PENENTUAN KUALITAS PELUMASAN MESIN
Rizqon Fajar dan Siti YubaidahBalai Termodinamika Motor dan Sistem Propulsi BPPT Email: rizqon_fajar@yahoo.com
ABSTRACT : The monitoring on commercial engine lubricants have resulted that the properties of
most lubricants (synthetic, semi synthetic and mineral type) have met the requirements specifiedfor common engine oil. However, significant variations have been found in the properties such as viscosity, viscosity index and additive contents (anti oxidant & detergent). Too high in viscosity will give difficulty during engine staring and increases the fuel consumption. Meanwhile if the viscosity is too low this will create more risks for engine damage (metal to metal contact). Some of the samples from synthetic, semi synthetic and mineral lubricants have shown that the additives contents (anti oxidant, antiwear anddetergent) are too low. Lower additive contents means that the service life of the
lubricants will be shorter than the usual recommendation. Most of mineral lubricants are too high
viscosity at normal temperature of engine operation (lOff'C). This will decrease the efficiencyfor the
engine operations (highfuel consumption).
Keywords : mineral lubricants, synthetic, semisynthetic, viscocity, additive contents
PENDAHULUAN
Ada tiga jenis pelumas mesin yang beredar dipasar, dibedakan berdasarkan pelumas dasar (base oil) yang menyusunnya. Ketiganya adalah pelumas mineral, pelumas semi sintetik dan pelumas sintetik. Ketiganya mempunyai kelebihan masing-masing baik dari segi unjuk kerja maupun harga. Pelumas mineral memiliki bahan baku yang berasal dari proses pengilangan minyak bumi dan terdiri dari berbagai komponen seperti parafin, nafta, aromatik dll. Karena tersusun oleh berbagai komponen maka pelumas mineral tidak dapat memiliki sifat atau unjuk kerja yang optimum tanpa bantuan aditif.
Lain halnya dengan pelumas sintetik yang dibuat dari suatu reaksi kimia tertentu dan dirancang untuk memiliki sifat yang diinginkan. Oleh karena itu pelumas sintetik
memiliki struktur molekul tertentu yang
memiliki sifat atau unjuk kerja yang optimum. Salah satu kelemahan pelumas sintetik adalah harganya yang lebih mahal dibanding pelumas
mineral. Untuk mengatasi hal ini maka dibuat
produk yang merupakan kompromi dari kelemahan atau kekuatan pelumas sintetik dan mineral, yaitu pelumas semi sintetik. Saat ini tidak adanya kesepakatan yang jelas tentang definisi pelumas semi sintetik. Ada yang
berpendapat bahwa pelumas semi sintetik merupakan campuran antar pelumas mineral dengan sintetik. Definisi lain adalah pelumas semi sintetik merupakan pelumas mineral yang telah diperbaiki sifatnya, mendekati unjuk kerja pelumas sintetik. Dalam survey ini akan ditunjukkan definisi yang berlaku di pasar. Definisi mengenai pelumas mineral, semi sintetik dan sintetik sangat bervariasi, ditentukan oleh persepsi masing-masing produsen pelumas.
Pada paper ini akan diuraikan lebih dulu tentang definisi kualifikasi pelumas yang diberikan oleh institusi berwenang dan para ahli dibidang pelumas. Setelah itu akan dilaporkan hasil dari monitoring terhadap berbagai merk pelumas dipasar dan dievaluasi tentang jenis (mineral, semi sintetik, sintetik) dan kualitasnya. Penentuan kualitas pelumas dilakukan berdasarkan hasil pengukuran sifat kimia fisika yang menentukan proses pelumasan. Hasil pengukuran sifat kimia fisika kemudian dibandingkan dengan spesifikasi/ standar yang sesuai dengan kualifikasi pelumas yang tertera pada kaleng pelumas yang dimonitor. Sifat kimia fisika yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas pelumas adalah:
Total Base Number (TBN)
Titik nyala
Kandungan Additive Titik Tuang {Pour Point)
Sidik Jari Pelumas (FTIR)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi yang obytektif terhadap kualitas berbagai pelumas yang beredar dipasar tanpa memperhatikan merk dan harga dengan cara yang sederhana dan cepat
(screening test).
