• Tidak ada hasil yang ditemukan

DILEMA DIMENSI POLITIK DAN RASIONALITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DILEMA DIMENSI POLITIK DAN RASIONALITAS"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

DILEMA DIMENSI POLITIK DAN RASIONALITAS DALAM PERUMUSAN PROGRAM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Pengantar Kebijakan Publik

Pengampu : Drs. Wahyu Nurharjadmo

Oleh:

KELOMPOK 3

Citra Nugraheny P. W. D0113021

Dana Laras Rega D0113023

Desvita Anggraini W. D0113025

Dimas Yoga Arta D D0113027

Dwi Ayu Setiyoningsih D0113029

Erwin Salamah D0113031

Faizal Luqman Sangaji D0113033

(2)

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET

SURAKARTA

2015

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan masalah yang belum dapat diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya angka kematian pada ibu dan bayi serta rendahnya angka harapan hidup. Tingginya resiko masyarakat terserang penyakit seperti kanker, tumor, HIV/AIDS dan lain-lain juga membuat rendahnya tingkat kesehatan di Indonesia. Namun karena mahalnya biaya kesehatan membuat untuk masyarakat enggan pergi ke rumah sakit atau puskesmas untuk berobat, mereka lebih memilih membeli obat yang dijual di toko-toko.

(3)

(sumber: Departemen Kesehatan)

Berdasarkan tabel diatas memperlihatkan tren Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA) di Indonesia menurut data hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012. Angka Kematian Neonatal sebesar 19 kematian/1.000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi sebesar 32 ke-matian/1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita sebesar 40 kematian/1.000 kelahiran hidup. Dengan demikian AKB dan AKABA menunjukkan tren adanya penurunan namun penurunannya melandai sedangkan AKN tidak ada perbaikan dibandingkan hasil SDKI 2007.

Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu : dalam pasal 28 h ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan pasal 34 ayat (1) ayat (2) dan melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001, dimana presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu.

Jaminan sosial ini merupakan satu bentuk sistem perlindungan sosial. Rys (2011) menyatakan perlindungan sosial lazimnya dipahami sebagai intervensi terpadu oleh berbagai pihak untuk melindungi individu, keluarga, atau komunitas dari berbagai resiko kehidupan sehari-hari yang mungkin terjadi, atau untuk mengatasi berbagai dampak guncangan ekonomi, atau untuk memberikan dukungan bagi kelompok-kelompok rentan di masyarakat. Sistem perlindungan sosial yang bersifat formal dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk yaitu (i) bantuan sosial (social assistance), (ii) tabungan hari tua (provident fund), (iii) asuransi sosial (social assurance), (iv) tanggung jawab pemberi kerja (employer’s liability) (Kertonegoro, 1982).

(4)

Sosial (BPJS) berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal ini juga berkait dengan keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor 007/PUU-III/2005.

Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) juga akan melahirkan transformasi kelembagaan dari beberapa perusahaan Persero yang selama ini ada, yaitu: PT. Jamsostek (Persero) dan PT. Askes (Persero), menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang berubah status menjadi badan hukum publik. Selain itu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selanjutnya akan dilaksanakan oleh 2 (dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Transformasi badan-badan penyelenggara jaminan sosial tersebut akan dilanjutkan dengan pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, berikut beberapa rumusan masalah yang hendak dibahas:

1. Dimensi politik apa saja yang mendasari perumusan program BPJS Kesehatan?

2. Dimensi rasional apa saja yang mendasari perumusan program BPJS Kesehatan?

3. Bagaimana policy maker memadukan antara dimensi politik dan dimensi rasionalitas dalam perumusan program BPJS Kesehatan?

C. Tujuan Penelitian

Dari tujuan diatas, penulis mempunyai tujuan, antara lain:

(5)

2. Untuk mengetahui dimensi rasional yang mendasari perumusan kebijakan program BPJS Kesehatan.

(6)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kebijakan Publik

Carl Friedrich seperti yang dikutip oleh Budi Winarno dalam bukunya yang berjudul Teori dan Proses Kebijakan Publik mengemukakan pendapatnya mengenai kebijakan sebagai berikut:

”Kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu”

B. Proses Perumusan Kebijakan Publik

Menurut Islamy dalam buku Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara (2000:77-101) mengemukakan pendapatnya bahwa ada empat langkah dalam proses pengambilan kebijakan publik, yaitu:

1. Perumusan Masalah (defining problem)

(7)

2. Agenda Kebijakan

Sekian banyak problema-problema umum yang muncul hanya sedikit yang mendapat perhatian dari pembuat kebijakan publik. Masalah-masalah yang ada di masyarakat akan bersaing dengan Masalah-masalah yang lain agar dapat masuk dalam agenda kebijakan.

