ANOTASI ARTIKEL REPRESENTASI WACANA KOLONIAL DALAM BUKU TEKS SEJARAH PENDIDIKAN MENENGAH INDONESIA SELAMA ORDE BARU
(1975-2013)
OLEH
Maria Yosephine Ayu Kade Kartika Dewi 171314005
a. Judul : Representasi Wacana Kolonial dalam Buku Teks Sejarah Pendidikan Menengah Indonesia selama Orde Baru (1975-2013)1
b. Nama Pengarang : Hieronymus Purwanta c. Jurnal : History of Education Society
d. Penerbit : Prodi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Sanata Dharma e. Tahun Terbit : 2017
f. Ringkasan isi
Melalui Penelitian ini akan bertujuan untuk menganalisis teks dan konteks buku teks sejarah yang menetapkan kolonialisme Belanda sebagai faktor penentu era Orde Baru dan setelahnya. Dua pertanyaan penelitian dipostulasikan: (1) Mengapa wacana penjajahan dipertahankan dalam buku teks setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945? (2) Bagaimana wacana kolonial diwakili dalam buku teks sejarah pendidikan menengah dari enam reformasi kurikulum nasional? Untuk menjawab pertanyaan ini, penelitian ini menganalisis buku teks sejarah pendidikan menengah yang digunakan selama lima periode kurikulum nasional yang berbeda dari tahun 1975 sampai 2013. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan Analisis Wacana Kritis Teun A. van Dijk (CDA). Hasilnya menunjukkan bahwa sejarawan profesional modern adalah produsen wacana kolonial yang direproduksi oleh penulis buku teks. Sejarawan ini menetapkan budaya barat sebagai model ideal kehidupan sosiokultural dan membangun sejarah Indonesia sebagai proses westernisasi dengan menggunakan penjajahan Belanda sebagai faktor penentu. Orang Indonesia diriwayatkan menjadi benda pasif.
Hubungan intim antara Indonesia dan Barat menghasilkan kebutuhan untuk menulis ulang sejarah Indonesia, termasuk buku teks untuk pelajaran sejarah. Persyaratan ini ditempuh melalui Seminar Sejarah Nasional Kedua yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1970. Salah satu hasil dari seminar tersebut adalah pembentukan sebuah komite penulisan sejarah nasional dengan Sartono Kartodirdjo selaku ketua tim. Sejarah nasional Indonesia tidak hanya direncanakan sebagai buku standar di tingkat universitas tetapi juga sebagai buku teks referensi utama untuk siswa sekolah.
Di Asia Tenggara, Indonesia dan Malaysia memiliki banyak kesamaan dalam agama dan akar etnis mayoritas penduduknya, dalam pengalaman mereka dijajah, dan di bidang ekonomi mereka, yang dikendalikan dan didominasi oleh kelompok etnis Tionghoa. Namun, mereka sangat berbeda dalam membangun dan menceritakan masa lalu mereka.
Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak berarti bahwa kolonialisme telah berakhir. Ketika Soeharto menggantikan Sukarno pada tahun 1966, narasi Indonesia sebagai ramah terhadap Blok Barat diperkuat dalam buku teks sejarah. Perubahan mendasar terjadi dimulai dengan kurikulum 1975 karena narasi dalam buku teks sejarah sekunder baru menjadi lebih kolonialis dalam perspektif. Melalui buku teks wajib yang diterbitkan oleh pemerintah, sebuah wacana baru diproduksi. Penjajahan Belanda dan imperialisme di Indonesia tidak lagi dianggap sebagai penyebab kesengsaraan; Sebagai gantinya, ia menjadi konveyor pembangunan. Kebijakan ekonomi pada akhir abad kesembilan belas dan Kebijakan Etis di tahun 1900 ditetapkan sebagai faktor penentu munculnya nasionalisme Indonesia pada tahun 1908. Wacana bahwa penjajahan Belanda adalah konveyor pembangunan Indonesia dieksplorasi dalam buku teks sejarah selama masa Baru. Order era dan nanti. Namun, orang Indonesia