• Tidak ada hasil yang ditemukan

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Poli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Televisi sebagai Ruang Publik dalam Poli"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

At the heart of democracy is talk,” demikian Barber (1990: 174). Demokrasi pada hakekatnya adalah perbincangan politik yang didasarkan pada dan untuk mencapai kesepakatan bersama. Bukan sekadar kesepakatan tanpa dasar, tetapi kesepakatan yang berlandaskan kepentingan bersama. Bagi para pengagas demokrasi deliberatif yang melihat partisipasi warga negara sebagai tulang punggung demokrasi, political talk merupakan sebuah keharusan (Barber, 1990; Bohman, 1996), agar tercapai kesepahaman (consensus) terkait model dan cara apa yang terbaik dalam mewujudkan kepentingan bersama (Habermas, 1974).

Dalam demokrasi langsung pada zaman Yunani kuno, proses deliberasi diperankan langsung oleh tiap-tiap warga Athena di polis tanpa perlu mewakilkannya pada lembaga tertentu. Proses tersebut sangat berbeda dalam demokrasi modern. Pada demokrasi sekarang, proses kesepakatan politik bukan hanya diwakilkan, tetapi terjadi secara termediasi. Media massa, khususnya televisi adalah yang utama dalam memerankan proses mediasi tersebut. Televisi bahkan tampil sebagai aktor politik baru dalam demokrasi liberal dewasa ini.

Masalah kemudian muncul ketika media pada hakekatnya tidak dibentuk atas dan untuk mencapai kesepakatan bersama. Media terlebih televisi pada dasarnya didirikan untuk kepentingan privat individu, yaitu: mengejar profit. Televisi dengan sistem dual market-nya(McQuail, 2000), berusaha untuk melipatgandakan kapital pemiliknya. Selain menjual produk media dalam bentuk materi maupun jasa, televisi bertujuan untuk menjual para penontonnya. Pembelinya adalah agen iklan dan perusahan tertentu yang membutuhkan publikasi. Angka-angka hasil surve rating menjadi ukuran bagi kesuksesan ‘pasar ganda’ televisi ini.

Di sisi lain, televisi seperti juga radio berbeda secara struktural dengan media lain. Televisi beroperasi dengan menggunakan frekuensi gelombang

Televisi sebagai Ruang Publik dalam

Politik Demokrasi di Indonesia: Mungkinkah?

Salvatore Simarmata

(2)

radio yang merupakan sumber daya yang terbatas, sehingga penggunaannya perlu diatur. Berbeda dengan televisi, surat kabar dan majalah seperti sekarang ini di Indonesia, tidak perlu diatur secara ketat sebab siapa saja yang punya modal bisa mendirikan media tersebut. Artinya, televisi menjadi lebih rawan terhadap represi kekuasaan lewat intervensi kekuasaan baik dalam bentuk undang-undang, pencabutan izin, maupun tindakan kekesaran, khususnya pada rezim otoritarian.

Tetapi, rezim otoritarian di Indonesia sudah lengser. Lalu, apakah media televisi telah memberi kontribusi yang substantif bagi konsolidasi demokrasi? Apakah dengan tumbangnya rezim otoritarian, media televisi bisa menjadi ruang publik di Indonesia? Dengan sistem demokrasi perwakilan, mungkinkah secara struktural televisi menfasilitasi demokrasi deliberatif di era pemilihan langsung sekarang ini?

Menelisik peran televisi dalam konteks dinamika politik Indonesia merupakan bagian dari upaya konsolidasi demokrasi itu sendiri. Sebab, pertama, demokrasi tidak mungkin hidup tanpa media yang demokratis, otonom, dan plural. Kedua, munculnya gejala industrialisasi politik (Kompas, 15/06/2010). Dewasa ini politik bukan lagi persoalan politik semata. Politik telah menjadi sebuah korporat yang ditandai dengan munculnya kecenderungan industrialisasi politik. Proses pemilihan politik (nasional dan lokal) telah sepenuhnya melibatkan banyak pihak dan kepentingan, seperti konsultan politik, lembaga survei, dan sponsor, di mana citra menjadi yang utama daripada program dan ideologi kandidat. Sejak pemilu langsung tahun 2004, serangan imaji-imaji iklan lebih mendominasi layar kaca ketimbang diskusi hangat tentang rencana strategi implementasi agenda politik yang feasible. Gejala ini menempat-kan televisi sebagai alat politik sempurna untuk membangun citra, dan hubungan simbiosis mutualistik antara keduanya pun terbentuk.

(3)

partai sebagai pemilik televisi tertentu, sebuah paralelisme politik yang bisa berbahaya bagi demokrasi.

Sesungguhnya, bukan hanya rakyat biasa, para elit politik juga sangat tergantung pada informasi yang disediakan oleh media lewat pemberitaanya. Hanya dengan informasi yang cukup, deliberasi politik baik oleh para politisi, pengamat, akademisi, dan rakyat biasa dapat terwujud secara berkualitas. Sejalan dengan itu, televisi sebenarnya menggunakan fasilitas publik, yaitu gelombang frekuensi yang dikelola oleh negara. Maka bentuk pertanggung-jawaban publik tersebut hendaknya dapat diwujudkan lewat pelayanan televisi dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk membangun komunitasnya, memperbaiki kehidupannya, serta terdorong untuk membela nilai-nilai demokrasi demi kemajuan bangsanya.

Media dan Demokrasi

Posisi media dalam demokrasi telah lama dikaji dalam konteks komunikasi politik, khususnya yang berkaitan dengan media effect (a.l. Lasswell, et al., 1980; McNair, 2003, Crigler, 1999). Di sisi lain teori-teori klasik telah dikembangkan untuk melihat bagaimana media menjadi variabel dependen atas sistem politik, khususnya di negara-negara otoriter (Siebert, et. al., 1963; Hachten, 1989; McQuil, 2000). Dalam negara otoriter misalnya, media ditempatkan sangat lemah dan menjadi bagian dari alat propaganda negara. Tidak ada tanda-tanda perbincangan politik secara terbuka di sana.