3. Pemilihan Alternatif Kebijakan

Setelah masalah-masalah publik diidentifikasi dengan baik dan benar serta para perumus kebijakan sepakat memasukkan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan maka langkah selanjutnya adalah merumuskan alternatif-alternatif kebijakan. Pada tahap ini para aktor akan mengajukan alternatif yang menurut mereka dapat memecahkan masalah. Namun, policy maker harus memlilih kebijakan yang paling sesuai dengan masalah yang dihadapi.

4. Tahap Penetapan Kebijakan

Jika alternatif-alternatif pemecah masalah telah dipilih, maka tahap selanjutnya adalah menentukan atau menetapkan alternatif tersebut sebagai kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang ada.

C. Dimensi Politik dalam Perumusan Kebijakan

(8)

mengeluarkan kebijakan-kebijakan tertentu sehingga terbentuk suatu masyarakat yang sesuai dengan tujuan negara.

Fungsi sebuah dimensi politik terhadap negara adalah melaksanakan setiap kepentingan negara dengan cara mengorganisasi kebijakan-kebijakan negara terhadap masyarakat sehingga tercapai tujuan negara yang berarti tercapai juga tujuan masyarakat, dengan catatan kebijakan yang diambil merupakan aspirasi masyarakat.

Menurut Mirriam Budiharjo (2002: 8) bahwa politik adalah macam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses yang menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Sehingga dibutuhkan suatu kebijakan tertentu. Dari pengertia tersebut maka dapat diketahui bahwa ada hubungan antara politik dan kebijakan publik. Kebijakan akan mampu dijalankan jika dibarengi dengan adanya kekuasaan dan kewenangan dari pembuatnya. Dari situlah akan terbentuk suatu kerjasama antar berbagai pihak dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di masyarakat, termasuk permasalahan publik.

(9)

D. Dimensi Rasionalitas dalam perumusan kebijakan

Rasional secara singkat dapat diartikan masuk akal atau dapat diterima dengan akal sehat. Segala sesuatu yang masuk akal sudah pasti akan mudah untuk dilaksanakan dan bertujuan baik.

Model rasionalisme (Policy Sebagai Pencapaian Tujuan yang Efisien). Suatu policy yang rasional adalah dirancang secara tepat untuk memaksimalkan “hasil yang bersih” (net value achievement). Model rasional-komprehensif didasarkan atas teori ekonomi atau konsep manusia ekonomi (concept of an economic man). Para ahli filosofi utilitarian seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill berasumsi bahwa semua tingkah laku manusia bertujuan untuk “mencari kesenangan dan menghindari kesusahan”. Nilai utilitas (kemanfaatan) sesuatu benda atau tindakan (perbuatan) itu harus dinilai berdasarkan pada perbedaan antara kesenangan yang akan diperolehnya dan biaya (kesulitan) yang dikeluarkannya.

Dalam perumusan kebijakan publik sikap rasionalitas lebih dikenal dengan istilah dimensi rasional. Dimensi ini lebih menekankan pada upaya menjelaskan secara logika dan akal sehat yang mendasari formulasi kebijakan. Menurut konsep manusia-ekonomi, semua individu tahu tentang berbagai macam alternatif yang tersedia pada suatu situasi tertentu dan juga tentang konsekuensi-konsekuensi yang ada pada setiap alternatif tersebut. Sehubungan dengan itu maka setiap orang akan berperilaku secara rasional yaitu bahwa mereka akan membuat pilihan-pilihan sedemikian rupa sehingga mencapai nilai yang paling tinggi.

