Pada bab ini akan dibahas secara rinci mengenai metode penelitian yang
digunakan dan langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam menyusun
skripsi yang berjudul “Peranan Warman Dalam Gerakan Komando Jihad (1976-1981)”. Selama pelaksanaan penelitian di lapangan, penulis menggunakan metode penelitian Historis.
3.1. Metode Penelitian
Secara harfiah, metode berasal dari Bahasa Yunani yaitu “Methodos’’
yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah,
maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Dapat disimpulkan bahwa metode
merupakan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Sjamsuddin (2007, hlm:
13) mengatakan bahwa “...metode sebagai prosedur, proses, atau teknik yang
sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan
bahan-bahan (objek) yang akan diteliti”. Ini dapat diartikan bahwa dalam
melakukan penelitian, dibutuhkan tahapan-tahapan tertentu yang harus di tempuh
oleh seorang peneliti untuk mendapatkan suatu hasil yang objektif dan ilmiah.
Jika seorang peneliti tidak melakukan tahapan-tahapan yang dimaksud, maka
penelitian tersebut bisa dinyatakan tidak ilmiah.
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode historis.
Metode ini sangat identik untuk digunakan dalam mengkaji sebuah fenomena
sejarah. Oleh karena itu metode Historis merupakan metode yang sesuai untuk
digunakan karena data-data yang dibutuhkan menyangkut dengan masa lampau.
Ismaun (2005, hlm. 34) yang menyatakan bahwa:
“metode sejarah ialah rekonstruksi imajinatif tentang gambaran masa lampau peristiwa-peristiwa sejarah secara kritis dan analitis berdasarkan bukti-bukti dan data peninggalan masa lampau yang disebut sumber sejarah.”
Hal serupa juga dipaparkan oleh Gottchalk (1986, hlm. 39) bahwa metode
secara kritis rekaman peninggalan masa lampau termasuk didalamnya metode
dalam menggali, memberi penilaian, mengartikan serta menafsirkan fakta-fakta
masa lampau untuk kemudian dianalisis dan ditarik sebuah kesimpulan dari
peristiwa tersebut.
Menurut Gray dalam (Sjamsuddin,2007, hlm. 89) ada enam tahapan yang
harus ditempuh oleh seorang peneliti dalam melakukan penelitian yaitu:
1. Memilih topik yang sesuai,
2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik,
3. Membuat catatan tentang itu, apa saja yang dianggap penting dan
relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang
berlangsung,
4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah disimpulkan
(kritik sumber),
5. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu
pola yang benar dan berarti, yaitu sistematika yang telah disiapkan
sebelumnya dan
6. Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan
mengkomunikasikan nya kepada para pembaca sehingga dapat
dimengerti sejelas mungkin.
Sedangkan menurut Ismaun (1990. Hlm: 12-136) terdapat
langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang peneliti sejarah dalam melakukan
penelitian. Langkah-langkah tersebut diantaranya Heuristik (proses pencarian
sumber), Kritik (menguji keaslian sumber), Interpretasi (proses verifikasi data)
dan Historiografi (tahap penyusunan). Jika seorang peneliti tidak melaksanakan
salah satu langkah yang telah ditentukan, maka penelitian yang dapat dikatakan
tidak layak karena tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
3.2. Persiapan penelitian
Tahap ini merupakan tahap persiapan yang dilakukan oleh peneliti
sebelum melaksanakan penelitian langsung ke lapangan. Ada beberapa
3.2.1. Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian
Tahap penetuan tema merupakan tahap awal dan tahap terpenting dalam
suatu penelitian, karena tema penelitian merupakan pijakan awal bagi seorang
peneliti dalam mengkaji suatu peristiwa sejarah. Dengan ditentukannya tema
penelitian, penelitian yang dilakukan akan terarah dan terfokus pada satu objek
penelitian (sesuai tema), jika peneliti tidak menentukan tema penelitian, maka
penelitian yang dilakukan tidak akan terfokus dan objek kajiannya tidak menentu.
Dalam proses penentuan tema penelitian, tema penelitian yang diambil
oleh peneliti mengalami beberapa kali perubahan. Pada awalnya peneliti
mengambil tema tentang peranan seorang Bupati di Garut yaitu R.A.A.
Wiratanudatar dengan judul “Garut pada masa Raden Adipati Aria
Wiratanudatar (1871-1913)”. Setelah berkonsultasi dengan dosen yang
mengampu mata kuliah tersebut yakni Dra. Murdiyah Winarti, M. Hum peneliti
memutuskan untuk tidak melanjutkan tema tentang R.A.A. Wiratanudatar karena
dalam proses pencarian data (heuristik) yang sempat dilakukan, banyak kendala
yang menyulitkan peneliti dalam pengkajian sumber karena sumber inti yang
harus dilakukan oleh peneliti menggunakan bahasa Belanda.
Ketertarikan peneliti terhadap sejarah lokal membuat peneliti memutuskan
untuk kembali mencari peristiwa-peristiwa sejarah di daerah Garut. Pada akhir
semester 8 peneliti kembali berkonsultasi dengan salah seorang dosen yakni Drs.
H. Achmad Iryadi dan hasil dari konsultasi tersebut peneliti mendapatkan tema
tentang sejarah dan peranan organisasi militer di Garut. Peneliti memutuskan
untuk mengambil tema tersebut degan judul: “Peranan Korem
062/Tarumanagara dalam Upaya Mempertahankan Keutuhan NKRI (Dalam
Masalah Timor-timur 1975-1999)”. Dalam proses bimbingan judul yang diajukan
oleh peneliti dalam seminar mengalami perubahan. Karena menurut pembimbing
judul tersebut akan menyulitkan peneliti dalam melakukan penelitian.
Pembimbing menyarankan agar peneliti hanya membahas tentang sejarah
organisasi nya saja, sampai akhirnya penulis memutuskan untuk merubah titik
Dalam Melaksanakan Fungsi Militer Sebagai Alat Pertahanan Negara
(1962-1989)”, setelah itu judul penelitian kembali dirubah menjadi “Perkembangan
Korem 062/Tarumanagara (1962-2008)”.
