MANFAAT DAN ANCAMAN TERHADAP
MANFAAT DAN ANCAMAN TERHADAP
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE SERTA PERAN
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE SERTA PERAN
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAANNYA
MENGAPA
MANGROVE
PENTING..?
1. Fisik : Pelindung keberadaan ekosistem dari gelombang pasang, angin taufan, abrasi, erosi, penahan lumpur, perangkap sedimen, pencegah intrusi air laut kedaratan.
2. Ekologis : Sebagai tempat pemijahan (spawning grounds), pembesaran (nursery grounds),
mencari makan (feeding grounds) bagi
komponen sumberdaya perikanan di wilayah perairan sekitar. MEMILIKI MANFAAT TIDAK LANGSUNG (indirect use value)
MEMILIKI MANFAAT LANGSUNG (direct use
value)
1. Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, bahan baku kertas. 3. Kulit kayu sebagai sumber tenin untuk Penyamak kulit (sepatu, tas, dll), sumber lem plywoot dan zat warna.
4. Daunnya sebagai bahan makanan ternak.
5. Buah dan bijian-bijian sebagai obat tradisional. 6. Bunganya sebagai sumber madu.
Daun yang jatuh dan terakumulasi dalam sedimen mangrove, sebagai lapisan yang akan mendukung komunitas organisme detritus, selanjutnya menguraikan daun dan mengkonversinya menjadi energi. Energi ini digunakan oleh seluruh organisme dalam rantai makanan yang mendukung sejumlah species komersial dan subsistem seperti udang Penaeid, kepiting mangrove, crustacea, berbagai jenis ikan, moluska, kerang, reptil laut dan burung.
KOMUNITAS HUTAN MANGROVE TERBENTUK KARENA ADA ENDAPAN LUMPUR ALLUVIAL YANG BERASAL DARI MUARA SUNGAI & TERLINDUNG DARI GELOMBANG & ARUS PASANG SURUT YG KUAT.
ABRASI
INTRUSI AIR LAUT KE DARATAN
PERANGKAP SEDIMEN
GELOMBANG PASANG
EROSI
ANGIN TAUFAN
Kegiatan “Bameti” Di Pesisir TAD
Kegiatan pancing tangan di TAD
30% hutan mangrove dunia ada di Indonesia,
Hutan mangrove Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di
dunia (89 spesies).
90% spesies laut tropis daur hidupnya bergantung pada ekosistem
mangrove.
80 spesies crustacea dan 65 spesies moluska terdapat pada ekosistem
mangrove.
Hasil tangkapan udang Penaeid di perairan Indonesia berkorelasi positif
dng keberadaan mangrove, dimana thn 1995 menghasilkan devisa
sebanyak 1,5 triliun US dolar.
Lebih dari 70 nilai pakai langsung dan nilai pakai tak langsung dari
tumbuhan mangrove dan ekosistemnya.
Merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir.
90% hasil tangkapan ikan berasal dari perairan pesisir dalam 12 mil laut
dari pantai.
Maluku memiliki luasan hutan mangrove 212.000 ha pada tahun 1982, kemudian
menurun 100.000 ha pada tahun 1993.
Luas ekosistem hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan dari
5.209.543,16 ha pada tahun 1982 menjadi sekitar 2.500.000 ha pada tahun 1990
(luas penutupan menurun sampai 50%) ( Dahuri dkk, 2001).
Rusaknya hutan mangrove menyebabkan :
Laju abrasi di pantai Utara Jawa antara 0,7 – 7 m/tahun (Kusmana & Onrizal,
1988).
Dua desa dilaporkan hilang di pantai Kota Tegal.
Ruas jalan terguras di Kabupaten Pekalongan.
Proses pengikisan pantai terus berlangsung di desa Tanggultlare Kab. Jepara
Pengaruh reklamasi lahan mangrove di Segara Anakan menyebabkan 2.400
nelayan kehilangan pekerjaan dan kehilangan pendapatan sebesar 5,6 juta
US dolar setiap tahun
Pengaruh sedimentasi pada hutan mangrove di Teluk Ambon Dalam (TAD)
Desa Laha Desa Tawiri Desa Hative Besar Desa Wayame Desa Rumah Tiga Desa Poka Desa Rutong Desa Lehari Desa Hutumuri Desa Nania Desa Waiheru Desa Hunut Desa Negeri Lama Desa Passo Desa Halong Desa Latta Kelurahan Lateri
No. Pesisir Desa Jalur Hijau Luas
1. Poka Hutan Mangrove
49,5 Ha * 2. Hunuth Hutan Mangrove
3. Waiheru Hutan Mangrove
4. Nania Hutan Mangrove
5. Negeri Lama Hutan Mangrove
6. Passo Hutan Mangrove
7. Lateri (K) Hutan Mangrove
8. Latta Hutan Mangrove
9. Halong Hutan Mangrove
10. Rutong Hutan Mangrove
5 Ha ** 11. Lehari Hutan Mangrove
12. Tawiri Hutan Mangrove 10,8 Ha
13. Laha Hutan Mangrove 4 Ha
Total Hutan mangrove 69.3 Ha
KEBERADAAN HUTAN MANGROVE SAAT INI DI KECAMATAN
TELUK AMBON BAGUALA, TELUK AMBON, & LETIMUR
SELATAN
Spesies mangrove yang dominan adalah :
Sonneratia alba, Avecenia marina dan
Rhyzophora stylosa, serta Rhyzophora
LIMBAH CAIR SEDIMENTASI TUMPAHAN MINYAK
ANCAMAN KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE
LAHAN PEMUKIMAN LIMBAH DOMESTIK PENEBANGAN
REKLAMASI PANTAI dpt MENGURANGI
Identifikasi Masalah Terkait dng Ancaman Thdp Ekosistem Hutan Mangrove
Di Teluk Ambon Dalam (TAD) dan Teluk Ambon Luar (TAL).
