• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dikotomi Label Terorisme pada Gerakan Is

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dikotomi Label Terorisme pada Gerakan Is"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Dikotomi Label Terorisme pada Gerakan Islam

di Asia Tenggara

Hijrah Saputra Har

Abstraksi

Sudut pandang motivasi menyebabkan kategorisasi terorisme di Asia Tenggara di pahami sebagai model terorisme religious yang mengancam kedaulatan Amerika Serikat dan rezim barat. Model ini menjadi diafragma bagi kepentingan nasional Amerika Serikat untuk masuk membasmi setiap gerakan terorisme dan memaksa negara-negara lain untuk berperan serta pada kampanye war on terrorism AS. Namun ,gerakan terorisme di Asia Tenggara pada awalnya merupakan gerakan sentimen terhadap pemerintah nasional atas ketidakadilan dan alienasi yang diterimanya, dengan semangat etno nasionalisme yang biasanya juga diiringi dengan membawa identitas religi yang dianutnya. Maka secara umum, gerakan terorisme di Asia Tenggara dapat dilihat sebagai gerakan yang lahir dari kelompok suku minoritas yang mempunyai preferensi belief yang berbeda yang diperparah lagi mengalami masalah kesejahteraan dengan pemerintah nasional. Untuk itu perlu kerangka analisis yang tepat untuk mengeneralisir terorisme religious dapat digunakan sebagai pendekatan kepada ancaman terorisme di Asia Tenggara

Pendahuluan –

Mengapa terorisme di Asia Tenggara disebut terorisme religious islam ? dalam beberapa literatur ditemukan hampir memiliki kesamaan pandangan yang secara implisit mendefiniskan isu terorisme kontemporer khususnya di Asia tenggara sangat dekat dengan gerakan atau pergerakan radikalisasi keislaman, seperti yang diungkapkan Magouirk, Atran, Sageman, 20071, Chalk, Rabasa, Rosenau, dan Piggot, 20092, Gunaratna, 20063, Bruce Vaughn, Emma Chanlett-Avery, Ben Dolven, Mark E. Manyin, Michael F. Martin, Larry A. Niksch, 2009.4 analisa lebih dikaitkan paska runtuhnya WTC, september 2001 yang lalu seperti yang di ungkapkan Chalk, 20025 :

“International attention on the threat of Southeast Asian Islamic extremism has escalated markedly since al-Qaeda launched its devastating attacks against the United States on

September 11th. Not only is this part of the heightened global awareness of terrorism in general,

1 Justin Magouirk, Scott Atran, Marc Sageman, 2007. Connecting Terrorist Network. Studies in Conflict & Terrorism, 31:1-16. Routledge Taylor & Francis Group di akses pada

http://www.artisresearch.com/articles/Sageman_Connecting_Terrorist_Networks.pdf

2 Peter Chalk, Angel Rabasa, William Rosenau, Leanne Piggot, 2009. The Evolving Terrorist Threat to Southeast Asia A Net Assessment, RAND National Defense Research Institute di akses pada

http://www.rand.org/pubs/monographs/2009/RAND_MG846.pdf

3 Rohan Gunaratna, 2006. Terrorism in Southeast Asia : Threat and Response, Center for Eurasian policy occasional research paper series II, No,1 Hudson Institute di akses pada http://counterterrorismblog.org/site-resources/images/Gunaratna-Terrorism%20in%20Southeast%20Asia-Threat%20and%20Response.pdf

4 Bruce Vaughn, Emma Chanlett-Avery, Ben Dolven, Mark E. Manyin, Michael F. Martin, Larry A. Niksch, 2009.

Terrorism In Southeast Asia, Congressional Research Service, Pdf di akses pada http://www.fas.org/sgp/crs/terror/RL34194.pdf

(2)

it also reflects the fact that groups and militants based in the region are known to have either passed through training camps formerly under the charge of the Taliban or to have established links with Osama bin Laden and his global terror network.”

Menurut Chalk, bahwa gerakan terorisme di kawasan Asia Tenggara meningkat setelah serangan Al-Qaidah pada 11 September 2001.6 Yang paling menarik dari uraian Chalk dalam tulisannya adalah bahwa serangan Al-Qaida menjadi stimulus bagi pergerakan terorisme serupa pada berbagai kawasan, termasuk Asia Tenggara.7

Tata dunia internasional (world order) kerap kali berubah ketika terjadi suatu defining moment yang dramatis. Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, misalnya, segera diikuti dengan dimulainya era Perang Dingin. Ketika Tembok Berlin runtuh pada tahun 1989, masyarakat internasional melihatnya sebagai awal dari lahirnya era Pasca Perang Dingin.

Sejak serangan Al-Qaida meruntuhkan gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York dan sebagian gedung Pentagon di Washington D.C. tanggal 11 September 2001 isu terorisme global menjadi perhatian semua aktor politik dunia baik negara-maupun non negara. Peristiwa ini kemudian menandai babak baru dimana ancaman terorisme global menjadi ancaman yang nyata terhadap keamanan nasional sebuah negara yang ditandainya dengan munculnya Patriot Act sebagai langkah kebijakan Amerika Serikat memerangi terorisme baru. 8 Sejak inilah, kemudian terorisme muncul sebagai ancaman keamanan non tradisional bagi negara paska perang dingin yang mampu menciptakan kerusakan/ancaman bagi pemerintahan negara – negara dunia. Yang menjadi catatan adalah walaupun bentuk terorisme telah muncul sejak lama, namun kerusakan pada peristiwa 9/11 menjadi indikator terhadap adanya ancaman baru bagi stabilitas keamanan dunia.