Setelah beberapa bulan peneliti melanjutkan penelitian, peneliti kembali
menemui kesulitan karena sumber primer yang dibutuhkan untuk mendukung
penelitian tidak memadai. Peneliti kembali berkonsultasi dengan Dr. Agus
Mulyana, M.Hum selaku pembimbing I dan beliau menyetujui penulis untuk
mengubah kembali judul penelitian namun harus dengan ruang lingkup yang sama
(militer) dan menyarankan untuk mendatangi Drs. H. Ayi Budi Santosa, M.si
selaku ketua TPPS. Setelah berkonsultasi dengan beliau akhirnya peneliti di
izinkan untuk merubah judul penelitian menjadi “PERANAN WARMAN DALAM
GERAKAN KOMANDO JIHAD (1976-1981)” sampai dengan sekarang.
3.2.2. Menyusun Rancangan Penelitian
Dalam menyusun rancangan penelitian, sebenarnya peneliti sudah
membuat rancangan penelitian sejak mengampu mata kuliah Seminar Penulisan
Karya Ilmiah di semester tujuh. Awalnya peneliti merancang penelitian tentang
peranan seorang bupati terhadap perkembangan Kota Garut dengan judul “Garut
pada masa R.A.A. Wiratanudatar (1871-1913)”. Kesulitan dalam mencari sumber
primer mengharuskan peneliti memutuskan untuk menyusun kembali rancangan
penelitian dengan tema yang berbeda. Peneliti kemudian menyusun kembali
rancangan penelitian dengan judul “Peranan Korem 062/Tarumanagara dalam
Upaya Mempertahankan Keutuhan NKRI (Dalam Masalah Timor-timur
1975-1999)”. Judul ini kemudian diseminarkan pada tanggal 21 Januari 2015. Sesuai hasil dari seminar, peneliti kembali mengubah Judul dan kembali menyusun rancangan penelitian menjadi “Peranan Korem 062/TARUMANAGARA Dalam Melaksanakan Fungsi Militer Sebagai Alat Pertahanan Negara (1962-1989)”
yang kemudian di sah kan oleh ketua TPPS.
Selama proses bimbingan terjadi beberapa perubahan judul penelitian. Hal
tersebut tentunya mengharuskan peneliti mengubah dan menyusun kembali
rancangan penelitian dari judul sebelumnya menjadi “Peranan Koramil
berubah kembali menjadi “Peranan Warman Dalam Gerakan Komando Jihad (1976-1981)” sampai dengan sekarang.
3.2.3. Pengurusan Perizinan Penelitian
Dalam melaksanakan proses penelitian, tentunya peneliti harus menemui
beberapa instansi yang berkaitan dengan penelitian ini, terutama ketika tahap
pencarian dan pengumpulan sumber. Peneliti membuat surat izin penelitian yang
disetujui oleh Dekan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UPI pada
bulan Juni 2015. Surat perizinan tersebut berfungsi sebagai syarat untuk
memenuhi tertib administrasi kepada lembaga-lembaga tertentu, terutama
lembaga militer dan sebagai identitas bahwa penulis merupakan mahasiswa yang
berasal dari upi yang akan mengadakan penelitian. Peneliti membuat beberapa
surat perizinan dimana surat tersebut ditujukan Dinas Sejarah Angkatan Darat,
Komando Daerah Militer III/Siliwangi selaku pusat komando militer daerah Jawa
barat, Komodo Resort Militer 062/Tarumanagara dan ditujukan ke Komando
Rayon Militer Soreang selaku badan atau instansi yang ikut serta memberantas
Komando Jihad atau Gerakan Pengganggu Keamanan Warman di Kecamatan
Soreang.
3.2.4. Proses Bimbingan
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penyusunan skripsi ini,
peneliti sangat membutuhkan sosok pembimbing yang bisa mengarahkan peneliti
selama melakukan penelitian. Pembimbing merupakan sosok yang sangat
berperan terhadap perkembangan penulisan skripsi ini, maka dari itu proses
bimbingan merupakan proses yang tidak kalah penting dari proses-proses
penelitian lainnya.
Selama peneliti menyusun skripsi ini, peneliti mengalami beberapa kali
ganti judul dan ganti titik fokus penelitian. Pada penelitian pertama dengan judul
penelitian Peranan Korem 062/TARUMANAGARA Dalam Melaksanakan Fungsi
Militer Sebagai Alat Pertahanan Negara (1962-1989), sesuai dengan surat
keputusan No. 01/TPPS/JPS/PEM/2015 ketua TPPS menunjuk bapak Dr. Agus
M.Hum sebagai pembimbing ke II. Kedua pembimbing tersebut selalu
meluangkan waktu untuk bimbingan satu minggu sekali dengan cara bimbingan
menyimpan draft terlebih dahulu dan kemudian menginformasikan bahwa draft
sudah disimpan di meja masing-masing. Namun ketika peneliti sedang dalam
tahap pertengahan proses penulisan skripsi, peneliti memutuskan untuk mengganti
kembali judul penelitian dengan alasan kesulitan mendapatkan sumber primer.
Setelah judul penelitian di ganti, penulis kembali menyusun rancangan
penelitian dan menyerahkan kembali kepada bapak Drs. H. Ayi Budi Santosa,
M.si untuk kemudian dibuatkan surat keputusan yang baru dengan No.
01/TPPS/JPS/PEM/2015. Sesuai dengan surat keputusan yang terakhir,
pembimbing I diserahkan kembali kepada bapak Dr. Agus Mulyana, M.Hum dan
pembimbing II kepada bapak Wawan Darmawan, S.pd, M.Hum. Proses
bimbingan pertama kali dilakukan pada tanggal 11 Maret 2015. Selama proses
bimbingan peneliti mendapatkan banyak masukan, saran dan kritik yang
membangun, hal tersebut tentu sangat membantu peneliti selama proses penelitian
berlangsung.
3.2.5. Persiapan Perlengkapan Penelitian
Sebelum terjun langsung ke lapangan untuk melakukan penelitian, peneliti
harus mempersiapkan dengan matang hal-hal apa saja yang akan dibutuhkan agar
penelitian yang dilakukan berjalan dengan mudah. Tentunya persiapan demi
persiapan dilakukan sebelum peneliti terjun secara langsung ke lapangan. Adapun
persiapan-persiapan yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan surat perizinan
Dalam membuat satu surat perizinan, peneliti memerlukan waktu satu
sampai dua jam karena dalam membuat surat perizinan melibatkan beberapa
lembaga dalam Universitas. Langkah awal yang ditempuh peneliti yaitu meminta
surat izin melakukan observasi ke loket Departemen Pendidikan Sejarah UPI di
lantai 2 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) yang ditanda
tangani oleh ketua departemen dan salah satu pembimbing. Selanjutnya surat
antarkan kembali ke bagian loket direktorat IT untuk meminta no surat dan cap
fakultas sebagai pengesahan surat perizinan.