No.
P e r m a s a l a h a n
1.
Belum ditetapkannya/tersosialisasinya tata ruang dan rencana pengembangan wilayah pesisir
Kota Ambon, sehingga banyak terjadi tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan mangrove
untuk berbagai kegiatan pembangunan.
2.
Penebangan mangrove untuk lahan pemukiman penduduk, kayu bakar, bahan bangunan dan
kegunaan lainnya melebihi kemampuan untuk pulih (
renewable capacity
).
3.
Pengendapan (sedimantasi) dan peningkatan kekeruhan perairan akibat pengelolaan kegiatan
lahan atas yang kurang baik, seperti pembangunan perumahan BTN di puncak Desa Lateri.
4.
Reklamasi pantai, serta penambangan pasir dan batu maupun batu karang yang dapat
mempengaruhi sirkulasi arus pasang surut.
5.
Pencemaran akibat tumpahan minyak dari keluar masuknya kapal, sampah rumah tangga, limbah
cair, air buangan (
cooling water
) yang berasal dari stasiun pembangkit tenaga listrik.
6.
Proyek pengairan yang dapat mengurangi aliran masuk air tawar (unsur hara) ke dalam ekosistem
hutan mangrove.
KOMPLEKSITAS
KEGIATAN DI
WILAYAH PESISIR
KEGIATAN INDUSTRI
PERHOTELAN
PARIWISATA
PELABUHAN
PEMUKIMAN
KEGIATAN
PELAYARAN
KEGIATAN PASAR
PERMASALAHAN LINGKUNGAN PESISIR
Tumpahan minyak Air ballast
Limbah padat
Reklamasi & pengerukan tanah
Penambangan pasir & batu
Penebangan & Konversi mangrove
SISTEM DALAM RUANG
SISTEM DALAM RUANG
WILAYAH LAUTAN
WILAYAH LAUTAN
WILAYAH UDARA
WILAYAH UDARA
WILAYAH DARATAN
MANGROVE
PADANG LAMUN
TERUMBU
KARANG
LAUT TERBUKA
HUBUNGAN ANTARA LAHAN ATAS DAN EKOSISTEM PESISIR
Air tawar, perbandingan air asin
Suplai nutrien
Erosi; perbandingan sedimen
Temperatur.
Kecerahan air; Masukan sedimen
Suplai nutrien; Temperatur
Salinitas; Sirkulasi air
Energi rendah.
FAKTOR-FAKTOR KRITIS ALAMI YG MEMPENGARUHI
PRODUKTIVITAS :
Kecerahan air; Masukan sedimen
Suplai nutrien; Temperatur
Salinitas; Sirkulasi air
Energi tinggi.
Masukan Air Tawar
Pasang Surut & Aliran Arus
Aktivitas Gelombang & Aliran Arus
Aliran Arus
Pemanfaatan lahan atas yg buruk (Masukan banjir, erosi, sedimen & bahan pencemar).
Daerah Migrasi
Daerah Migrasi
LAUT SEBAGAI
HALAMAN
BELAKANG
ORIENTASI KE
DARAT
PADA UMUMNYA PEMANFAATAN
Laut Sebagai Halaman Belakang &
Menjadi Keranjang Sampah
LAUT SEBAGAI
LIMBAH CAIR
SEDIMENTASI
LIMBAH DOMESTIK
TUMPAHAN MINYAK
Bom Ikan Ancam Kerusakan SD Wilayah Pesisir dan Laut
ILLEGAL FISHING
ILLEGAL FISHING
ANCAM KERUSAKAN SUMBERDAYA
ANCAM KERUSAKAN SUMBERDAYA
PESISIR DAN LAUT
TRAWL ANCAM KERUSAKAN SUMBERDAYA
TRAWL ANCAM KERUSAKAN SUMBERDAYA
PESISIR DAN LAUT
PESISIR DAN LAUT
S E A N D A I N Y A... !
Ekosistem mangrove maupun SD hayati pesisir
dan laut bersifat tidak terbatas dan tidak
terusakan, maka kita dapat saja membiarkan
manusia untuk memanfaatkannya dengan cara
semena-mena.
KARENA TIDAK DEMIKIAN SIFAT SD PESISIR dan LAUT....!
Maka perlu dikelola untuk menjamin :
1. SD dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.
2. Potensi ekonominya tidak dihamburkan secara tidak efisien dan
bahkan tidak ada lagi.
PERTIMBANGAN PENGELOLAAN
PERTIMBANGAN BIOLOGI :
Menjamin bahwa mortalitas pemanfaatan tidak melampaui kemampuan populasi untuk dapat pulih/bertahan & tidak mengancam
atau merusak kelestarian & produktivitas dari populasi yang
sedang dikelola
PERTIMBANGAN EKOLOGI & LINGKUNGAN Menjamin bahwa komponen ekosistem, seperti air, substrat, masukan ait tawar, nutrien atau proses non biologi lainnya, serta perubahan lingkungan seperti pasang
surut, suhu air dll tidak akan mempengaruhi pertumbuhan, rekrutmen, dan mortalitas alami.
PERTIMBANGAN SOSIAL & KELEMBAGAAN :
Perubahan sosial berlangsung terus dlm skala berbeda, dipengaruhi oleh lapangan pekerjaan, penawaran dan
permintaan, kondisi politik, dll, dapat mempengaruhi efektifitas dari strategi pengelolaan, sehingga
harus dipertimbangkan & diakomodasi.