Namun, berubahnya situasi keamanan pada level global itu tidak berarti bahwa situasi keamanan regional juga telah mengalami perubahan secara fundamental. Meskipun negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga mengakui bahwa terorisme merupakan ancaman serius bagi negara dan masyarakat, hal itu tidak berarti bahwa isyu-isyu keamanan lainnya di kawasan menjadi tidak penting. Bagi kawasan Asia Tenggara, peristiwa 11 September hanya semakin memperumit kompleksitas tantangan keamanan di kawasan, yang sebelumnya telah " akrab" dengan berbagai ancaman non-tradisional termasuk terorisme. Hanya saja, dengan dijadikannya terorisme sebagai agenda utama - kalaupun bukan sebagai agenda tunggal-- dalam kebijakan keamanan nasional dan politik luar negeri AS, negara-negara Asia Tenggara terpaksa dihadapkan pada sebuah realita baru yang merupakan konsekuensi dari dari kebijakan AS itu. 9 Setelah munculnya isu terorisme internasional yang lebih besar, Konsekuensi terjadinya beberapa kali peristiwa terorisme di Kawasan Asia Tenggara pada akhirnyapun ditenggarai masih terdapat gerakan-gerakan terorisme yang memiliki konektivitas dengan Al-Qaida dan Jaringan terorisme islam. Untuk menjawab puzzling kami, maka perlu dilakukan pendekatan

6Ibid, Chalk, 2002. Pp.1

7Ibid, Chalk, 2002. Pp.1

8 Kebijakan pemerintahan Presiden George W. Bush tentang "Perang Melawan Terorisme" secara umum tergambar Dalam sejumlah dokumen seperti The National Security Strategt of the United States of America (2002), National Security Strategy to Combat weapons of Mass Destruction (2002), dan National Strategy for Combating Terrorism (2003); sejumlah" Executive order" dari Presiden, d an pidato-pidato presiden George W . Bush yang kemudian dijadikan dasar pengambilan kebijakan dalam perang melawan terorisme.

9 Rizal Sukma, Keamanan Internasional Pasca 11 September:

(3)

kajian lebih dalam apakah gerakan terorisme di Asia Tenggara memang merupakan gerakan religi Islam atau bukan.

Definisi Terorisme & fenomena karakter baru pergerakan terorisme

Terorisme sebagai fenomena penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik tertentu sudah terjadi jauh sebelum peristiwa 11 september 2001. Meskipun motivasi untuk melakukan aksi terorisme bisa berbeda-beda sepanjang sejarah namun kesamaannya terletak dalam penggunaan kekerasan baik terhadap pejabat resmi pemerintah yang dimusuhi atau kepada penduduk sipil dengan maksud menimbulkan kepanikan dan menarik perhatian publik terhadap tuntutan politik yang ingin diperjuangkan oleh kelompok yang melakukan aksi terorisme tersebut. Bagi kelompok teroris perjuangan dengan jalan damai atau dialog hanya membuang waktu dan energi dan karena itu aksi kekerasan merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan politik. Selain perasaan frustasi dalam aksi terorisme ada juga unsur kebencian terhadap sasaran yang dituju apakah berupa public property dari negara yang dianggap sebagai musuh atau warga negara dari negara tersebut.10

Untuk bisa mengidentifikasi siapa yang disebut terorisme dan apa yang mendasari lahirnya gerakan terorisme, salah satu yang menarik adalah seperti yang dijelaskan oleh Audrey Kurth Cronin11 yang membagi empat kategori jenis kelompok terorisme berdasarkan Source of Motivation : Left-wing Terrorist, Right-wing Terrorist, ethnonational/separatist terrorist, and religious or “sacred” terrorist.12Namun Cronin juga menyadari bahwa pembagian tipe gerakan

terorisme ini bukanlah secara tepat membagi kelompok-kelompok tersebut, karena masih banyak beberapa bentuk gerakan terorisme yang kemudian mengkombinasikan motivasi ideologis, seperti kebanyakan grup ethnonationalist yang memiliki religious characteristics or agenda- walaupun biasanya tetap akan berpegangan pada satu ideologi atau dominasi pergerakan.

Ditambahkan pula oleh Kiras,13 kesulitan dalam menemukan definisi yang tepat mengenai teroris karena sulit menentukan tujuan kekerasan yang akan digunakan dan motivasi dibalik kegiatan terorisme sehingga sejak awal kemunculannya, pada akhirnya terorisme berbeda dari tindakan kriminal (criminal act). Berbagai perspektif yang muncul dari lahirnya gerakan terorisme secara global maupun yang lahir di kawasan Asia Tenggara menjadi modalitas atas terlaksananya kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam War on Terrorism, dimana dimensi terhadap kegiatan terrorism paska 11 September 2001 dianggap memiliki kesamaan ideologi dan moralitas yang mampu mengancam kedaulatan negara.

Walaupun sebelumnya regulasi terhadap pencegahan bahaya terorisme telah lahir melalui konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), tahun 1937 terorisme diartikan sebagai Crimes against State.

10 Dalam literatur politik dunia konsep terorisme diartikan secara berbeda-beda, karena tergantung kepada siapa mendefinisikannya. Hal ini bisa dimengerti karena isu terorisme merupakan isu yang telah membangkitkan kontroversi serta mencakup dimensi yang sangat luas.

11 Audrey Kurth Cronin, Types of terrorist Groups, dikutip dalam James D. Kiras, Terrorism and Globalization

dalam John Baylis & Steve Smith, 2001. The Globalization of World Politics An Introduction to International Relations, Third Edition. Oxford University Press Pp.480

12 Menurut Cronin, pembagian tipe teroris berkembang pada eranya masing-masing, misalnya left-wing terjalin bersama pergerakan komunisme, right-wing digambarkan sebagai sayap dari fasisme, dan

ethnonationalist/separatist menyertai gelombang dekolonisasi khususnya pada masa pasca perang dunia ke II, sedangkan religion atau sacred terrorism kehadirannya lebih signifikan. Walaupun semua tipe group hingga saat ini masih tetap eksis akan tetapi left dan right-wing lebih banyak terjadi pada dekade sebelumnya.