Dari kedua tinjauan tersebut dapat ditarik benang merah hubungan antara media dan demokrasi merupakan sebuah hubungan timbal-balik. Resiprokalitas hubungan tersebut dikembangkan oleh Mughan dan Gunther (2000) untuk mengkaji media dalam demokrasi lewat pendekatan mikro dan makro. Setelah melihat kajian yang sudah disebutkan sebelumnya, pendekatan ini bukanlah sesuatu yang baru, tetapi integratif. Sebuah pendekatan integratif tentu akan mampu membaca fenomena secara mendalam dan komprehensif. Di samping itu, diperlukan konsep-konsep kekinian untuk mengambarkan dinamika terbaru atas hubungan media dan politik dalam konteks demokrasi liberal dewasa ini.

(4)

penonton (viewership). Sementara pendekatan mikro lebih fokus pada investigasi efek komunikasi politik pada level individual, biasanya pada musim kampanye menjelang pemilu (Mughan dan Gunther, 2000). Tetapi dalam level makro, Gunther dan Mughan (2000) juga melihat munculnya faktor ekonomi yang mempengaruhi posisi media dalam demokrasi dalam bentuk liberalisasi ekonomi dan liberalisasi media.

Pendekatan filosofis dalam mengembangkan teori pers oleh Siebert, et al. (1963), teoritisasi dinamis dari Hachten (1989), dan kategorisasi model dari Hallin dan Mancini (2005) merupakan kajian level makro. Berikut digambarkan pemodelan teoritis tersebut:

Persamaan di antara model di atas adalah: politik merupakan variabel pengaruh bagi keberadaan media. Konsep Hachten (1989) tidak jauh berbeda dengan pemikiran klasik dari Siebert et al. (1963). Kebaruan pada Hachten adalah munculnya model baru yang dipengaruhi oleh pemanfaatan media sesuai dinamika masyarakatnya, seperti model pembangunan. Pada kesempatan kali ini, kita akan menfokuskan pembahasan pada model tipe demokratis. Tujuan dari internalisasi model ini adalah untuk melihat faktor-faktor makro yang masih relevan dalam melihat bagaimana media di Indonesia berperan/tidak berperan bagi pengembangan demokrasi sebagaimana mestinya. Dari model-model di atas, pemikiran Hallin dan Mancini (2005) akan dijadikan sebagai dasar teoritis.

No Tokoh Faktor Makro Model Sistem Media

Demokratis Non-Demokratis

Tabel 1: Faktor Pengaruh Level Makro pada Media1

(5)

Hallin dan Mancini (2005) mengusulkan tiga model media dalam demokrasi dengan berpijak pada empat indikator empiris, yaitu: (1) Pertumbuhan pasar media dilihat dari tingkat sirkulasi media; (2) Political Parallelism dimana antara media dan partai politik memiliki kemiripan. secara ideologis; (3) Profesionalisme wartawan dan kinerja jurnalistiknya; dan (4) Tingkat intervensi negara terhadap media. Berdasarkan empat kriteria tersebut, Hallin dan Mancini menemukan tiga bentuk model media, seperti terlihat pada tabel di atas.

Jika kita korelasikan antara keempat indikator ini dengan sistem media ideal, maka akan terbentuk empat hipotesis berikut: pertama, semakin tinggi tingkat pertumbuhan pasar media, maka makin independenlah media tersebut terhadap pengaruh dari luar khususnya negara. Media yang sukses secara ekonomi akan lebih bebas dari intervensi politik, ketimbang media yang kurang sehat secara bisnis. Media yang independen adalah pilar penting bagi demokrasi. Kedua, keragaman ideologi politik di masyarakat akan lebih baik jika juga terrepresentasi dalam media. Walaupun indikator ini mengandung paradoks tersendiri yang nanti akan dijelaskan. Dalam konteks ini, sejauh keragaman tersebut masih dalam batas nilai-nilai demokrasi dan koridor hukum. Ketiga, semakin tinggi profesionalisme wartawan maka semakin bagus kinerja media tersebut. Profesionalisme ini biasanya ditandai oleh kode etik, organisasi jurnalis, perlindungan terhadap jurnalis, prinsip jurnalisme seperti objektivitas, dan lain-lain. Dan keempat, makin rendah intervensi negara terhadap media, makin bagus bagi peran media dalam demokrasi. Keempat proposisi tersebut menjadi pintu masuk untuk melihat bagaimana peran media dalam demokrasi, termasuk di Indonesia.

(6)

pakaian, kesehatan, tetapi juga dari aspek kebebasan untuk berkarya, berkumpul, dan mengembangkan kesejahteraan masyarakatnya.

Realitasnya, politik Indonesia masih jauh dari cita-cita tersebut. Krisis demokrasi perwakilan sebagaimana disinggung oleh Barber (1990) menguap di tengah disorientasi lembaga-lembaga politik di tanah air. Ketika realitas politik menunjukkan gambar yang buram, media menjadi bagian dari struktur yang tidak mencerdaskan tersebut. Apa yang kita saksikan di televisi akhir-akhir ini lebih banyak berita bersifat elitis. Mulai dari pergantian sekretaris jenderal partai, krisis koalisi, hingga konflik legislatif-eksekutif. Ketika hari berganti, muncul berita tentang kasus korupsi para pejabat negara yang makin melukai rasa keadilan. Di tengah kesulitan ekonomi masyarakat, televisi menyajikan tontonan yang membuat masyarakat semakin merasa dipinggirkan. Krisis demokrasi perwakilan karena ulah para elit ini membuat masyarakat makin apatis terhadap politik. Konsekuensinya, warga negara semakin jauh dari keterlibatan politik. Di satu sisi karena ulah elit politik, di sisi lain media tidak memberikan informasi yang substantif berkaitan dengan kepentingan mereka. Pada akhirnya, rendahnya partisipasi politik berdampak buruk pada kualitas demokrasi.

