• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN NADZIR SEBAGAI PENGELOLA TANAH WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO.41 TAHUN 2004

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KEDUDUKAN NADZIR SEBAGAI PENGELOLA TANAH WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO.41 TAHUN 2004"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEDUDUKAN NADZIR SEBAGAI PENGELOLA TANAH WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO.41 TAHUN 2004

A. Tinjauan Terhadap Wakaf

1. Wakaf dalam Perspektif Hukum Islam

Wakaf menurut Bahasa Arab berarti al-habsu, yang berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan, menjauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian, kata ini berkembang menjadi habbasa dan berarti mewakafkan harta karena Allah. Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqofa (fiil madi ) – yaqifu (fiil mudori’) – waqfan (isim masdar) yang berarti berhenti atau berdiri. Sedangkan wakaf menurut syara’ adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan. 44 Para pakar Hukum Islam berbeda pendapat dalam memberi definisi wakaf secara istilah (hukum). Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam, sesuai dengan paham mazhab yang mereka ikuti, mereka juga berbeda persepsi didalam menafsirkan tata cara pelaksanaan wakaf di tempat mereka berada. Al- Minawi yang bermazhab Syafi’I mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan benda yang dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiannya yang berasal dari para dermawan atau pihak umum selain dari harta maksiat, semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan

44Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Raja Grafindo

(2)

Al Kabisi yang bermazhab Hanafi mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan benda dalam kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang miskin dengan tetap menjaga keutuhan bendanya. Definisi yang terakhir ini merupakan tambahan saja dari definisi yang telah dikemukakan oleh Imam Abu Hanfiyah yang mengatakan bahwa wakaf itu menahan benda milik si wakif dan yang disedekahkannya adalah manfaatnya saja.45

Dalam Pasal 215 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

Dalil-dalil yang dijadikan sandaran/dasar hukum wakaf dalam Agama Islam adalah :

a. Al Qur’an surah Al-Hajj ayat (77), artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, ruku dan sujudlah kamu dan sembahlah Tuhanmu serta berbuatlah kebaikan supaya kamu bahagia.”

b. Al Qur’an surah An-Nahl ayat (97), artinya :

“Barang siapa yang berbuat kebaikan, laki-laki atau perempuan dan ia beriman, niscaya akan Aku beri pahala yang lebih bagus dari apa yang mereka amalkan. “ c. Al Qur’an surah Ali Imran ayat (92), artinya :

45Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenata Media Group,

(3)

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”

d. Hadits Rasulullah Saw. Yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah yang terjemahannya :

“Apabila mati anak Adam, terputuslah daripadanya semua amalnya kecuali 3 (tiga) hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya.” Imam Muslim meletakkan hadits ini dalam bab wakaf karena para ulama menafsirkan istilah sedekah jariyah dengan wakaf. Hadits yang diriwayatkan oleh 5 (lima) Ahli Hadits dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Umar r.a. memperoleh sebidang tanah di Khaibar. Beliau menghadap Nabi Muhammad Saw. dan bertanya : “ Aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah kuperoleh sebaik itu, lalu apa yang akan engkau perintahkan kepadaku ?” Rasulullah bersabda: “Jika suka, engkau tahanlah pokoknya dan engkau gunakanlah untuk sedekah (jadikanlah wakaf).” Kata Ibnu Umar: “Lalu Umar menyedekahkannya, tidak dijual pokoknya tidak diwarisi, dan tidak pula diberikan kepada orang lain dan seterusnya.”46

Wakaf dalam Islam telah dimulai bersamaan dengan dimulainya masa kenabian Muhammad Shallallahu Alaihin wa Sallam di Madinah yang ditandai dengan pembangunan Masjid Quba’, yaitu masjid yang dibangun atas dasar takwa sejak dari pertama, agar menjadi wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan

46Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Raja Grafindo

(4)

agama. Peristiwa ini terjadi setelah Nabi hijrah ke Madinah dan sebelum pindah ke rumah pamannya yang berasal dari Bani Najjar. Kemudian disusul dengan pembangunan masjid Nabawi yang dibangun diatas tanah anak yatim dari Bani Najjar setelah dibeli oleh Rasullulah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan harga delapan ratus dirham, sebagaimana disebut dalam buku “Sirah Nabawiyah”, dengan demikian Rasullulah telah mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid.47

Wakaf lain yang dilakukan pada zaman Rasullulah adalah wakaf tanah Khaibar dari Umar bin Al Khathab Radhiyallahu Anhu. Tanah ini sangat disukai oleh Umar karena subur dan banyak hasilnya. Namun demikian, ia meminta nasehat kepada Rasulullah tentang apa yang seharusnya ia perbuat terhadap tanah itu. maka Rasullulah menyuruh agar Umar menahan pokoknya, dan memberikan hasilnya kepada para fakir miskin, dan Umarpun melakukan hal itu. Peristiwa ini terjadi setelah pembebasan tanah Khaibar yang terlaksana pada tahun ketujuh Hijriyah. Pada masa Umar bin Al Khathab Radhiyallahu Anhu menjadi Khalifah, ia mencatat wakafnya dalam akte wakaf dengan di persaksikan kepada para saksi dan mengumumkannya. Sejak saat itu keluarga Nabi dan para sahabat yang mewakafkan tanah dan perkebunannya. Sebagian diantara mereka ada yang mewakafkan harta untuk keluarga dan kerabatnya, sehingga muncullah wakaf keluarga (wakaf dzurri atau ahli).48

47 Mundzir Qanaf, Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa, Jakarta Timur, 2005, hal. 6 48 Ibid. hal.9

(5)

Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa wakaf berarti menahan harta seseorang, baik harta tersebut sebagai benda tidak bergerak seperti tanah maupun benda bergerak seperti uang (wakaf tunai) untuk diambil manfaatnya untuk kepentingan ibadah dan umat.

