• Tidak ada hasil yang ditemukan

2006 Organic Architecture of Frank Lloyd

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "2006 Organic Architecture of Frank Lloyd"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Ide Arsitektur Organik Frank Lloyd Wright

Frank Lloyd Wright merupakan salah satu arsitek terbesar yang pernah hidup. Selain menghasilkan banyak karya arsitektural, beliau juga menghasilkan berbagai pemikiran penting yang banyak mempengaruhi perkembangan teori dan filosofi arsitektur. Paper ini akan berusaha menjelaskan beberapa pemikiran beliau, tidak hanya dalam dunia arsitektur namun dalam kehidupan. Kajian ini diharapkan dapat memberikan sebuah pemahaman tentang bagaimana teori dan filosofi dalam arsitektur terbentuk dari sebuah pemahaman idealis tentang suatu aspek kehidupan dan bagaimana teori arsitektur tersebut mengambil peranan dalam kehidupan.

Keywords: Arsitektur Organik, Ide.

Pendahuluan

Paper ini akan membahas pemikiran dan filosofis kehidupan dari Frank Lloyd Wright yang akan mencakup 6 ide yaitu ide tentang pemahaman agama yang integratif, ide tentang supremasi alam diatas manusia, ide tentang personal demokrasi, ide tentang arsitek profesional yang berlandaskan nilai moral, ide tentang pendidikan yang progresif dan ide tentang kota yang ideal. Pembahasan ini sangat penting bagi membuat kerangka studi tentang nilai-nilai moral Frank Lloyd Wright untuk diambil pelajaran dan diserap oleh Arsitektur Islam secara kritis dan integratif

Frank Lloyd Wright dan Ide tentang Pemahaman Agama yang Integratif

Sebagai seseorang yang berasal dari keluarga penganut Kristen Protestan yang sangat kuat1, tentu saja masalah agama menjadi sebuah pondasi dasar yang sangat mempengaruhi kehidupan dan falsafah hidup dari Frank Lloyd Wright, dan hal ini tentu saja berimplikasi dan memiliki efek langsung kepada desain dan produk pemikiran beliau. Pemikiran Wright tentang agama membentuk sebuah konsep yang sangat kuat dan unik. Dibandingkan pemikiran Kristen yang ada ketika itu pemikiran-pemikiran beliau cukup inovatif dan berpijak pada kerangka rasionalitas yang jelas dan menyeluruh.

“It’s about 2000 years now since Jesus said that the Kingdom of God-He meant the kingdom of nature apprehension and application-was at hand. He meant it was in man’s capacity to know this kingdom of God. He was a prophet, a real poet, the greatest one. But our world got him all wrong, doesn’t preach Him, doesn’t take His teaching-never did.. The Christian religions got Him all balled up by way of disciples and we are no nearer to his Kingdom today than we were in His own time, are we? We go to war, we kill, we steal, we make a profession of all those things and other wholly artificial ones.”2

Dalam identifikasi penulis, penulis menemukan bahwa ide tentang pemahaman agama yang integratif dari Frank Lloyd Wright ini dapat dijabarkan atas pemikiran bahwa

1

Lihat BAB 7 “Kehidupan Frank Lloyd Wright”

2

(2)

agama merupakan bagian integral dari arsitektur, bahwa agama seharusnya berkontribusi kepada masyarakat dan nilai-nilai kemanusiaan dan bahwa agama seharusnya merupakan sebuah hal yang dinamis, penuh rasionalitas dan dapat dengan mudah dijelaskan kepada orang banyak.

Pemikiran pertama dari ide tentang pemahaman agama yang integratif adalah sebuah pemahaman bahwa agama merupakan bagian integral dari arsitektur. arsitektur dipengaruhi oleh agama sebagaimana pemahaman bahwa arsitektur juga dipengaruhi oleh aspek yang lain seperti politik, ekonomi dan kondisi sosial.

Hal ini terlihat dari bagaimana tulisan-tulisan dan produk pemikiran dari Wright. Ia banyak mengaitkan antara arsitektur dan agama sebagai sebuah kesatuan yang utuh dan berkorelasi secara positif. Agama merupakan bagian dari sistem hidupnya dan karena arsitektur merupakan bagian dari sistem kehidupan kita maka Arsitektur tidak akan dapat dipisahkan dari agama. Merupakan sebuah kesalahan yang besar ketika manusia memahami arsitektur hanya sebagai implikasi dari hal yang lebih bersifat kebendaan dan bentuk materi.

“Architecture organic, perhaps because firstly deeply concerned with the integrity of innate structure, first grasped the demand of our modern American life for higher spiritual order.”3

Hal ini sangat berbeda dengan pemikiran yang berkembang di Eropa dan Amerika pada masa itu, dimana orang mulai meninggalkan keyakinan agama, nilai-nilai moral dan sisi-sisi kemanusiaan untuk hal yang disebut sebagai modernisasi dengan trend dan warna kehidupan yang materialistik4.

Keberhasilan Rennaisance dalam menggulung supremasi absolut gereja dan menggantikannya dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, rasionalisme akal, sains dengan garis hidup yang berbau sekuler membuat kehidupan manusia berkembang menjadi suatu bentuk yang jauh dari nilai-nilai dan sisi kemanusiaan. Revolusi industri yang yang menjadikan manusia lebih sebagai produk dan bahan baku untuk dioptimalkan fungsi dan peranannya telah melepaskan manusia dari prinsip dan hakikat hakikinya. Melepaskannya dari fungsi dan peranan sosialnya dengan membentuk baut-baut kapitalisme yang berkerja atas dasar mekanisme dan sistem sintesis5. Manusia mulai mengerjakan hal-hal yang dia sendiri seringkali tidak memahaminya dengan pengulangan tanpa sebuah kesadaran.