(4)

Selanjutnya dalam European Convention on The Suppression of Terrorism (ECST) tahun 1977, pengertian terorisme berubah paradigmanya, yaitu dari semula sebagai Crimes againts State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan kepala negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes againts Humanity.14

Setelah terjadi diaspora mengenai definisi terorisme, baik akibat dari meluasnya konflik yang terjadi maupun dari munculnya aktor-aktor baru, namun yang akhirnya kita pahami mengenai terorisme justru Konstruksi pemahaman terrorisme post 11 september 2001 ini lebih dikenal sebagai trend baru sebagai Post-Modern Terrorism atau New Terrorism15 yang dalam

pengertian berbeda diungkapkan memiliki motivasi oleh “Promises of Rewards in the afterlife” dan menggunakan alasan agama untuk membunuh sebanyak mungkin orang-orang yang tidak memiliki keyakinan.16 Dalam beberapa peristiwa kasus Bombing diyakini diantara fenomena regional, kasus terorisme di sponsori oleh negara (State-Sponsored) seperti kasus militant Islam di Lebanon. Lanjut Menurut Kiras, New Terrorism dapat diartikan pula sebagai rasionalisasi global Jihad, yaitu sesuatu yang dipandang sebagai reaksi dari penindasan yang dirasakan umat muslim dan menurunnya nilai spiritual kaum barat.

Sejak runtuhnya WTC & Pentagon, Amerika Serikat memfokuskan diri terhadap memerangi gerakan islam radikal dan teroris, mereka meyakini bahwa Al-Qaida membentuk basis pergerakannya di Asia Tenggara, beberapa negara yang dijadikan sel-sel pelatihan seperti Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand.17

Terjadinya kasus bom bali tahun 2002 yang telah menewaskan sekitar 200 orang diyakini bahwa penetrasi moralitas gerakan terorisme Al-Qaida telah di pusatkan dikawasan ini18 sebagai bentuk militansi islam seperti gerakan Jamaah Islamiyah (JI) dan Gerakan Abu Sayyaf dan MILF19 yang mulai menunjukkan reaksi yang sama terhadap pemerintahan barat khususnya Amerika Serikat. Sedangkan Guraratna20 mengelompokkan lebih banyak kelompok ekstrimis yang dipandang lebih mendekati gerakan terorisme, diantaranya :

MILF (Moro Islamic Liberation Front), Abu Sayyaf Group (ASG) di Philipina, Laskar Jundullah di Indonesia, Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) di Malaysia, Jemmah Salafiyah (JS) di Thailand, Arakan Rohingya Nationalist Organization (ARNO) dan Rohingya Solidarity Organization (RSO) di Myanmar dan Bangladesh dan Jemaah Islamiyah (JI), organisasi asia tenggara yang hadir di Australia.21 Hampir semua kategori kelompok yang berbasis pada motivasi agama dan bersifat radikalisasi di kawasan Asia Tenggara menjadi satu definisi yang sangat sering dikaitkan dengan kelompok Al-Qaida, dimana kelompok-kelompok diatas sudah cukup mewakili ancaman yang mampu membahayakan negara dan pemerintahan. Walau bila di 14Crimes againts Humanity pada akhirnya di kategorikan sebagai Gross Violation of Human Rights atau

pelanggaran HAM berat yakni apabila serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih jika diarahkan pada jiwa-jiwa orang tak bersalah (Public by innocent).

15Ibid. Kiras, Pp. 486

16 Secara umum sebenarnya terdapat perdebatan panjang mengenai isu terorisme yang dikaitkan dengan persoalan agama, kelompok pertama menegaskan bahwa terorisme tidak memiliki kaitan dengan agama manapun karena semua agama menolak kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil yang tidak berdosa. Karena umumnya mereka, kelompok yang melakukan terorisme merupakan kelompok minoritas dan tidak mewakili penganut agama secara keseluruhan, sedang kelompok yang lain mengatakan bahwa kelompok terorisme yang bertindak atas nama ajaran agama mendapatkan inspirasi dan justifikasi atas tindakannya berdasarkan penafsiran mereka atas doktrin afama yang diyakininya,

17Op.Cit. Bruce Vaughn. Etc

18Ibid. Pp. 5

19Ibid. Pp.16

20Op.Cit. Rohan Guraratna, Pp.1-2

(5)

cermati tidak seluruhnya dari daftar kelompok-kelompok diatas merupakan kelompok yang memiliki tujuan yang sama. Diantaranya ada beberapa kelompok separatisme yang memiliki motivasi religious.