Dalam mengurus surat perizinan, peneliti tidak langsung membuat ke
empat surat tersebut sekaligus melainkan satu per satu. Surat pertama di tujukan
terhadap Dinas Kesejarahan TNI-AD (Disjarahad) yang berlokasi di Jalan
Belitung-Bandung, seminggu kemudian peneliti kembali membuat surat penelitian
yang ditujukan kepada Komando Daerah Militer III/Siliwangi dan Komando
Resort Militer 062/Tarumanagara selaku organisasi militer yang membawahi
daerah Jawa Barat dan Wilayah V Priangan. Pengajuan surat penelitian terhadap
Kodam III/Siliwangi dan Korem 062/Tarumanagara bertujuan melancarkan
hal-hal yang khususnya menyangkut administrasi dalam penelitian. Setelah membuat
surat izin ke Kodam dan Korem, selanjutnya peneliti kembali membuat surat izin
penelitian yang ditujukan kepada Koramil Soreang.
2. Instrumen wawancara
Setelah membuat serat perizinan, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh
peneliti adalah membuat instrumen wawancara. Peneliti mulai menentukan
calon-calon narasumber yang akan diwawancarai maupun orang yang mampu
memberikan penulis sumber-sumber yang dibutuhkan untuk pengumpulan data
tulisan ini. Khusus untuk instrumen wawancara peneliti menyiapkan kurang lebih
sepuluh pertanyaan utama yang akan dilontarkan ketika wawancara dan beberapa
pertanyaan lainnya sebagai pertanyaan pembantu dan pelengkap.
3. Persiapan alat Dokumentasi
Ketika melakukan penelitian secara langsung ke lapangan, tentunya segala
hal penting yang terjadi selama penelitian berlangsung harus di dokumentasikan
sebagai salah satu bukti bahwa informasi yang didapat oleh peneliti berasal dari
sumber yang terpercaya. Dokumentasi sangatlah penting dalam suatu penelitian.
Selain sebagai bukti, dokumentasi juga dijadikan sebagai bahan review oleh
peneliti dalam melakukan penyusunan laporan penelitian khususnya disini berupa
skripsi. Adapun alat yang dipakai oleh peneliti untuk mendokumentasikan yaitu
3.3.Pelaksanaan Penelitian
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam penelitian ini peneliti
menggunakan metode historis karena fakta-fakta yang penulis kumpulkan
berhubungan dengan masa lalu. Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan
langkah-langkah yang di tempuh oleh peneliti dan dihubungkan dengan temuan di
lapangan. Adapun langkah-langkah yang ditempuh oleh peneliti selama penelitian
diantaranya:
3.3.1. Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Heuristik atau proses pencarian sumber adalah langkah awal yang di
tempuh oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini. Menurut Sjamsuddin
(2007:86), heuristik adalah sebuah kegiatan mencari sumber-sumber untuk
mendapatkan data-data, atau materi sejarah, atau evidensi sejarah. Sedangkan
menurut G.J Reiner (dalam Abdurahman, 2007. Hlm :64), heuristik adalah suatu
teknik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu. Dari kedua pernyataan tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa heuristik merupakan suatu seni dalam mencari
sumber-sumber yang diperlukan dalam kegiatan penelitian. Suatu penelitian tidak bisa
berjalan bila tidak mempunyai sumber-sumber yang relevan untuk dikaji dan
dibuktikan kebenarannya, sumber yang dimaksud adalah sumber sejarah. Ismaun (2005, hlm. 35) menjelaskan bahwa “sumber sejarah ialah bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau”.
Sumber yang digunakan oleh seorang peneliti dalam melakukan sebuah
penelitian, pada dasarnya adalah data verbal yang membuka kemungkinan bagi
peneliti sejarah untuk memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal
(Abdurahman, 2007, hlm. 40). Dengan sumber yang tersedia inilah seorang
peneliti di tuntut untuk merekonstruksi kembali peristiwa sejarah yang sedang
dikaji secara ilmiah. Berbicara tentang sumber sejarah, terdapat 3 bentuk sumber
sejarah yang bisa dijadikan sebagai pusat informasi dalam melakukan suatu
penelitian, diantaranya: pertama, sumber yang berbentuk lisan. Sumber lisan
kemukakan oleh pelaku sejarah atau saksi sejarah yang benar-benar mengalami
peristiwa tersebut.
Sumber lisan bisa didapatkan dengan melakukan wawancara terhadap
pelaku sejarah ataupun saksi sejarah. Dalam mendapatkan sumber lisan, seorang
peneliti harus menganalisis terlebih dahulu untuk mengetahui apakah benar bahwa
orang yang akan diwawancara adalah seorang pelaku sejarah. Bentuk sumber
yang kedua ialah bentuk tulisan. Sumber tulisan merupakan sumber yang bisa di
dapatkan dengan mengkaji beberapa tulisan yang terkait dengan peristiwa yang
sedang dikaji seperti dokumen-dokumen yang terkait dan buku yang merupakan
hasil dari penelitian terdahulu. Sumber Ketiga adalah Sumber benda. Sumber
benda bisa didapatkan dengan mengkaji peninggalan-peninggalan berbentuk
benda seperti candi, prasasti maupun benda lainnya yang bisa memberikan
informasi bagi seorang peneliti.
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti hanya menggunakan dua jenis
sumber sejarah yakni sumber lisan dan sumber tulisan. Dalam mengkaji sumber
tulisan, peneliti melakukan pengkajian guna mempelajari data-data atau catatan
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dengan mempelajari buku-buku
atau literatur untuk memperoleh informasi teoritis yang berkenaan dengan
masalah penelitian. Untuk mengkaji sumber lisan peneliti melakukan wawancara
dengan beberapa purnawiran yaitu Bapak Udi Tarsudi selaku mantan Danramil
Soreang dan Bapak Subari selaku mantan Babinsa Soreang. Kedua orang tersebut
merupakan pelaku yang ikut turun langsung dalam operasi penangkapan warman
di Soreang. Dalam proses pencarian sumber lisan peneliti juga melakukan
wawancara terhadap salah satu Warga Soreang. Selain itu peneliti juga melakukan
wawancara terhadap Bapak Mahmud Djamil selaku kepala intelijen Korem
062/Tarumanagara yang menjabat dari tahun 1975-1983.