(10)

in formulating and solving complex problems is very small compared to the size of the problem. It is very difficult to achieve objectively rational behavior in the real world or even a reasonable approximation to such objective rationality” (kapasitas daya pikir manusia dalam merumuskan dan mengatasi masalah-masalah yang kompleks adalah sangat terbatas dibandingkan dengan besarnya permasalahan yang dihadapinya. Sangat sulit sekali mencapai perilaku rasional yang objektif di dunia nyata-atau bahkan perkiraan yang cukup beralasan terhadap rasionalitas objektif tersebut). Menyadari akan sulitnya mencapai rasionalitas dalam pembuatan keputusan itu, Simon kemudian menampilkan pendekatan baru yang dinamakan “the principal of bounded rationality” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “satisficing model”. Menurut konsep ini pembuat-keputusan (the satisficer) hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang mungkin tersedia kemudian memilih satu alternatif yang “lebih cocok” untuk mengatasi masalah.

Perumusan kebijakan publik yang baik adalah rumusan kebijakan yang bermutu dan memperoleh dukungan dalam masyarakat (Abidin, 2012). Perumusan kebijakan publik dikatakan menggunakan dimensi rasionalitas jika mampu mencakup aspek-aspek rasionalitas, antara lain:

 Rasionalitas tehnis : Perumusan kebijakan didasarkan atas kemampuan kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan publik

 Rasionalitas ekonomis : Perumusan kebijakan didasarkan atas efisiensi kebijakan dalam memecahkan permasalahan publik

 Rasionalitas legal : Perumusan kebijakan publik telah dilandasi oleh aturan yang formal dan legal

 Rasionalitas sosial : Perumusan kebijakan publik tetap mampu untuk mempertahankan institusi-institusi sosial yang sudah ada

 Rasionalitas substantive : Mampu mencakup semua hal di atas.

(11)

E. Dasar Hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

a. Pasal 5 ayat (1)

Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang.

b. Pasal 52

(12)

BAB III

PEMBAHASAN

A. Dimensi politik dalam perumusan Program BPJS Kesehatan

Karena Program BPJS Kesehatan merupakan kebijakan publik maka Program BPJS Kesehatan juga memiliki proses perumusan kebijakan publik. Adapun tahapan dan mekanisme perumusan kebijakan Program BPJS Kesehatan antara lain:

1. Perumusan Masalah (defining problem)

Hal paling awal yang dilakukan dalam perumusan kebijakan adalah perumusan dan identifikasi masalah. Isu publik adalah suatu masalah yang telah menjadi pembicaraan masyarakat luas, mempunyai pengaruh dalam masyarakat, dan juga menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Masalah kebijakan itu sendiri adalah kebutuhan, nilai-nilai, atau berbagai kesempatan yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai melalui tindakan politik.

(13)

tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa benar kesehatan adalah suatu hal yang vital dalam kehidupan.

2. Agenda kebijakan

Setelah dirasakan adanya permasalahan kesehatan yang sangat penting dan perlu segera dibuat kebijakan maka selanjutnya adalah membawa masalah tersebut kepada pemerintah untuk dibahas. Dalam tahapan ini masalah kesehatan akan dibahas, apakah masuk dalam agenda setting sistemik (masalah yang ada sudah mendapat perhatian dari pemerintah namun belum menjadi agenda yang sangat serius untuk ditindak lajuti dan dicarikan solusinya) atau masuk dalam agenda institusional (masalah yang ada sudah mendapat perhatian dari pemerintah dan menjadi agenda yang sangat serius untuk ditindak lajuti serta dicarikan solusinya). Masalah kesehatn ini merupakan masalah yang sangat urgent sehingga termasuk dalam agenda setting institusional.

3. Pemilihan Alternatif Kebijakan

Setelah masuk dalam agenda setting, maka selanjutnya adalah menyusun alternatif kebijakan. Dalam tahapan ini banyak aktor yang mengusulkan alternatif kebijakan sehingga alternatif kebijakan yang diusulkan oleh aktor-aktor pembuat kebijakan tersebut harus diseleksi satu persatu. Policy maker harus memperhitungkan manfaat-manfaat, segala efek negatif, memperkirakan biaya secara finansial, biaya secara sosial serta melihat aspek mana yang relevan, masuk akal dari pilihan-pilihan solusi yang ditawarkan. Dalam tahap ini akan muncul dimensi politik dan dimensi rasionalitas, sehingga pada akhirnya diharapkan menyisakan sejumlah solusi atau alternatif-alternatif pemecah masalah.

