• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Pendorong Berkembangnya Perjanjian Standar. Oleh. Delfina Gusman, S.H, M.H, Dosen Fakltas Hukum Universitas Andalas ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Faktor Pendorong Berkembangnya Perjanjian Standar. Oleh. Delfina Gusman, S.H, M.H, Dosen Fakltas Hukum Universitas Andalas ABSTRAK"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

 

Faktor Pendorong Berkembangnya Perjanjian Standar

Oleh

Delfina Gusman, S.H, M.H, Dosen Fakltas Hukum Universitas Andalas

 

ABSTRAK

Perjanjian standar adalah perjanjian yang bentuknya telah ditetapkan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak lain hanya menandatangani sebagai tanda persetujuan. Perjanjian standar berkembang cepat dalam dunia bisnis, karena dianggap efesien dan efektif. Namun,

bagaimanakah kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak sebagai salah satu syarat sah perjanjian sebagaimana termaktub pada Pasal 1320 KUHPerdata?

 

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

(2)

Dewasa ini kita sedang giat-giatnya melakukan pembangunan di segala bidang kehidupan. Kegiatan pembangunan ini adalah usaha kita bersama dalam mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kesinambungan dan peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional yang berazaskan kekeluargaan, perlu untuk diterapkan di dalam kehidupan kita bermasyarakat dalam suatu negara. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan pembangunan ekonomi harus memperhatikan perkembangan ekonomi dan stabilitas nasional. Salah satu aspek yang sangat penting dalam hukum perdata yang mengatur aktifitas-aktifitas manusia dalam memenuhi kebutuhan adalah hukum perjanjian, karena perjanjian ini banyak diperlukan dalam lalu lintas hukum sehari-hari terutama dalam abad teknologi dewasa ini.

Untuk istilah perjanjian ini Prof. R.Subekti, dengan istilah persetujuan, ditegaskannya bahwa istilah perjanjian sama artinya dengan istilah persetujuan. Mengenai hukum perjanjian diatur dalam buku III KUH Perdata Bab II, Pasal 1313-1351 dan di dalam pasal 1313 memakai istilah perjanjian dengan persetujuan, dengan bunyi sebagai berikut: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dari definisi ini, maka setiap orang dapat saja mengadakan perjanjian dengan orang lain  dan isinya akan disetujui oleh para pihak yang akan membuat perjanjian tersebut. Dewasa ini dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi timbul gejala-gejala adanya kecenderungan perjanjian yang mana syarat-syaratnya telah ditentukan secara sepihak artinya sebelum perjanjian disepakati telah ditentukan syarat-syaratnya. Dari segi praktisnya perjanjian semacam ini sangat menguntungkan sebab tidak setiap pihak peserta perjanjian memiliki keterampilan dan pengetahuan yuridis yang kadang-kadang keadaan ini akan menghambat terciptanya perjanjian. Perjanjian yang lebih dahulu diawali dengan penetapan syarat-syarat secara sepihak dalam pertumbuhannya mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sehingga oleh organisasi-organisasi dan perusahaan penting diciptakan suatu syarat-syarat yang telah dibakukan, yang kemudian lazim dikenal dengan istilah Perjanjia

n Standar.

Menurut pustaka hukum Belanda, peristiwa perjanjian baku untuk pertama kali dikemukakan oleh Jansma dalam disertasinya.

Adapun latar belakang timbulnya perjanjian standar ini menurut berbagai kepustakaan  adalah diakibatkan oleh keadaan sosial ekonomi perusahaan yang besar, baik untuk perusahaan pemerintah maupun swasta yang mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi. Untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu secara sepihak diajukan kepada Contrac Partnernya. Oleh karena pihak lawan peserta perjanjian pada umunya berada pada posisi ekonomi lemah baik karena posisinya maupun ketidaktahuannya lalu hanya menerima apa yang disodorkan itu[1],  maka artikel ini mencoba untuk membahas tentang “ Faktor

Pendorong Berkembangnya Perjanjian Standar”.

(3)

 

B.    Rumusan Masalah

Sehubungan dengan uraian diatas, maka  rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1.     Faktor pendorong berkembangnya perjanjian standar

2.    Azas kebebasan berkontrak bila dikaitkan dengan perjanjian standar

 

TEORITIS DAN PEMBAHASAN

A. TEORITIS

I.     Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Hukum perjanjian merupakan salah satu bahagian dari lapangan Hukum Perdata sebagaimana tertera dalam Buku Ke III KUH Perdata Pasal 1313 sampai Pasal 1319, yang mengatur tentang Perikatan. Hukum perjanjian besar sekali manfaatnya bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perjanjian ini muncul karena manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak bisa sendiri, ia harus berhubungan dengan manusia lain.