Untuk membantu counter analysis¸ adalah seperti yang diungkapkan oleh Andrew Tan22 dalam Southeast Asia as the ‘Second Front’ in the War Against Terrorism: Evaluating the Threat and Responses yang menyebutkan bahwa asia tenggara memiliki latar belakang sejarah yang panjang bahkan jauh lebih dulu dari counter terrorism yang digelorakan oleh Amerika Serikat setelah peristiwa pengeboman 11 September 2001. Berbeda dengan model gerakan terorisme internasional, gerakan terorisme di Asia Tenggara pada awalnya merupakan gerakan sentimen terhadap pemerintah nasional atas ketidakadilan dan alienasi yang diterimanya, dengan semangat etno nasionalisme yang biasanya juga diiringi dengan membawa identitas religi yang dianutnya. Maka secara umum, gerakan terorisme di Asia Tenggara dapat dilihat sebagai gerakan yang lahir dari kelompok suku minoritas yang mempunyai preferensi belief yang berbeda yang diperparah lagi mengalami masalah kesejahteraan dengan pemerintah nasional. Identitas agama yang digunakan adalah Agama Islam, karena di beberapa daerah seperti Filipina, Aceh, dan Thailand, kelompok Islam menjadi kelompok minoritas atau setidaknya memiliki prinsip yang berbeda dari kelompok Islam lainnya. Namun pada intinya terbentuknya kelompok terorisme di Asia Tenggara disebabkan karena alasan policy yang tidak memihak mereka yang kemudia berimbas pada rendahnya ekonomi. Dan hal inilah yang seringkali menjadi alasan terjadinya clash antara pemerintah dengan kelompok tersebut. Kelompok teroris Asia Tenggara pada mulanya murni lahir dari dari kelompok-kelompok etno-religi yang menginginkan separasi dari negara yang dinilai tidak dapat mengakomodir hak-hak mereka. Mereka menginginkan terbentukya negara baru yang berlandaskan hukum Islam secara kuat, holistik, dan eksplisit. Revolusi Iran menjadi salah satu hal yang menarik kelompok-kelompok tersebut untuk menggaungkan revivalisme Islam global. Namun karena terbentuknya interaksi antara kelompok tersebut dengan kelompok-kelompok militan terorisme di Timur Tengah, maka muncullah kelompok-kelompok di Asia Tenggara yang mempunyai tujuan untuk menekan pos-pos kekuatan negara-negara Barat di Asia Tenggara, seperti Jemaah Islamiyah dan Kumpulan Militan Mujahidin (KMM).

Gerakan Terorisme di Asia Tenggara seringkali menuai simpati dari kelompok militan atau terorisme yang lebih besar, terutama yang berada di daerah Timur Tengah. Adanya koneksi dengan kelompok tersebut membuat terorisme di Asia Tenggara, oleh Andew Tan disebut sebagai ‘Second Front’ atau batas kedua sebelum pusat gerakan terorisme yang berada di Timur Tengah, seperti Al-Qaeda yang berada di Afghanistan. Sehingga Asia Tenggara juga dijadikan sebagai ‘Second Front’ dalam upaya meng-counter terorisme di dunia. Gerakan Terorisme di Asia Tenggara dapat dikategorikan lahir dari tiga peristiwa: Pemberontakan suku Moro di Filipina, Pemberontakan Aceh di Indonesia, dan Pemberontakan Pattani di Thailand Selatan.

Pemberontakan Moro di Filipina

(6)

yang begitu minoritas di Selatan. Hal ini dikarenakan daerah selatan telah digunakan sebagai tempat tinggal kelompok Katolik dan para simpatisan komunis. Setelah itu, muncul pula ketakutan akan upaya asimilasi budaya dan agama sehingga dikhawatirkan agama dan budaya Islam akan luntur. Hal ini diperparah dengan rendahnya angka ekonomi dan infrasruktur di kawasan tersebut. Sehingga lahirlah banyak simpati dari organisasi di Timur Tengah seperti Libya, serta Indonesia dan Malaysia. Kelompok pemberontak moro yang berada dalam organisasi MNLF (Moro National Liberation Front) pernah mendapat pelatihan di Sabah, Malaysia. Karena adanya kritik intern akan terlalu nasional orientalisnya MNLF, maka lahirlah MILF (Moro National Liberation Front) yang bergerak lebih ke arah militansi dengan identitas Islam, yang memiliki kelompok bersenjata bernama BIAF (Bangsa-Moro Islamic Armed Forces). Kelompok ini menerima bantuan dari Cairo termasuk dari Afghanistan (Al-Qaeda) yang memberikan kucuran dana langsung dari adik ipar Osama bin Laden, Muhammad Khalifa. Selain itu, dana juga datang dari sumbangan organisasi-organisasi muslim simpatisan di seluruh dunia.

Selain MILF, terdapat juga organisasi ASG (Abu Sayyef Group) yang didirikan sekitar tahun 1989. Tujuannya adalah pemisahan diri dari negara Filipina dan mendirikan MIR (Moro Islamic Republic) dengan menentang sgala bentuk kooperasi degan kelompok Katholik. ASG mengambil nama dari Rasool Sayyeaf yang merupakan alumni perang Afghanistan. Aktifitas terorisme ASG diantaranya adalah penculikan 12 turis berkebangsaan Barat di pulau Sipadan, Malaysia pada sekitar April 2000. Di tahun yang sama juga melakukan pemboman di pusat perbelanjaan, bandara, dan bioskop, serta beberapa kasus pemboman lain juga di tahun yang sama.

Pemberontakan Aceh di Indonesia

Aceh merupakan sebuah kerajaan yang sangat besar pada awalnya. Dengan kekuatan perdagangan, Aceh menjadi jalur masuk bagi pedagang-pedagang mancanegara ke Indonesia. Namun, kedatangan Belanda ke Aceh mengusik keharmonisan wilayah tersebut. Prinsip orang Aceh untuk memegang teguh Agama Islam menjadi terganggu dengan aturan-aturan kolonial yang sekuler dan menindas. Sehingga pada waktu itu, Aceh menjadi salah satu sentral kekuatan yang besar dalam upaya perebutan kemerdekaan Indonesia (atau dengan tujuan menciptakan negara Islam Indonesia). Hal ini kemudian diperparah dengan kebijakan pemerintah Indonesia masa Soeharto yang mencangangkan program trasmigrasi sehingga Aceh dibanjiri oleh orang Jawa yang kemudian mengambil alih sentral pemerintahan lokal. Kekayaan alam di Aceh yang dieksploitasi oleh para pendatang dinila tidak mendapatkan keuntungan sedikitpun bagi rakyat Aceh menciptakan gelombang pemberontakan yang besar.

(7)

Setelah peristiwa 11 September, GAM kembali menekankan bahwa konfrontasi yang dilakukannya adalah dengan negara indonesia, bukan perang agama. Namun hal ini telah mempunyai titik terang, dengan dilakukannya penandatanganan gencatan senjata antara pemerintah Indonesia dan GAM pada tahun 2000 di Helsinkin Finlandia.