Ulama fikih membagi wakaf kepada dua bentuk, pertama wakaf khairi, yaitu wakaf yang sejak semula diperuntukan bagi kemaslahatan atau kepentingan umum, sekalipun dalam jangka waktu tertentu, seperti mewakafkan tanah untuk membangun masjid, sekolah dan rumah sakit. Kedua, wakaf ahli atau zurri, yaitu wakaf yang sejak semula ditentukan kepada pribadi tertentu, sekalipun pada akhirnya untuk kemaslahatan dan kepentingan umum, karena apabila penerima wakaf telah wafat, harta wakaf tidak bisa diwarisi oleh ahli waris yang menerima wakaf.49

Perkembangan mengenai pengertian wakaf, sebelum tahun tujuh puluhan, untuk memahami fiqh wakaf di Indonesia hanya dipergunkan pendapat ahli madzhab Syafi’I, namun setelah para hakim Pengadilan Agama telah banyak dijabat oleh alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN), tampak perubahan orientasi, tampak perumbahan orientasi, tidak terbatas lagi pada fiqh Islam madzhab Syafi’I, tetapi sudah meluas, berkembang meliputi juga paham yang tumbuh dalam mazhab Hukum Islam lainnya.

Kompilasi Hukum Islam yang telah dikeluarkan oleh Presiden melalui instruksinya kepada Menteri Agama Republik Indonesia pada tanggal 10 Juni 1991 dalam bab III juga mengatur tentang wakaf. Pengertian wakaf dalam KHI tercantum

(6)

dalam Pasal 215 ayat (1). Wakaf menurut KHI adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebahagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat dan keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam.

Pengertian wakaf dalam KHI ditemui kata “memisahkan” menunjuk pada pengertian wakaf, sedangkan kata “untuk selama-lamanya” mencerminkan pendapat madzhab Hambali yang kebetulan sejalan dengan paham madzab Syafi’i. kalimat ‘untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum” dalam rumusan itu menunjukkan pada wakaf umum dalam pengertian madzhab Syafi’i. Jadi, pengertian wakaf dalam KHI adalah gabungan pendapat Madzhab Syafi’I dengan madzhab Hambali.

2. Wakaf Dalam Perspektif Hukum Pertanahan Nasional

Wakaf sebagai perbuatan hukum telah lama melembaga dan dipraktekan dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Pengaturan tentang wakaf terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria yang ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 mengatur tentang wakaf, baik dalam pengertian sebagai lembaga hukum, ataupun sebagai hubungan hukum, di dalam Pasal 49 ayat (3) yang menyatakan, perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan pemerintah yang

(7)

dimaksudkan Pasal 49 ayat (3) diatas, baru muncul setelah 17 tahun berlakunya Undang-undang Pokok Agraria, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.

Sampai dengan ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, yaitu tanggal 17 Mei 1977, maka sebelumnya baik formil maupun materil perwakafan tanah di atur oleh hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu Hukum Islam yang diterima oleh hukum adat. Akan tapi tidak pula berarti bahwa dengan ditetapkan peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, masalah perwakafan tanah secara materil telah diatur secara lengkap oleh peraturan pemerintah tersebut. pengaturan detil persoalan wakaf, dari segi materilnya atau substansinya, masih terbuka untuk bagian dari hukum tidak tertulis, dalam hal ini hukum adat.50

Pada masa itu, Pemahaman dan pengertian wakaf menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia hanyalah sebatas mengenai tanah seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 yaitu: “wakaf dalam perbuatan hukum seseorang atau badan yang memisahkan sebahagian dari harta kekayaan yang berupa “tanah milik” dan melembagakannya untuk selama-selamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam.

Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPERNAS) Tahun 2000-2004 dan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/199 tentang GBHN yang antara lain menetapkan bahwa perlunya

50Mohammad Koesnoe, Wakaf Tanah Di Dalam Sistem Tata hukum Nasional Kita,

Kumpulanhasil Seminar Wakaf Tanah Dalam Sistem Hukum Nasional, Fakultas Hukum UIR, Pekanbaru, 1991, hal. 43

(8)

arah dan kebijakan dari bidang hukum, maka lahirnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf ini merupakan inhern dengan penataan sistem hukum nasional yang berlaku saat ini. Dalam PROPERNAS 2000-2004 ditentukan bahwa sistem hukum nasional yang akan dibangun adalah besifat menyeluruh dan terpadu dalam mayarakat Indonesia. Diharapkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004, pengembangan wakaf pada masa yang akan datang akan memperoleh dasar hukum yang kuat, terutama adanya kepastian hukum kepada nadzir, wakif, dan peruntukan wakaf. 51

Pengertian wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 disebutkan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna kerperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syar’iyah. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dijelaskan bahwa salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memilki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatnya sesuai dengan prinsip Syar’iyah.52

51Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenata Media Group,

Jakarta, 2006, hal.254

(9)

Pelaksanaan wakaf sebelum adanya UU No. 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang : Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah. Wakaf sangat dibutuhkan sebagai sarana dakwah dan pendidikan Islam, seperti untuk kepentingan ibadah mahdhoh (masjid, langgar, surau dan lain-lain) dan untuk ibadah ammah (umum) yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti di bidang pendidikan : madrasah, sekolah, majelis ta’lim, pondok pesantren dan lain-lain, di bidang ekonomi : pasar, transportasi, di bidang politik : sekretariat partai politik Islam dan lain-lain. Setelah terbitnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang : Perwakafan Tanah Milik, Pemerintah lewat Departemen Agama telah melakukan upaya pendataan, penataan dan penertiban wakaf yang telah terjadi maupun yang belum terjadi sekaligus penerbitan sertipikat tanah wakaf serta memberikan bantuan advokasi terhadap tanah wakaf yang bermasalah. Namun kenyataannya masih banyak proses perwakafan tanah yang masih belum terselesaikan dan semakin bertambah banyak seiring dengan bertambahnya kesadaran dan partisipasi umat Islam.