PERTIMBANGAN EKONOMI :
Kekuatan pasar sangat berpengaruh terhadap pengelolaan, juga persoalan
perikanan sbg akses terbuka (open access), akibatnya adalah hilangnya
keuntungan sehingga mengarah kepada tidak efisiensi & jika tidak ditegakan secara efektif akan terjadi
Telah muncul di Daerah Maluku kurang lebih sejak abad ke-17 yang
dikenal dengan istilah :
”Sasi” (Maluku Tengah); “
Yot-huwear”
(Maluku Tenggara);
“
Wunu”
(MTB).
Di beberapa daerah lain, misalnya :
“Awik-awik” (Bali & Lombok); “Rumpon” (Lampung);
“Panglima Laot” (Nanggrove Aceh Darussalam); “Fusu” (Ternate)
Model ini merupakan model yang berbasis
pada hak ulayat yang diwariskan secara
turun-temurun dan disebut sebagai
“Kearifan Lokal/Kearifan Ekologis”
(
ecological wisdom
)
”S a s i”
Secara harafiah, berarti larangan.
Diatur berdasarkan aturan-aturan adat & dalam
mekanismenya ada sangsi jika terjadi pelanggaran.
Yaitu lembaga negeri yang secara adat dikuasakan sebagai
pengelola sumberdaya alam dan ekonomi masyarakat, sekaligus
sebagai pengawas pelaksanaan aturan-aturan atau disiplin adat
dalam masyarakat pesisir.
Kewang bertugas mengatur, mengawasi dan mengelola suatu
kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut serta
sumberdaya daratan.
Kewang terbagi atas “Kewang Laut” dan “Kewang Darat”.
Pranata adat ini merupakan salah satu anggota Badan Saniri
Negeri yang bertugas sebagai “Polisi Hutan/Polisi Laut”.
Yaitu pengelolaan yang berbasis pada masyarakat.
Dalam model CBM, pengelolaan sepenuhnya dilakukan
para nelayan atau pelaku usaha perikanan di suatu
wilayah tertentu melalui organisasi yang sifatnya informal.
Dalam model ini, partisipasi nelayan sangatlah tinggi dan
mereka memiliki otonomi terhadap pengelolaan sumber
daya perikanan.
SASI DAPAT DIGOLONGKAN DALAM 2 MODEL
PENGELOLAAN SD PERIKANAN
Beberapa keunggulan dari model CBM :
(a). Tingginya rasa kepemilikan masyarakat terhadap
sumber daya sehingga mendorong mereka untuk
bertanggung jawab melaksanakan aturan tersebut.
(b). Aturan-aturan dibuat sesuai dengan realitas yang
sebenarnya secara sosial maupun ekologis sehingga
dapat diterima dan dijalankan masyarakat dengan baik.
(c). Rendahnya biaya transaksi karena semua proses
pengelolaan dilakukan masyarakat itu sendiri,
khususnya dalam kegiatan pengawasan.
1. Community Based Management/CBM (lanjutan)
SASI DAPAT DIGOLONGKAN DALAM 2 MODEL
PENGELOLAAN SD PERIKANAN (lanjutan)
Adalah formulasi dari pembatasan input (membatasi jumlah pelaku, jumlah
dan jenis kapal, & jenis alat tangkap) yang menekankan penggunaan
fishing rigths
(hak untuk memanfaatkan sumber daya perikanan) dalam suatu
wilayah tertentu dengan batas yuridiksi yang jelas.
Hanya pemegang
fishing rights
yang berhak melakukan kegiatan perikanan di
suatu wilayah, sementara pihak yang tidak memiliki
fishing
rights
tidak
diizinkan beroperasi di wilayah tersebut.
Selain diatur pihak yang berhak melakukan kegiatan perikanan, diatur juga
waktu dan alat tangkap yang boleh digunakan dalam kegiatan perikanan.
Model ini menjurus pada bentuk pengkavlingan laut, tapi bentuk regulasi ini
dianggap penting untuk menjaga kepentingan nelayan kecil yang hanya
beroperasi di wilayah pantai-pesisir serta kepentingan kelestarian sumber daya.
MENGAPA “SASI” PENTING…?
Menjamin efektivitas
pengelolaan sumberdaya
perikanan di wilayah pesisir
secara berkelanjutan.
Memiliki arti penting dalam
kelestarian ekologi kawasan
pesisir maupun interaksi serta
kohesi sosial masyarakat.
Menjamin keterlibatan
masyarakat untuk berperan
aktif menjaga keseimbangan
dan melindungi wilayah pesisir
dan laut.
Menjamin kesempatan kepada
anggota komunitas untuk
melestarikan nilai-nilai
KEUNGGULAN PENERAPAN MODEL “SASI”
Tingginya rasa kepemilikan
masyarakat terhadap sumber daya
sehingga mendorong mereka untuk
bertanggung jawab
melaksanakan aturan tersebut
Aturan-aturan dibuat sesuai dengan
realitas yang sebenarnya secara
sosial maupun ekologis sehingga
dapat diterima dan dijalankan
masyarakat dengan baik.
Rendahnya biaya transaksi karena semua
proses pengelolaan dilakukan
Menurut Zener (1992) ada 4 hal yang terkandung
dalam “Sasi”
Penentuan waktu
panen/waktu operasi
Peraturan
penangkapan
berdasarkan spesies.
Pengaturan
berdasarkan alat
Faktor penyebab melemahnya Lembaga “Kewang” dan pelaksanaan
“Sasi” :
Hilangnya kewenangan dan peran “Kewang” yang bertanggung jawab
terhadap pengaturan pengelolaan sumberdaya, sejak diterapkannya
UU No: 5 Thn 1979, tentang Pemerintahan desa, Lembaga Kewang
tidak mendapat bagian dalam struktur pemerintahan desa.