Dalam tataran inilah televisi semakin mendesak untuk direvitalisasi, demi menegakkan demokrasi. Media televisi mestinya dapat lebih berperan tidak hanya sebatas pengawas (watch dog), tetapi sebagai ruang publik ideal. Dengan kata lain televisi mestinya tidak hanya sebatas sarana, melainkan juga sebagai ruang untuk deliberasi demokratis. Dalam ruang publik perlu ditegakkan pluralitas pikiran dan partisipannya, sehingga media televisi tidak berubah menjadi alat propaganda elitis yang pervasif. Alih-alih mencerdaskan, televisi bisa terjerumus menjadi aktor hegemoni kultural. Paletz dan Etnman (1981: 194) menyatakan bahwa: By granting the elites substantial control over the content, emphases, and flow of public opinion, media practices diminish the public’s power. Eliminasi atas publik ini bisa disengaja oleh media, bisa juga tidak disadari.

(7)

orang-orang yang tidak hanya membantu para ahli untuk saling berkomunikasi, tetapi juga mengumpulkan, menjelaskan, memperdebatkan, dan menyebarluaskan informasi dan ide-ide terbaik tentang kebijakan publik sehingga dapat ditangkap oleh warga masyarakat biasa (Page, 1996: 5).

Warga negara yang well-informed akan membuat rational political choices. Pilihan politik rasional penting bagi demokrasi, bukan hanya karena landasan pembuatan keputusannya tetapi juga karena dengan demikian masyarakat terdorong untuk berpartisipasi. Partisipasi politik yang tinggi niscaya menciptakan budaya politik yang kuat. Barber (1990) menyebutnya: strong democracy. Sebagai antithesis terhadap thin democracy, Barber menegaskan: Strong democracy is defined by politics in the participatory mode: literally it is self-government by citizens rather than representative government in the name of citizens. Active citizens govern themselves directly here, not necessarily at every level and in every instance, but frequently enough and in particular when basic policies are being decided and when significant power is deployed. Self-government is carried on through institutions designed to facilitate ongoing civic participation in agenda-setting, deliberation, legislation, and policy implementation (in the form of ‘common work’” (Barber, 1984: 151). Televisi menjadi salah satu dari berbagai institusi yang berfungsi untuk menfasilitasi partisipasi warga dalam pembentukan agenda politik, deliberasi, legislasi, dan implementasi kebijakan politik. Pekerjaan ini ditempatkan sebagai common work, sebagai dasar terbentuknya apa yang disebut Gamson sebagai collective action frames. Pusat dari demokrasi partisipatif adalah warga negara (the citizens). Maka demokrasi deliberatif yang menempatkan partisipasi warga negara sebagai pilar utama dalam sistem politik sangat relevan dengan kehadiran teknologi media baru. Demokrasi deliberatif, menurut Bohman (1996) secara teoritis memiliki empat ciri, yaitu: (1) menekankan pentingnya deliberasi untuk mencapai keputusan politik; (2) menolak reduksi politik dan pengambilan keputusan pada rasionalitas instrumental-strategis; (3) bersifat proseduralis; dan (4) menjungjung universalitas.

(8)

merupakan “rumah” bagi konstestasi berbagai wacana, di mana pada proses komunikasi tersebut harus dipenuhi tiga syarat, yaitu: mampu merangsang pemikiran reflektif, non-koersif, dan mampu menghubung-kan pengalaman individual/kelompok dengan sebuah prinsip yang lebih umum (Dryzek, 2003: 9-10).

Sejalan dengan itu, Bohman (1996) menyebutkan bahwa proses deliberasi dapat berhasil jika dipenuhi tiga syarat, yaitu: (1) tidak ada dominasi dalam proses deliberasi di mana ada seseorang atau kelompok yang memaksakan kekuasaannya untuk kepentingan tertentu; (2) adanya kesetaraan di mana setiap warga negara memiliki akses yang sama terhadap proses pengambilan keputusan; dan (3) deliberasi akan bersifat demokratis ketika dilakukan secara publik.

Media televisi memiliki kualitas yang sangat tepat mengembangkan model demokrasi deliberaif ini. Dua bentuk genre berita televisi yang paling tepat untuk demokrasi delibertif adalah television debate dan current affairs, karena dimungkinkannya terjadi dialog. Sifat mediumnya yang mampu menghadirkan pesan audio-visual menjadi kekuatan tersendiri ketika ditayangkan secara live untuk sebuah acara dialog. Diskusi “interaktif” yang menghadirkan berbagai kalangan, mulai dari pemerin-tah, warga masyarakat, akademisi, LSM, dan lain-lain, akan menciptakan kesepahaman (mutual understanding) yang lebih komprehensif. Secara struktural, pada Bagan 1 digambarkan proses interaksi tersebut

Ruang publik (public sphere) merupakan sebuah ruang yang bebas dari tekanan kekuasaan negara dan ekonomi, di mana warga negara melakukan pembicaraan politik atau deliberasi guna mewujudkan suatu kesepahaman bersama terkait dengan kepentingan umum yang lebih luas. Konsep dasar ruang publik ini umumnya didasarkan pada pemikiran Jurgen Habermas. Habermas mengungkapkan beberapa defenisi tentang ruang publik tersebut sebagai berikut: “The public sphere is a realm of our social life in which something approaching public opinion can be formed (Habermas 1974: 49); private persons making public use of their reason (Habermas 1989: 27); populated by private people gathered together as a public and articulating the needs of society with the state (hal.176).”