Secara yuridis pengertian perjanjian dapat terlihat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

(4)

terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut Abdul Kadir Muhammad perumusan pasal ini mempunyai kelemahan dan kurang lengkap karena :

1. Kata perbuatan mengandung arti luas

2. Rumusan perjanjian tersebut hanya menyangkut sepihak saja/ tidak ada unsur

konsensualisme

3. Pengertian perjanjian tersebut terlalu luas

4. Rumusan pasal ini tidak menyebut tujuan mengadakan perjanjian

Dapat ditarik sebuah rumusan perjanjian dari beberapa ahli, yaitu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya dalam lapangan harta kekayaan.

Menurut Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal perjanjian dapat dikatakan kontrak apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:[2]

1. Adanya kesepakatan tentang fakta antara keduabelah pihak 2. Persetujuan dibuat secara tertulis

3. Adanya hak dan kewajiban bagi para pihak

Syarat Sahnya Perjanjian :

Syarat sahnya suatu perjanjian dapat dilihat ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

1.

1. Sepakat mereka mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

(5)

Wirjono Projodikoro, yaitu :

1. Kelompok syarat subjektif

Yaitu kelompok syarat yang berhubungan dengan subjeknya. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka kontrak dapat dibatalkan. Adapun maksud dapat dibatalkan adalah kontrak tersebut tetap sah sepanjang belum ada pembatalan dari salah satu pihak .

1. Kelompok syarat objektif

Yaitu kelompok syarat yang berhubungan dengan objeknya. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka kontrak batal demi hukum. Adapun yang dimaksud batal demi hukum adalah kontrak dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi.

Bila dikaitkan dengan standar kontrak perbankan, sebagian orang beranggapan standar kontrak yang dibuat oleh bank tidak memenuhi syarat sahnya kontrak yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan para pihak. Mereka memberikan alasan, tidak ada kesepakatan dalam menentukan isi kontrak. Namun sebagian orang juga berpandangan asal telah ada penandatangan terhadap kontrak berarti telah lahirlah kontrak atau kata sepakat.

Azas-azas Kontrak :

Dalam membuat dan melaksanakan perjanjian ada 3 azas yang sangat penting, yaitu:

1. Azas konsensualisme

Azas ini dapat dilihat dalam Pasl 1320 jo Pasal 1328 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat terlihat eksistensi dari konsensus ini dimana suatu perjanjian dapat dikatakan sah apabila adanya kata sepakat dari para pihak. Sedangkan Pasal 1328 KUH Perdata

(6)

menyatakan suatu perjanjian karena penipuan bisa mengakibatkan pembatalan perjanjian. Dengan dianutnya azas ini dalam hukum perjanjian mempunyai konsekwensi bahwa dengan tercapainya kesepakatan, perjanjian telah lahir sehingga para pihak yang terlibat dalam kesepakatan itu terikat untuk memenuhi prestasi yang telah mereka sepakati.

2. Azas kekuatan mengikat

Perjanjian lahir antara para pihak mengikat layaknya seperti Undang-undang. Azas ini

ditegaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1) yang berbunyi :”Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Begitu pula dalam standar kontrak yang dibuat oleh perbankan, dengan adanya tanda tangan dari pengguna jasa perbankan berarti telah lahir hak dan kewajiban bagi para pihak. Tampak jelas, bahwa tidak ada unsur paksaan terhadap debitur dalam menandatangani kontrak.

3. Azas kebebasan berkontrak

Yang dimaksud azas kebebasan berkontrak adalah bahwa setiap orang dapat membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja selama tidak bertentangan dengan undang-undang atau melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Azas ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang berbunyi: ‘semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekankan pada kata

“semua” dari pasal diatas maka ini berarti meliputi semua perjanjian, yang berarti kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja, baik yang dikenal maupun belum dikenal oleh UU. Akan tetapi ini mengandung konsekwensi, yakni mengikat bagi yang membuatnya

sebagaimana UU. Dengan kata lain, dalam hukum perjanjian kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi diri sendiri. Contohnya : Perjanjian jual beli mobil antara A dan B, yang isi perjanjian ditentukan oleh keduabelah pihak asal tidak bertentangan dengan UU, kesusilaan, ketertiban umum.