Aturan-aturan “Sasi” umumnya bersifat lisan ditransformasikan dari
generasi ke generasi, dan tidak tertulis dalam suatu dokumen.
Kondisi Masyarakat yang selalu mengalami perkembangan dari waktu
ke waktu menyebabkan berbagai nilai-nilai yang mengatur tentang
Kewang dan Sasi
yang dulunya mengakar kuat di masyarakat,
kemudian memudar.
Kurang mendapat perhatian pemerintah sehingga lambat laun
memudar.
DAMPAK MELEMAHNYA “SASI”
Terjadi Pengurasan
Sumberdaya
Terjadi Konflik Perebutan
Sumberdaya dan Konflik
Pemanfaatan Ruang Pesisir dan
Laut
Lemahnya Ketahanan Sosial
dan Budaya Masyarakat
Lemahnya Keterlibatan
PERKEMBANGAN “SASI”
Era Sebelum Merdeka s/d Orde Lama : Abad XVII s/d
Orde Lama
Era : Orde Baru, Tahun 1965
Era : Otonomi
(Pemerintah Provinsi)
• Penerapan Sasi oleh
masyarakat adat.
– Hak pengelolaan oleh
Lembaga Kewang di
wilayahnya.
• Thn 1979 : Hak-hak
masyarakat
adat
dibatasi, dng diterapkannya
UU No.5 Thn 1979 tentang
Pemerintahan desa.
Kemudian :
– Negeri dirubah menjadi
desa & kelurahan.
– Lembaga Kewang tdk
mendapat
bagian
dlm struktur pemerintahan
desa.
– Terjadi konflik antar
nelayan.
– Terjadi pengurasan SD.
• Thn 1992 : UU Nomor 24/1992,
tentang Penataan Ruang.
• Thn 1999 : UU Nomor 22/1999,
tetang Pemerintahan Daerah.
• Thn 2000 : PP Nomor 25/2000,
tentang Kewenangan Propinsi.
• Thn 2005 : Perda Maluku Nomor
Contoh Jepang : dengan istilah Soyu (
Territorial use rights)
Era Feodal : Rezim Edo, Abad
VI s/d Abad XIX Era : Restorasi Meiji Tahun 1868 (Pemerintah Provinsi)Era : Otonomi
• Penerapan Soyu oleh masyarakat desa nelayan.
– Hak pengelolaan oleh tuan tanah di wilayahnya.
• Thn 1874 : Hak-hak soyu dihilangkan, dikembalikan pada pemerintah pusat. Kemudian :
–Terjadi konflik antar nelayan.
–Nelayan menuntut dikembalikan aturan lama.
• Thn 1949 : UU Perikanan Jepang mengembangkan kebijakan di era Meiji :
– Fiishery rights hanya diberikan pada nelayan & pengusaha
perikanan aktif.
– Jual-beli hak dilarang.
– Administrasi lokal yang menangani adalah FCA
• Thn 1875 : Meiji memenuhi tuntutan nelayan.
– Hak pengelolaan dari tuan tanah dialihkan ke Gubernur.
– Hak pengelolaan oleh Gubernur diberikan ke Federasi Koperasi/ Asosiasi
Perikanan (fisheries cooperative association-FCA) untuk mengatur anggotanya.
• Thn 1984 : UU Perikanan di revisi :
– Fishery rights direvisi menjadi 3 tipe, yakni :
1. Common fishing rights. 2. Set-net fishing right.
Fishery rights
: diatur mengenai jenis ikan yang boleh ditangkap, jenis alat
tangkap dan metode penangkapan. Sangat tegas bahwa nelayan luar dari
wilayah lain tidak diizinkan masuk dan beroperasi di wilayah tersebut.
Dikategorikan menjadi 3 tipe, yakni :
1.Common fishing rights
: hak yang diberikan kepada nelayan melalui
koperasi perikanan di wilayah pesisir dengan batas wilayah hingga 2 km
dari garis pantai.
2.Set-net fishing right
: hak penangkapan ikan dengan menggunakan jaring
tancap (
set-net
) pada kedalaman lebih dari 27 meter dengan wilayah
tertentu sesuai dengan haknya. Alat ini umumnya menangkap ikan yang
bermigrasi.
3.Demarcated fishing rights
: digunakan pada usaha budidaya ikan di
pesisir. Hanya nelayan yang menjadi anggota koperasi perikanan yang
memperoleh
fishery rights
ini. Para nelayan itu dikenai pajak atas hasil
yang diperolehnya dan dibayarkan setiap tahun kepada koperasi.
Contoh Lombok : dengan istilah
“Awik-awik”
Awik-awik
diakui secara sah sebagai sistem hukum pengelolaan SD sejak
Januari 2002.
Ada 3 aturan dalam
Awik-awik
, yakni :
1.
Zonasi penangkapan untuk perahu yg menggunakan alat tangkap besar
(purse seine, payang dan sejenisnya) tidak boleh menangkap ikan
dibawah 3 mil dari pinggir pantai.
2.
Daerah suaka ikan (
fish sanctuary
) yg berfungsi untuk
restocking
alami
karena di wilayah tsb tumbuh subur ekosistem terumbu karang.
Mempunyai 3 zona :
i.
Zona preservasi, zona yang tidak membolehkan adanya kegiatan
penangkapan ikan atau bersifat tertutup secara permanen.
ii.
Zona konservasi, zona yang membolehkan adanya kegiatan
penangkapan ikan namun bersifat terbatas.
iii.
Zona pemanfaatan, zona yang membolehkan adanya kegiatan
penangkapan ikan, disebut juga zona ekonomi.