Pemberontakan Patani di Thailand Selatan

Kelompok Ekstrimis Islam di Thailand lahir dari adanya penindasan hak-hak populasi Muslim Melayu yang terutama berada di daerah Pattani. kelompok ini dapat tumbuh dikarenakan tiga faktor. Yang pertama adalah adanya kepercayaan yang dianut oleh kelompok Islam mengenai romantisme kerajaan Islam, Pattani Darussalam. Yang kedua, adalah adanya hubungan lintas batas negara dengan kelompok Islam di Kelantan, Malaysia, yang mendukung gerakan kelompok Islam Pattani. Berikutnya, adalah adanya ajarah untuk ‘hijrah’ yaitu beralih ke sesuatu yang lebih baik yang diwujudkan dalam melepaskan semua ‘penyiksaan’ pemeritah untuk unifikasi agama, suku, dan etnis. Selain itu, erosi kebudayaan Melayu yang merupakan kebudayaan asli masyarakat Moro juga menjadi salah satu pemicunya. Kemudian seperti halnya kelompok sejenis yang lahir di Filipina ataupun Indonesia, masalah ketimpangan ekonomi juga menjadi salah satu penyebab timbulnya semangat separasi.

Kelompok ekstrimis Islam Thailand berada di bawah PULO (Pattani United Liberation Army) dan New-PULO yang didirikan oleh Kabir Abdul Rahman pada tahun 1960-an. Kelompok ini ditunggangi oleh militan di Malaysia Utara. Selain itu kelompok ini juga memiliki kerjasama dengan ekstrimis Islam di Timur Tengah dan Asia Selatan (Hisbullah). Kerjasama juga dalam bentuk pelatihan, yaitu dengan kelompok radikal Iran, Irak, dan Pakistan. Menurut Andrew Tan (2003), terdapat tiga faktor yang merupakan kekuatan eksternal dari kelompok ini, pertama, adanya simpati dari tetangga Malaysia dengan partainya PAS. Kemudian yang kedua, adanya hubungan saling tolong-menolong dengan organisasi muslim yang lain di kawasan, misalnya saja dengan GAM. Ketiga, adanya potensi hubungan dengan organisasi militan Islam internasional, seperti halnya di Afghanistan.

Respon Asia Tenggara –

Ada tiga variabel dalam makalah ini yang menjadi perhatian, yakni terorisme, kebijakan politik luar negeri dan keamanan nasional AS serta kondisi aktual negara-negara kawasan Asia Tenggara. Terorisme secara de facto aktivitasnya telah terbukti merugikan banyak pihak. Di pihak lain kebijakan AS perang terhadap terorisme berimplikasi terhadap semakin beratnya beban ancaman keamanan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dimana kondisi nyata negara-negara kawasan Asia Tenggara telah lama berhadapan masalah-masalah yang berkaitan dengan ancaman tradisional maupun non-tradisional, sebelum ada ancaman terorisme.

Suasana demikian bagi negara-negara kawasan Asia Tenggara menimbulkan situasi serba dilematis, antara kemiskinan, pengangguran yang dapat mengancam survival sebagai negara di satu pihak sedangkan di pihak lain ada kewajiban untuk memberantas terorisme. Belum lagi jika berhubungan dengan stigma yang berkembang bahwa teroris dikaitkan dengan Islam, membuat ketegangan baru antara pemerintah dengan rakyatnya di negara-negara yang mayoritas muslim.23

(8)

Pernyataan Presiden George Bush, ”either you are with us or you are with the terrorism”, secara eksplisit menunjukkan bahwa dunia ini terbelah antara pertarungan kekuatan baik (good) dan kekuatan jahat (evil). Kondisi ini mempersulit posisi khususnya negara-negara pasca kolonial yang tidak ingin dipersepsikan berada dalam orbit AS. Sedangkan bagi negara berkembang masalah keterbelakangan, konflik etnik, pengangguran kemiskinan, dianggap sebagai ancaman utama bagi survival sebagai negara, daripada masalah terorisme.

Disamping itu, tragedi 11 September juga telah merubah ukuran-ukuran yang digunakan dalam menilai sebuah negara, masalah terorisme menjadi ukuran utama daripada masalah HAM dan demokrasi. Apalagi dengan adanya kecenderungan stigma yang mangaitkan Islam dengan teroris membuat pemerintah negara mayoritas muslim dihadapkan pada suatu dilema, antara keharusan memberantas terorisme dan keharusan untuk memelihara hak-hak rakyatnya. Dengan demikian kebijakan AS terhadap terorisme telah melahirkan ketegangan baru dalam hubungan antara pemerintah dan kelompok-kelompok Islam di banyak negara muslim.

Lebih dari itu, dalam mengantisipasi serangan terorisme AS menggunakan doktrin Preemption, dengan doktrin ini AS secara sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengambil tindakan terlebih dahulu, untuk menghancurkan apa yang dipersepsikan sebagai kemungkinan ancaman teror terhadap kepentingan AS dimana saja. Dengan doktrin preemption maka prinsip kedaulatan negara, arti penting institusi multilateral seperti PBB dan organisasi regional, serta ketentuan hukum internasional dapat saja diabaikan.24 Di sisi lain, kebijakan AS dalam memerangi Terorisme justru melicinkan hubungan antar negara-negara besar (major powers) misalnya terhadap Cina dan Rusia masing-masing telah merasa menemukan jalan untuk lebih meningkatkan

Hubungan diantara mereka. Suasana demikian bagi masyarakat internasional dapat dikatakan akan mendatangkan malapetaka, mengingat tatanan global senantiasa akan dikendalikan oleh kepentingan dan kompromi negara-negara besar. Sebagai contoh bagaimana sikap anggota Dewan Keamanan PBB, terhadap invasi AS ke Afganistan.