4. Tahap Penetapan Kebijakan

(14)

masalah dengan mempertimbangkan dampak yang mungkin akan muncul ketika kebijakan tersebut diimplementasikan.

Kebijakan pemerintah tentang Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dapat dikaji melalui dua dimensi, yaitu dimensi politik dan dimensi rasionalitas:

1. Dimensi politik a. Aktor politik

Dalam perumusan program BPJS Kesehatan ini terdapat banyak aktor yang terlibat, seperti:

1) Eksekutif

Eksekutif yang dimaksud yaitu presiden, namun dalam perumusan kebijakan presiden memberikan mandat kepada menteri untuk ikut berperan dalam perumusan kebijakan. Dalam perumusan RUU BPJS ini presiden memandatkan menteri kesehatan dan menteri kesekretariatan negara karena BPJS berhubungan dengan kesehatan masyarakat dan mensesneg sebagai “mata dan telinga presiden”.

2) Legislatif

Legislatif yang ikut dalam perumusan RUU BPJS adalah DPR, mereka mengumpulkan informasi dan menyelidiki masalah kesehatan yang ada.

3) Yudikatif

Yudikatif berperan sebagai pengawas, melakukan tinjauan yudisial maupun penafsiran kebijakan agar kebijakan tersebut tidak melanggar aturan hukum yang berlaku.

4) Kelompok kepentingan

Kelompok kepentingan yang dimaksudkan adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM berperan sebagai lembaga yang mewadahi aspirasi atau pendapat dan kepentingan masyarakat. 5) Media massa

Media massa juga ikut berperan dalam perumusan BPJS karena dengan adanya media massa maka masyarakat dapat meliahat dan mengawasi jalannya perumusan kebijakan.

(15)

Stakeholder merupakan kelompok sasaran suatu kebijakan, maka peran stakeholder sangat penting dalam perumusan kebijakan. Mereka ikut serta karena kebijakan yang dibuat agar sesuai dengan keinginan masyarakat dan mampu mengatasi permasalahan secara tepat tanpa memberatkan masyarakat.

b. Proses politik

Proses politik merupakan serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan politik. Dalam proses perumusan kebijakan tentang BPJS, menurut amanat UU No. 40 Tahun 2004 yang menetapkan batas waktu penetapan RUU tentang BPJS adalah tanggal 19 Oktober 2009. Namun tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah, karena RUU tentang BPJS tidak selesai dirumuskan. Dengan demikian DPR RI berinisiatif untuk membuat RUU tentang BPJS, yang pada akhirnya disahkan oleh pemerintah. Hal tersebut dapat menggambarkan bahwa ada keharmonisan antara pemerintah dan DPR. Yang artinya saling melengkapi, ketika pemerintah kesulitan dalam menghadapi suatu masalah maka ada DPR yang dapat membantu.

Dengan adanya UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, maka program jaminan sosial dapat berjalan dengan baik. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu : dalam pasal 28 h ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan pasal 34 ayat (1) ayat (2) dan melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001, dimana presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu.

Oleh karena itu, dalam proses perumusan kebijakan terdapat proses politik berupa negosiasi, kompromi dan bergaining antara aktor politik agar dapat menciptakan kebijakan yang paling baik dan tepat dalam mengatasi permasalahan kesehatan.

c. Kepentingan Politik

(16)

pihak pemerintah. Ketika masyarakat juga ikut dilibatkan maka dimungkinkan terdapat nilai-nilai yang mempresentasikan nilai-nilai masyarakat. Tidak menutup kemungkinan bahwa kepentingan-kepentingan dari stakeholder yang bersatu maupun bertentangan dapat berkembang pada saat proses perumusan kebijakan.