(9)

3. Media Televisi: Kapital vs Publik

Pada penjelasan sebelumnya telah diuraikan bahwa faktor makro politik lebih dominan dalam menentukan ruang gerak media. Faktor struktural tersebut terdiri dari peraturan pemerintah dan intervensi negara terhadap media. Pengekangan terhadap media akibat struktur politik ini umumnya terjadi di negara-negara otoriter, di mana kebebasan menjadi barang langka.

Namun ketika kebebasan diraih, apakah media menjadi sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi? Sayangnya jawabannya: tidak! Mughan dan Gunther (2000) menengarai bahwa liberalisasi yang pada awalnya meruntuhkan rezim otoriter, kemudian menumbuhkan liberalisasi media, pada akhirnya media tidak serta-merta menunjukkan prinsip-prinsip

The State/Government/Political Establisement

Citizens TV

debates

Public organizations Terrorist organizations

Current Affair

Business Pressure

groups Media

Political Parties Public opinion

Trade Unions

Editorials Features

News

(10)

demokrasi. Media dalam era kebebasan (demokrasi) disandera oleh kekuatan yang dulu membebaskannya, yaitu kekuatan liberalisasi ekonomi. Kapitalisme sebagai dasar liberalisasi mengeser media tidak lebih dari sekadar pelipatgandaan modal.

Dalam prinsip pasar bebas, sebagai mesin penggerak kapitalisme, media tidak lagi berupaya untuk memenuhi apa yang dibutuhkan oleh ‘publik’. Upaya-upaya yang dilakukan oleh media mulai dari komodifikasi, spasialisasi, hingga strukturasi, dimaksudkan untuk mengejar keuntungan belaka (Mosco, 1996). Media lebih terdorong untuk menyediakan informasi yang paling banyak dicari, lepas dari diperlukan atau tidak oleh masyarakat. Media lebih berorientasi mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga ekonomi. Profit menjadi prioritas utama dibandingkan fungsi normatif yang harusnya dipengang oleh media. Pada saat yang sama akses masyarakat terhadap media rendah terlebih untuk menyuarakan aspirasi mereka.

Masyarakat juga kurang bisa memilih informasi yang lebih sesuai dengan kepentingannya, karena patokan utama yang dipegang oleh media adalah melayani kebutuhan mayoritas jenis informasi yang diinginkan dalam kebijakan free-market information. Jenis informasi yang tersedia (supplied) pada akhirnya adalah informasi yang paling banyak dicari (demanded), lepas dari bermanfaat atau tidak bagi masyarakat. Akibatnya, deliberasi demokratis lewat media lama niscaya terkikis oleh dorongan kepentingan ekonomi media. Dalam situasi ini, Jurgen Habermas (1989) pernah membongkar bahwa media yang mestinya berperan sebagai ruang publik, telah ‘mengidap penyakit’ refeodalisasi ruang publik.2 Ruang partisipasi politik lewat media akhirnya tertutup rapat. Penjajahan ruang publik membuat oleh kukuatan luar yang menjadi pengerak nafas ruang publik tersebut, membuat sesuatu yang publik (masalah politik misalnya) menjadi tunguk pada logika yang ‘privat’. Colonization in this sense thus means the almost unconditional surrender of politics … to the logic of the media system (Meyer & Hinchman, 2002: 57).

(11)

sebagai “institusi sosial”, bukan media corporation misalnya. Institusi sosial mengindikasikan adanya dimensi sosiologis atas keberadaan media tersebut. Tanpa interaksi yang produktif antara media dan masyarakat, maka media tersebut tidak akan eksis. Di samping alasan sosiologis ini, ada alasan legal-politis yang lebih tegas untuk mendorong agar media televisi menjungjung kepentingan publik.

Televisi di mana pun, termasuk di Indonesia menggunakan fasilitas publik, yaitu gelombang siaran yang terbatas. Sumber daya tersebut diserahkan kepada negara untuk dikelola demi kesejahteraan masyarakat. Pada butir (b) bagian pertimbangan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dituliskan: bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 (penekanan oleh penulis).

Sayangnya, kinerja media televisi di Indonesia terlebih 10 tahun terakhir sangat dikendalikan oleh keseragaman, eksploitasi sisi human interest, irrasionalistas, dan tubuh yang seksi. Semuanya demi meningkatkan tingkat viewership. Singkat kata, the economy reigns! Dalam situasi seperti itu, pemerintah sebenarnya harus turun tangan.

Negara sebagai bentuk kristalisasi kepentingan publik harus menjamin terwujudnya prinsip kepublikan tersebut.3 Bentuk yang paling lazim adalah penegasan fungsi pengawasan, serta menjalankan pengaturan pemakaian gelombang sebagaimana telah diatur Undang-Undang. Fungsi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang mewakili kepentingan publik perlu mengandung sifat mengikat, bukan hanya fungsi pengawasan normatif saja. Kemudian, evaluasi penggunaan gelombang siaran pasti efektif untuk ‘meluruskan’ kepentingan publik dalam televisi. Pasal 34 ayat 1 butir b, UU No. 32 Tahun 20002 Tentang Penyiaran berbunyi demikian: “Izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu 10 tahun”; ayat 6, berbunyi: “Izin penyelenggaraan penyiaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan tidak diperpanjang kembali”. Apakah mekanisme kontrol ini sudah dijalankan, tampaknya kita masih harus menunggu political guts dari KPI.

(12)

menjadi bagian dari incumbent sangat berbahaya terhadap terwujudnya televisi sebagai ruang publik. Tanda-tanda buruk lainnya adalah ketika kekuatan politik dan kekuatan ekonomi, menyatu di dalam kepemilikan media televisi seperti sekarang ini. Sehingga acap kali televisi tidak lebih dari sekadar alat personal marketing kalau bukan corong propaganda pemiliknya.