“It was budha who noticed that the spoon may lie in the soup for a thousand years and never know the flavour of the soup.”6

Inilah beberapa hal yang menjadi titik tekan dari pemikiran-pemikiran Frank Lloyd Wright. Sebuah ide tentang integrasi yang harmoni dari agama dengan aspek kehidupan yang lainnya termasuk Arsitektur.

Pemikiran kedua dari ide tentang pemahaman agama yang integratif adalah sebuah pemahaman bahwa agama bukanlah merupakan pelayanan untuk Tuhan melainkan sistem hidup yang mengatur hubungan antar manusia dalam konteks pengabdian

3

Wright, Frank Lloyd, The Living City, hal 92

4

Studi lanjutan lihat Marvin, Perry (1981), Western Civilization hal 395-421.

5

Studi lanjutan lihat Nikolaus Pevsner (1943), An Outline of European Architecture hal 404-436.

6

(3)

kepada Tuhan. Pemikiran ini sangat signifikan karena ia akan mengatur seluruh pola kehidupan dan menentukan ke arah mana seseorang akan bergerak. Ketika Wright diminta mendesain Unity Temple terlihat sekali bagaimana ia menjadikan gereja tersebut sebagai sebuah pusat kegiatan dan pembangunan masyarakat.

“Why not, then, built a temple, not to God in that way7-more sentimental that sense-but built a temple to man, appropriate to his uses as a meeting place, in which t study man himself for his god sake? A modern meeting house and a good-time place.”8

Dalam Arsitektur hal ini sangat penting karena hal ini jelas bertentangan dengan

mainstream yang ada pada konsep rumah Tuhan terutama dalam pembuatan gereja dan

rumah ibadah ketika itu, dimana orang kemudian membangun tempat ibadah atau hal-hal yang berbau religius secara megah dan berlebihan dengan tujuan pengabdian dan persembahan kepada Tuhannya. Implikasi konsep ini sungguh luar biasa karena ia berhubungan dengan pemahaman sistem hidup dan perilaku manusia dimana arsitektur merupakan satu aspek di dalamnya (Lihat gambar 1 dan 2).

Pemikiran ketiga dari ide tentang pemahaman agama yang integratif, yang dapat kita jumpai dalam pemikiran Frank Lloyd Wright justru terletak pada semangat dari Rennaisance sendiri yaitu semangat untuk mempertanyakan apa yang ada pada sebuah agama. Agama protestan banyak mempertanyakan ritual-ritual dan pemahaman dasar dari agama Kristen yang ada ketika itu. Aliran Unitarian yang dianut oleh keluarga Frank Lloyd Wright dengan dasar pemikiran dan konsepsi hidup yang ada pada Frank Lloyd Wright ketika itu ikut mempertajam ide mempertanyakan ini. Ketika banyak orang cenderung untuk melihat agama sebagai sebuah adat dan tradisi lalu kemudian mengikutinya dengan sebuat taqlid buta. Frank Lloyd Wright justru mempertanyakan banyak hal dalam agama yang dalam banyak hal justru menjadikan agama sebagai sebuah hal yang dinamis dan progresif.

Great religious leaders-Budha, Jesus, Abdul Bahai, Mohammad, Laotze especially-wanted no formalism by institutionalizing religion: tolerated no bureaucracy or officialism in the realm of the spirit. Such integrity of soul wanted not even disciples!”9

“High priest of religion as of education, as we have them both now, seldom understand and never dare teach the basic freedom, the life-blood of democracy, and ethical! Its very nature remains obscure.”10

Hal ini juga merupakan sebuah hal yg sangat penting karena mempengaruhi pola pikir masyarakat secara umum dan secara integratif membentuk pola dan kualitas kehidupan manusia yang akan jauh berbeda! Karena di dalamnya terdapat ide dan semangat tentang perjuangan. Ide dan semangat tentang perjuangan yang membangun dan mengembangkan agama sebagai sebuah hal yang tidak statis melainkan sebuah studi yang senantiasa dinamis dan bergerak ke arah pencarian kebenaran.

7

Pembangunan gereja pada umumnya ketika itu adalah sebagai persembahan kepada Tuhan-studi lanjutan lihat John Beckwith, Early Christian and Byzantine Art, hal 78-102.

8

Lihat An Autobiography by Frank Lloyd Wright hal 154.

9

Wright, Frank Lloyd, The Living City hal 48.

10

(4)

Frank Lloyd Wright dan Supremasi dari Alam di atas Manusia

Berangkat dari sebuah pemahaman bahwa alam merupakan “The only body of God that

you can see”, Frank Lloyd Wright meneguhkan sebuah konsepsi bahwa alam sebagai

sebuah refleksi dari Tuhan harus mendominasi dan berada diatas dominasi dan pemikiran dari manusia.

“The real body of our universe is spiritualities-the real body of the real life we live. From the waist up we’re spiritual at least. Our true humanity begins from the belt up, doesn’t it? Therein comes the difference between the animal and the man. Man is chiefly animal until he makes something of himself in the life of the spirit so that he becomes spiritually inspired-spiritually aware. Until then he is not creative. He can’t be.“11

Hal ini sangat terlihat dari rumah-rumah Praire dan banyak bangunan publik yang didesain oleh Frank Lloyd Wright yang secara konsisten diterapkan hingga akhir hidupnya.