(10)

Sebelum lahir Undang-Undang No. 41 tahun 2004 Tentang Wakaf tidak ada Undang-Undang yang khusus mengatur perwakafan di Indonesia. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, terjadi pembaharuan di bidang perwakafan di Indonesia. Dikatakan terjadi pembaharuan, karena dengan berlakunya Undang-Undang ini banyak terjadi perubahan-perubahan yang signifikan dari peraturan perundang-undangan mengenai wakaf yang ada sebelumnya. Beberapa pengaturan penting sebagai pembaharuan yang ada dalam Undang-undang wakaf antara lain menyangkut harta benda wakaf, kriteria harta benda wakaf, pendaftaran dan pemgumunan wakaf, kegunaan harta benda wakaf, pemanfaatan benda wakaf, rukun atau unsur wakaf, wakaf dengan wasiat, penukaran dan perubahan harta benda wakaf, pemberian wakaf, penerima wakaf, Badan Wakaf Indonesia dan penyelesaian sengketa wakaf.

Mengenai harta benda wakaf yang dapat di wakaf selama ini sebagian umat Islam telah terbiasa mewakafkan harta bendanya yang tetap (tidak bergerak) seperti tanah, namun untuk mewakafkan harta bendanya yang tidak tetap (bergerak) tidak begitu terbiasa. Hal tersebut tidak terlepas dari pemahaman tentang lebih afdholnya mewakafkan harta benda berupa benda tetap seperti tanah dari pada benda lainnya yang bergerak. Keafdholan tersebut ditopang atas alasan antara lain, karena yang dicontohkan Rasulullah adalah wakaf tanah dan karena tanah merupakan harta benda yang bisa dibilang kekal sifatnya atau tidak gampang musnah, meskipun bisa musnah. Sedang untuk wakaf berupa benda lainnya tidaklah seperti demikian keadaannya. Namun pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan

(11)

Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, yang di dalamnya menentukan bahwa benda yang dapat diwakafkan tidak saja benda tetap (tidak bergerak) tetapi terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak. Di antara benda yang bergerak yang dapat diwakafkan adalah wakaf tunai (cash waqt).

Cash waqt diterjemahkan dengan wakaf tunai, namun kalau memiliki objek wakafnya, yaitu uang lebih tepat kiranya kalau cast waqt diterjemahkan dengan wakaf uang. Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Hukum wakaf tunai telah menjadi perhatian para fuqaha (yuris Islam), beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktekan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi.53

Pasal 16 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf menyatakan bahwa:

1. Harta benda wakaf terdiri dari: a. Benda tidak bergerak; dan b. Benda bergerak

2. Benda tidak bergerak meliputi:

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

b. Bangunan atau bagian yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;

53 Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, Direktorat Pemebrdayaan wakaf, Direktorat Jenderal

(12)

c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan.

3. Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikosumsi, meliputi:

a. uang;

b. logam mulia. c. Surat berharga. d. kendaraan.

e. Hak atas kekayaan intelektual. f. Hak sewa; dan.

g. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari bunyi pasal di atas, diperoleh kesimpulan tentang wakaf tunai, adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Akan tetapi saat ini benda wakaf yang lazimnya dilakukan orang selalu berbentuk tanah dan bangunan yang dimanfaatkan untuk masjid, sekolah dan tanah kuburan.

(13)

3. Rukun dan Syarat Wakaf

Sesuai dengan fiqih Islam, maka dalam perspektif Kompilasi Hukum untuk adanya wakaf harus dipenuhi 4 (empat) unsur (rukun), yaitu:

1. Adanya orang yang berwakaf (wakif) sebagai objek wakaf 2. Adanya benda yang diwakafkan (mauquf)

3. Adanya penerima wakaf (sebagai subjek waka) (nadzir)

4. Adanya aqad atau lafaz atau pernyataan penyerahan wakaf dari tangan wakif kepada orang atau tempat berwakaf (simauqufalaihi) .54

Sedangkan untuk syahnya suatu wakaf harus dipenuhi 3 syarat masing masing:

1. Wakaf itu mesti berkekalan dan terus menerus, artinya tidak boleh dibatasi dengan sesuatu jangka waktu oleh sebab itu tidak sah bila ikatakan oleh orang yang berwakaf “saya wakafkan kebun kelapa saya ini kepada yayasan anu untuk keperluan madrasah anu untuk selama satu tahun”

2. Wakaf itu mesti dilakukan secara tunai, kaena berwakaf berarti memindahkan hak milik pada waktu terjadi wakaf itu.

3. Hendaklah wakaf itu disebutkan dengan terang kepada siapa diwakafkan oleh itu tidak sah wakaf bilamana hanya dikatakan: “saya wakafkan kebun ini” tanpa disebutkan kepada siapa kebun itu diwakafkan.

(14)

Selain dari pada syarat umum seperti tersebut diatas maka menurut Hukum Islam ditentukan pula secara khusus mengenai syarat dari pada orang yang berwakaf dan harta yang diwakafkan syarat dari pada orang yang berhak itu adalah:

1. Ada yang berhak menerima wakaf itu bersifat perseorangan

2. Ada pula yang berhak menerima wakaf itu bersifat bersama atau umum, seperti badan-badan sosial Islam.55

B. Kedudukan Nadzir Wakaf Dalam Hukum Islam

Nadzir berasal dari kata kerja bahasa Arab nadzara-yandzurunadzaran yang mempunyai arti, menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Adapun nadzir adalah isim fa’il dari kata nadzir yang kemudian dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pengawas (penjaga). Sedangkan nadzir wakaf atau biasa disebut nadzir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Secara istilah nadzir adalah orang atau sekelompok orang dan badan hukum yang diserahi tugas oleh waqif (orang yang berwaqaf) mengelola wakaf. Dalam berbagai kitab fiqih nadzir disebut juga mutawalli, orang yang mendapat kuasa mengurus dan mengelola wakaf. Dari pengertian nadzir yang telah dikemukakan, tampak dalam perwakafan, nadzir memegang peranan yang sangat penting. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nadzir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus

55 Abdurahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara

(15)

menunjuk nadzir wakaf (pengawas wakaf) baik nadzir tersebut wakif sendiri, mauquf alaihnya.56

Dengan demikian nadzir berarti orang yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya, memelihara, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal.