Namun yang perlu diingat yang dimaksud disini bukanlah kebebasan yang tanpa batas, melainkan kebebasan yang terbatas. Hal ini terbukti, bahwa kebebasan dibatasi dengan kesepakatan antara ahli pendukung perjanjian. Sebab dalam mencapai kesepakatan antara para pihak telah mengorbankan sedikit kebebasan kehendaknya, sehingga pihak satu terikat dengan yang lain secara timbal balik. Hal ini juga telah diatur dalam Pasal 1337 BW, yang mengandung makna kebebasan itu dilarang, apabila dilarang UU atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

(7)

Mariam Darusbadrul Zaman menambahkan azas dalam perjanjian tersebut dalam beberapa kategori lagi disamping azas-azas perjanjian diatas, yaitu :

a. Azas kepercayaan

Azas ini berkaitan dengan kepercayaan antara keduabelah pihak yang timbul setelah adanya itikad baik. Azas kepercayaan sangat penting dalam kontrak perbankan terutama dalam perjanjian kredit. Bank dalam memberikan kredit kepada debitur menggunakan analisis kepercayaan dan prinsip kehati-hatian. Begitu pula nasabah yang ingin menyimpan uangnya juga harus memiliki kepercayaan terhadap bank tersebut, apakah terjamin rahasia bank mereka atau tidak.

b. Azas Persamaan hukum

Azas yang berkaitan dengan para pihak yang mendapatkan persamaan derajat dalam melakukan perjanjian.

c. Azas keseimbangan

Azas ini mengkehendaki keduabelah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah mereka buat dan sepakati dimana masing-masing pihak harus memenuhi prestasi yang mereka sepakati bersama dengan itikad baik, sehingga tercipta keseimbangan antara keduabelah pihak dalam perjanjian itu.

d. Azas kepastian hukum

Perjanjian sebagai bentuk produk hukum hendaklah mengandung kepastian hukum dalam menciptakan kepastian hukum bagi keduabelah pihak, maka perjanjian itu haruslah

(8)

mempunyai kekuatan mengikat, layaknya sebagai UU bagi para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.

e. Azas kepatutan

Azas ini berkaitan dengan ketentuan tentang isi perjanjian. Pengaturannya ditegaskan dalam pasal 1339 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang. Azas ini yang harus menjadi perhatian besar bagi dunia perbankan dalam membuat standar kontrak.

f. Azas Moral

g. Azas Kebiasaan[3]

II. Tinjauan Umum Perjanjian Standar

Istilah standar berarti patokan, susunan dan ukuran yang telah ditentukan terlebih dahulu atau tealah dibakukan. Jika bahasa hukum telah distandarkan atau dibakukan berarti bahasa hukum itu telah ditentukan patokannya atau ditentukan ukurannya. Sehingga bahasa hukum itu

mempuyai arti yang tetap dan tidak dapat dirubah-ubah serta sudah menjadi pegangan yang tetap.

Perjanjian standar berarti perjanjian yang telah disiapkan terlebih dahulu baik isi maupun syaratnya, sebelum pendirian perjanjian yang sebenarnya. Perjanjian standar ini dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan hukum yang sifatnya sama dan isi perjanjian secara tetap

diperlakukan kepada setiap lawan pihak yang mengikatkan dirinya.

Istilah perjanjian standar dalam bahasa belanda dikenal dengan “Standar Contract” atau “Standar Voorwaarden” sedangkan dalam bahasa hukum inggris menyebutkan dengan

(9)

istilah : “Standar Forms Of Contract” sedangkan dalam istilah hukum kita kenal dengan “Perjanjian Standar “ atau “Perjanjian Baku”.

Perjanjian standar disebut juga standar kontrak yang merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat.

Hondius merumuskan perjanjian standar dengan:[4]

“ Perjanjian standar adalah konsep janji-janji tertulis disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah tak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu”.

Inti dari perjanjian baku menurut Hondius adalah isi perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isi perjanjian tersebut.

Selanjutnya Drooglaver Fartuijn merumuskan perjanjian standar dengan:[5]

“Contrakken Waarvan sen belangrijk deeeel van de anhout woed bepald door een vast samenstel van vontracts bedingen”, yang artinya : “Perjanjian yang bagian isinya yang penting dituangkan ke dalam susunan janji-janji.”

Sedangkan Prof. Mariam Darus Badrulzaman, SH merumuskan perjanjian standar dengan Perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan ke dalam bentuk-bentuk formil-formil. Dari rumusan-rumusan perjanjian standar tersebut jelaslah perjanjian standar itu suatu perjanjian tertulis yang telah dibakukan atau distandarkan yang dituangkan ke dalam bentuk formil-formil. Kemudian dicetak dalam jumlah tak terbatas sesuai dengan kebutuhan dan dipergunakan terhadap perbuatan hukum yang sejenis.