Bangunan sebagai sebuah produk tangan manusia harus tunduk dan menyesuaikan agar dapat berdiri diatas karakter dan kekuatan dari lingkungan alam dan binaan di sekitarnya. Bangunan harus mampu mengadaptasikan dirinya dengan konteks yang ada di sekitarnya. Hal inilah yang menjadikan bangunan-bangunan Frank Lloyd Wright bersatu dengan site-nya, tidak menjadikannya secara sombong berteriak untuk menunjukkan dirinya, namun lebih terlihat bersuara secara harmoni dengan apapun yang ada di sekitarnya (Lihat gambar 3).

“Young Wright saw that nature was a wonderful teacher and had answers to many question that theoretical learning could not explain nearly so well.”12

Dari studi tentang kehidupan Frank Lloyd Wright sebelumnya kita akan dapat menelusuri asal dari pemikiran dan konsepsi ini. Lingkungan masa kecil, perhatian dari ibunya dan pengalaman selama bekerja di ladang pamannya membentuk , melatih pemikiran dari Frank Lloyd Wright untuk menghargai dan melihat alam asli sebagai sebuah elemen yang tidak dapat dipisahkan dalam perancangan sebuah desain. Ia merupakan sebuah faktor utama yang menentukan sebuah desain.

“ She13 loved to pick windflowers in the hills and meadows, studying them, arranging them in cluster, explaining to him the intricate formation of the petals in relation to leaves and stem. She love ferns because of their geometric design and passed that love to her son….”14

Ide dan pemikiran tentang supremasi alam ini memliki sebuah implikasi yang sangat besar dan signifikan. Karena dalam Arsitektur kemudian ia berbicara dalam penggunaan bahan, proses desain dan bagaimana menetapkan skala dan perbandingan. Ia membahasakan bagaimana kita memperlakukan bangunan sebagai produk manusia ketika berhadapan dan berinteraksi dengan alam sekitarnya.

Ide dan pemikiran tentang supremasi alam juga akan melahirkan sebuah konsepsi tentang sebuah kehidupan yang berkelanjutan (sustainable). Kehidupan yang

11

Wright, Frank Lloyd, Truth Against the World, hal 270

12

Blake, Peter, Master Builders, hal 270.

13

“ She” me-refer pada ibu dari Frank Lloyd Wright.

14

(5)

berkelanjutan jika kita pelajari dalam pemikiran dan filosofi dari Wright mengandung dua dimensi yaitu dimensi alam sebagai aspek fisik dan dimensi sosial yakni pemikiran dan pemahaman manusia sebagai aspek internal (spiritual)15.

Dimensi alam berbicara tentang perjuangan untuk menjaga dan merawat alam sebagai sebuah produk Tuhan yang harus dilestarikan bahkan ditingkatkan kualitas daya dukungnya. Sedangkan dimensi sosial berbicara tentang pemeliharaan sikap kritis dan pemeliharaan terhadap aspek sosial dan sisi-sisi dari pemikiran dan tingkah laku manusia. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Tanpa pemahaman yang integral terhadap terhadap keduanya kita akan menghadapi sebuah masalah yang serius dan kronis.

“ We must conceive and integrate: begin again at the beginning to build the right kind of building in the right way in the right place for the right kind of people.”16

Inilah yang dapat kita lihat pemikiran dan falsafah hidup dari Frank Lloyd Wright, sebuah semangat sustainability yang mencakup aspek fisik dan juga aspek sosial.

Frank Lloyd Wright dan Ide tentang Personal Demokrasi

Bagian dari pemikiran ini sangat menarik karena menunjukkan interaksi yang positif antara arsitektur dengan politik sebagai suatu bagian dari aspek-aspek kehidupan manusia. Ianya sekaligus juga membantah sebuah pemahaman yang berusaha mengkotak-kotakkan arsitektur dan politik sebagai sebuah hal yang terpisah. Politik tidak dapat dipisahkan dari aspek lain dari hidup kita sebagaimana tidak dapat dipisahkannya politik dari aspek arsitektural. Arsitektur dipengaruhi dan juga mempengaruhi politik! Realitas yang ada telah menunjukkan hal ini.17

“…the politicians-are, they are only complex expedients to force this swarning clerical breed of bureaucracy to function together. This has bred, finally, still more droves of white-collarites:…It becomes impossible to hold, operate, or distribute land, sell or buy money, or manufacture anything, safely, or even marry, make love or die, without the guide and counsel of these specialist in the extraordinary entanglements of rent, of rules, of regulations applied to this or that involute commercial expedient with courts for counters where the attempt to put law above man is made in this complex game we now call our civilization in the prosperity of the machine age.”18

Karenanya pemikiran-pemikiran dan filosofi kehidupan Frank Lloyd Wright yang banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh besar yang mempengaruhi politik Amerika seperti Walt Withman, George Washington, Abraham Lincoln dan Thomas Jeferson juga tidak dapat kita abaikan begitu saja.

Ide dan pemikiran tentang Demokrasi yang dapat kita temukan pada pemikiran-pemikiran Frank Lloyd Wright berakar dari pemahaman tentang agama, nilai- nilai dan pemahaman tentang sisi-sisi kemanusiaan yang telah mulai dilupakan dalam Revolusi

15

Lihat Manuskrip presentasi Dr Tajuddin M Rasdi, Towards a Theory of Islamic Architecture from the Sunna, University Malaya 8 Juli 2003.

16

Wright, Frank Lloyd, Genius and Mobocracy, hal 13

17

Jika kita hendak menerapkan suatu metode Arsitektural yang dalam pandangan kita ideal tentu saja kita harus mendapatkan persetujuan dari otoritas (atau kekuatan politik ketika itu), inilah yang menjadikan Arsitektur begitu berhubungan dengan politik.