Politik dan Televisi di Indonesia

Sebelumnya saya telah menegaskan ada empat pintu masuk untuk mengukur televisi sebagai ruang publik dalam demokrasi, yaitu: pertama, semakin tinggi tingkat pertumbuhan pasar media, makin independenlah media tersebut terhadap pengaruh dari luar. Kedua, keragaman, atau saya menyebut: pluralitas ideologi politik di masyarakat akan lebih baik jika juga terrepresentasi dalam media. Ketiga, semakin tinggi profesionalisme wartawan maka semakin bagus kinerja media tersebut. Dan keempat, makin rendah intervensi negara terhadap media, makin bagus bagi peran media dalam demokrasi.

Indonesia sendiri tidak punya pengalaman yang ‘sehat’ tentang televisi dalam demokrasi. Artinya belum ada sebuah periode di mana politik dan media saling bekerja sama secara sinergis untuk memajukan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, walaupun awalnya televisi merupakan hasil pilihan politik dari pemerintah. Televisi pertama Indonesia, TVRI yang didirikan oleh Soekarno tahun 24 Agustus 1962 yang awalnya ditujukan untuk ‘mempromosikan’ kemampuan Indonesia di dunia internasional, ‘diubah’ menjadi alat politik negara selama kurang lebih 32 tahun. Bukan hanya tidak boleh memberitakan informasi yang berbeda dari penguasa, TVRI juga menjadi badan tersendiri untuk mengekang informasi yang diberitakan oleh televisi swasta yang muncul awalnya tahun 1987. Setelah mendominasi ruang keluarga selama 32 tahun lebih, TVRI akhirnya harus bersaing dengan televisi swasta seperti RCTI, SCTV, TPI, ANTV, dan Indosiar. State intervention pada masa itu juga tidak sekuat era sebelumnya. Tetapi, sepak terjang televisi swasta ini selain tidak pernah menikmati kebebasan yang sesungguhnya, pada dasarnya punya orientasi yang sama. D’Haenens, et al. (2000) menemukan bahwa:

(13)

minimal. All commercial stations share the same aim: maximizing profits (hal. 218).

Sejak reformasi media televisi mengalami perubahan yang besar, baik dari segi struktur maupun fungsinya. Perubahan struktur disebabkan karena munculnya stasiun televisi swasta baru sehingga tercipta kompetesi di antara mereka. Perubahan fungsi tersebut juga dipengaruhi oleh menjamurnya produksi budaya yang mengubah pola perilaku masyarakat. Lengsernya Orde Baru, menempatkan media sebagai sumber informasi yang penting dan dipercaya oleh masyarakat. Media televisi tidak hanya banyak, tetapi mulai muncul perhatian serius pada aspek berita seperti SCTV dan MetroTV, dan terakhir TVone. Pada era ini state intervention murni sudah sangat longgar. Walaupun muncul wujud baru dari intervensi ini ketika pemilik media memanfaatkan kekuasaan untuk menjamin kebebasan sistem kapitalisme media. Alih-alih negara mengontrol dengan sistem sensor yang represif, negara lebih menjadi alat kelas tertentu sebagai warranty body atas kepentingan pengelola media.

Dalam bidang politik, perubahan fungsi ini makin signifikan ketika televisi tidak lagi sebatas media publikasi. Media televisi tidak lagi dipandang sebatas kerja jurnalistik yang akan meliput perhelatan politik para aktor-aktor politik. Kini, televisi telah menjadi kekuatan politik tersendiri bagi para aktor-aktor dan partai politik. Perubahan fungsi politik media televisi ini dimobilisasi oleh semakin canggihnya strategi komunikasi politik aktor dan partai politik dengan melibatkan para professional seperti konsultan politik dan lembaga survei. Pada saat yang sama para aktor politik menyadari rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap politik dan lembaga-lembaga politik, sehingga televisi dijadikan sebagai senjata ampuh untuk menggeser citra tersebut. Apa yang ditakutkan kemudian adalah munculnya television politics, yang nota bene berbeda dengan the real politics.

(14)

ekonomi akibat krisis ekonomi. Pantaslah kita berharap bahwa media televisi akan semakin bergerak mendekati bentuk idealnya dalam demokrasi.

Secara struktural media televisi di Indonesia telah memenuhi indikator-indikator dasar dengan mana dia dapat memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan publik. Banyaknya stasiun televisi nasional mestinya menjamin keragaman informasi politik yang disebarluaskan. Dengan alasan itu pula berarti bisnis televisi (media economy) mengalami kemajuan sehingga dia tidak tergantung pada sumbangan pemerintah seperti terjadi pada masa orde baru. Kemudian makin ada kesadaran tentang bagaimana para pekerja media televisi mestinya dapat menegakkan profesionalisme mereka. Selain dibuatnya kode etik jurnalis, lembaga-lembaga independen juga banyak dibentuk sebagai wujud kepedulian pada jurnalisme yang professional. Dengan jurnalisme professional, media televisi dapat terhindar dari pemberitaan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Tetapi pendekatan di atas bisa jadi masih politically one sided. Analisis tersebut kurang memperhatikan kekuatan ekonomi yang bahkan jauh lebih dominan dalam media televisi. Media televisi sangat tergantung dengan iklan. Hal ini berbeda dengan media cetak seperti surat kabar dan majalah, atau film. Media televisi memiliki sumber revenue utamnya dari iklan, sementara surat kabar bisa dari iklan dan juga hasil penjualan oplah. Sehingga media televisi secara politik sangat tergantung pada kekuatan iklan. Pada saat yang sama kandidat pejabat publik dan partai politik secara lihai telah melihat kelemahan televisi ini. Bersedia tidaknya sebuah stasiun televisi untuk menyiarkan materi iklan politik tertentu tidak ditentukan apakah isi iklan tersebut layak atau tidak dikonsumsi oleh publik, apakah iklan tersebut mencerdaskan pemilih atau tidak, tetapi lebih ditentukan oleh apakah partai politik sanggup membayar biaya tayang iklan tersebut.