Bagi kawasan Asia Tenggara kebijakan AS terhadap terorisme telah melahirkan sebuah security complex yang semakin rumit. Mengingat dalam suasana dimana masalah-masalah keamanan yang sudah ada dikawasan belum menemukan bentuk penyelesaiannya, ditambah lagi beban keamanan regional dengan munculnya ancaman terorisme. Oleh karena itu negara-negara yang tergabung dalam ASEAN kedepan termasuk Indonesia akan berhadapan dengan tantangan keamanan regional yang tidak ringan.

Pada umumnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menganggap tragedi 11 September semata-semata merupakan masalah AS, bukan merupakan persoalan global. Walaupun semua negara, termasuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara menyatakan rasa simpatik terhadap tragedi yang menimpa AS. Lebih dari itu mereka pada umumnya sama sekali tidak percaya bahwa kasus serupa akan terjadi di kawasan Asia Tenggara, hal tersebut terlihat jelas ketika menanggapi pernyataan pemerintah Singapura yang berhasil membongkar adanya sebuah jaringan teroris regional yang dapat mengancam keamanan negara-negara kawasan. Sikap skeptis bahkan menyangkal antara lain datang dari Indonesia, Thailand dan Malaysia.

Masalah komplek itu makin terlihat ketika upaya-upaya untuk memerangi terorisme di kawasan Asia Tenggara ini dilakukan secara terpisah oleh masing-masing negara Asia Tenggara dan juga secara kolektif melalui kerjasama regional, baik berupa peningkatan keamanan nasional, koordinasi agen nasional ataupun saling berbagi informasi satu sama lain. Dalam

(9)

konteks upaya memerangi perang yang dilakukan secara terpisah oleh masing-masing negara Asia Tenggara, penulis mencoba menguraikannya satu per satu. Pertama, upaya memerangi terorisme di Malaysia, yang dilakukan melalui kerjasama dalam bentuk perundingan dengan Amerika Serikat terutama dalam menghadapi KMM sebagai salah satu kelompok Islam extremis yang memiliki hubungan dengan jaringan Al-Qaeda. Pendekatan yang dilakukan oleh Amerika Serikat untuk bekerja sama dengan Malaysia tersebut merupakan usaha untuk meminimalisir penggunaan Internal Security Act (ISA) yang dicurigai membawahi KMM. Kerjasama ini juga dikaitkan dengan perhitungan secara politik yang banyak dipengaruhi oleh perdana menteri Dr Mahathir.

Kedua, upaya memerangi terorisme di Singapura, yang juga meningkatkan intensitas kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat pasca 9/11 melalui kunjungan resmi kenegaraan Lee Kuan Yew ke gedung putih. Ketiga, upaya yang dilakukan Thailand dalam memerangi terorisme dianggap setengah-tengah, dengan adanya klaim bahwa Thailand menjadi tempat transit pasukan dan dana untuk jaringan Al-Qaeda. Namun, pada tahun 2002 terjadi pembunuhan yang dilakukan polisi keamanan Thailand terhadap masyarakat Thailand yang dianggap sebagai teroris. Selain itu, terdapat pelatihan angkatan melawan terorisme bekerja sama dengan AS. Keempat, upaya memerangi terorisme di Philipina, juga bekerja sama dengan AS terutama dalam menghadapi ASG. Terakhir, upaya memerangi terorisme di Indonesia dilakukan melalui program kerjasama militer dengan AS. Di mana AS menganggap Indonesia menjadi wilayah yang memiliki peran signifikan dalam memerangi terorisme. Selain itu, Indonesia melakukan kerja sama dengan Australia, namun masih terdapat kecurigaan di antara keduanya yang dihubungkan dengan dukungan terpisahnya Timor-Timur dari Indonesia pada tahun 1999.

Secara institusi Peran ASEAN dalam mengatasi tindakan terorisme ditunjukkan dengan mengadopsi Deklarasi ASEAN tentang Kejahatan Transnasional di ASEAN 199725 dan Rencana Aksi untuk Memerangi Transnational Crime pada tahun 1999.26 Kemudian dalam KTT ke-7 ASEAN Summit Pada tanggal 5 November 2001 di Brunei Darussalam yang menghasilkan Deklarasi Joint Action to Counter Terrorism dan ASEAN Minister Meeting on Transnational Crime (AMMTC). Terorisme mereka lihat sebagai ancaman besar untuk perdamaian dan keamanan internasional dan "tantangan langsung kepada pencapaian perdamaian, kemajuan dan kemakmuran ASEAN dan mewujudkan Visi ASEAN 2020" Deklarasi Bersama Aksi ke Counter Terrorism 2001.

ASEAN memaparkan langkah-langkahnya dalam memerangi tindakan terorisme dengan cara :

1. meninjau dan memperkuat mekanisme nasional dalam memerangi tindakan kejahatan terorisme yang semakin meluas

2. Menandatangani dan konvensi anti-teroris yang telah di sepakati, termasuk konvensi Internasional untuk penindasan dari Financing of Terrorism, memperdalam barisan kerjasama drngan penegak hukum, memperkuat kerjasama yang terorganisir pada Pertemuan Menteri Transnational Crime (AMMTC) dan badan-badan lain yang terkait dalam ASEAN countering, suppressing dan mencegah segala bentuk tindakan teroris. 3. Mengembangkan kapasitas yang ada program untuk meningkatkan kemampuan

negara-negara anggota ASEAN untuk menyelidiki, mendeteksi, memantau dan melaporkan

25Upaya ASEAN dalam menanggulangi kejahatan transnasional di kawasan Asia tenggara, di akses pada http://aseanerspublications.blogspot.com/2006/04/upaya-asean-dalam-menanggulangi.html

(10)

tindakan teroris, Membahas dan mencari ide-ide praktis dan inisiatif untuk meningkatkan peran dalam ASEAN dan keterlibatan dengan masyarakat internasional termasuk mitra luar daerah yang ada di dalam kerangka seperti ASEAN + 3 (Cina, Jepang dan rok), Mitra Dialog ASEAN dan ASEAN Regional Forum (ARF) untuk memerang tindakan teroris yang didasarkan pada enam strategis thrusts: pertukaran informasi, kerja sama dalam persoalan hukum; kerjasama dalam hal penegakan hukum, peningkatan kapasitas kelembagaan; pelatihan, dan ekstra-kerjasama regional.