18

(6)

Industri. Penggunaan mesin dan makin banyaknya produk fabrikasi pada saat revolusi industri ternyata telah banyak menjauhkan manusia dari pemahaman dan fitrahnya yang hakiki dalam hal pengetahuan ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Jadi Frank Lloyd Wright menentang usaha menjauhkan manusia dari Tuhannya dengan memberikan pandangan tentang aspek dan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam kehidupan agama. Sebuah bentuk Demokrasi yang bersendikan pengingatan kepada Tuhan.

Dalam pandangan Wright aspek utama dari sebuah peradaban adalah apa yang dia katakan sebagai “personality” atau oleh beberapa orang dikatakan sebagai penghormatan terhadap nilai dan kemampuan personal. Tanpa sebuah penghargaan terhadap kemampuan individu dengan segala kretivitasnya suatu kebudayaan akan mengalami kemunduran dan akhirnya kehancuran. Keberadaan seorang manusia sebagai seorang individu harus mendapatkan sebuah penghargaan yang layak.

Ide ini seiring dengan apa yang terjadi di Eropa oleh Art and Craft Movement19, dimana gerakan ini secara keras menentang penggunaan mesin-mesin dalam revolusi industri yang pada akhirnya membunuh kreativitas pekerja, mengambil pekerjaannya dan mengurangi kualitas dari produk yang dihasilkan.

Dalam beberapa hal mungkin hal ini terlihat sepele, misalnya jika kita membuat sesuatu yang sederhana sebutlah sebuah bolpoint apakah kita harus melihatnya sebagai sesuatu yang begitu membutuhkan sentuhan tangan dari seorang ahli sehingga kualitasnya begitu perlu untuk diperhatikan. “Itu kan benda sederhana”, selama ia bisa berfungsi dengan baik maka mengapa kita harus mempertanyakan kualitasnya , beberapa kalangan bahkan menganggapnya sebagai suatu hal yang menggelikan dan tidak praktis.

Penulis tidak akan berkomentar tentang hal ini namun penulis berpendapat bahwa kita harus melihatnya dalam konteks yang lebih luas, dalam hal ini bagaimana hubungannya dengan demokrasi sebagai sebuah ideologi kemanusiaan secara keseluruhan. Masalah kualitas dan aspek personal ini berhubungan dengan bagaimana peranan manusia dalam sistem kehidupan pada akhirnya.

Manusia-lah yang menciptakan mesin, mesin seharusnya menjadi alat bagi manusia untuk membantu dan meningkatkan kualitas dari produk yang ia hasilkan, ketika dominasinya melampaui manusia dan akhirnya menjajah kualitas dari kehidupan manusia maka pasti telah terjadi hal yang salah. Dalam pandangan penulis perjuangan Art and Craft jauh lebih besar dari perjuangan meningkatkan kualitas barang namun lebih merupakan sebuah perjuangan nilai-nilai kemanusiaan keatas suatu sistem yang menginjak-injak harkat dan martabat manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Muthesius:

The art and crafts are called upon to restore our awareness of honesty, integrity and simplicity in contemporary society. If this can be achieved, the whole of our cultural life will be profoundly affected….the success of our movement will not only alter the appearance of house and flats but will have direct repercussions on the character of an entire generation…if the new trends are genuine, then an original, lasting style will emerge….(H. Muthesius 1907).”20

19

Dalam beberapa buku dikatakan bahwa Frank Lloyd Wright adalah pelopor dari perkembangan Art and Craft di Amerika- diantaranya Lihat William JR Curtis (1982), Modern Architecture since 1900 hal 48-60

20

(7)

Wright dalam tulisan-tulisannya tidak pernah menentang penggunaan mesin dalam kehidupan manusia. Bahkan dalam beberapa bagian tulisannya ia cenderung mengajak manusia untuk menemukan dan mengeksplorasi penggunaan bahan-bahan baru yang dapat meningkatkan kualitas dan optimalisasi fungsinya. Namun secara tegas dan keras Frank sangat menentang penggunaan mesin dalam kehidupan modern yang dalam pandangannya menghilangkan aspek kemanusiaan dan menggadaikannya demi sebuah keuntungan sesaat.

“Meantime the Machine became the monstrous power that moves us now. All our timely materials like glass and steel came to hand as a great new means of building. But there were no architectural forms suited to their use. The practice of architect was so far gone to the composer of the picture that we had no Architect able to conceive the radical new forms needed to use the new tools and materials with nobility, inspiration or even intelligence.So our own architect in this new world further falsified symbols and again prostituted the new materials not only by a kind of mimicry but by outrage that made our architecture what it is today-servile, insignificant refuse or puerile nostalgia.”21

Dari pemahaman tentang pentingnya penghargaan individu inilah konsepsi Arsitektur Demokrasi Frank Lloyd Wright lahir. Sebuah pemahaman yang berusaha merefleksikan kehidupan bernegara dan sistem politik kerakyatan ke dalam Arsitektur.

Hal lain yang juga banyak mendapatkan perhatian dari Wright dalam konteks Arsitektur dan sistem kenegaraan adalah apa yang dia katakan sebagai identitas sebuah bangsa. Pada saat itu di Amerika banyak arsitek begitu gandrung dengan aliran Revivalisme dan Ekletik yang berusaha menghidupkan aliran Klasik, Yunani atau Romawi ke dalam arsitektur kontemporer ketika itu.

Dalam pandangan Wright hal ini merupakan sebuah kebodohan dan kesalahan yang sangat besar, karena suatu upaya penjiplakan tidak akan menghasilkan sebuah karya arsitektural yang bermutu (pada awalnya mungkin terlihat bagus, namun tanpa “Sprit of

Time” dan “Spirit of Place”, ia akan membawa masalah yang kronis dan serius) dan

yang terpenting adalah ia tidak mencerminkan identitas dan kepribadian suatu bangsa.