Dasar hukum mengenai nadzir dalam fiqh Islam dapat dilihat dari hadis Rasullullah yang diriwayatkan Ibnu Umar yang didalamnya ada terdapat perkataan “…. Dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusnya untuk memakan sebagian darinya dengan cara ma’ruf”. Nadzir inilah yan disebut mutawalli. Cara yang ma’ruf adalah kadar yang biasanya berlaku. Kekuasaan nadzir atau mutawalli atas wakaf ialah kekuasaan yang terbatas dalam memelihara, menjaga, mengelola, dan memanfaatkan hasil dari barang yang diwakafkan sesuai dengan maksudnya. “jika pada suatu waqaf itu tidak ada muttawali maka karena jabatannya kadhi bertindak sebagai pengawas. Di Indonesia dahulu dilakukan oleh penghulu atau jawatan agama.57

Menurut fiqih, nadzir harus memenuhi beberapa syarat yaitu:

1. Adil, yaitu menjalankan perintah dan menjauhkan diri dari segala yang dilarang syariat. Ini merupakan syarat yang diungkapkan oleh Jumhur ulama. Sedangkan menurut Hanabilah adil bukan syarat Nadzir.

56 Tahir Azhary, Hukum Islam Zakat dan Wakaf , Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2005, hal.116 57 M. Hasballah Thaib, Fiqih Waqaf, Konsentrasi Hukum Islam Program Pascasarjana Hukum

(16)

2. Mampu, yaitu kekuatan seseorang dan kemampuannya mentasarrufkan apa yang dijaganya atau diawasinya.

Menurut Wabbah al-Zuhailli syarat mampu disini menuntut adanya taklif yaitu balig dan berakal. Laki-laki bukan syarat untuk menjadi nadzir karena Umar ra mewasiatkan Hafsah ra sebagai nadzir.

3. Islam58

Didalam kitab Ensiklopedia Hukum Islam dinyatakan bahwa seorang nadzir harus:

1. Adil, dalam artian orang yang senantiasa mawas diri dari perbuatan-perbuatan terlarang, menurut Hambali, orang fasik boleh menjadi nadzir, asal ia bertanggung jawab dalam memegang amanah.

2. Memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola harta wakaf, termasuk kecakapan bertindak hukum

3. Menurut ulama mazhab Hambali, apabila harta wakaf itu berasal dari seorang muslim, maka disyaratkan nadzirnya juga seorang muslim.59

Jika seseorang telah memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, maka ia dibolehkan memegang jabatan sebagai nadzir. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dapat terpenuhi, maka hakim menunjuk orang lain yang mempunyai hubungan kerabat atau keluarga dengan wakif., untuk selarasnya dengan prinsip hak

58 Wahbah al-Zuhaili, Al Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Jilid VIII, Dar al-Fikr, Beirut, 1984, hal.

232

(17)

pengawasan adalah pada wakif sendiri. Bila orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan wakif itu tidak ada, baru menunjuk orang lain.60

Fikih Islam tidak menentukan susunan kepengurusan nadzir wakaf yang terdiri dari seseorang, demikian juga wakaf yang terjadi di dalam adat Indonesia, pada awalnya susunan dan kewajiban nadzir dalam satu waqaf sangat ditentukan oleh kehendak si pewakif. Apabila pewakif tidak menentukan akan hal itu, maka khadi karena jabatannya menjadi nadzir wakaf tersebut. segala aturan-aturan yang ditentukan pewakif atas tanah wakaf adalah sebagai undang-undang bagi wakaf itu.61 C. Kewajiban dan Hak Nadzir dalam Hukum Islam

Tanggung jawab nadzir adalah mengelola, mengawasi, memperbaiki, dan mempertahankan harta wakaf dari gugatan orang lain. Apabila seseorang telah di tunjuk menjadi nadzir, maka ia boleh menyewakan dan/atau mengembangkan benda harta wakaf serta membagi-bagikan hasilnya kepada para penerima wakaf. Dalam usaha mengembangkan harta wakaf itu, agar produktif, menurut ulama Mazhab Hanafi, nadzir demikian kata mazhab Hanafi berhak menerima upah yang wajar. 62

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 220 menyatakan yang menjadi kewajiban dan hak-hak nadzir adalah:

(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.

60 Ibid.

61 M. Hasballah Thaib, Op.cit., hal. 75 62 Ibid.

(18)

(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri Agama.

Dengan demikian nadzir berarti orang yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya, memelihara, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal. Akan tetapi nadzir tidak bebas dalam melaksanakan tugasnya, ia tetap harus membuat laporan setiap kegiatan yang berkaitan dengan tanah wakaf yang ia kelola.

Agar kelestarian harta wakaf tetap terjaga, maka dalam Syariat Islam diberikan hak nadzir sebagai upah atas jerih payahnya dalam pengurusan wakaf. Dalam menentukan hak bagi nadzir Rasulullah menyatakan sebagai berikut:

“dari Ibnu Umar semoga Allah meridhoinya keduanya berkata …. Tidaklah berdosa orang yang memelihara harta tersebut memakan dari padanya (harta wakaf) dengan cara patut atau memberi makan saudaranya, tidak untuk menumpuk harta atau memperkaya dirinya (muttafaqun alaih).63

Ini artinya bahwa Rasullulah memberikan garisan bahwa nadzir wakaf berhak mendapatkan upah, selama ia melakukan tugasnya dengan baik. Jadi yang dimaksud dengan kata-kata “ma’ruf” dalam hadist diatas adalah yang sesuai dengan kebiasaan

(19)

yang berlaku. Hal seperti diatas dijelaskan kembali oleh Sayid Sabiq, yaitu: “orang yang mengurus harta wakaf boleh memakan sebagian dari hasilnya”.64

Mengenai hak dari nadzir Kompilasi Hukum Islam pada pasal 222 mengatur bahwa Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.