3.3.1.1. Proses Pencarian Sumber Tulisan
Sumber tulisan merupakan suatu sumber yang paling penting dalam suatu
penelitian sejarah. Sumber tulisan memuat informasi yang diperoleh dari
peninggalan-peninggalan tertulis yang mencatat peristiwa yang terjadi pada
Dalam menjelaskan suatu peristiwa, sumber tulisan dapat menjelaskan lebih detail
jika dibandingkan dengan sumber lisan. Hal ini dikarenakan sumber tertulis
menyajikan fakta dan data yang lebih akurat dari yang didapatkan dari sumber
lisan. Selain itu, sumber tulisan tidak akan mengalami perubahan yang signifikan
dari segi isi meskipun peristiwa tersebut sudah berlangsung puluhan tahun yang
lalu. Isi dari sumber tulisan harus diperkuat dengan adanya bukti yang jelas
berbentuk sebuah benda atau mencantumkan dokumen yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Pada perkembangannya sumber tulisan dibedakan menjadi dua
diantaranya; pertama sumber primer. Sumber primer merupakan tulisan atau
dokumen yang dibuat sezaman dengan peristiwa sejarah yang sedang
berlangsung. Sedangkan yang kedua adalah sumber sekunder, yaitu tulisan atau
dokumen yang dibuat oleh generasi-generasi setelah peristiwa tersebut terjadi,
bisa berbentuk sebuah karya ilmiah hasil penelitian, berupa buku-buku literatur,
tajuk di koran, artikel, jurnal dan lain sebagainya.
Dalam penelitian ini, peneliti banyak menemui sumber tertulis yang
dikategorikan sebagai sumber sekunder. Buku-buku yang penulis dapatkan
kebanyakan tidak sezaman dengan peristiwa tersebut atau sebagian besar
merupakan hasil dari penelitian terdahulu. Fungsi sumber sekunder dalam
penelitian yang dilakukan oleh peneliti ialah untuk menjabarkan latar belakang
yang cocok dengan sumber sezaman, sebagai petunjuk data bibliografis, untuk
memperoleh kutipan dari sumber-sumber lain dan memperoleh interpretasi dari
masalah yang diteliti, bukan untuk menerimanya secara total (Gottschalk .2008,
hlm: 93-94).
Dalam proses pengumpulan sumber tulisan baik berupa buku atau artikel
jurnal, peneliti mendapatkan sumber tersebut dari berbagai pihak. Adapun rincian
proses pengumpulan sumber tulisan dapat dilihat dibawah ini.
1. Bintal Korem 062/Tarumanagara di jalan Bharatayudha-Garut, peneliti
mendapatkan buku tentang gerakan Warman dalam Komando Jihad,
2. Perpustakaan Pusat Angkatan Darat di jalan Kalimantan nomor 6
Bandung, peneliti memperoleh buku tentang kondisi Orde Baru di
dapatkan pada bulan November 2014.
3. Perpustakaan Batu Api yang terletak di daerah Jatinangor-Sumedang,
peneliti mendapatkan buku tentang gerakan dan pemikiran Islam pada
masa Orde Baru 2011 pada Bulan Juli 2015.
4. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), peneliti
mendapatkan sumber buku tentang gerakan islam radikal pada bulan
Desember 2014.
5. Perpustakaan Daerah Jawa Barat, peneliti mendapatkan sumber buku
tentang ideologi kekerasan pada bulan Desember 2014.
6. Perpustakaan Centre for Strategic and International Studies (CSIS),
peneliti mendapatkan sumber buku tentang perkembangan organisasi
Islam Radikal, didapatkan pada bulan Agustus 2015.
7. Perpustakaan Universitas Indonesia (UI), peneliti mendapatkan sumber
buku gerakan Islam Radikal, hubungan para Jenderal pada masa Ode
Baru dan tentang peranan Ali Moertopo dalam intelijen Indonesia. Ke
tiga buku tersebut penulis dapatkan pada bulan Agustus 2015.
8. Toko buku Gramedia, peneliti mendapat sumber buku yang membahas
tentang Badan Intelijen Indonesia yang di dalamnya di bahas tentang
dokumen pembentukan Komando Jihad pada bulan maret 2015.
9. Toko buku Palasari, peneliti mendapatkan buku DI/TII pada bulan mei
2015.
10.Toko buku Toga Mas, peneliti mendapatkan buku politik Syariat Islam
pada bulan Juni 2015.
11.Dinas Kesejarahan Angkatan Darat, peneliti mendapatkan arsip
tentang gerakan yang dilakukan Warman di Lampung.
3.3.1.2. Proses Pencarian Sumber Lisan
Sumber lisan ialah sumber sejarah yang berasal dari kesaksian para pelaku
sebagai metode dan penyedia sumber dalam penelitian mempunyai banyak
manfaat seperti dengan adanya sejarah lisan, maka peneliti dapat mengeksplorasi
informasi yang tidak terbatas untuk menggali sejarah dari pelaku-pelaku sejarah
tersebut. Selain itu dengan mendapatkan fakta-fakta dari sejarah lisan, sejarawan
akan semakin kaya akan pengetahuan dan informasi baru sehingga ketergantungan
sumber dokumen kertas dapat dikurangi karena tidak seluruh fakta yang
sebenarnya dapat diungkap dalam dokumen kertas.
Dalam penulisan sejarah, sumber lisan dikategorikan sebagai sumber
Primer. Hal itu dikarenakan informasi yang kita dapatkan baik dari pelaku
maupun saksi sejarah merupakan informasi inti yang kita butuhkan dalam
penulisan sejarah. Dalam mendapatkan informasi dari para pelaku sejarah, peneliti
menggunakan metode wawancara. Metode ini digunakan untuk membatasi
informasi yang di berikan agar tidak terlalu melebar dan fokus terhadap
pembahasan. Selain itu Sjamsuddin (2007, hlm: 104-105), menyatakan bahwa
metode wawancara dapat membantu dan melengkapi data-data maupun fakta yang
telah tercatat sebelumnya atau tertulis. Untuk mendapatkan informasi tentang
keberadaan pelaku yang terlibat dalam operasi penangkapan Warman di Soreang,
peneliti mendatangi satuan Koramil Soreang sebagai satuan militer di wilayah
Soreang.
Peneliti mengunjungi Koramil Soreang untuk pertama kalinya pada bulan
Oktober 2015. Setelah mendatangi Koramil Soreang, peneliti mendapatkan
informasi tentang Bapak Udi Tarsudi sebagai mantan Danramil Soreang sekaligus
pelaku yang ikut langsung dalam operasi penangkapan Warman di Desa Soreang.