“The truth is, we need originality more than it was ever needed to make good our claim to democratic freedom. Why can’t we be honest about it? If one must steal it-steal it. Take it straight! Why fake it and spoil it?”22

“No great Architecture can arise from us based upon the expedient use of the ancient city.”23

Dalam pandangan Wright, akan lebih positif jika kita memiliki identitas tersendiri walaupun tidak terlihat terlalu hebat, namun setidaknya itu identitas kita, yang dengannya kita boleh berbangga dan dengan sebuah eksplorasi dan eksperimen yang cukup pada akhirnya akan mampu menghasilkan sebuah Arsitektur yang berkualitas.

Sebagaimana Sullivan ketika mengkritik tentang penggunaan tipologi Romawi untuk bangunan sebuah bank (Lihat Gambar 4),

21

Wright, Frank. Lloyd, Genius and Mobocracy, hal 12.

22

Wright, Frank Lloyd, Genius and Mobocracy, hal 19.

23

(8)

....Of course you and I know well enough that the reason why the bank building an imitation Roman temple is because it is easy and cheap to make that sort of thing – the people at large do not know it... , is the pseudo-Roman temple were for any one thing American it must, ipso facto, be good for anything and everything American, because American means American, and expresses the genius of the people. But Roman does not mean American, never did mean American, never can mean American. Roman was Roman. American is, and to be, American. The architect should know this without our teaching, and I suspect that he does know it very well in his unmercenary moments. The public would know it instinctively if they were not continually bamboozled and wheedled by architect and thus bereft or their sense of fitness; and so could become free to regard the architect in any other light than his self-made one of peddler on fashions.24

Wright pun banyak mengkritik bangunan-bangunan di Amerika yang dalam pandangannya lebih merupakan langkah mundur dan sama sekali tidak mencerminkan ide tentang apa itu Amerika.

Aspek lain yang juga menjadi perhatian dari Wright adalah masalah kebebasan dan kekuasaan dari rakyat secara keseluruhan diatas kepentingan, sebuah prinsip dasar dari Demokrasi itu sendiri. Kebebasan individu untuk berkreasi, kebebasan dan hak dari setiap orang untuk dihargai sebagai individu dengan segala implikasinya baik dalam kebebasan berserikat maupun kehidupan bernegara.

“When democracy triumphs and builds the great city, no man will live as a servile or savage animal; holing in or trapped in some cubicle on an upended extension of some narrow street. Withstanding all this passing danger to him-the free man will again live free: him-the human biped which him-the best of him always dreamed of being! Life and love as noble leaders of our brave social experiment.”25

Frank Lloyd Wright dan Profesional Arsitek yang Bermoral

Satu hal yang menjadi banyak perdebatan dimana di dalamnya terdapat banyak masalah, adalah apa yang disebut sebagai kode etik dan hubungan profesional dari profesi yang bernama arsitek. Pembahasan ini sangat penting karena berhubungan dengan pengaplikasian dari sebuah hal yang prinsipil dan idealis dalam sebuah realitas kehidupan profesi.

Wright sebagaimana yang kita temukan dalam tulisan-tulisannya meletakkan hubungan dengan Tuhan (aspek religius) sebagai bagian dari profesi Arsitek. Hal ini merupakan sebuah aspek yang sangat mendasar dan fundamental karena derivasi darinya sangat signifikan dan menjadi sendi dasar dari profesi ini. Ketika kita menjadikan agama sebagai bagian dari sebuah profesi praktis berarti kita berbicara tentang pengaplikasian dari sebuah nilai-nilai idealis religius ke dalam sebuah sistem pragmatis dari kondisi riil profesi tersebut.

Penggunaan aspek religius ini pada akhirnya mempengaruhi bagaimana pola pikir, metode bertindak dan respon positif dari arsitek sebagai profesi dalam menghadapi masalah-masalah keprofesiannya. Salah satu masalah yang paling penting dan

24

Sullivan, Louis, Kindergarten Chats and Other Writings, hal 39

25

(9)

fundamental dari profesi ini adalah bagaimana hubungan seorang arsitek dengan kliennya. Hal ini merupakan sebuah aspek yang sering menimbulkan sebuah masalah. Dalam banyak kasus, arsitek akhirnya lebih merupakan orang yang menjual dirinya kepada kliennya. Ia secara membabi-buta mengikuti secara mentah-mentah apa yang dikehendaki oleh kliennya, untuk kasus rumah pribadi mungkin masalah ini dapat kita terima namun dalam kasus bangunan public (sebut saja kasus pembangunan masjid di Malaysia)26 tentu saja masalah ini menjadi sebuah masalah serius yang jelas memerlukan sebuah penanganan dan pandangan yang komprehensif. Frank Lloyd Wright sangat menentang para arsitek yang menjual dirinya demi memuaskan keinginan kliennya. Hal ini dapat kita lihat dari percakapan antara Wright dan Cecil (sahabat akrabnya) berikut ini:

“ Whom are you going to build homes for? If you go against their wishes and try to give them what you think right and not what they think they want?”