TINJAUAN PUSTAKA Kualifikasi Pelumas Dasar
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa definisi tentang kualifikasi pelumas dasar sangat rancu di lapangan. Pada prinsipnya ada dua jenis pelumas dasar yaitu pelumas dasar mineral dan sintetik. Pelumas dasar mineral terbuat dari minyak bumi melalui proses separasi. Sedangkan pelumas dasar sintetik terbuat biasanya dari minyak bumi melalui rekayasa proses/reaksi yang kompleks untuk mendapatkan sifat yang diinginkan. Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (No. 1693 K/34/MEM/2001) telah menggolongkan mutu pelumas dasar menjadi lima grup. Pelumas dasar yang termasuk kedalam grup I, II dan III berasal dari minyak bumi (mineral) karena masih mengandung sulfur dan senyawa tak jenuh. Pelumas dasar mineral terdiri dari campuran senyawa parafin,
nafta dan aromatik. Pelumas dasar grup III
terbuat dari senyawa parafin yang telah mengalami proses lanjutan sehingga kadar
sulfur rendah dan memiliki indeks viskositas
yang tinggi.
Pelumas dasar grup IV dan V merupakan pelumas sintetik dimana tidak mengandung sulfur, memiliki indeks viskositas (>120) dan stabilitas oksidasi yang tinggi (kadar senyawa tak jenuh sangat kecil). Pelumas dasar sintetik yang telah diterapklan secara luas adalah polyalphaolefins (PAO) terutama sebagai pelumas mesin, digolongkan dalam grup IV. Sedangkan pelumas dasar yang digolongkan dalam grup V adalah selain PAO, yaitu:
alkylated aromatics, polybutenes, aliphatic diesters, polyolesters, polyalkyleneglycols dll.
Perbedaan Unjuk Kerja Pelumas Dasar Sintetik dan Mineral
Perbedaan unjuk kerja pelumas yang dimaksud adalah kelebihan dan kelemahannya. Kelebihan minyak dasar sintetik (khususnya PAO) dibanding minyak dasar mineral, baik grup I, II maupun III adalah pada beberapa
sifat fisik dan unjuk kerjanya, antara lain2):
• Sifat penguapannya yang relatif rendah,yang memungkinkan minyak dasar ini mempunyai tingkat konsumsi yang rendah.
• Titik tuangnya relatif rendah,
memungkinkan diformulasikan untuk
aplikasi pelumas pada kondisi ekstrem dingin yang tidak dapat dicapai oleh pelumas berbahan dasar mineral.
• Mempunyai kestabilan yang lebih baik
pada operasi temperatur tinggi.
Disamping beberapa kelebihan tersebut di atas minyak dasar sintetik masih
mempunyai kelemahan diantaranya:
• Keterbatasan melarutkan beberapa aditif sehingga menjadi hambatan dalam proses produksi.
• Dapat menyebabkan perubahan sifat fisik dari seal, yang dapat menyebabkan cepat rusaknya material seal dan dapat
menimbulkan kebocoran.
• Harganya jauh lebih mahal dari minyak
dasar mineral.
Parameter Penentu Sifat Pelumasan Viskositas
Viskositas merupakan ukuran seberapa
besar hambatan sebuah fluida (pelumas) untuk dapat mengalir. Makin besar viskositas (makin
kental) berarti makin makin besar hambatan
untuk mengalir. Idealnya viskositas atau hambatan suatu pelumas harus kecil namun harus menghasilkan lapisan tipis yang kuat/kental untuk memisahkan dua permukaan yang saling bergesekan pada temperatur tertentu3,4).
Tabel 2 menampilkan beberapa persyaratan sifat fisika dari pelumas berasal
dari berbagai kekentalan yang ditetapkan pada SAE J300. Sementara itu penentuan kekentalan yang harus digunakan direkomendasikan oleh pabrik mesin/ kendaraan karena kekentalan berhubungan dengan spesiflkasi mesin dan kondisi operasi mesin (kecepatan, beban, temperatur).
Indeks Viskositas
Indeks viskositas (Viscosity Index, VI) adalah suatu ukuran dari perubahan viskositas terhadap temperatur. Viskositas pelumas akan turun jika temperature naik dan sebaliknya,
viskositas akan naik jika temperature turun4"*)
Perubahan ini tidak akan sama untuk semua
pelumas. Saat ini hampir semua pelumas memiliki VI yang cukup tinggi, diatas 100 sehingga perubahan temperatur tidak merubah viskositas hingga ke tingkat yang membahayakan mesin. Semua pelumas jenis multi grade memiliki VI diatas 100. Untuk pelumas mesin sintetik berasal dari PAO memiliki VI yang tinggi (130-150).