Selain itu terdapat pula langkah-langkah strategis seperti yaitu pertukaran informasi, kerja sama dalam persoalan hukum, kerjasama dalam hal penegakan hukum, peningkatan kapasitas kelembagaan, pelatihan, dan ekstra-kerjasama regional

Konferensi ASEAN Chiefs of Police (ASEANAPOL)

Diselenggarakan pada bulan Mei 2002 di Phnom Penh, inti dari pertemuan ini adalah berkomitmen dalam memerangi tindakan terorisme. Semua anggota ASEANAPOL memiliki kemampuan untuk secara efektif memonitor, berbagi informasi dan memberantas segala bentuk kegiatan teroris. Mereka sepakat untuk meningkatkan kerjasama antara lembaga penegak hukum melalui berbagi pengalaman pada counter-terorisme dan pertukaran informasi tentang dugaan teroris, organisasi dan modus operandi. Indonesia, Malaysia dan Filipina menandatangani Perjanjian tentang Pertukaran Informasi dan Komunikasi Pendirian prosedur untuk bekerja sama dalam memerangi kejahatan transnasional, termasuk terorisme. Thailand dan Kamboja yang kemudian acceded pada Perjanjian. Pada bulan November 2002, Malaysia membentuk Counter-Terrorism Centre.

Penutup –

Dalam literatur Ilmu Hubungan Internasional akar permasalahan terorisme seperti yang diungkapkan oleh Viotti dan Kauppi dalam International Relations and World Politics : Security Economy and Identity. dikaitkan dengan tiga faktor utama yaitu Psikologis, Ideologis, dan lingkungan.27 Kehadiran terorisme baru dianggap lebih mendekati pada faktor yang ketiga, yaitu analisis lingkungan akan sangat mempengaruhi seseorang dalam menyelesaikan sebuah masalah. Namun terlepads dari ketiga teori diatas kemunculan setiap individu atau kelompok teroris tidak pernah terlepas dari masyarakatnya. Mereka tidak muncul dalam suatu kevakuman sosial.

Dalam konteks global, aksi perang melawan terorisme yang dilancarkan oleh Amerika Serikat memang membawa dampak pada perubahan konstelasi politik dunia, Masyarakat dan negara-negara di dunia diminta untuk bekerjasama melawan aksi terorisme internasional, bagi Indonesia yang paska pemboman bali 2002 mau tidak mau harus merumuskan kembali kepentingan nasionalnya untuk memberikan porsi yang sama kepada kejahatan terorisme sama dengan kepentingan memerangi kemiskinan dan agenda-agenda lainnya.

27 Paul R. Viotti dan Mark Kauppi. 1997, International Relations and World Politics : Security Economy and Identity. Upper Saddle River: Prentice Hall. Pp. 166-167 Note :pertama, ahli psikologi menjelaskan bahwa terorisadalah individu yang mengalami sakit mental atau kejiwaan yang mungkin dikaitkan dengan masa kecil dimana orang tua melakukan kekerasan atau kekejamanan pada anak. Kedua, pada faktor ideologis yang

(11)

Kami tidak menolak bahwa kawasan Asia Tenggara tidak lepas dari ancaman dan kerawanan bahaya terorisme tetapi terlepas bahwa aksi terorisme yang dilakukan Al-Qaida di Amerika Serikat merupakan sebuah aksi dengan motivasi religius tetapi perlu dilakukan sebuah kajian yang lebih mendalam di kawasan Asia tenggara mengenai klasifikasi dan kelompok terorisme yang ada. Karena sebagai sebuah kawasan yang rata-rata merupakan negara dunia ketiga dimana masih terdapatnya konflik-konflik internal yang berbasis pada ketidakpuasan kelompok-kelompok minoritas memungkinkan terjadinya mixing atau combaining aksi terorisme. Sehingga kami berpendapat walau aksi terorisme Al-Qaida pada 11 September 2001 menstimulus gerakan-gerakan radikal islam di kawasan, bukan berarti gerakan-gerakan tersebut menginginkan satu tujuan yang sama. Beberapa diantaranya lebih kepada gerakan ethonational / separatist movement yang secara garis besar berbeda dari gerakan religious movement. Perlu dicatat masalah-masalah kaum minoritas di kawasan Asia Tenggara masih merupakan masalah-masalah kesenjangan hak sebagai warga negara.

Terorisme kontemporer di Asia Tenggara ini membutuhkan penanganan yang berbeda. Selain karena sifatnya yang berdasar pada agama (religious based), juga karena sifatnya yang transnasional dan oleh sub-state actor. Sehingga pergerakannya yang luas dan bebas tersebut-lah yang membuat rumit. Selain itu tidak adanya headquarter yang pasti yang dapat dijadikan target militer oleh negara. Juga basis agama menjadikannya dengan mudah untuk doktrinasi terhadap orang-orang baru. Pemicu lainnya adalah menyebarnya liberelisme kapitalisme yang secara tidak langsung bertentangan dengan ideologi Islam yang menjadi mayoritas di beberapa negara di Asia Tenggara. Sehingga ketidaksepahaman inilah yang kemudian membuat mobilisasi dan perubahan sosial yang mengakar pada kelompok-kelompok terorisme yang terbentuk.28