“ That’s just where a wise creator must come in, cecil. I won’t need but one man in ten thousand to work for-even one man in a hundred thousand would keep me more than busy all my life, because that man will need me as much as I need him. He will be looking for me.”27

Adalah benar bahwa dengan kemampuannya dari segi finansial seorang “Owner” dapat mendikte seorang arsitek sebesar apapun, karena memang dari merekalah seluruh pemasukkan sang arsitek berasal. Namun di sisi lain kita juga tidak dapat mengabaikan bahwa akan ada banyak orang yang menggunakan bangunan tersebut karenanya kita, sebagai arsitek tidak dapat seenaknya membuat sebuah bangunan apalagi jika ternyata motif dari si arsitek hanya dalam upaya menambah komisi yang ia terima.28

Masalah tanggung-jawab pribadi ini menjadi sebuah isu yang senantiasa disampaikan oleh Frank Lloyd Wright. Bahwa seorang arsitek bertanggung-jawab terhadap bangunan yang dihasilkannya dan sebuah bangunan tidak dapat berbohong! Ia akan berbicara tentang apa yang melatar-belakangi pembangunannya. Karenanya jika kita sebagai seorang arsitek menghasilkan sebuah bangunan yang buruk dan mengabaikan tanggung-jawab terhadap masyarakat. Pertanyaan besar tentang konsistensi dan keprofesionalitasan kita sebagai arsitek akan senantiasa ditanyakan kepada kita.

Frank Lloyd Wright dan Ide tentang Pendidikan yang Progresif

Dari beberapa tulisan yang sudah dihasilkannya, masalah yang juga menjadi titik perhatian dari Frank Lloyd Wright adalah apa yang saya definisikan sebagai ide tentang pendidikan yang progresif. Pemikiran-pemikiran ini menunjukkan bagaimana perhatian Wright terhadap dunia pendidikan sebagai sebuah pencetak arsitek-arsitek yang memiliki pemahaman tentang nilai-nilai kemanusiaan, moral dan berkelanjutan.

“ What is education without enlightenment? Is mere conditioning. And what is mere conditioning mass ignorance, the poisonous and poisoning end of what we call civilization? There is nothing more dreadful, more dangerous, nothing to be more feared in this world, than plain or fancy ignorance. We can see this

26

Banyak pembangunan Masjid besar di Malaysia tidak lagi memperhatikan situasi dan kondisi dari tempat dimana masjid tersebut dibangun namun lebih merupakan penjiplakan dari Masjid di Timur Tengah yang kesemuanya berakar dari kehendak klien-Lihat Manuskrip Tafsir hadith oleh Dr Tajuddin Mohd Rasdi tanggal 30 April 2003.

27

Wright, Frank Lloyd, an autobiography, hal 85.

28

(10)

today in the drift toward conformity. We can see this today in the drift toward conformity. We can see it in the education of modern mass-society.”29

Pemikiran-pemikiran ini akan sangat berguna bagi dunia pendidikan arsitektur kita. Dengan sebuah konversi teori dan pemahaman yang cukup, kita akan mampu menciptakan sebuah sistem pendidikan yang integral, menyeluruh, lengkap serta relevan untuk berbagai situasi dan kondisi.

“ Education should consist in learning to recognize its integrity and this indigenous character wherever found people or things”.30

Walaupun Taliesin sebagai sekolah sekaligus studio kerja dari Wright banyak dikritik karena tidak menghasilkan satu pun arsitek yang berkualitas (dalam arti kata se-kualitas Frank Lloyd Wright).

“The Taliesin Fellowship has often been criticized on two grounds: first, because (it is alleged) the young people who came to study there were, in effect, exploited and forced to do all sort of housekeeping and farm work, rather than learn something about Architecture. And second the fellowship has been criticized because it did not produce any very talented “Wrightian” architects.”31

Namun mempelajari teori-teori dan metode pelajaran beliau tetaplah merupakan suatu hal yang esensial. Memang penilaian terhadap keberhasilan ataupun kegagalan ini menjadi suatu hal yang relatif dan memerlukan parameter dan indikator yang jelas. Namun tanpa mempermasalahkan parameter dan kualitas dari hasil didikan Wright, ada sisi-sisi moral dari pendidikan Frank Lloyd Wright yang memberi pelajaran pada kita akan makna hakiki dari arsitektur sekaligus bagaimana interaksi aspek ini dalam konteks dan lingkungan yang lebih luas.

Ide-ide Frank Lloyd Wright dalam dunia pendidikan diantaranya, yang pertama pendidikan yang menjadikan semangat bertanya dan mencari tahu sebagai jantung pemikirannya. Pendidikan haruslah menjadi sebuah bagian dari proses pembelajaran yang merangsang semua elemen akademik untuk membudayakan rasa ingin tahu dan mengembangkan atmosfer akademis. Kebiasaan mempertanyakan sesuatu menjadi sebuah elemen yang sangat penting karena dari dalamnya lah sebuah ilmu tidak hanya didapat, namun dikembangkan.

Dan dalam proses diskusi inilah kita mendapatkan sebuah kerangka perjuangan demi kebaikan orang banyak. Namun bagaimana dengan pendidikan sekarang, sebagaimana dikatakan oleh Wright:

“This weed goes to seed! Children keep on coming and growing. Now herded by the thousand in school built like factories, run like factories: all systematically turning out herd-struck teenagers like machine turning out shoes. In knowledge-factories.”32

29

Wright, Frank Lloyd, Truth Agains the World, hal 269.

30

Wright, Frank Lloyd, The Living City, hal 47.

31

Blake, Peter, Master Builders, hal 353.

32

(11)

Kita lebih mementingkan untuk menghasilkan pelajar-pelajar dengan spesifikasi tertentu (seperti sepatu) daripada pelajar yang berpikir33.

Yang kedua adalah pemahaman untuk melihat sesuatu di belakang dari suatu peristiwa, benda atau korelasi dari tanda-tanda. Untuk melihat ke dalam bukan melihat pada! Pemahaman ini sangat penting karena darinyalah integrasi dan keluasan makna dan peranan dari sebuah ilmu dapat kita capai . Dari semangat melihat ke dalam sebuah peristiwa inilah pada akhirnya kita mendapatkan sebuah gambar yang utuh dari apa itu arsitektur.