3.
Melarang penangkapan ikan dng alat tangkap yang dapat merusak dan
membahayakan manusia dan lingkungan, seperti bom, dinamit,
CONTOH
: TUGAS UTAMA “KEWANG” DALAM
STRUKTUR PEMERINTAHAN ADAT DI HARUKU
“Kewang” : lembaga adat yang dikuasakan sebagai pengelola sumberdaya
alam dan ekonomi masyarakat sekaligus sebagai pengawas pelaksanaan
aturan-aturan atau disiplin adat dalam masyarakat. Tugas-tugas utamanya
adalah :
•
Menyelenggarakan sidang adat sekali seminggu (pada hari jumat malam)
•
Mengatur kehidupan perekonomian masyarakat.
•
Mengamankan pelaksanaan peraturan sasi.
•
Memberikan sanksi kepada yang melanggar peraturan sasi negeri.
•
Meninjau batas-batas tanah dengan negeri tetangga.
•
Menjaga serta melindungi semua sumberdaya alam, baik dilaut, kali/sungai
dan hutan sebelum waktu buka sasi.
•
Melaporkan hal-hal yang tidak dapat terselesaikan pada sidang adat
Contoh
: ATURAN SASI HUTAN DAN SANKSI Di
NEGERI HARUKU
Aturan :
•
Terlarang orang mengambil buah-buahan yang muda seperti nenas,
kenari, cempedak, durian, pinang, dll.
•
Terlarang orang menebang pohon pinang yang sedang berbuah atau
menebang pohon buah-buahan lainnya untuk membuat pagar.
•
Terlarang orang memotong atap atau pelepah sagu yang masih muda
sebelum mendapat izin dari pemiliknya dan juga dari kewang.
•
Terlarang menebang pohon kayu bakau atau jenis tumbuhan lain di
Kolam Jawa (nama salah satu kolam di negeri Haruku).
Sanksi :
•
Potong atap tanpa izin =
Rp.5.000,-•
Mengambil buah-buahan muda =
Rp.10.000,-•
Ke hutan atau ke laut pada hari minggu =
Rp.5.000,-1. Dilarang mengambil kelapa baik yang naik maupun yang gugur selama sasi masih ditutup.
2. Dilarang mengambil pucuk kelapa (daun ketupat) untuk keperluan apapun juga.
3. Dilarang mengambil batang kelapa kering untuk kayu api tanpa ijin Kewang.
4. Dilarang menebang pohon kelapa untuk rumah tanpa ijin Kewang.
5. Dilarang mengambil daun enau (mayang) untuk sapu sebelum buka sasi atau pengumuman dari Kewang.
6. Kalau sasi dibuka semua kebun (dusun) kelapa harus dibersihkan.
7. Sebelum sasi ditutup tiap pemilik kebun kelapa diharuskan untuk memberi kelapa sasi. Kelapa-kelapa sasi tersebut dibagikan kepada semua anggota Kewang, dan semua pegawai negeri yang bertempat tinggal di dalam desa termasuk Pendeta.
8. Tiap 3 (tiga) bulan sasi dibuka 1 (satu) kali untuk kelapa naik, dari gunung sampai ke pantai. Sedangkan dalam 3 (tiga) bulan jika Kewang melihat bahwa kelapa telah gugur banyak, maka dalam pertengahan 3 (tiga) bulan diadakan buka sasi kelapa gugur (kurang lebih berlangsung tiga hari). Buka sasi kelapa naik berlangsung 1 (satu) minggu.
9. Untuk mengambil daun enau (mayang) untuk sapu, juga diatur dengan sistem sasi, dengan ketentuan jika buka sasi kelapa 2 (dua) atau 3 (tiga) hari maka sasi untuk mengambil daun mayang dibuka.
10. Kalau hendak tebang sagu, harus naik untuk memotong dahan (jaganya) terlebih dahulu.
11. Kalau sagu ditebang tidak boleh kena atau menimpa sagu yang lain.
12. Kalau remas/peras hancuran sagu (ela), airnya (air goti) tidak boleh masuk ke dalam kali.
13. Pelepah (sahani) sagu yang akan digunakan untuk membuat goti harus ambil dari pohon sagu yang akan ditebang. Tidak boleh diambil dari pohon sagu yang lain.
14. Kalau mengambil atap (daun sagu) untuk membuat atap rumah, harus dipotong dengan ketentuan meninggalkan 5 (lima) dahan sisa dengan puncaknya (tombaknya).
15. Dilarang orang perempuan cuci pakaian di air yang terletak di bagian atas dari orang yang sedang meremas sagu untuk mengambil tepung sagunya.
16. Kayu yang hendak ditebang untuk bahan (menara) rumah harus dipotong dahannya dan harus melaporkan lebih dahulu pada kepala Kewang atau wakil kepala Kewang.
17. Orang luar desa yang hendak masuk hutan untuk mengerjakan (menokok) sagu atau potongan kayu untuk rumah, harus lapor pada kepala Kewang dan mendapat surat ijin kerja serta
membayar ongkos yang disebut ngase kepada kas desa.
18. Dilarang ribut-ribut di hutan apalagi pada saat buah-buahan sedang mengeluarkan bunganya.
19. Dilarang berjalan di hutan dengan payung.
20. Dilarang naik durian yang belum masak.
21. Dilarang melempar durian yang ada di pohon.
22. Dilarang mengambil kulit kayu bakau (tongke) untuk mengeras dan menguatkan jaring sebelum mendapat ijin atau petunjuk dari Kewang.