Adapun dalam konsep Islam Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik). Dan penetapan upah dalam Islam di lihat dari dua faktor yaitu adil dan layak. Adil memiliki dua arti, pertama jelas atau transparan, kedua bermakna proporsional. Sedangkan Layak memiliki dua arti juga yaitu cukup pangan, sandang dan papan, yang kedua sesuai dengan pasaran, yang mana dua faktor tersebut sudah memenuhi kebutuhan hidup layak bagi pekerja ataupun buruh. Disinilah letak perbedaan antara konsep upah menurut Islam dan konsep upah menurut barat dimana Islam melihat upah sangat besar kaitannya dengan konsep moral dan Islam juga memandang upah bukan hanya sebatas materi ( kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan yakni berdimensi pada akherat yang disebut dengan pahala sementara dalam konsep barat tidak.65 Atas dasar itulah mengapa Kompilasi Hukum Islam Indonesia menentukan penghasilan seorang nadzir dilihat dari kelayakan tanah wakaf yang dikelola nadzir

64Ibid.

(20)

tersebut, dalam artian sesuai dengan hasil produksi tanah wakaf tersebut dan penetapannya juga harus atas pertimbangan majelis ulama setempat. Karena pengelolaan tanah wakaf dinilai untuk umat maka ikut mengelola tanah wakaf tidak menjadi penting berapa penghasilannya yang lebih penting adalah amal ibadahnya.

Menurut Kepala KUA Kecamatan Lueng Bata H. Nurdin Ali, mengenai upah, nadzir-nadzir di wilayahnya tidak terlalu menuntut, dikarenakan selain sebagai nadzir mereka sudah memiliki pekerjaan utama. Jikapun ada nadzir yang bergantung kepada pengelolaan tanah wakaf, hanya sebagian kecil saja. Nadzir tersebut bisa saja mengembangkan tanah wakaf menjadi produktif, hasil dari pengelolaan tersebut sebahagian besar untuk modal pengembangan tanah wakaf selanjutnya, selebihnya untuk nadzir. sejauh ini belum ada nadzir yang mengundurkan diri dikarenakan tidak adanya upah.66 lebih jauh H. Nurdin Ali mengatakan, dikarenakan tidak adanya upah yang jelas kepada nadzir secara umum para nadzir tanah wakaf belum dapat melaksanakan fungsinya sesuai hukum Islam dan undang-undang tentang wakaf. KUA sebagai pengawas juga tidak bisa berbuat banyak, dikarenakan mengelola tanah wakaf adalah ibadah, dikerjakan atau tidak dikerjakan tanggung jawab pribadi nadzir kepada masyarakat.

D. Kedudukan Nadzir Wakaf Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Praktek wakaf dan perwakafan yang terjadi dalam masyarakat belum sepenuhnya tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus banyak harta benda

66 Wawancara dengan H Nurdin Ali, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Lueng Bata, 4

(21)

wakaf yang terlantar dan tidak terpelihara sebagaimana mestinya bahkan beralih kepada pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Hal demikian terjadi karena ketidakmampuan nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf disamping kurangnya pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan peran harta wakaf. Untuk merealisasi dan merepotensi tujuan wakaf, pemerintah telah memberikan payung hukum di bidang perwakafan ini dengan instrumen Undang-Undang yaitu UU No. 41 Tahun 2004, yang didalamnya lebih menegaskan kedudukan nadzir dalam perwakafan dan adanya batasan imbalan nadzir dalam mengelola harta wakaf. Selama ini belum jelas batasan imbalan bagi para nadzir baik dalam PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dan Kompilasi Hukum Islam yang berdasarkan atas penetapan dari Majelis Ulama Kecamatan dan Kepala Kantor Urusan Agama.

Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (4) UU No. 41 tahun 2004 nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Selain itu nadzir juga salah satu unsur terpenting setelah wakif, disamping harus adanya unsur harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan hata benda wakaf dan jangka waktu wakaf.

Pentingnya kedudukan nadzir dalam proses perwakafan disebabkan harta benda wakaf harus didaftarkan atas nama nadzir untuk kepentingan pihak yang dimaksudkan dalam Akta Ikrar Wakaf sesuai dengan peruntukannya. Akan tetapi terdaftarnya harta benda wakaf atas nama nadzir tidak membuktikan kepemilikan nadzir atas harta benda wakaf, bahkan pergantian nadzir tidak mengakibatkan

(22)

peralihan harta benda wakaf yang bersangkutan.67 Ketentuan tersebut mempertegas bahwa nadzir merpunyai peranan penting dalam wakaf. Bila tidak adanya nadzir maka tidak akan ada harta benda yang diwakafkan.

Nadzir menurut UU No 41 Tahun 2004 meliputi perseorangan, organisasi dan badan hukum.

Perseorangan hanya dapat menjadi nadzir apabila memenuhi syarat: 1. Warga Negara Indonesia

2. Beragama Islam 3. Dewasa

4. Amanah

5. Mampu secara rohani dan jasmani

6. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum68

Organisasi yang dapat menjadi nadzir apabila memenuhi syarat:

1. Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perseorangan.

2. Organisasi yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.69

Badan hukum, hanya dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan:

67

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf

68Pasal 10 UU Ayat (1) No. 41 Tahun 2004 69

(23)

1. Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perseorangan .

2. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Badan hukum yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.70

Lebih jelas nadzir perseorangan diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004, yang menyatakan:

1. Nadzir perseorangan ditunjuk oleh wakif dengan memenuhi persyaratan menurut undang-undang.

2. Nadzir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat.

3. Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pendaftaran Nadzir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan Badan Wakaf Indonesia di Provinsi Kabupaten/kota

4. BWI menerbitkan tanda bukti pendaftaran nadzir

5. Nadzir perseorangan harus merupakan suatu kelompok yang terdiri dari paling sedikit 3 (tiga orang) dan salah seorang diangkat menjadi ketua.

70 Ibid.

(24)

6. Salah seorang nadzir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat 5 harus bertempat tinggal di kecamatan tempat benda wakaf berada.

Nadzir perseorangan dapat berhenti dari kedudukannya apabila meninggal dunia, berhalangan tetap, mengundurkan diri atau diberhentikan oleh BWI. Berhentinya salah seorang nadzir tidak mengakibatkan berhentinya nadzir perseorangan lainnya.71 Hal ini disebabkan tidak ada batas waktu pengangkatan nadzir. nadzir bisa saja diangkat seumur hidupnya untuk mengelola tanah wakaf.