(15)

spirit demokrasi. Maka pada situasi seperti ini, semua indikator politik makro yang disebutkan sebelumnya menjadi tidak relevan.

Kecenderungan akomodasi media televisi ini juga berdampak pada corak pemberitaan yang elitis. Pemberitaan yang tidak jauh dari seputar kekuasaan, di mana masyarakat tidak mengalami fenomena sosial politik yang ditampilkan di ruang publik. Makna ‘publik tidak lagi berkorelasi dengan res public, tetapi seperti kembali ke abad 16 dan 17, di mana ‘publik’ atau ‘kepublikan’ sendiri hanya muncul dalam konteks ‘perwakilan’, atau representation lewat kehadiran ‘lembaga publik’, ‘pejabat publik’ (Habermas, 1991: 5). Muncul keseragaman corak dan wacana pemberitaan media televisi oleh karena memiliki kerangka kerja yang sama. Karakter buruk ini tidak sehat bagi demokrasi, sebab “publik” mestinya hadir sebagai aktor politik yang memiliki kemampuan untuk secara bersama-sama ‘melampaui perbedaan di antara mereka’, mencapai suatu kesepakatan bersama. Kualitas deliberasi ini ditentukan oleh kekayaan akan perbedaan informasi yang dipertukarkan.

Jurgen Habermas (1984) menyatakan untuk mencapai ruang publik ideal, deliberasi publik mestinya didasarkan pada kualitas-kualitas berikut: comprehensibility, truth, truthfulness, rightness. Sementara Steven Schneider (1997), dengan mengembangkan konsep teori demokrasi Habermas menemukan empat kriteria ruang publik ideal: kesetaraan (equality), keragaman (diversity), saling berbalasan (reciprocity), dan kualitas (quality). Kelengkapan berarti informasi yang dipertukarkan secara menyentuh seluruh aspek isu yang dibahas, ada keragaman wacana di dalamnya. Setiap informasi yang dipertukarkan oleh pihak-pihak terlibat harus didasarkan pada kebenaran. Kebenaran tersebut diharapkan akan memberi nilai kebaikan bagi masing-masing pihak. Jadi deliberasi dalam televisi itu bukan merupakan alat politik untuk mempertahankan citra, melainkan proses untuk memecahkan suatu persoalan secara bersama-sama dengan bertumpu pada reasoned arguments.

(16)

dua format programnya, yaitu: debat langsung dan current affairs atau dialog sangat ideal untuk menerapkan paradigma ruang publik ideal ini. Sayangnya, yang sering terjadi di Indonesia adalah informasi (berita khususnya) yang bias kepentingan pemilik media. Di dalam televisi juga lebih dominan eksploitasi sisi-sisi emosional lewat dramatisasi, rekayasa, dan sensasionalisasi. Akibatnya, ‘informasi’ yang disampaikan menjadi hilang substansi. Gejala ini seolah menegaskan bahwa praktek komunikatif televisi tidak lebih dari sekadar kelatahan, sehingga cara menyampaikannya dipandang menjadi lebih pentingan dari apa yang disampikannya itu sendiri. Sehingga, wujud persaingan televisi di Indonesia tidak lagi terletak pada televisi mana yang paling berkualitas informasinya, melainkan cara menyampaikan seperti apa yang paling sensasional dan dramatis.

Apa yang utama dalam wacana media televisi sering kali menjadi wacana dominan dalam masyarakat. Pola konsumsi media televisi di Indonesia tampaknya masih mengikuti doktrin tradisional dari agenda setting theory. Televisi mungkin tidak berhasil mengubah cara pandang masyarakat, tetapi bombardir informasi dengan sudut pandang tertentu akan menentukan apa yang diperbincangkan di masyarakat. Penting atau tidak penting bukan merupakan suatu pertimbangan di sini. Dalam realitas politik seperti muncul sebuah kecenderungan bangkitnya elit politik sebagai pemilik televisi: sebuah paralelisme yang menyimpan toksit bagi demokrasi. Meleburnya elit partai sebagai pemilik televisi bisa menjadi televisi tersebut sebagai alat politik penyeragaman wacana, tentu sesuai dengan kepentingan pemiliknya. Pluralitas ideologi dan nilai-nilai politik dalam masyarakat tidak diakomodir di sini.

Informasi Politik dan Perilaku Pemilih

Peran televisi yang paling utama dalam demokrasi adalah bagaimana masyarakat dapat memperoleh informasi yang beragam, substantif, dan relevan dengan kepentingan mereka. Sehingga, masyarakat dapat menilai dan menentukan pilihan politiknya.

(17)

perkembagan teknologi informasi, sehingga mengubah cara pandang masyarakat tentang dirinya dan dunia luar, termasuk atas politik.

Berikutnya yang ketiga, ditandai oleh tetap eksisnya partai-partai nasional, sementara pada saat yang sama banyak partai-partai berbasis agama yang menurun popularitasnya atau bubar. Keempat, seiring dengan itu mulai menarik dirinya para tokoh-tokoh agama dari panggung politik. Kelima, mekanisme pemilihan langsung mau tidak mau mendorong setiap orang untuk berusaha mengenali siapa tokoh yang akan dipilihnya. Pencarian informasi merupakan modal awal untuk menentukan pilihan politik yang lebih rasional. Keenam, pada saat yang sama terjadi migrasi pemilih dari satu partai ke partai lain yang tidak lagi didasarkan pada faktor identitas keagamaan tertentu.