23. Dilarang mengambil pohon bakau untuk acara-acara tertentu sebelum mendapat ijin Kewang.
24. Dilarang bom dan racun (bore) ikan.
25. Dilarang mengambil teripang, bunga karang, bia kima (garu) untuk dijual ke luar desa.
26. Dilarang keras orang desa lain mengambil pasir, batu, pada suatu desa sebelum mendapat ijin dari Kewang atau pemilik tanah (tuan dusun).
27. Dilarang keras orang desa lain mengambil tali hanatol (karung) sebelum mendapat ijin Kewang.
28. Dilarang menjual atap atau gaba-gaba (dahan sagu kering) ke desa lain.
29. Bagi setiap kebun (dusun) sagu yang hendak melelang sagu-sagunya, 2 x 24 jam sebelum acara
lelang harus melaporkan kepada kepala Kewang agar Kewang langsung mengotrol acara tersebut.
30. Bagi tuan dusun (pemilik tanah) yang mempunyai tanah kebun (ewang) yang hendak dibuka untuk membuat kebun jagung serta komoditas lainnya, harus melaporkan dulu kepada kepala Kewang supaya kepala Kewang dan anggotanya dapat melihat apakah kebun (ewang) tersebut sudah dapat dipergunakan untuk kebun atau belum.
CONTOH
: JENIS PELANGGARAN DAN SANKSI
No J e n I s P e l a n g g a r a n Sanksi Denda (Rp)
1 Menebang sagu tanpa membabat rumput di sekitarnya terlebih dahulu
1.000,-2 Memotong dahan sagu dengan meninggalkan kurang dari 5 (lima)
dahan ditambah pucuk.
5.000,-3 Memotong atap sagu tanpa babat rumput terlebih dahulu
1.000,-4 Menebang sagu tanpa memangkas dahannya
1.000,-5 Anakan sagu yang mati akibat tertindih sewaktu menebang sagu.
5.000,-6 Menebang sagu yang masih muda.
5.000,-7 Mengambil daun sagu untuk membuat tempat tepung sagu (tumang)
tanpa disabit.
1.000,-8 Memotong dahan sagu mentah untuk membuat pagar.
1.000,-9 Mencuri durian muda (1 buah).
5.000,-10 Mencuri kelapa muda (1 buah).
1.000,-JENIS PELANGGARAN DAN SANKSI (Lanjutan)
No Jenis Pelanggaran Sanksi Denda
(Rp)
12 Mengambil buah kelapa pada waktu tutup sasi
5.000,-13 Mengambil buah kelapa muda (1 buah).
5.000,-14 Membawa pulang dahan/ranting kelapa pada waktu tutup Sasi.
1.000,-15 Menebang pohon kelapa yang masih memberikan buah pada
pemiliknya. 5.000,-
16 Memotong jaga bakau (mange-mange) mentah.
10.000,-17 Memotong kayu mentah
Agar esensi
Kewang
maupun
Sasi
tetap terpelihara
maka :
Berbagai nilai-nilai ataupun
aturan-aturan tentang
Kewang
dan
Sasi
perlu diberi penguatan
kelembagaannya, direkonstruksi
dan direvitalisasi agar fleksibel dan
relevan dengan perubahan yang
terjadi dalam masyarakat.
Mekanisme penguatan & revitalisasi,
melalui keterlibatan partisipasi
masyarakat lokal sehingga akan
mengakar kuat dan dipatuhi.
Mendapat perhatian pemerintah
berupa ditetapkannya PERDA
Mekanisme penguatan,
reaktualisasi dan revitalisasi
nilai-nilai lokal
Kewang
dan
Sasi
ini
terutama ikut mengakomodasikan
pertimbangan-pertimbangan
saintifik dalam pengelolaan
Aspek Utama Penguatan Kembali Kelembagaan
“Kewang” dan “Sasi”
Perumusan tugas, peran,
fungsi
kewang
dan
merevitalisasi aturan-aturan
sasi
sesui dengan
perkembangan zaman.
Peningkatan kemampuan
masyarakat yang bekerja di
lembaga
kewang
dan
pelaksanaan
sasi
.
Peraturan perundangan
daerah yang mengakomodir
lembaga
kewang
dan
pelaksanaan
sasi
.
Penyediaan sarana, prasarana
dan program kerja untuk
mengoperasionalkan lembaga
kewang
dalam pelaksanaan
sasi
.
Lembaga adat ini dapat saja difungsikan untuk membantu Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) Perikanan daerah setempat, maupun Kepolisian Perairan
untuk melakukan operasi pengawasan dan pemantauan bersama (
Manajemen
) dalam rangka meningkatkan pemanfaatan sumberdaya pesisir
Dikembangkan melalui :
Lembaga Sebagai
Institusi
Peningkatan kemampuan staf/personil KewangDilakukan Secara Terpadu dengan Instansi Terkait
(Bappeda, Dinas, PT) Dalam Konteks Perencanaan
dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
(PPWPT) atau Co-Management
KELEMBAGAAN
KEWANG
PENGEMBANGAN LEMBAGA KEWANG :
PENGEMBANGAN LEMBAGA KEWANG :
MENGATASI MASALAH PENGELOLAAN PESISIR
Pelembagaan
Nilai-nilai
Penyediaan fasilitas, alat & bahan untuk operasi
Penyediaan dana operasional untuk biayai
kegiatan
Aturan-aturan Sasi, Sanksi, & SOP Kewang.
Pedoman Pengelolaan Ekosistem Pesisir.
Pedoman Pemantauan dan Pengawasan.
Dikembangkan melalui :
MASYARAKA T LOKAL (LEMBAGA
KEWANG)
• SARANA & PRASARANA MEMADAI
• BIAYA OPERASIONAL CUKUP
• KEMAMPUAN PERSONIL KEWANG
• DOKUMEN ATURAN SASI, SANKSI & SOP.