Apabila diantara nadzir perseorangan berhenti dari kedudukannya, maka nadzir yang ada harus melaporkan ke Kantor Urusan Agama untuk selanjutnya diteruskan kepada BWI paling lambat 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal berhentinya nadzir perseorangan yang kemudian pengganti nadzir tersebut akan ditetapkan oleh BWI. Apabila nadzir perseorangan yang berhenti dari kedudukannya tersebut merupakan nadzir untuk wakaf dalam jangka waktu terbatas dan wakaf dalam jangka waktu tidak terbatas, maka nadzir yang ada memberitahukan kepada wakif atau ahli waris wakif apabila wakif sudah meninggal dunia. Apabila Nadzir dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak AIW dibuat tidak melaksanakan tugasnya maka Kepala KUA baik atas inisiatif sendiri maupun atas usul Wakif atau ahli warisnya berhak mengusulkan kepada BWl untuk pemberhentian dan penggantian Nadzir. mengenai pemberhentian nadzir ini dapat dilaporkan di KUA setempat, apabila tidak ada KUA

71Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang

(25)

setempat maka dapat dilakukan nadzir melalui KUA terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan BWI di provinsi/kabupaten/kota.

Sementara itu ketentuan mengenai nadzir organisasi tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 pada Pasal 7, yaitu:

1. Nadzir organisasi wajib didaftarkan pada menteri dan BWI melalui kantor urusan agama setempat.

2. Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendaftaran nadzir melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan BWI provinsi/kabupaten/kota.

3. Nadzir organisasi merupakan organisasi yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Pengurus organisasi harus memenuhi persyaratan nadzir perseorangan b. Salah seorang pengurus organisasi harus berdomisili dikabupaten/kota

letak benda wakaf berada. c. Memiliki:

1. Salinan akta notaries tentang pendirian dan anggaran dasar 2. Daftar susunan pengurus

3. Anggaran rumah tangga

(26)

5. Daftar kekayaan yang berasal dari harta wakaf yang terpisah dari kekayaan lain atau yang merupakan kekayaan organisasi dan

6. Surat pernyataan bersedia untuk diaudit

4. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf c dilampirkan pada permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1

5. Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan sebelum penandatanganan AIW.

Ketentuan mengenai nadzir badan hukum tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 pada Pasal 11, yaitu:

1. Nadzir badan hukum waris didaftarkan pada menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat

2. Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendaftaran nadzir dilakukan melalui Kantor Urusan agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan BWI di Provinsi/kabupaten/kota

3. Nadzir badan hukum yang melaksanakan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persayaratan:

a. Badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam

b. Pengurus badan hukum harus memenuhi syarat nadzir perseorangan

c. Salah seorang pengurus harus badan hukum harus berdomisili di kabupaten/kota benda wakaf berada

(27)

d. Memiliki:

1. Salinan akta notaries tentang pendirian dan anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi berwenang.

2. Daftar susunan pengurus 3. Anggaran rumah tangga

4. Program kerja dalam pengembangan wakaf

5. Daftar terpisah kekayaan yang berasal dari harta benda wakaf atau yang merupakan kekayaan badan hukum; dan

6. Surat pernyataan bersedia untuk diaudit

4. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf d dilampirkan pada permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1.

Dalam hal menjalankan tugas dan masa baktinya sebagaimana tersebut diatas, masa bakti nadzir adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali. Pengangkatan kembali nadzir dilakukan oleh BWI, apabila yang bersangkutan telah melaksanakan tugasnya dengan baik dalam periode sebelumnya sesuai ketentuan prinsip syar’iyah dan peraturan perundang-undangan.

Menurut salah seorang Hakim Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh Drs. Idris Abdullah, SH., masa bakti nadzir dalam peraturan perundang-undangan dianggap tidak cocok dengan kondisi perkembangan perekonomian masyarakat saat ini. Seharusnya dalam undang-undang lebih tegas memutuskan periode kedudukan nadzir dalam mengelola tanah wakaf. Menurutnya, saat ini, dimana perekonomian sangat sulit, sulit pula menemukan orang-orang yang jujur, adil, dan taat ibadah

(28)

sepanjang hidupnya. Berdasarkan kasus tanah wakaf yang pernah ia adili di pengadilan Makahmah Syar’iyah, terjadinya penyalahgunaan pengelolaan tanah wakaf dikarenakan kepercayaan masyarakat terlalu besar kepada satu nadzir. selain itu, nadzir juga memiliki kesempatan besar, dimana ia diberi kepercayaan tanpa batas dalam pengelolaan. Dari tahun ketahun bahkan puluhan tahun mengelola tanah wakaf tanpa pengawasan yang jelas. Baru ketika ditemukan kasus penyalahgunaan tanah wakaf, masyarakat ribut dan mempertanyakan status tanah wakaf tersebut. Contohnya saja kasus Masjid Jami’ Kecamatan Lueng Bata, bila tidak ada penjualan tanah wakaf tersebut, tidak ada yang tahu telah terjadi penyalahgunaan oleh nadzir. Oleh karenanya, agar tidak ada kesempatan untuk menguasai tanah wakaf oleh nadzir, sebaiknya ada pembatasan waktu bagi kedudukan nadzir dalam mengelola tanah wakaf. Menurutnya, dua periode atau selama sepuluh tahun sudah cukup. Setelah itu dapat diganti dengan nadzir yang lain. Mengenai siapa nadzir pengganti bisa disepakati bersama antara MUI, Depag, Baitul Mal, Hakim dan KUA.72

E. Kewajiban dan Hak Nadzir dalam UU NO.41 Tahun 2004

Nadzir adalah perseorangan, kelompok atau badan hukum yang berhak mengelola tanah wakaf. Agar terhindar mencari keuntungan pribadi atau penyelewengan dalam pengelolaan tanah wakaf maka perlu diperhatikan kewajiban dan hak dari nadzir. UU No. 41 Tahun 2004 dalam pasal 11 menyatakan, nadzir mempunyai tugas:

72 Hasil wawancara dengan Drs. Idris Abdullah, S.H, Hakim Makamah Syar’iyah Kota Banda

(29)

1. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf

2. Mengelola dan mengembankan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya

3. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf

4. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia

Dalam melaksanakan tugas tersebut nadzir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Ketentuan mengenai kewajiban nadzir juga ditegaskan dalam PP RI No.42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf pada Pasal 13, dimana dalam pasal tersebut menerangkan bahwa tugas nadzir adalah mengadministrasikan, mengelola, mengembangkan, mengawasi, dan melindungi harta benda wakaf dan membuat laporan secara berkala kepada menteri dan BWI mengenai kegiatan perwakafan.