B. Dimensi rasionalitas dalam perumusan program BPJS Kesehatan Jika dilihat dari dimensi rasionalitas maka Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dapat dianalisis:

1. Rasionalitas ekonomis

Selain BPJS dapat mengatasi masalah kesehatan, BPJS juga mampu mengatasi masalah dalam dimensi rasionalitas juga dikenal adanya rasionalitas ekonomis. Rasionalitas ekonomis yang menuntut efisiensi terutama di bidang anggaran merupakan hal yang harus diperhatikan. Kebijakan BPJS yang dikeluarkan oleh pemerintah sudah pasti memakan biaya yang tidak sedikit karena kebijakan ini menanggung hidup seluruh masyarakat Indonesia. Akan tetapi jika kita melihat sasaran dari program ini, maka manfaat yang akan dihasilkan juga cukup luas. Selain itu sumber pendanaan yang digunakan untuk kebijakan BPJS ini tidak sepenuhnya berasal dari APBN, namun juga berasal dari premi yang dibayarkan oleh peserta BPJS Kesehatan setiap bulan. Sehingga jika kebijakan Program BPJS Kesehatan ini diperhitungkan dengan matang maka akan mampu memecahkan masalah secara efisien.

2. Rasionalitas sosial

(17)

kesehatan negeri meskipun Program BPJS Kesehatan sudah diberlakukan.

3. Rasionalitas tehnis

BPJS merupakan upaya yang dibuat pemerintah agar dapat menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia. Permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan kesehatan masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal ini sebagaimana manfaat yang dapat dilihat dari penggunaan BPJS yaitu dapat mengatasi permasalahan kesehatan dan pendidikan yang ada di wilayah tersebut terutama di daerah yang terpencil. Data-data yang menunjukkan tingginya tingkat kemiskinan, rendahnya tingkat kesehatan dan rendahnya angka harapan hidup diharapkan akan mampu ditekan dengan kebijakan BPJS Kesehatan ini. Sehingga secara rasionalitas tekhnis perumusan kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan sudahlah tepat, karena berusaha mengatasi permasalahan yang terjadi.

4. Rasionalitas legal

Kebijakan Program BPJS Kesehatan yang dicetuskan telah memiliki dasar hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

5. Rasionalitas substantive

Berdasarkan keempat aspek rasionalitas diatas maka dapat dikatakan bahwa dalam perumusan kebijakan Program BPJS Kesehatan ini terdapat dimensi rasionalitas. Sehingga diharapkan kebijakan ini mampu mengatasi permasalahan kesehatan di Indonesia.

(18)

Setelah mengetahui dimensi politik dan dimensi rasionalitas dalam perumusan program BPJS Kesehatan yang mana telah dijelaskan sebelumnya maka akan dapat dianalisis. Antara dimensi politik dan rasioanal merupakan dua dimensi utama dalam perumusan kebijakan publik, sehingga sangat penting menggunakan keduanya dalam mengkaji maupun merumuskan sebuah kebijakan publik. Berikut ini perpaduan antara dimensi politik dan dimensi rasionalitas dalam perumusan program BPJS Kesehatan:

1. Dimensi rasionalitas ekonomi dengan dimensi politik

Dimensi rasionalitas ekonomi merupakan perumusan kebijakan didasarkan atas efisiensi kebijakan dalam memecahkan permasalahan publik. Dimensi rasionalitas ekonomi dapat dipadukan dengan aspek kepentingan karena dalam aspek kepentingan pemerintah dan masyarakat menginginkan kebijakan dengan melihat faktor ekonomi. Dalam program BPJS Kesehatan ini anggaran kesehatan tidak hanya berasal dari uang negara atau APBN namun juga uang iuran peserta BPJS yang dibayarkan setiap bulan (premi asuransi). Sehingga pemerintah dapat mengurangi anggaran pengeluaran APBN dan masyarakat juga mendapat keringanan dalam pembiayaan kesehatan karena premi yang dibayarkan murah.

2. Dimensi rasionalitas legal dengan dimensi politik

Hubungan aktor politik dengan rasionalitas legal adalah aktor politik (baik legislatif maupun eksekutif) sebagai penentu kebijakan agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, salah satu alternatif yang dilakukan adalah kemampuan pemerintah untuk membangun jaringan dengan aktor diluar pemerintah, yaitu aktor privat dan aktor civil society. Pemerintah sudah tidak tepat lagi memandang aktor-aktor tidak resmi sebagai lawan politik, tapi sudah saatnya pemerintah menjadikan aktor-aktor tersebut sebagai sahabat dalam membicarakan produk-produk kebijakan publik.