• DOKUMEN PEDOMAN PEMANTAUAN & PENGAWASAN
• DOKUMEN PEDOMAN PENGELOLAAN
• DISAHKAN OLEH RAJA/KADES = PERDES.
KEGIATAN SASI PEMERINTAH (Kebijakan, Fasilitasi, Pembukaan Akses, Pembina Mekanisme Sistem)
MEKANISME KERJASAMA PENGELOLAAN ANTARA MASYARAKAT
LOKAL, PERGURUAN TINGGI DAN PEMERINTAH DAERAH (
C0-MANAGEMENT
)
PT SEBAGAI EDUKATOR (Pendidik, Pelatih, Penyuluh,
UPAYA PENGELOLAAN PESISIR BERBASIS KEARIFAN
LOKAL
UPAYA PENGELOLAAN PESISIR BERBASIS KEARIFAN
LOKAL
UPAYA STRUKTUR :
PENDAYAGUNAAN LEMBAGA LOKAL
KEWANG
•
Penyediaan sarana, prasarana “Kewang”
•
Pengembangan zona “Sasi” ekosistem
pesisir (mangrove, terumbu karang &
tumbuhan pantai).
•
Pengembangan zona “sasi” untuk
preservasi, konservasi & zona
pemanfaatan.
• Pengembangan zona penyangga
(
buffer zone
) sepanjang aliran sungai &
perairan pesisir, sebagai zona “sasi”.
UPAYA STRUKTUR :
PENDAYAGUNAAN LEMBAGA LOKAL
KEWANG
•
Penyediaan sarana, prasarana “Kewang”
•
Pengembangan zona “Sasi” ekosistem
pesisir (mangrove, terumbu karang &
tumbuhan pantai).
•
Pengembangan zona “sasi” untuk
preservasi, konservasi & zona
pemanfaatan.
•
Pengembangan zona penyangga
(
buffer zone
) sepanjang aliran sungai &
perairan pesisir, sebagai zona “sasi”.
UPAYA NONSTRUKTUR :
•
REVITALISASI & REKONSTRUKSI
SASI.
•
STANDAR OPERASIONAL
PROSEDUR KEWANG (SOP).
•
PEDOMAN PEMANTAUAN &
PENGAWASAN OLEH KEWANG.
•
PERDA TENTANG “KEWANG”
DAN “SASI”
•
TATA RUANG ZONA “SASI”
•
PENETAPAN BATAS ZONA
“SASI”.
•
PENEGAKAN SANKSI.
•
SOSIALISASI & PENYULUHAN
•
PELATIHAN DAN SIMULASI
KEWANG & SASI
UPAYA NONSTRUKTUR :
•
REVITALISASI & REKONSTRUKSI
SASI.
•
STANDAR OPERASIONAL
PROSEDUR KEWANG (SOP).
•
PEDOMAN PEMANTAUAN &
PENGAWASAN OLEH KEWANG.
•
PERDA TENTANG “KEWANG”
DAN “SASI”
•
TATA RUANG ZONA “SASI”
•
PENETAPAN BATAS ZONA
“SASI”.
•
PENEGAKAN SANKSI.
•
SOSIALISASI & PENYULUHAN
•
PELATIHAN DAN SIMULASI
KEWANG & SASI
MELESTARIKAN KEARIFAN LOKAL, DAN EKOSISTEM
SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT
UPAYA PENGENDALIAN PENCEMARAN
UPAYA PENGENDALIAN PENCEMARAN
UPAYA STRUKTUR :
PENGENDALIAN SAMPAH & LIMBAH
CAIR.
• Perbaikan sistem drainase & aliran sungai.
• Pengendalian sampah, erosi & sedimentasi
• Pengendalian limbah cair (PLN, kapal, dsb).
•
Pengelolaan daerah banjir dan bencana
• Rehabilitasi & Pelestarian ekosistem alami
(mangrove, terumbu karang, tumbuhan
pantai).
UPAYA STRUKTUR :
PENGENDALIAN SAMPAH & LIMBAH
CAIR.
•
Perbaikan sistem drainase & aliran sungai.
•
Pengendalian sampah, erosi & sedimentasi
•
Pengendalian limbah cair (PLN, kapal, dsb).
•
Pengelolaan daerah banjir dan bencana
•
Rehabilitasi & Pelestarian ekosistem alami
(mangrove, terumbu karang, tumbuhan
pantai).
UPAYA NONSTRUKTUR :
•
PEDOMAN PEMANTAUAN &
PENGAWASAN OLEH KEWANG.
•
STANDAR OPERASIONAL
PROSEDUR KEWANG (SOP).
•
PEDOMAN PENGENDALIAN
LIMBAH, SAMPAH, EROSI,
SEDIMENTASI.
•
PEDOMAN PENGELOLAAN LAHAN
ATAS DAN PESISIR.
•
PENETAPAN SEMPADAN PANTAI.
•
SOSIALISASI & PENYULUHAN
•
PENEGAKAN SANKSI & HUKUM.
•
PELATIHAN DAN SIMULASI.
UPAYA NONSTRUKTUR :
•
PEDOMAN PEMANTAUAN &
PENGAWASAN OLEH KEWANG.
•
STANDAR OPERASIONAL
PROSEDUR KEWANG (SOP).
•
PEDOMAN PENGENDALIAN
LIMBAH, SAMPAH, EROSI,
SEDIMENTASI.
•
PEDOMAN PENGELOLAAN LAHAN
ATAS DAN PESISIR.
•
PENETAPAN SEMPADAN PANTAI.
•
SOSIALISASI & PENYULUHAN
•
PENEGAKAN SANKSI & HUKUM.