Saiful Mujani dan William Liddle (2010) menegaskan tren yang sama. Kedua ahli politik tersebut menyimpulkan bahwa: “As in 1999 and 2004, however, we found little evidence that voters were influenced by their religious, ethnic, regional, or social-class identities. […]. Indonesian voters have become increasingly rational—setting standards, identifying goals, and choosing leaders based on those standards and goals. Their preference for secular national parties reduces the likelihood of ethnic or religious conflict.” (hal. 48)

(18)

Akibat terparah dari informasi politik yang elitis adalah selain cenderung bias kepentingan, juga membuat masyarakat menjadi cenderung penerima pasif atas informasi. Bahkan bisa jadi apolitis. Padahal, dalam demokrasi, pilihan politik yang rasional mesti didorong oleh keinginan aktif. Bahkan bentuk partisipasi ini perlu mencapai ranah deliberasi secara diskursif di ruang publik. Dalam konteks ini, seperti ditegaskan juga oleh Hardiman (2010: 1) ruang publik mendorong partisipasi seluruh warga negara untuk mengubah praktik sosio-politis mereka lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif. Media televisi harus tampil sebagai ruang yang mendorong deliberasi publik.

Salah satu upaya untuk mewujudkannya peran tersebut adalah pertama-tama menyelamatkan ruang publik itu sendiri. Herry-Priyono (2010) mengaskan bahwa ada tiga upaya yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan ruang publik, yaitu: lewat rute kebijakan publik, rute re-edukasi selera pasar, dan rute re-re-edukasi aktor.

Ditegaskan bahwa ‘ruang publik’ selalu mengisyaratkan ‘kebijakan publik’. Oleh karena itu, kebijakan publik dapat diarahkan untuk menyelamatkan ruang publik walaupun lembaga yang menjalankannya tidak selalu yang namanya pemerintah. JIka kita kaitkan dengan media televisi di tanah air, maka ranah kebijakannya tampaknya berada di tangan pemegang kekuasaan. Kebijakan publik terkait dengan media televisi, mungkin bisa dimulai dari reorganisasi televisi pertama kita, TVRI. Cita-cita menjadikan TVRI sebagai TV publik tampaknya masih sebatas Cita- cita-cita, belum pada tingkat praktek. Persoalan di tubuh TVRI boleh jadi lebih dari sekadar ‘kebijakan publik’. Pelaksana ‘kebijakan publik’ dalam konteks ini bisa juga KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Tetapi KPI juga mungkin membutuhkan ‘kebijakan’ sendiri yang lebih memihak kepada public. Atau terkait dengan lembaga tersebut, perlu disusun ulang sebuah ‘kebijakan publik’ (lihat: Sudibyo, 2009).

Rute berikutnya adalah reedukasi selera pasar, baik dalam ranah produsen maupun konsumen. Kasus televisi di Indonesia merupakan contoh yang sangat tepat untuk ini. Selain perubahan mindset dan paradigma para produser dan pekerja media lainnya, masyarakat juga perlu disadarkan dari mimpi-mimpi semu yang mengelabui ketika mereka mengkonsumsi media televisi. Literasi media yang mendorong, bermedia secara cerdas merupakan salah satu pilihan praktis.

(19)

membudayakan nilai-nilai civility dalam hidup keseharian, mulai dari budaya antri yang tertib hingga bertoleransi secara menghargai. Upaya penyelamatan ini memang sudah melebar. Tidak hanya dari segi struktur televisi sebagai ruang publik, tetapi masyarakat atau agency juga ikut mempengaruhi perubahan struktur media televisi. Dari segi struktur, pemberitaan media televisi perlu memegang teguh prinsip impartiality khususnya atas pendapat dan informasi yang saling bertentangan (competing views). Dua hal penting yang harus ditegakkan untuk mencapainya adalah media pluralism dan nonpartisan news coverage of politics (Gunther dan Mughan, 2000: 422).

Penutup

Televisi sebagai ruang publik di Indonesia tampaknya masih menggambarkan panggang jauh dari api. Realitas televisi kurang mencerminkan kualitas ruang publik sebagaimana diharapkan dalam konteks berdemokrasi. Kekuatan struktural yang menggerogoti fungsi kepublikan televisi tersebut adalah kepentingan kapitalis media, dan kepentingan politis pemilik medianya sendiri. Sejalan dengan itu, struktur kekuasaan yang hadir dalam bentuk birokrasi negara (pembuat kebijakan) telah dimanfaatkan oleh media sebagai penjamin kepentingan media sendiri. Artinya, represi kekuasaan atas ruang publik yang dihadirkan televisi tidak termanifestasi secara langsung dan eksplisit. Tren ini seolah menggambarkan merajainya semangat neoliberalisme yang ingin mengangkangi negara demi kepentingan pasar. Para elit politik juga lebih melihat televisi sebagai alat untuk pembentukan citra. Bibit industrialisasi politik khususnya menjelang pemilu makin menggeser fungsi deliberatif televisi sebagai ruang publik. Di tengah semua fenomena itu televisi di Indonesia masih sulit untuk hadir sebagai ruang publik.

(20)

Ruang publik adalah elemen konstitutif demokrasi. Televisi secara struktural merupakan ruang publik yang ideal. Untuk mewujudkan peran tersebut diperlukan upaya pemerintah untuk menegakkan terjaminnya hak-hak publik dalam televisi. Di sisi lain, TV publik sudah waktunya ditransformasi secara total untuk memperjuangkan kepentingan publik di tengah degradasi fungsi televisi komersil untuk demokrasi. Televisi mestinya menjadi ruang publik strategis di tengah konsolidasi demokrasi di Indonesia sekarang ini.

Daftar Pustaka

Barber, Benjamin. 1990. Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.

Baudrillard, Jean. 1992. Jean Baudrillard, Selected Writings (edited by Mark Poster). Cambridge: Polity Press.

Bohman, James. 1996. Public Deliberation: Pluralism, Complexity and Democracy. Cambridge, MA: MIT Press.