Seorang nadzir yang bertugas untuk mengurus dan mengelola harta wakaf, dengan mengembangkan, memperbaiki kerusakan-kerusakan, menginvestasikan dan menjual hasil produksinya serta membagikan keuntungan yang telah terkumpul kepada mustahik. Sudah selayaknya mendapatkan upah yang setimpal atas apa yang telah dilakukannya mengingat dengan usahanaya yang keras dan waktunya yang tersita, sekiranya digunakan untuk mengolah hartanya sendiri, pasti menghasilkan laba dan keuntungan yang banyak. Tetapi, mengenai ketentuan upah nadzir ini tidak ada batasan tertentu, karenanya bisa berbeda-beda besarannya, tergantung kepada tempat dan kondisinya. Sekaligus disesuaikan dengan kemampuan dan kecakapan nadzir serta penentuan dari wakif. Bentuk dan upah tersebut juga tidak menentu, bisa

(30)

berbentuk uang, seperti duapuluh atau tigapuluh. Atau, berdasarkan prosentase. Seperti sepersepuluh atau seperdelapan dari keuntungan. Juga bisa dengan memberikan hak kepadanya untuk mengambill hasil wakaf setiap bulan atau setiap tahunnya. Semua itu kembali kepada syarat wakifnya atau kebiasaan yang berlaku didalam masalah itu.73

UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf memberi pembatasan terhadap hak nadzir. hal ini sesuai dengan pasal 12, yang menyatakan “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, nadzir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang bersarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen)”.

Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang besarnya dan macamnya ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama.74

Ketentuan tentang hak nadzir terdapat juga dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 yaitu:

1. Nadzir berhak menerima penghasilan dari hasil-hasil tanah wakaf yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Kandepag cq Kepala Seksi Urusan Agama Islam dengan ketetuan tidak melebihi dari 10 persen dari hasil bersih tanah wakaf.

73

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf Kajian Kontenporer Pertama dan

Terlengkap tentang Fungsi dan pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Dompet

Dhuafa Republika, Jakarta, 2004, hal.499

74Pagar, Himpunan Peraturan perundang-undangan Peradilan Agama di Indonesia, IAIN

(31)

2. Nadzir dalam menunaikan tugasnya dapat menggunakan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditetapkan kepala kandepag, kepala seksi urusan agama dengan mengingat hasil tanah wakaf dan tujuannya.

Mengurus wakaf termasuk kewajiban negara untuk mengelolanya dikarenakan tujuan dari pengelolaan tanah wakaf adalah untuk kepentingan umum. Oleh karena itu negara wajib memperhatikan gaji para pekerjanya, baik nadzir ataupun yang lainnya. Sebagai jerih payah mengelola tanah wakaf nadzir berhak mengambil hasil dari tanah tersebut dihitung sejak ia menjadi nadzir. akan tetapi hasil pengelolan antara tanah wakaf yang satu dengan tanah wakaf yang lain belum tentu sama. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesimpangsiuran mengenai besarnya hak nadzir pemerintah menetapkan hak yang diberikan kepada nadzir, baik dengan mempertimbangkan pendapat majelis ulama kecamatan setempat, tidak boleh melebihi 10 persen, seperti yang dimaksudkan dalam ketentuan UU tersebut.

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa nadzir berkedudukan sebagai pengelolaan tanah wakaf berhak mendapkan honor dengan jalan mengambil sebahagian hasil dari tanah wakaf. Akan tetapi honor tersebut tidak boleh melebihi 10 persen dari hasil bersih tanah wakaf. Berdasarkan penelitian di kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh, tanah-tanah wakaf setempat lebih banyak untuk kepentingan ibadah, seperti masjid/meunasah, langgar tempat pengajian, dimana yang menjadi nadzir umumnya imam masjid tersebut. disebabkan sebahagian besar nadzir adalah imam masjid maka tugasnya sebagai nadzir dianggap ibadah, dalam arti kata nadzir

(32)

tersebut tidak berniat mengambil hak dari hasil kerjanya sebagai pengelola tanah wakaf. Semua dilakukan atas dasar ibadah, bukan karena upah.

Menurut Drs. H. Nurdin Ali, Kepala KUA Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh, semua pihak yang terkait dengan pengelolaan tanah wakaf, seperti nadzir, KUA, Keuchik Lueng Bata dan Baitul Mal sepakat bahwa untuk menentukan seberapa besarnya upah yang akan diberikan kepada nadzir tidaklah menjadi persoalan dikarenakan tidak ada batasan tertentu, karena bisa berbeda-beda besarannya. Semua disesuaikan dengan kondisi tanah wakaf dan apa yang dihasilkan dari pengelolaan tanah tersebut. lebih jauh ia mengatakana ada wakaf yang tidak menghasilkan apa-apa, jadi tidak mungkin nadzirnya mendapatkan upah.