•
PELATIHAN DAN SIMULASI.
MENINGKATKAN KUALITAS PERAIRAN &
MENGURANGI
BESARNYA KERUGIAN AKIBAT PENCEMARAN
PEDOMAN PENGELOLAAN EKOSISTEM
MANGROVE
(
Sumber diolah dari Dahuri, dkk tahun 2001)
Sasi
ekosistem mangrove dan sumberdaya di dalamnya dapat dicapai dengan
mencegah terjadinya perubahan-perubahan nyata dari faktor-faktor seperti sirkulasi
air, salinitas dan aspek fisika-kimia dari substrat hidupnya. Penting untuk
diperhatikan bahwa banyak hal yang dapat merubah faktor-faktor tersebut, berasal
dari luar ekosistem mangrove. Karenanya,
sasi
mengarove bergantung sepenuhnya
pada perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan
ekosistem mangrove. Usulan pengembangan dan kegiatan insidential yang
mempengaruhi ekosistem mangrove hendaknya mencerminkan perencanaan dan
pengelolaan sebagai berikut :
1.
Peliharahlah dasar dan karakter substrat hutan dan saluran-saluran air. Sebab
substrat memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
hutan mangrove. Proses-proses seperti sedimentasi berlebihan, erosi,
pengendapan sampai kepada perubahan sifat-sifat kimiawai (seperti
kesuburan) harus dapat dihindari.
3. Peliharalah kesimbangan alamiah antara pertambahan tanah, erosi dan
sedimentasi. Kegiatan di wilayah pesisir termasuk konstruksi sangat potensial
untuk mengubah keseimbangan antara pertumbuhan dan erosi. Kegiatan seperti
itu harus dievaluasi terutama potensi dampaknya terhadap hutan mangrove
sebelum diimplementasikan.
4. Peliharalah pola-pola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan
air tanah. Pengurangan air tawar akibat perubahan aliran, pengambilan atau
pemompaan air tanah seharusnya tidak dilakukan apabila menggangu
keseimbangan salinitas di lingkungan pesisir. Salinitas juga mempengaruhi
komponen-komponen lainnya dalam wilayah pesisir termasuk manusia.
5. Pada daerah-daerah yang mungkin terkena tumpahan minyak dan bahan beracun
lainnya, harus memiliki rencana-rencana penanggulangan.
6. Hindarkan semua kegiatan yang mengakibatkan pengurangan (
impound
) areal
mangrove. Penghentian sirkulasi air permukaan mengakibatkan kematian hutan
mangrove.
7. Tetapkan batas maksimum untuk seluruh hasil panen/tangkapan yang dapat
diproduksi.
Kecenderungan
saat
ini
adalah
memaksimumkan
hasil
panen/tangkapan
untuk
mencapai
keuntungan
jangka
pendek
tanpa
memperhitungkan keuntungan jangka panjang. Plotkan rencana kerja
berdasarkan perencanaan yang mantap untuk menjamin keberlanjutan ekosistem.
ARAHAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE (Lanjutan)
Untuk menjaga keseimbangan sumberdaya mangrove, maka hal-hal yang perlu
diperhatikan ialah :
1.
Hindari penebangan mangrove, untuk dijadikan areal pemukiman. Tentukan
areal pemukiman di luar kawasan mangrove.
2.
Gunakan jenis kayu lain sebagai pengganti mangrove untuk kepentingan
kayu bakar, konstruksi dan sebagainya.
3.
Hindari pengambilan/pengerukan pasir pada kawasan mangrove, karena
akan mempengaruhi sirkulasi air maupun mengakibatkan tumbangnya
mangrove pada musim gelombang atau angin kencang.
4.
Hindari pembuangan sampah di kawasan mangrove, karena sampah dapat
mempengaruhi sirkulasi air dan menghambat pertumbuhan anakan
mangrove.
•
Tindakan pencegahan terhadap kemungkinan turunnya kualitas perairan pesisir,
terutama di daerah-daerah penting seperti daerah pemijahan dan pembesaran
sangat penting untuk diperhatikan. Turunnya kualitas perairan pesisir ini,
misalnya sebagai akibat dari tumpahan minyak, masuknya limbah industri, erosi
tanah permukaan dan sedimentasi.
•
Pencemaran perairan yang disebabkan oleh minyak bumi (hidrokarban) dapat terjadi
dari kegiatan pengangkutan bahan mentah, pencucian minyak dan kegiatan
transportasi minyak. Untuk pencemaran minyak yang bersumber dari kegiatan
didaratan, biasanya bahan pencemar tersebut masuk melalui aliran sungai.
•
Pencemaran perairan yang diakibatkan oleh buangan limbah industri dan unsur
hara berlebih yang berasal dari limbah rumahtangga, sangat potensial untuk
merusak habitat dan kehidupan organisme air, terutama yang bersifat rentan
seperti telur dan larva ikan dan udang
.
•
Tingkat kekeruhan yang tinggi disebabkan oleh erosi didaerah hulu maupun kegiatan
pengerukan, selain mengakibatkan terganggunya penetrasi cahaya juga dapat
merusak habitat dasar dan pernafasan hewan dasar karena terjadi penyumbatan.
Karena itu pengelolaan tanah di daerah atas harus dilakukan dengan baik agar tidak
terjadi erosi tanah permukaan.
•
Perubahan kualitas perairan dapat pula terjadi karena meningkatnya suhu
perairan, terutama pengaruh air buangan (
cooling water
) yang berasal dari
stasiun pembangkit tenaga listrik. Perubahan salinitas sekalipun kecil (1-2%)
dapat berakibat fatal pada stadia larva ikan dan udang.
PETUNJUK PELAKSANAAN