Pada bulan November, peneliti kembali ke Koramil Soreang untuk menyerahkan
surat penelitian sekaligus mendatangi rumah Bapak Udi Tarsudi yang tidak jauh
dari kantor Koramil Soreang. Dalam kunjungan ke rumah Bapak Udi Tarsudi,
peneliti diberi tahu bahwa ada satu orang lagi prajurit yang masih ada dan terlibat
langsung dalam operasi penangkapan Warman di Soreang yaitu Bapak Subari
selaku Babinsa Desa Soreang yang dijadikan tempat persembunyian oleh
Warman. Dalam kunjungan tersebut, peneliti juga mencari informasi tentang
dengan seorang bapak yang namanya tidak mau disebutkan dan mendapatkan
informasi seputar keseharian Warman di Soreang.
Selain mendatangi Koramil Soreang, dalam mencari sumber lisan peneliti
juga mengunjungi rumah Bapak Mahmud Djamil selaku mantan kepala Intelijen
Korem 062/Tarumanagara yang menjabat dari tahun 1975-1983. Informasi
tentang bapak Mahmud Djamil peneliti dapatkan dari bapak Drs. Ahmad Iryadi
selaku salah satu Dosen dari departemen pendidikan Sejarah. Peneliti mendatangi
rumah bapak Mahmud Djamil pada tanggal 5 Januari 2016.
Proses wawancara pertama kali peneliti lakukan pada tanggal 4 Desember
2015 dengan mewawancarai Bapak Subari selaku mantan Babinsa Desa Soreang
yang ikut terlibat dalam operasi penangkapan Warman di Soreang. Sebelum
melakukan wawancara, peneliti sebelumnya membuat janji bersama Bapak Subari
pada tanggal 23 November 2015 bahwa peneliti akan kembali untuk
mewawancarai beliau. Selanjutnya peneliti juga melakukan wawancara terhadap
tokoh lainnya yang ikut berperan dalam operasi penumpasan Warman yaitu Bapak
Udi Tarsudi selaku mantan Danramil Soreang dan terlibat secara langsung dalam
penangkapan Warman di Soreang. Sebelum melakukan wawancara, peneliti
membuat janji terlebih dahulu pada tanggal 23 November 2015 dan melakukan
wawancara terhadap beliau pada tanggal 5 Desember 2015. Selanjutnya peneliti
melakukan wawancara terhadap Bapak Mahmud Djamil selaku kepala Intelijen
Korem 062/Tarumagara yang menjabat dari tahun 1975-1983. Jabatan pa
Mahmud Djamil sebagai kepala Intelijen Korem 062/Tarumanagara sekitar
1975-1983 membuat peneliti yakin bahwa beliau mengetahui tentang gerakan Warman
di Jawa Barat khususnya wilayah priangan V. Peneliti melakukan wawancara
pada tanggal 19 Januari setelah membuat janji terlebih dahulu dengan bapak
Mahmud Djamil.
Dalam upaya menyusun suatu karya tulis ilmiah yang objektif, peneliti
tidak hanya mencari sumber lisan dari pihak aparat keamanan saja namun, peneliti
juga mengusahakan untuk mendapatkan sumber lisan dari orang-orang yang
terlibat dalam DI/TII. Untuk mendapatkan sumber lisan dari pihak DI, peneliti
Bapak Deden selaku Mendagri dalam organisasi DI/TII kubu Fillah. Sebelum
melaksanakan penelitian, peneliti melakukan pendekatan terlebih dahulu terhadap
DI yang ada di Cipari dengan cara mengunjungi teman yang rumahnya berdekatan
dengan basis DI.
Setelah melakukan pendekatan terlebih dahulu, akhirnya peneliti berhasil
bertemu dengan Bapak Deden pada tanggal 20 Agustus 2015 dan meminta
informasi tentang Gerakan Komando Jihad dan Warman, namun pa Deden tidak
memberitahukan dan seolah-olah menutupi. Alasannya karena setelah terpecah
nya DI menjadi dua kubu (fillah dan fisabilillah), kubu Fillah sama sekali tidak
mengetahui tentang pergerakan yang dilakukan oleh kubu Fisabiliiah karena
perbedaan haluan. DI kubu Fisabilillah menganggap bahwa kubu Fillah telah
menghianati tujuan awal yang dicita-citakan oleh umat muslim di Indonesia untuk
membentuk Negara Islam Indonesia. Atas tudingan tersebut, kubu Fillah tidak
mau tau terlalu dalam tentang pergerakan yang dilakukan oleh kubu Fisabilillah.
Peneliti mencoba untuk meminta kontak salah satu anggota DI yang tergolong
pada kubu Fisabilillah namun Pa Deden tidak memberikan sedikitpun informasi
dengan alasan sudah lama tidak berhubungan dengan orang-orang yang termasuk
ke dalam kubu Fisabilillah.
3.3.2. Kritik Sumber
Tahapan selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti setelah proses Heuristik
ialah proses kritik sumber. Dalam penelitian sejarah, kritik sumber bermaksud
agar setiap penelitian yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan dengan
argumen dari sumber-sumber yang relevan dan terpercaya. Dalam tahapan ini,
seorang peneliti diharapkan mampu untuk menguji kebenaran, ketepatan,
keaslian, dan keterpercayaan sumber sejarah yang didapatkan sebelumnya baik
sumber lisan maupun tulisan sehingga sumber-sumber yang digunakan dalam
penelitian tidak terkesan asal-asalan. Dalam metodologi penelitian sejarah, kritik
sumber dibagi menjadi 2 bagian sebagai berikut.
Kritik eksternal ialah kritik yang diberikan oleh seorang peneliti terhadap
aspek luar dari sumber sejarah yang di temukan sebelumnya dengan melakukan
pengujian atau verifikasi terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan luar (selain
isi). Sebagaimana dikutip dari Sjamsuddin (2007, hlm. 132) bahwa “kritik
eksternal ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek
luar dari sumber sejarah”. Lebih lanjut lagi Ismaun (2005, hlm: 50) mengatakan
bahwa kritik sumber merupakan kritik yang lebih cenderung mempersoalkan
mengenai bahan dan bentuk sumber, umur dan asal dokumen, kapan dibuat (sudah
lama atau belum lama sesudah terjadi peristiwa yang diberitakan), dibuat oleh
siapa, instansi apa, atau atas nama siapa.