(19)
(20)

BAB IV

KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah dijelaskan diatas, maka dapat dirumuskan kesimpulan seperti dibawah ini:

1. Program BPJS Kesehatan merupakan kelanjutan dari program kesehatan ASKES dalam rangka meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang termasuk dalam kategori kurang mampu. Program ini juga merupakan sebuah kebijakan publik karena merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang juga diputuskan oleh pemerintah serta merupakan barang atau jasa yang mampu mengatasi masalah publik. Karena merupakan sebuah kebijakan publik maka pasti melalui proses perumusan kebijakan seperti perumusahan agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan, tahap penetapan kebijakan. Setelah pengimplementasian kebijakan langkah selanjutnya adalah memperkuat kebijakan dengan landasan hukum.

2. Seperti halnya kebijakan lain, kebijakan BPJS Kesehatan ini juga mengandung 2 dimensi yaiu dimensi politik dan dimensi rasional. Dalam kebijakan BPJS Kesehatan ini mencakup 2 dimensi tersebut. Dalam dimensi politik, adanya aktor-aktor politik dalam proses perumusan kebijakan. Aktor-aktor politik ini meliputi eksekutif, legislatif, yudikatif, kelompok kepentingan, media massa, dan stakeholder. Serta adanya proses politik dan kepentingan politik yang menyelimuti kebijakan ini menjadi tanda bahwa BPJS Kesehatan mempunyai dimensi politik. Secara rasionalitas, kebijakan BPJS Kesehatan ini juga mencakup unsur rasionalitas seperti rasionalitas sosial, rasionalitas ekonomis, rasionalitas teknis, rasionalitas legal dan rasionalitas substantive.

(21)
(22)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Said. 2012. Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba Humanika

Fakih, Mandour. Et al. 2000. Merubah Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Juliansyah, Elvi. 2013. Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi. Bandung: CV. Mandar Maju

Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Gaya Media

Santosa, Deddy Panji. Proses kebijakan: merupakan proses politik dan teknik pelaksanaannya. http://digilib.unpas.ac.id/files/disk1/58/jbptunpaspp-gdl-deddypandj-2890-1-8.prose-.pdf diakes pada 10 April 2015

Thoha, Miftah. 1984. Dimensi-dimensi prima ilmu administrasi negara. Jakarta: CV Rajawali

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. http://www.jkn.kemkes.go.id/attachment/unduhan/UU%20No %2024%20Tahun%202011%20tentang%20BPJS.pdf Diakses pada 11 April 2015

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

http://www.itjen.depkes.go.id/public/upload/unit/pusat/files/Undang-undang/UU_No__40_Th_2004_ttg_Sistem_Jaminan_Sosial_Nasional.pdf Diakses pada 11 April 2015

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo

Gambar

Tabel 1. Tren Angka Kematian Neonatal, Bayi, dan Balita di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Marimin (2004) dalam menggunakan metode perbandingan eksponensial ada beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu menyusun alternatif-alternatif keputusan

Dari studi ini kami ambil kesimpulan bahwa skor CHA2DS2-VASc_HSF dapat digunakan sebagai suatu skor yang sederhana dan dapat digunakan untuk memprediksi kejadian CIN pada pasien

Verifikasi model ShASy 1.0 bertujuan untuk mengetahui apakah model tersebut dapat melakukan penilaian jaminan mutu dan keamanan pangan udang pada suatu unit usaha

Air putih, huruf Alif, nasihat-nasihat hidup yang ia tulis dalam bahasa Jawa, dan laku berpuasa berhari-hari, adalah bagian dari "wajah mistik" Sosrokartono, orang Indonesia

Berdasarkan APBN Tahun Anggaran 2011, harga BBM bersubsidi hanya akan dinaikkan apabila, harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) pada

Disini di Perumahan Grha Revata Tulungagung pemberian upah atau gaji masih menggunakan sistem pemberian upah profesionalitas pekerja, jadi sistem ini sering

Dalam menggunakan metode perbandingan eksponensial ada beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu: menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih, menentukan

membaca global, tentu saja anak diperkenalkan katakata sederhana se- banyak-banyaknya (kosakata pandang/ untuk diamati. Ketika belajar kata-kata tersebut anak