“True education is a matter of seeing in, not merely seeing at. Seeing in means seeing nature. Now when popular education uses the world nature, it may mean the elements; it may mean animal life; it means pretty much from the; waist down. Whereas nature with a capital “N”- I am talking about the inner meaning of the word Nature-is all the body of god we’re ever going to see. It is practically the body of God for us. By studying that nature we learn who we are, what we are, and how we are to be.”34

Yang ketiga adalah sebuah pemahaman bahwa segala ilmu yang kita dapat haruslah dapat diaplikasikan dan berguna baik secara langsung maupun kemudian bagi masyarakat secara umum. Tanpa sebuah orientasi dan target yang jelas untuk berorientasi kepada masyarakat, ilmu hanyalah menjadi milik elitis dari suatu kelompok masyarakat saja. Kita hanya akan mendapatkan sekumpulan orang pintar yang memperbudak orang banyak demi keuntungan pribadinya. Tanpa sebuah pemahaman yang positif ini manusia akan kehilangan hakikat dasarnya sebagai manusia.

Frank Lloyd Wright dan Ide tentang Kota yang Ideal

Di akhir masa kehidupannya Frank Lloyd Wright menghasilkan sebuah pemikiran tentang sebuah kota yang ideal. Ide ini kemudian lebih dikenal sebagai “Broad Acre City”. Ide tentang Broadacre city merupakan sebuah anti tesis dari ide tentang sebuah kota yang tersentralisasi atau yang biasa disebut sebagai Radian City.

“Centralization is centripetal, whether as city, factory, school or farm; it has not met the rising spirit of democracy-freedom of the individual as individual to work with-for centralization is by nature against it.”35

Ide tentang kota yang ideal ini juga merupakan sebuah respon atas hilangnya nilai-nilai agama, moral dan terutama sekali nilai-nilai kemanusiaan dari kehidupan orang-orang modern (Lihat gambar 5 & 6). Revolusi Industri di Eropa memiliki sebuah implikasi yang sangat besar kepada manusia. Penemuan mesin uap dan akhirnya computer dan robot telah banyak mengubah perilaku dan merombak sendi-sendi dasar dari interpretasi seorang manusia terhadap makna dan arti kehidupan. Ide tentang kemutlakan materi sebagai sebuah bagian utama dari kehidupan menghilangkan sisi-sisi kemanusiaan dan aspek ruhiah dari manusia.

Perubahan pola pikir dan persepsi masyarakat ini merupakan suatu perubahan yang sangat revolusioner. Pemikiran-pemikiran sekuler yang mengesampingkan hal-hal yang bersifat ketuhanan mendapatkan sebuah landasan berpijak. Pemikiran-pemikiran

33

Lihat Manuskrip Tafsir hadith oleh Dr Tajuddin Mohd Rasdi tanggal 30 April 2003.

34

Wright, Frank Lloyd, Truth Against the World, hal 269

35

(12)

materialistic ini pada akhirnya mengabaikan bahkan memberi resistensi terhadap banyak hal yang bersifat immaterial termasuk agama dan nilai-nilai moral. Sebenarnya ide dan pemahaman ini sudah dimulai ketika Plato menyatakan bahwa inti dari sebuah ilmu pengetahuan ada di otak bukan pada hati sebagaimana para filosof Yunani sebelum ia katakan. Namun barulah pada masa renaissance ia mendapat sebuah tempat yang cukup stabil, diterima dan akhirnya mengubah sendi-sendi dasar dari pemahaman sebagian besar ilmuwan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Implikasi dari pemikiran ini sangat besar! Orientasi dari pemikiran-pemikiran yang materialistik akan melahirkan sebuah pemahaman yang pragmatis, orang baru melakukan kontak sosial ketika dalam pandangannya hal tersebut membawa manfaat kepada dirinya. Sistem nilai dan tatanan moral akan menjadi sebuah hal yang sangat kabur, karena orientasi pemahamannya akhirnya diletakkan pada interpretasi dari masing-masing individu.

Dalam pandangan Wright hal ini tidak boleh terjadi. Kenapa? Karena kita manusia! Dan yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain adalah tingkat kesadarannya. Anda mungkin dapat melatih seekor monyet untuk melakukan sesuatu namun perlu kita sadari bahwa seekor monyet tidak memahami dan tidak akan memahami apa sebenarnya yang ia lakukan. Hanya sebuah kesadaran lah yang menyebabkan manusia kembali kepada hakikat dasarnya sebagai manusia. Kehidupan modern sebagaimana yang diberikan oleh Revolusi Industri telah merampas hal ini. Mesin-mesin produksi telah memaksa manusia untuk mengerjakan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak memahami apa yang sebenarnya ia lakukan. Inilah persepsi dasar yang menjadi pijakan dari ide Frank Lloyd Wright tentang kota yang ideal.

Turunan dari pemahaman dasar ini memiliki implikasi yang jelas-jelas berbeda dari pemahaman tentang revolusi Industri. Pemahaman dasar ini membawa seorang manusia kepada sebuah pengertian bahwa setiap individu sebagai manusia adalah seorang personal yang sangan berharga dengan segala keunikan yang ada di dalamnya. Pemahaman ini membawa manusia kepada penghargaan yang tinggi terhadap setiap individu. Dari sinilah pada akhirnya Frank Lloyd Wright menolak secara tegas segala upaya yang berusaha menstandarkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kemampuan personal dari seorang makhluk yang namanya manusia. Setiap individu harus diperlakukan sebagai individu bukan sebagai bagian dari suatu kumpulan atau kelompok tertentu. Hal inilah yang kemudian melahirkan konsepsi tentang pemilikan individu dan penghargaan terhadap karya seorang individu.