Kritik ekternal bisa dilakukan terhadap sumber tertulis maupun sumber
lisan. Pada sumber tertulis, seorang peneliti bisa melakukan kritik eksternal
terhadap dokumen maupun arsip yang akan digunakan. Kritik eksternal pada
sumber tertulis lebih menekankan pada keaslian dan kondisi fisik sumber
dokumen atau arsip, apakah dokumen tersebut asli atau salinan, kondisi dokumen
atau arsip tersebut masih bisa dibaca atau tidak. Dalam hal ini peneliti
menggunakan kritik eksternal terhadap arsip Dinas Kesejarahan TNI AD berupa
laporan khusus tentang mengganas nya gerombolan perampok di Lampung Utara
(No. R 42/LAPSUS/XI/1976) dan laporan observasi tentang kegiatan Warman cs
di Lampung (No. 246/IV/L.O/1977). Dilihat dari bentuknya, arsip yang digunakan
oleh peneliti merupakan arsip salinan. Akan tetapi arsip yang didapatkan oleh
peneliti sesuai dengan arsip yang sebenarnya karena disalin dengan cara fotokopi
tanpa ada proses edit sama sekali. Dilihat dari tahun laporannya, arsip ini
merupakan arsip yang sejaman dengan gerakan yang dilakukan Oleh Warman di
Lampung karena ditulis pada tahun 1976. Selain itu, laporan khusus tentang
mengganas nya gerombolan perampok di Lampung Utara merupakan laporan
yang ditulis langsung oleh Mabes TNI-AD, Badan Pelaksana Keamanan sehingga
isi dari laporan tersebut bisa dipertanggungjawabkan.
Selain terhadap sumber tulisan, kritik eksternal juga dilakukan terhadap
sumber lisan. Dalam proses kritik eksternal terhadap sumber lisan, seorang
dalam mendapatkan sumber sejarah. Hal tersebut dilakukan untuk dapat
memastikan apakah orang yang akan kita wawancarai merupakan pelaku sejarah,
saksi sejarah atau orang yang hidup pada masa yang sama dengan suatu peristiwa
sejarah yang mengaku-ngaku bahwa dirinya adalah seorang pelaku sejarah.
Dalam melakukan kritik eksternal terhadap tokoh yang akan kita
wawancarai, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh seorang peneliti
diantaranya menanyakan identitas dari seseorang yang akan kita wawancarai,
surat karip jika dia seorang pensiunan maupun identitas lainnya yang mampu
menunjukan bahwa orang yang kita wawancarai merupakan seorang pelaku atau
saksi sejarah. Selain itu, Hamid dan Madjid (2011, hlm. 46) menjelaskan bahwa
yang harus diperhatikan oleh peneliti sebelum melakukan wawancara yaitu
terlebih dahulu diadakan penelusuran informasi dan seleksi terhadap para calon
pengkisah. Ada tiga kriteria yang perlu diperhatikan oleh peneliti, pertama
narasumber merupakan saksi atau pelaku langsung. Kedua, narasumber memiliki
ingatan (memory) yang baik (waras, tidak pikun, atau gila), sehingga informasinya
dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, mengidentifikasi minimal usia narasumber
ketika menyaksikan atau turut serta dalam peristiwa tersebut sudah berusia 15
tahun. Ini terkait dengan kemampuan ingatannya mengenai kehidupan pada masa
itu.
Kritik eksternal pertama peneliti lakukan terhadap Bapak Udi Tarsudi
selaku mantan Komandan Koramil Soreang tahun 1981-1989. Dilihat dari kartu
identitas dan karip yang dimiliki oleh Bapak Udi, Bapak Udi Tarsudi lahir pada
tahun 1941 dan masuk ke dalam satuan militer pada usia 18 tahun. Ketika
dilaksanakan operasi penumpasan Warman di Soreang beliau sedang berumur 40
tahun dan menjabat sebagai wakil Danramil di Koramil Soreang. Sebagai
narasumber Bapak Udi masih ingat dengan jelas bagaimana kronologi
penangkapan Warman di Soreang sehingga proses wawancara dapat berjalan
dengan lancar.
Selanjutnya peneliti melakukan kritik eksternal terhadap Bapak Subari
selaku mantan Babinsa Soreang yang juga ikut terlibat langsung dalam operasi
tahun yang sama seperti bapak Udi Tarsudi yaitu tahun 1941 dan mulai masuk
tentara sekitar usia 19 tahun. Kondisi ingatan Bapak Subari yang masih baik
membuat penelitian berjalan dengan lancar. Bapak Subari masih ingat bagaimana
situasi yang terjadi ketika dilaksanakan operasi penangkapan Warman yang
dipimpin oleh Letkol Utomo di Soreang dan mulai menceritakan kejadian itu
dengan penuh semangat.
Selanjutnya peneliti melakukan kritik eksternal terhadap bapak Mahmud
Djamil selaku mantan kepala Intelijen Korem 062/Tarumanagara yang menjabat
dari tahun 1975-1983. Dilihat dari identitas dan Karip, Bapak Mahmud Djamil
lahir pada tahun 1942, mulai masuk tentara pada usia 20 tahun. Kondisi ingatan
Bapak Mahmud Djamil masih baik sehingga memudahkan peneliti dalam
melakukan wawancara. Bapak Mahmud masih ingat tentang gerakan yang
dilakukan oleh kelompok Warman khususnya di daerah Jawa Barat.
Selanjutnya peneliti melakukan kritik eksternal terhadap salah satu Warga
Soreang yang tidak mau disebutkan namanya. Dilihat dari kartu identitasnya,
bapak ini lahir pada tahun 1950 di Soreang dan menetap sebagai warga Soreang
Kolot. Pada sekitar tahun 1980an bapak tersebut berprofesi sebagai wirausahawan
dan menurut warga yang lainnya bapak itu sebagai pemuda keamanan Desa
Soreang.
3.3.2.2. Kritik Internal
Kritik internal merupakan kebalikan dari kritik eksternal. Kritik internal
lebih menekankan pada isi atau konten dari sumber sejarah yang kita dapatkan
sebelumnya. Setelah seorang peneliti mendapatkan keaslian tentang narasumber
atau sumber tulisan dalam tahap kritik eksternal, selanjutnya dalam tahap ini
seorang sejarawan berkewajiban untuk mengevaluasi apakah kesaksian yang
diutarakan oleh narasumber atau konten yang terdapat dalam sumber tulisan dapat
di andalkan atau tidak (Sjamsudin, 2007, hlm: 143).