Mengenai honor tersebut tidak menjadi persoalan, dikarenakan hidup nadzir tidak bergantung pada hasil wakaf. Salah satu contoh tidak mungkin seorang nadzir mengambil upah dari tanah wakaf adalah bila tanah wakaf tersebut kosong, dalam arti tidak ada tanaman yang bisa diambil hasilnya atau tidak pula ada bangunan diatasnya yang bisa dimanfaatkan. Misalnya saja tanah lapangan bola yang digunakan masyarakat Lueng Bata saat ini, itu merupakan tanah wakaf, tanahnya kering oleh karena itu tidak bisa digunakan selain sebagai lapangan bola. Dalam hal ini nadzir hanya berperan sebagai pemelihara dan pengawas, agar tanah itu tetap utuh, menjadi tanah milik bersama atau milik umat. Bila sudah bergitu kondisinya mana mungkin nadzir bisa mengambil upah. Bahwa benar dalam peraturan perundang-undangan yang menentukan upah nadzir adalah Kepala Kandepag cq Kepala Seksi Urusan Agama, dalam hal ini yang lebih berperan adalah KUA. Akan tetapi pada prosesnya

(33)

KUA hanya menerima laporan lapangan saja. Mengenai besar kecilnya honor nadzir, belum pernah KUA yang menentukan. Hal ini dikarenakan wakaf yang dilaporkan kepada KUA sudah berjalan bertahun-tahun, jadi sebagaimana sudah berlaku sebelumnya KUA ikut saja.

Menurut Tgk. A Saman Abdul, Nadzir Desa Lueng Bata, para ulama telah sepakat bahwa wakif berhak untuk menentukan seberapa besar upah yang akan diberikan kepada nadzir. Dalam penentuan upah tersebut, wakif boleh menentukan upah sesuai ukuran yang layak menurut pandangan dia, tanpa ada orang lain yang boleh membatasinya. Hal itu, disebabkan akan sempurnanya wakaf, apabila sesuai dengan apa yang dikatakan dan disyaratkan oleh wakif, termasuk hak bagi nadzir dan yang berhak atas wakaf (mustahik). Selain wakif, pemerintah juga berhak menentukan honor nadzir, akan tetapi bila dibandingkan dengan wakif, maka kekuasaan wakif lebih besar dalam menetapkan seluruh keuntungan wakaf untuk nadzir, ini dikarenakan wakif adalah si pemberi wakaf. Pemerintah berhak menentukan honor nadzir hanya dikarenakan nadzir mengurusi kemaslahatan umum, oleh karenanya, perlu campur tangan pemerintah. Hal yang terjadi selama Tgk. A Saman Abdul menjadi nadzir adalah kebanyakan nadzir-nadzir di wilayah Kecamatan Lueng Bata tidak ada yang ditentukan upahnya. Akan tetapi, nadzir boleh mengambil bagian yang sesuai dengan kualitas kerjanya dari keuntungan wakaf, meskipun tidak ada izin dari pemerintah atau Kandepag.75

75Hasil Wawancara dengan Tgk. A Saman Abdul, Nadzir, Nadzir Desa Lueng Bata, di Desa

(34)

Meskipun mengenai honor nadzir tidak menjadi persoalan akan tetapi tetap harus diperhatikan karena usaha nadzir dalam mengelola dan memelihara tanah wakaf juga membutuhkan waktu dan energi yang besar. Selain itu, dengan memperhatikan hak-haknya sebagai nadzir, sudah pasti nadzir tersebut akan lebih perhatian terhadap pengelolaan dan pemeliharaan tanah wakaf, sehingga tanah wakaf tidak dibiarkan terlantar atau tidak produktif. Mengenai besar kecilnya honor yang menjadi hak nadzir dan alasan yang menyebabkan nadzir berhak atas honor tersebut dapat ditentukan oleh wakif dan dapat pula ditentukan oleh hakim. Hakim dalam hal ini adalah pemerintah yang diwakilkan kepada Kepala Kandepag cq Kepala Seksi Urusan Agama Islam. Selain itu, memamg diperlukan pembatasan honor terhadap nadzir dan tidak melebihi 10 persen dari hasil bersih tanah wakaf sudah dianggap standar dan wajar. KUA sebagai pengawas pengelolaan tanah wakaf, harus mengawasi setiap kelebihan pengambilan honor oleh nadzir. supaya jangan sampai hak untuk nadzir lebih besar daripada hak untuk umat (mustahik), dimana nadzir lebih mementingkan dirinya daripada kepentingan umum. Bila hal itu terjadi tentu sudah menyimpang dari tujuan mewakafkan harta benda tanah. Bukankah tujuan utama wakaf itu adalah untuk kemaslahatan umat. Apabila tanah wakaf tersbut tidak berproduksi sehingga nadzir menjadikannya alasan tidak ada hak untuk umat dan nadzir menguasai tanah tersebut maka pemerintah harus membantu nadzir dengan jalan memberi pelatihan manajemen pengembangan pengelolaan tanah wakaf.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan asupan zat gizi sehingga dapat mengakibatkan ketidaksempurnaan pertumbuhan tubuh baik fisik maupun mental (Chinue,

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari variasi suhu dan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi pada total fenol, aktivitas antioksidan dan antimikrobia ekstrak

Persentase penguasaan atau ketuntasan siswa terhadap materi pembelajaran yang telah diajarkan sebesar 60% pada siklus I dan 85% pada siklus II untuk mata

kualitatif sesungguhnya merupakan upaya rekonstruksi, yaitu suatu pembentukan protobahasa dari suatu kelompok bahasa yang berkerabat dengan penemuan ciri- ciri bersama

Pada masa ini pula ditanamkan proses berbahasa Indonesia yang baik, dan bahkan juga masa yang sesuai untuk belajar bahasa asing melalui pemerolehan bahasa (bukan melalui

Pada hari Selasa 12 Juli 2016 telah dilangsungkan pertemuan diruang Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bantaeng untuk membahas masalah Keseragaman Penetapan besaran biaya Pemanggilan

Sebagian kelompok sudah didaftarkan ke Dinas pertanian, peternakan dan perhutanan kota metro untuk dibuatkan Tanda Pencatatan Usaha Pembudidayaan Ikan (TPUPI). Selanjutnya,

Pertemuan Tingkat Tinggi antar Korea kembali diselenggarakan pada tanggal 2-4 Oktober 2007 di Pyongyang untuk mendiskusikan tentang kemajuan hubungan antara Korea Utara dan