Selain itu, salah satu upaya yang mungkin paling tepat dilakukan adalah bagaimana negara-negara di Asia Tenggara memperkuat stabilitas kawasan melalui kerangka kerjasama ASEAN, fungsi ini akan memberikan cukup ruang bagi negara-negara anggota kawasan mengembangkan model-model penanganan bersama terhadap kejahatan terorisme dewasa ini.29 jaringan terorisme yang meluas ke kawasan Asia Tenggara tidak terlepas dari pengaruh globalisasi melalui ketersediaan informasi, komunikasi dan transportasi yang kemudian memudahkan penyebaran jaringan terorisme hingga ke kawasan Asia Tenggara. Peluang menyebarnya jaringan terorisme di Asia Tenggara sebenarnya dapat diminimalisir dengan syarat kawasan Asia Tenggara harus memiliki pasukan keamanan regional yang kuat. Pasukan keamanan ini tidak hanya pasukan keamanan yang mengawasi secara langsung wilayah kawasan Asia Tenggara. Tetapi juga dibutuhkan pasukan keamanan yang mengawasi fungsi jaringan komunikasi dan informasi seperti halnya di internet. Tetapi, penyelesaian terorisme di kawasan Asia Tenggara memang tergolong kompleks, di mana negara-negara di Asia Tenggara bahkan tidak memiliki kesatuan komitmen dalam memerangi terorisme. Dengan kata lain, terdapat permasalahan internal negara-negara Asia Tenggara yang mesti diselesaikan terlebih dahulu dan juga penyatuan serta rasa saling percaya harus diciptakan terlebih dahulu. Dengan demikian, ketika tercipta kesatuan di antara negara-negara Asia Tenggara, hal tersebut akan mempermudah terciptanya pengawasan keamanan regional yang optimal. Namun, melihat kondisi negara-negara Asia Tenggara saat ini, hal tersebut sangat sulit tercipta dan membutuhkan proses yang sangat lama untuk mencapai cita-cita yang diinginkan. Dengan

28 Niklas, Swanstrom and Bjornehed, Emma., 2004. Konflik resolution of Teroris Conflict in southeast Asia. Dalam Terrorism and Political Violence, vol. 16 no. 2 (Summer 2004). London: Frank Cass pp. 328-349

(12)

kemungkinan terburuk, penyelesaian terorisme di kawasan Asia Tenggara hanya akan mengalami stagnansi tanpa perubahan sama sekali.

Daftar Pustaka

Tan, Andrew. 2003. Southeast Asia as the ‘Second Front’ in the War Against Terrorism: Evaluating the Threat and Responses dalam Terrorism and Political Violance, vol.15 No.2 (summer 2003). London: Frank Cass pp.112-138.

Chalk, Peter 2002, Terrorism in Southeast Asia Springboard for International Terrorist Attack, University of Colorado Denver, Institute for International Business and Center

International Business Education & Research, Global Executive Forum. Pdf

Chalk, Peter, Angel Rabasa, William Rosenau, Leanne Piggot, 2009. The Evolving Terrorist Threat to Southeast Asia A Net Assessment, RAND National Defense Research Institute pada http://www.rand.org/pubs/monographs/2009/RAND_MG846.pdf

Kiras, James D. 2001. Terrorism and Globalization dalam John Baylis & Steve Smith, The Globalization of World Politics An Introduction to International Relations, Third Edition. Oxford University Press Pp.480

Magouirk Justin, Scott Atran, Marc Sageman, 2007. Connecting Terrorist Network. Studies in Conflict & Terrorism, 31:1-16. Routledge Taylor & Francis Group pada

http://www.artisresearch.com/articles/Sageman_Connecting_Terrorist_Networks.pdf

Niklas, Swanstrom and Bjornehed, Emma., 2004. Konflik resolution of Teroris Conflict in southeast Asia. Dalam Terrorism and Political Violence, vol. 16 no. 2 (Summer 2004). London: Frank Cass pp. 328-349

Sukma, Rizal. 2003 Keamanan Internasional Pasca 11 September:

Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional, disampaikan dalam seminar “Pembangunan Hukum Nasional VIII” Departemen Kehakiman dan HAM RI, Denpasar

Tjarsono, Idjang 2012. Isu Terorisme dan Beban Ancaman Keamanan Kawasan Asia Tenggara Pasca Runtuhnya WTC –AS, Jurnal Transnasional, Vol. 4, No. 1, Juli 2012 Hal.2

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu, saya mengharapkan kesediaan dan saudara/i sekalian untuk menjawab dan mengisi kuesioner ini sesuai dengan petunjuk yang sudah ada2. Semua informasi yang saudara/i

Hasil analisis ragam menunjukkan penambahan ubi jalar ungu pada es krim susu kambing memberikan pengaruh sangat nyata pada warna es krim.Hasil organoleptik warna

Dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada hasil pengukuran zona daya hambat ekstrak daun jati tua pada masing-masing kelompok konsentrasi.. Untuk

now’’ signifies to the oppressors (white people) in this line Bob Marley suggest that black people should fight against the oppressors to reach their right. In the

Oleh karena itu perancangan museum batik priangan ini bertujuan untuk menyediakan informasi dan sarana edukasi berupa perancangan interior museum sebagai fasilitas pelestarian

Xilitol telah banyak dikonsumsi dan digunakan sebagai agen pemanis dalam makanan sejak 1960-an. Xilitol merupakan zat yang tidak berbau, berwarna kristal putih, berbentuk powder

Berdasarkan hasil yang telah didapat maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya, yaitu keterlibatan kerja tidak memediasi hubungan antara etika

Faktor kesulitan informan untuk berhenti merokok adalah diri sendiri (tidak ada keinginan yang kuat dari dalam), lingkungan, teman sebaya, orang yang menjadi panutan,