Dalam tahapan ini, seorang peneliti bisa menyesuaikan antara informasi
yang diberikan oleh narasumber dengan dokumen atau sumber literatur buku yang
ada dan disesuaikan jika peneliti menemukan temuan-temuan dari narasumber.
informasi yang diberikan oleh narasumber, apakah informasi yang di terima bisa
dipertanggungjawabkan atau tidak. Seorang peneliti bisa melakukan pengecekan
ulang terhadap narasumber dengan melakukan wawancara secara berkala guna
mengetahui apak informasi yang didapatkan berubah atau tidak. Selain itu seorang
peneliti juga harus melihat background dari seorang narasumber guna mengetahui
apakah narasumber tersebut memiliki kepentingan atau tidak.
Wawancara pertama peneliti lakukan terhadap bapak Udi beserta bapak
Sobari. Dalam melakukan wawancara terhadap bapak Udi beserta bapak Subari,
peneliti tidak begitu menemukan kesulitan karena pernyataan yang dilontarkan
oleh Bapak Udi Tarsudi hampir sama dengan pernyataan yang dilontarkan oleh
Bapak Subari. Menurut pernyataan Bapak Subari maupun Bapak Udi Tarsudi,
tidak ada satu orang pun yang menyadari keberadaan Warman di Soreang.
Warman atau wa Akil atau wa Kodir merupakan mertua dari Ade salah satu warga
yang bekerja sebagai tukang jahit yang mengontrak di salah satu rumah di Desa
Soreang. Selama Warman tinggal di Soreang, Warman cenderung menutup diri
dan sama sekali tidak bersosialisasi. Dia juga dikenal sebagai seorang pendakwah
yang menyebut alirannya sebagai Islam Sejati yang berhaluan radikal. Warman
seringkali berdakwah di daerah tertentu seperti daerah Pasebanan dan Citaliktik
yang diduga menjadi basis pengikut aliran Islam sejati.
Menurut Bapak Subari Warman alias Wa Kodir alias Wa Akil merupakan
seorang yang ahli dalam beribadah dan sama sekali tidak menunjukan bahwa
dirinya adalah salah seorang anggota Komando Jihad. Meskipun Warman dikenal
sebagai ahli ibadah, namun pergerakan Warman alias Wa Akil alias Wa Kodir
mendapat perhatian khusus dari pasukan Koramil Soreang karena ajaran yang
disebarkan oleh Warman alias Wa Akil alias Wa Kodir dianggap menyimpang.
Dalam melakukan penelitian di lapangan, peneliti menemui temuan baru
khususnya tentang kondisi dan kronologi operasi penangkapan Warman di
Soreang yang dilakukan oleh tim Laksus Jabar. Temuan tersebut tentu sangat
membantu peneliti karena detail tentang hal-hal yang dilakukan oleh pasukan
Selanjutnya peneliti melakukan wawancara terhadap bapak N yang
merupakan salah satu Warga Soreang. Selama proses wawancara, bapak N banyak
mengemukakan hal yang irasional seperti sosok Warman yang kemudian
diketahui memiliki ilmu belut putih, kebal peluru dan lain sebagainya. Namun
dalam proses wawancara beliau juga mengemukakan hal-hal yang dia ketahui
tentang sosok Wa Akil. Beliau mengemukakan bahwa Wa Akil sering melewati
rumahnya di Sore Hari dan kembali pada pagi hari. Selain itu peneliti juga
mendapatkan informasi tentang ciri-ciri Warman. Warman memiliki rambut
sedikit ikal, jalannya pincang dan salah satu mata Warman mengalami katarak.
Informasi-informasi mengenai ciri-ciri Warman dan hal-hal yang dilakukan
Warman selama di Soreang lah yang peneliti ambil dan digunakan sebagai
informasi tambahan dalam penelitian ini.
Selanjutnya peneliti melakukan wawancara terhadap Bapak Mahmud
Djamil. Dalam melakukan wawancara terhadap Bapak Mahmud Djamil peneliti
mendapatkan informasi baru perihal gerakan yang dilakukan oleh Warman
maupun tindakan yang diambil oleh Korem 02/Tarumanagara selaku satuan yang
bertanggung jawab atas wilayah priangan V. Menurut bapak Mahmud Djamil
salah satu alasan keterlibatan Warman dalam gerakan Komando Jihad disebabkan
karena Warman merupakan salah satu orang yang tidak menerima kekalahan DI
oleh TNI. Warman memutuskan untuk kembali bergabung dengan DI/TII dan
melakukan tindakan yang bersifat teror dan kriminal di daerah Jawa dan Sumatra.
Menurut bapak Mahmud Djamil, untuk menambah semangat pasukan
dalam mengatasi kasus Warman, Korem 062/Tarumanagara sampai menjanjikan
terhadap seluruh pasukan yang mampu mendapatkan Warman akan disekolahkan
secara gratis. Hal tersebut menunjukan bahwa tindakan yang dilakukan oleh
Warman sulit untuk diatasi dan sangat meresahkan sehingga Korem
062/Tarumanagara menjanjikan kepada prajurit yang berhasil menangkap
Warman dengan pendidikan gratis. Temuan tersebut tentu sangat membantu
peneliti karena detail langkah-langkah yang dilakukan oleh Korem
062/Tarumanagara selaku satuan yang bertanggungjawab tidak terdapat dalam
3.3.3. Interpretasi
Setelah melalui tahapan-tahapan sebelumnya yaitu heuristik dan kritik,
tahapan selanjutnya ialah tahap interpretasi. Interpretasi diartikan sebagai proses
penafsiran fakta-fakta sejarah dengan cara dirangkai dan dihubungkan serta
menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kajian, sehingga tercipta penafsiran
sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan. Dalam interpretasi, fakta-fakta
sejarah harus ditafsirkan agar sesuatu peristiwa dapat direkonstruksikan dengan
baik, yakni dengan jalan menyeleksi, menyusun, mengurangi tekanan, dan
menempatkan fakta dalam urutan yang saling berhubungan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan interdisipliner. Ini
berarti bahwa terdapat satu disiplin ilmu sosial yang dijadikan sebagai disiplin
utama dalam penelitian. Disiplin ilmu ini kemudian dibantu oleh disiplin ilmu
sosial lainnya. Karena pada hakikatnya tidak ada disiplin ilmu yang dapat berdiri
sendiri tanpa disokong oleh disiplin ilmu lain. Dalam konteks pendekatan
indisipliner ini, Sartono Kartodirdjo (1992, hlm: 24) menjelaskan:
Kedudukan ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial (bahasa, geografi, ekonomi, sosiologi, ilmu politik, antropologi) adalah saling memerlukan dan saling memberikan kontribusi. Dalam hal ini, penelitian dan penulisan sejarah senantiasa memerlukan bahasa sebagai sarana primer untuk mengungkapkan data, analisis, dan kesimpulan yang terkait dengan seluruh aspek yang terkait dengan manusia dan waktunya.