Crigler, Ann N (Ed). 1999. The Psychology of Political Communication. Ann Arbor: The University of Michigan Press.

d’Haenens, L., Verelst, C., & Gazali, E. 2000. “In search of Quality Measures for Indonesian Television News”. Dalam French David & Michael Richards (Eds), Television in Contemporary Asia. New Delhi: Sage Publication, hal. 179-232. Dryzek, John S. 2003. “Deliberative Democracy in Divided Societies: Alternatives

to Agonism and Analgesia.” Research School of Social Science, Australian National University. Diakses dari: http://socpol.anu.edu.au/pdf-files/ Dryzek_divided.pdf, pada 25 Juni 2010.

Gamson, William. 2001. Promoting Political Engagement. Dalam W. Lance Bennett & Robert M. Entman (Eds), Mediated Politics, Communication in the Future of Democracy. United Kigndom: Cambridge University Press, hal. 56-74. Gunther, Richard & Mughan, Anthony. 2000. The Political Impact of the Media: A

Reassesment. Dalam Richard Gunther & Anthony Mughan (Eds), Democracy and the Media, A Comparative Perspective. United Kingdom: Cambridge University Press, hal. 402-448.

Habermas, Jurgen. 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere, An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: Polity Press.

Habermas, Jurgen. 1974. “The Public Sphere: An Encyclopaedia Article.” New German Critique 3, Autum, hal. 49-55.

Hachten, William A. 1981. The World News Prism: Changing Media, Clashing Ideologies, 2nd edition. United State of America: Iowa State University Press.

(21)

Hardiman, F. B. 2010. Pendahuluan. Dalam F. B. Hardiman (Ed), Ruang Publik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 1-20.

Herry-Priyono, B. 2010. Menyelamatkan Ruang Publik. Dalam F. B. Hardiman (Ed), Ruang Publik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 369-398.

Lasswell, Harold, Lerner D., & Speir Hans. 1980. Propaganda and Communication in World History. Honolulu: University of Hawaii Press.

McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication, Third edition. London & New York: Routledge.

McQuail, Denis. 2000. McQuail’s Mass Communication Theory. London: Sage Publication.

Meyer, Thomas & Hinchman, Lew. Media Democracy, How the Media Colonize Politics. Great Britain: Polity Press.

Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication: Renewal and Rethinking. London: Sage Publication.

Mughan, Anthony & Gunther, Richard. 2000. The Media in Democratic and Nondemocratic Regimes: A Multilevel Perspective. Dalam Richard Gunther & Anthony Mughan (Eds), Democracy and the Media, A Comparative Perspective. United Kingdom: Cambridge University Press, hal. 1-27.

Mujani, S & Liddle, W. 2010. Personalities, Parties, and Voters. Journal of Democracy Volume 21, Number 2 April 2010, hal. 35-49.

Page, Benjamin I. 1996. Who Deliberates? Mass Media in Modern Democracy. USA: The University of Chicago Press.

Paletz, David L., & Entman, Robert M. 1981. Media, Power, Politics. New York: The Free Press.

Schneider, Steve M. 1997. Expanding the Public Sphere through Computer-Mediated Communication: Political Discussion about Abortion in a Usenet Newsgroup. Ph.D dissertation, Massachusetts Institute of Technology. Diakses dari: http://www.sunyit.edu/!steve/, pada tanggal: 25 Juni 2010.

Siebert, Peterson, & Schramm. 1963. Four Theories of the Press. Urbana and Chicago: University of Illinois Press.

Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kompas, 15/06/2010. Kompas, 27/01/2009 The Jakarta Post, 28/06/2010.

Catatan

(22)

2 Feodalisasi ruang publik, menurut Habermas (1989) terjadi di awal pembentukannya lewat kooptasi politik dari negara (hirarki kekuasaan) pada abad ke-16. Refeodalisasi ruang publik (abad ke-19) ini disebabkan karena makin absolutnya kekuatan kapitalisme dalam ruang publik (media massa khususnya), di mana bombardir tayangan iklan dan hiburan massa menyatu sebagai alat untuk menundukkan sikap kritis warga negara.

(23)
(24)

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2010

(25)

Masa Depan Televisi dan Televisi Masa Depan

Editor

Yohanes Widodo

Grafis

Yugyas

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jalan Babarsari No 6 Yogyakarta http://fisip.uajy.ac.id

Gambar

Tabel 1: Faktor Pengaruh Level Makro pada Media1

Referensi

Dokumen terkait

Dalam makalah ini akan dibahas, penurunan solusi tertutup Deret Pangkat Tetap tersebut dengan Fungsi Pembangkit, sehingga pengetahuan yang didapat dapat digunakan untuk

Sistem memiliki dua actors yaitu admin yang mempunyai hak akses untuk melakukan input, update soal, delete ujian, manage soal, jawaban, nilai dan data user,

Struktur contoh (5) pengisi slot nama atau identitas Mini Waterpark disebut sebagai nama untuk membedakan dengan usaha sejenis yang lain.Struktur pengisi slot

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh jumlah simpanan, deposito dan kredit terhadap sisa hasil usaha Koperasi Serba Usaha

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa penggunaan jilboobs di MUAMALAH didorong dari berbagai segi antara lain : (1) Motivasi merupakan kekuatan yang

Hasil dari kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah siswa-siswi SMK YAPIM Siak Hulu bisa membuat video konten dengan Software Camtasia dan mampu mengunggahnya ke Fanpage

dinyatakan lain, suatu nilai dasar tegangan dalam suatu sistem tiga phasa adalah. tegangan dasar antar saluran dan suatu nilai dasar kilovoltampere

Sedangkan rata-rata jumlah folikel antral normal terendah terdapat pada kelompok kontrol yang diperiksa pada hari ke-20, namun tidak berbeda signifikan dengan kelompok