Namun di luar pemahaman itu semua Frank Lloyd Wright termasuk orang yang menolak, ketika pemahaman tentang penghormatan terhadap kemampuan seorang individu tadi berkembang menjadi sebuah pemakaman individualistik. Seorang manusia tetap harus berkontribuasi dan berkiprah dalam kehidupan masyarakatnya. Karena dari situlah pada akhirnya kehidupan seorang manusia menjadi bermakna. Hal ini kembali menegaskan konsepsi kesatuan antara aspek agama, moral dengan sifat materialisme dari pemikiran Frank Lloyd Wright sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sekali lagi ia menegaskan bahwa agama dan moral merupakan bagian yang integral dan penting dalam hidup kita.

Kesimpulan

(13)

integral dengan berbagai kajian dari disiplin ilmu yang lain, karenanya untuk memahami Arsitektur secara utuh kita harus melihat latar dan sistem di belakangnya sebagai suatu kesatuan yang integratif.

Lampiran Gambar:

Gambar 1: Ide dari Wright tentang bagaimana seharusnya sebuah tempat ibadah tercermin dari tulisan di depan Unity Temple.

Gambar 2: Eksterior dan interior dari Unity Church, sangat berbeda dengan gereja gothic yang dibuat oleh banyak arsitek ketika itu mencerminkan bahasa arsitektural dan

(14)

Gambar 3: Berbagai bangunan karya Frank Lloyd Wright yang mencerimnkan supremasi dan penghormatan terhadap alam dan lingkungan dimana bangunan tersebut

dibangun.

(15)

Gambar 5: suatu model yang menggambarkan ide Wright tentang broadacre city sebagai sebuah kota yang ideal. Terlihat pembangunan yang dilakukan lebih

merupakan pembangunan horizontal.

(16)

Referensi:

Heinz, Thomas A (1996). Frank Lloyd Wright: Field Study. London: Academy Editions.

Heinz, Thomas A (2002). The Life and Works of Frank Lloyd Wright. Kent: Grange Books Plc.

Hitchcock, Henry Russell (1941). The Nature of Materials. New York: Da Capo Press, Inc.

Hoffman, Donald (1978). Frank lloyd Wright’s Fallingwater: The House and Its History, New York: Dover Publication Inc.

Kaufmann, Edgar J (1989). 9 Commentaries on Frank Lloyd Wright. Massachusetts: MIT Press

Laseau. Paul (1937). Frank Lloyd Wright; Between Principle and Form. New York: Van Nosrand Reinhold.

Nute, Kevin (1993). Frank Lloyd Wright and Japan. New York: Van Nosrand Reinhold.

Pfeiffer, Bruce Brooks (1984). Letters to Architect; Frank Lloyd Wright. California: California State University Press.

Willard, Charlotte (1972). Frank Lloyd Wright: American Architect. New York: The Macmillan Company.

Wright, Frank Lloyd (1943). An autobiography by Frank Lloyd Wright. New York: The Frank Lloyd Wright Foundation.

Wright, Frank Lloyd (1949). Genius and Mobocracy. New York: Horizon Press.

Wright, Frank Lloyd (1957). Truth Against the World. New York: A Wiley-interscience

Publication.

Wright, Frank Lloyd (1957). A Testament. London: Architectural Press.

Wright, Frank Lloyd (1958). The Living City. New York: Horizon Press.

Wright, Olgivanna Lloyd (1966). Frank Lloyd Wright; His Life, His Work, His Words. London: Pitman Publishing.

(17)

Gambar

Gambar 1: Ide dari Wright tentang bagaimana seharusnya sebuah tempat ibadah tercermin dari tulisan di depan Unity Temple
Gambar 3: Berbagai bangunan karya Frank Lloyd Wright yang mencerimnkan  supremasi dan penghormatan terhadap alam dan lingkungan dimana bangunan tersebut
Gambar 5: suatu model yang menggambarkan ide Wright tentang broadacre city sebagai sebuah kota yang ideal

Referensi

Dokumen terkait

Dugaan nilai pemuliaan bobot badan prasapih domba Priangan di (UPTD-BPPTD) Margawati Garut menggunakan animal model BLUP menunjukkan tren genetik yang konstan

Dalam penelitian perilaku informasi ini individu lebih dominan dalam kegiatan pencarian dan penemuan informasi mengingat mereka tidak hanya tergantung pada

Dari pembahasan mengenai definisi dan berbagai dimensi kedua konstruk diatas, dapat disimpulkan bahwa konstruk pembelajaran organisasi berfokus pada aktivitas

Untuk mempermudah dalam analisis data maka peneliti menggunakan software Microsoft Office Excel, digunakan dalam analisis statis dan analisis dinamis guna mengetahui nilai

Hasil penelitian dengan uji hipotesis, uji regresi linear beganda dipeloleh nilai koefisien regresi yang paling besar adalah variabel loyalitas merek, hal ini menunjukan

Penelitian yang telah dilaksanakan ini menggunakan metode deskriftif semata-mata dengan menggunakan pendekatan antropologi dalam kaitannya.. dengan wujud kebudayaan

Instalasi listrik dalam bangunan dan kawasan umumya dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :Instalasi untuk penerangan (instalasi yang mendistribusikan energi listrik untuk

Untuk pengukuran self efikasi, hasil pene- litian secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata efikasi diri sebelum dan sesudah edukasi