Dalam penyusunan skripsi ini selain menggunakan disiplin ilmu sejarah,
peneliti menggunakan ilmu bantu dari disiplin ilmu lainnya berupa ilmu sosiologi
dan politik sebagai alat bantu untuk menggambarkan peristiwa yang menjadi
fokus dari penelitian. Dengan menggunakan pendekatan interdisipliner tersebut
peneliti dapat memahami tentang latarbelakang kemunculan gerakan Warman
dalam Komando Jihad dan tujuan yang hendak dicapai oleh Warman dan gerakan
Komando Jihad.
Dengan menggunakan disiplin ilmu sosiologi, peneliti dapat memahami
tentang salah satu faktor penyebab atau latarbelakang terbentuknya gerakan
Komando Jihad. Dalam memahami salah satu faktor penyebab munculnya
oleh Coser yang merupakan ilmu dari sosiologi. Menurut Coser salah satu pemicu
terjadinya konflik ialah adanya rasa kekecewaan yang dirasakan oleh suatu
kelompok terhadap kelompok lainnya atau suatu kelompok terhadap pemerintah.
Dalam hal ini peneliti melihat kekecewaan yang dirasakan oleh Teuku Daud
Bereuh terhadap pemerintahan Orde Baru yang membuka industrialisasi di daerah
Aceh yang menyebabkan munculnya kebiasaan baru di Aceh yang dianggap
bertentangan dengan kaidah Agama.
Atas dasar hal tersebut Daud Ber’euh selaku dewan imamah menyerukan
kepada para anggota eks DI/TII yang berjuang dengan jalan Fisabilillah untuk
segera melakukan pergerakan secara militan melawan pemerintah. Atas perintah
dari Teuku Muhamad Daud Bereuh tersebut maka para anggota eks DI/TII segera
melakukan pergerakan yang diawali dengan pemboman di acara MTQ di
Pemantang Siantar. Pergerakan yang dilakukan oleh para anggota eks DI/TII
Fisabilillah inilah yang kemudian dinamakan sebagai gerakan Komando Jihad
yang didalamnya terdapat Warman sebagai salah satu anggota dari DI/TII.
Selain memakai disiplin Ilmu Sosiologi, dalam penelitian ini, peneliti juga
menggunakan ilmu Politik. Ilmu politik digunakan dalam penelitian ini untuk
memahami tujuan sebenarnya dari gerakan Komando Jihad yang memang berbau
politik. Sebagian sumber mengatakan bahwa tujuan para anggota eks DI/TII
Fisabilillah ialah untuk melawan pemerintah dalam rangka mewujudkan cita-cita
Kartosuwiryo untuk membentuk Negara Islam di Indonesia. Namun, sebagian
sumber juga mengatakan bahwa Komando Jihad dengan sengaja dibentuk oleh
pemerintah melalui Ali Moertopo yang menjalin hubungan dengan para anggota
eks DI/TII untuk kemudian di berantas secara permanen. Dalam Ilmu Politik lekat dengan istilah “tidak ada kawan yang abadi, tidak ada lawan yang abadi yang ada hanyalah kepentingan yang abadi”. Dilihat dari istilah politik tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pihak pemerintah melalui Ali Moertopo dan para anggota eks
DI/TII Fisabilillah keduanya saling memanfaatkan dan memiliki kepentingan
masing-masing.
Kedekatan Ali Moertopo dengan anggota eks DI/TII dimanfaatkan oleh
pemeriksaan. Sedangkan Ali Moertopo sendiri dengan sengaja memanfaatkan
para anggota eks DI/TII untuk melakukan pergerakan sehingga pemerintah
memiliki alasan untuk memberantas secara permanen. Tujuan Ali Moertopo
memberantas para anggota eks DI/TII berkaitan dengan pelaksanaan pemilu tahun
1977.
3.3.4. Historiografi (Laporan hasil penelitian)
Setelah melalui tahap interpretasi, tahapan selanjutnya yang harus dilalui
seorang peneliti ialah tahap Historiografi (penyusunan laporan). Historiografi
mengandung arti yakni pelukisan sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa
yang terjadi pada waktu yang telah lalu (Ismaun, 2005, hlm.28). Dengan kata lain
historiografi merupakan penulisan hasil penelitian yang dilakukan setelah selesai
melakukan analisis dan penafsiran terhadap data dan fakta sejarah. Dalam
historiografi penulis menceritakan berbagai hal yang didapat dengan disertai
penafsiran-penafsiran nya sehingga hasil dari historiografi berupa rekonstruksi
dari peristiwa sejarah.
Seorang sejarawan saat memasuki tahapan historiografi diharapkan
memiliki kemampuan analitis dan kritis sehingga hasil dan tulisannya tidak hanya
berupa karya tulis biasa, akan tetapi menjadi karya tulis ilmiah yang kemudian
dapat dipertanggungjawabkan. Sebuah karya tulis dapat dikatakan ilmiah apabila
memenuhi syarat-syarat dari keilmuan. Selain itu, dari segi tata bahasa yang
digunakan oleh sejarawan harus sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku serta
tentunya sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah.
Dalam penyusunan laporan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdiri
dari 5 Bab, diantaranya; Bab I terdiri dari pendahuluan yang memuat latar
belakang masalah dari penelitian yang dilakukan, Bab II terdiri dari landasan
Teori dan Kajian Pustaka yang memuat teori-teori yang digunakan dalam
penelitian dan penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh peneliti
lainnya. Bab III terdiri dari Metodologi Penelitian yang memuat langkah-langkah
yang dilakukan oleh seorang peneliti dalam melaksanakan penelitian, Bab IV
terdiri dari Pembahasan yang memuat latar belakang kemunculan gerakan
apa saja yang dilakukan Warman selama tergabung dalam gerakan Komando
Jihad. Bab V terdiri dari kesimpulan yang memuat kesimpulan dari penelitian