(10)

distandarisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isi perjanjian tersebut maka ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak maka perjanjian itu dianggap tidak ada. Hal ini disebabkan debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut. Dalam praktiknya, seringkali debitur yang membutuhkan uang hanya menandatangani perjanjian tanpa dibacakan isinya. Akan tetapi isi perjanjian baru dipersoalkan pada saat debitur tidak mampu melaksanakan prestasinya.

Dalam kehidupan sehari-hari kita dihadapkan pada bermacam bentuk perjanjian. Ada yang dilakukan dengan lisan serta ada dalam bentuk tertulis, baik jangka waktu tertentu maupun jangka waktu yang lama. Dalam praktek perjanjian standar tumbuh dan berkembang dalam bentuk tertulis, hal ini banyak beredar dalam masyarakat.

Secara kuantitatif, jumlah standar kontrak yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sangat banyak, karena masing-masing perusahaan atau lembaga baik yang bergerak di bidang perbankan dan nonbank maupun lainnya selalu menyiapkan standar baku daalam mengelola usahanya. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat lalu lintas hukum.

Prof. Mariam Darus Badrulzaman membedakan 4 jenis perjanjian standar, yaitu:[6]

1.     Perjanjian Standar Sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam hukum hukum kontrak dalam hal ini adalah kreditur.

2.    Perjanjian Standar Timbal Balik adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh para pihak. Misalanya perjanjian yang pihaknya terdiri dari majikan dan buruh serta yang lainnya.

3.    Perjanjian Standar Yang Ditetapkan Oleh Pemerintah adalah perjanjian terhadap

perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek terhadap tanah, formulir perjanjian atas SK Mendagri tanggal 6 Agustus 1977 No. 1049/Dja/1977, berupa Akta jual beli model 1156737.f

(11)

perjanjian-perjanjian yang konsepnya yang sejak semula untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan.

Dari keempat jenis perjanjian standar diatas dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar perjanjian standar yaitu:

1.     Perjanjian Standar Umum

Adalah perjanjian yang isinya dibentuk dan dipersiapkan oleh hanya sepihak saja. Perjanjian standar umum ini juga disebut perjanjian standar sepihak.

2.    Perjanjian Standar Khusus

Adalah perjanjian standar yang ditetapkan oleh badan-badan khusus , misalnya: Pemerintah, PPAT, Notaris, perjanjian yang dibuat oleh badan tersebut diatas telah diatur secara resmi dan diatur oleh Undang-undang.

Ciri-ciri Perjanjian Standar :

Dalam perjanjian standar mempunyai cirri-ciri tersendiri dengan perjanjian lain. Ciri-ciri tersebut antara lain:[7]

1.     Isi perjanjian standar ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang kuat kedudukan ekonominya.

2.    Masyarakat ( debitur) sama sekali tidak secara bersama-sama menentukan isi perjanjian.

(12)

3.    Debitur terpaksa menerima perjanjian ini karena terdorong kebutuhan.

4.    Bentuk perjanjian baku ini adalah tertentu dan tertulis.

5.    Telah dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan konfektif.

 

B. PEMBAHASAN

I.  Faktor- Faktor yang Mendorong Terjadinya Perjanjian Standar

Meskipun perjanjian standar dinilai kurang mencerminkan roh dari UU No.8 Tahun 1999

tentang Perlindungan konsumen, tetapi perjanjian standar ini tetap berkembang terutama dalam dunia bisnis. Adapun faktor yang paling mendorong berkembangnya perjanjian standar adalah konsep dalam perjanjian ada keseragaman, sehingga tidak perlu membuat perjanjian tiap terjadi transaksi antara pelaku usaha. Form telah tersedia, hanya mengisi identitas dan

transaksi yang dilakukan. Perjanjian standar lebih cenderung membuat kegiatan lebih efesien dan efektif.

Permasalahan yang hingga saat ini adalahm masih ada keraguan dalam terpenuhinya syarat sah perjanjian yaitu apakah perjanjian standar telah memenuhi asas kebebasan berkontrak yang dimaksud Pasal 1320 KUHperdata?.

