pelaksanaan DPLBM tersebut di kedua desa itu. Diharapkan dengan adanya DPLBM yang diperkuat dengan peraturan setempat, maka kerusakan terumbu karang dapat diminimalisir. Pada tahun 2007 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung telah melakukan sosialisasi dan pelatihan transplantasi terumbu karang bertempat di Desa Puhawang (Kabupaten Pesawaran) dan Desa Kiluan (Tanggamus). Selain mengadakan sosialisi dan pelatihan, juga dilakukan penanaman terumbu karang sebagai demplot pelestarian terumbu karang. Materi pelatihan juga mencakup keterampilan monitoring kondisi terumbu karang, sehingga masyarakat lokal pun dapat menilai kondisi terumbu karang di wilayah mereka.

Gambar 8. Pelatihan dan sosialisasi monitoring dan transplantasi terumbu karang (Juni 2007)

Pada Agustus 2008 Dinas Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Konsorsium Mitra Bahari Lampung (Universitas Lampung) melakukan pelatihan pengelolaan pesisir bagi guru-guru dan siswa SLTA di Bandar Lampung. Sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan ini adalah meningkatnya pengetahuan 60 orang guru dan 60 orang siswa SLTA tentang

(18)

pengelolaan wilayah pesisir. Diharapkan dengan meningkatnya pengetahuan guru dan siswa SLTA tersebut maka akan meningkat pula kesadaran mereka terhadap kelestanan wilayah pesisir, dan pada akhimya akan membawa perubahan bagi kondisi wilayah pesisir di masa yang akan datang. Hasil dari kegiatan ini diharapkan bermanfaat untuk peningkatan peran serta seluruh masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir sehingga pengelolaan pesisir dapat ditaksanakan secara tenpadu dan holistik dan membawa perubahan yang cukup nyata bagi kelestanian wilayah pesisir. Pelatihan juga diikuti dengan praktek langsung penanaman mangrove di Pantai Ringgung.

Gambar 8. Pelatihan pengelolaan pesisir terpadu bagi guru-guru dan siswa SLTA (Agt 2008) Upaya untuk melindungi terumbu karang dari kerusakan akibat penggunaan bom ikan dilakukan oleh Pemda Provinsi Lampung dengan penegakkan hukum terhadap pelaku. Nelayan pelaku pemboman ikan juga telah dijatuhi hukuman. Keterbatasan sarana dan prasarana merupakan faktor penghambat dalam upaya ini. Selain penegakkan hukum, upaya lainnya adalah dengan melakukan pendekatan dan penyuluhan tentang pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang. Hal ini terutama ditujukan kepada masyarakat pesisir yang banyak memanfaatkan karang sebagai bahan reklamasi ataupun bangunan rumah.

Gambar

Gambar 1.  Mangrove di Desa Margasari yang masih terjaga dengan baik
Gambar 2.  Kawasan mangrove di Desa Margasari yang menghadap ke laut  didominasi   jenis api-api (Avicennia spp)
Gambar 3.  Kondisi lamun di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung          Keterangan gambar:
Gambar 4. Kondisi lamun di perairan Pulau Pasaran.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Periode transisi menuju pada lingkungan laut terbuka dengan sedimentasi pada pasif margin terjadi pada pertengahan sampai akhir Jura hasil

Penggunaan pengetahuan tradisional yang tercermin dalam berbagai variabel tersebut akan menciptakan pengelolaan hutan adat yang dapat mendorong tercapainya

Pembangunan yang kurang berorientasi pada lingkungan tersebut pada akhirnya memaksa pemerintah untuk menerapkan konsep pembangunan lain yang lebih memperhatikan

Sebagai proses terakhir di hari kedua pertemuan, peserta yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil evaluasi kegiatan yang

Peraturan ini dipertegas pada Pasal 87 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa “Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUMDes” juncto Pasal

Hal ini didukung pendapat Sujanto yang menyatakan bahwa “Perkembangan pribadi manusia dipengaruhi oleh diri manusia itu sendiri dan lingkungannya” dalam

Strategi guru dalam membelajarkan matematika pada materi lingkaran kepada anak tunagrahita di SLB Muhammadiyah Cepu adalah strategi guru dalam membelajarkan