II.   Asas Kebebasan Berkontrak Bila Dikaitkan Dengan Perjanjian Standar

Dalam perpustakaan hukum telah dicoba untuk membuat dasar ikatan dengan syarat-syarat baku. Pertama-tama ada ajaran penaklukan kemauan dari Zeylemaker. Ia berpendapat bahwa:

(13)

[8]

“Orang mau, karena orang merasa takluk kepada satu pengaturan yang aman, disusun ahli dan tidak sepihak atau karena orang tidak dapa berbuat lain daripada takluk, tetapi orang mau dan orang tahu bahwa orang mau”.

Stein tidak sependapat dengan cara berpikir ini. Pihak peserta lain sama sekali tidak mau takluk kepada syarat-syarat yang tidak menguntungkan dia melainkan kepada klausula yang pantas. Selanjutnya Stein mengatakan bahwa kebutuhan praktis dari lalu lintas hukum memaksa satu kesimpulan bahwa pihak lain terikat kepada semua syarat-syarat tanpa mempertimbangkan apakah ia mengetahui syarat-syarat itu.

Pandangan lain berpendapat bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian karena bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Pandangan ini melihat perjanjian baku dari aspek pembuatan substansi kontrak. Substansi kontrak dibuat oleh pengusaha secara sepihak, berarti itu Undang-undang swasta yang diberlakukan bagi debitur.

Mariam darus Bardrulzaman berpendapat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur untuk menegosiasikan. Debitur tidak mempunyai kekuatan tawar menawar para pihak dalam menentukan isi kontrak.

Dengan kata lain, perjanjian standar terjadi alam masyarakat adalah didorong oleh kebutuhan yang bersangkutan dan juga perkembangan telekomunikasi dalam perdagangan transnasional. PENUTUP A.    Kesimpulan

(14)

1.     Adapun faktor-faktor yang mendorong berkembangnya perjanjian standar dalam masyarakat, yaitu:

a.    Pertumbuhan dan perkembangan perekonomian yang sangat pesat terutama dalam dunia bisnis, sehingga melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama baik antar individu maupun antar negara.

b.    Bagi dunia bisnis, waktu adalah uang. Oleh sebab itu perjanjian standar lebih banyak digunakan dalam dunia bisnis. Perjanjian standar dianggap lebih efesien dan sama

substansinya bagi pihak lain.

c.    Para pihak umumnya tidak suka berpikir lama dalam membuat sebuah kontrak, terutama kreditur lebih cenderung langsung menandatangani kontrak tanpa perlu membacanya.

2.    Azas kebebasan berkontrak bila dikaitkan dengan perjanjian standar.

Perjanjian standar dianggap tidak bertentangan dengan azas kebebasan berkontrak, karena tidak ada unsur paksaan bagi debitur untuk sepakat terhadap perjanjian tersebut. Namun, debitur selalu berada di pihak yang lemah, sehingga debitur lebih cenderung menyepakati saja isi perjanjian yang kadang-kadang merugikannya.

B.    Saran-saran

Saran-saran sebagai berikut:

1.     Agar debitur sebagai pihak yang lemah selalu diberikan perlindungan hukum oleh pemerintah tidak hanya melalui UU Perlindungan Konsumen. Debitur juga harus berhati-hati sebelum menandatangani sebuah kontrak, sebaiknya membawa pihak yang memahami

(15)

masalah hukum.

2.    Agar dibentuk sebuah lembaga khusus untuk memberikan penilaian apakah perjanjian standar tersebut memenuhi aturan studi kelayakan , serta melakukan evaluasi dalam waktu tertentu dan kreditur yang biasanya pihak yang kuat juga mempertimbangkan  rasa keadilan masyarakat bukan hanya laba semata dalam membuat perjanjian standar.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Djumhana. 2000. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung. Penerbit:     PT.Citra Aditya Bakti

R. Setiawan. 1994. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung. Penerbit: Binacipta

Salim H.S.2003. Hukum Kontrak. Jakarta. Penerbit: Sinar Grafika

Soedjono Dirdjosisworo.2003. Kontrak Bisnis. Bandung. Penerbit: Mandar Maju

Zoelfirman.2003. Kebebasan Berkontrak Versus HAM. Medan. Penerbit: UISU

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(16)

[2] Salim H.S. 2003. Hukum Kontrak. Hal.25

[3] Mariambadrul Zaman, Hukum Perikatan dan Penjelasannya, Alumni Bandung, 1993.Hal.108

[4] Mariam Darus Badrulzaman. Hukum Perikatan.Hal.96

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Mariam .Perjanjian Kredit Bank. 1991

[8] Salim. Hukum Kontrak. Hal.120

Referensi

Dokumen terkait