Titik Tuang (Pour Point)
Adalah temperatur rendah dimana
sebuah pelumas masih mengalir. Titik tuang
pelumas ditentukan dari jenis pelumas dasar
(base oil) yang digunakan. Pelumas sintetik
pada umumnya mempunyai titik tuang jauh lebih rendah dibandingkan pelumas mineral. Sehinga daerah operasi pelumas sintetik lebih
luas, mulai dari daerah ekstrim dingin hingga
panas. Pada umumnya, pelumas sintetik mempunyai sifat cold starting yang jauh lebih baik dibandingkan pelumas mineral. Titik
tuang juga dapat digunakan untuk
kemurnian dan jenis pelumas sintetik4,5).
cek
Titik Nyala (Flash Point)
Adalah temperatur dimana timbul sejumlah uap yang dengan udara membentuk suatu campuran yang mudah menyala. Flash
point dapat diukur dengan jalan melewatkan
nyala api pada pelumas yang dipanaskan secara bertahap. Titik nyala merupakan sifat pelumas yang digunakan untuk prosedur penyimpanan agar aman dari bahaya kebakaran. Semakin tinggi titik nyala suatu pelumas semakin aman dalam penggunaan dan
penyimpanan4,5*.
Total Base Number (TBN)
Adalah kapasitas pelumas untuk menetralisir asam yang berasal dari bahan bakar (sulfur) dan akibat dari oksidasi temperatur tinggi, kondensasi dan proses
pembakaran4,6).
Kehadiran
asam
dalam
mesin/crankcase dapat menimbulkan korosi
pada bearing. Suatu pelumas harus
mempunyai kandungan TBN yang tinggi agar dapat menetralisir asam
jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, besar TBN suatu pelumas tergantung jenis bahan bakar yang digunakan (kandungan sulfur). Semakin besar TBN dari sebuah pelumas, semakin lama usia pakainya. Untuk kondisi di Indonesia besar TBN untuk pelumas bensin adalah 6-10 mg KOH/g. Pelumas disel memiliki TBN yang lebih tinggi (>11), karena kandungan sulfur dalam minyak disel cukup tinggi (>500 ppm).
cukup dalam
Tabel 1. Penggolongan dan mutu pelumas dasar SK Menteri ESDM No. 1693 K/34/MEM/20012)
Kategori Pelumas Dasar Kandungan Sulfur, % Saturated/Senyawa Jenuh, % Indeks Viskositas
Grup I >0,03 dan atau <90 80-120
Grup II <0,03 atau <90 80-120
Grup III <0,03 atau <90 > 120
Grup IV Semua Polyalphaolefin (PAO)
Tabel 2 Persyaratan sifat fisika pelumas dari berbagai kekentalan (SAE J300)7)
Parameter OW 5W 10W 15W 20W 25W 20 30 40 50 60 Viskositas pd 100°C Min. cSt Max. cSt 3,8 3,8 4,1 5,6 5,6 9,3 5,6 <9,3 9,3 <12,5 12,5 <16,3 16,3 <21,9 21,9 26,1 Titik Tuang Max. °C - -35 -30 -23 - - - -18 -15 -9 -Titik Nyala Min. °C 200 205 215 - - - 220 225 230 -Kandungan AditifPelumas mengandung berbagai jenis aditif. Jenis aditif yang penting antara lain anti oxidant, anti korosi, detergent dan extreme
pressure. Senyawa organo metal (zinc) sering
digunakan sebagai aditif anti oksidant, anti
korosi!antiwear dan extreme pressure. Sedangkan senyawa organo metal (Ca atau
Mg) digunakan sebagai additive detergent.
Kandungan senyawa aditif organo metal dalam
pelumas dapat dideteksi secara akurat dengan
instrument ICP (Inductive Couple Plasma).Kisaran kandungan anti oxidant dalam
pelumas adalah 1000 ppm dan untuk aditif
detergent (Ca dan Mg) sekitar 2000 ppm. Jumlah aditif dalam pelumas tidak boleh terlalu sedikit, sebab aditif (terutama
antioxidant) akan cepat rusak atau terkonsumsi
dengan cepat seiring dengan usia pakai pelumas. Semakin tinggi kandungan antioxidant usia pakai pelumas juga semakin panjang4,6)
Sidik Jari
Pelumas tersusun oleh senyawa pelumas
dasar dan additive. Molekul pelumas dasar dan additive mempunyai gugus-gugus fungsi yang khas dan dapat dideteksi oleh Spektrometri
Inframerah Transformasi Fourier (FTIR).
Setiap pelumas memiliki spektrum FTIR yang khas dan spektrum tersebut dapat dijadikan sebagai sidik jari atau identitas keasliannya. Spektrum FTIR juga sering digunakan untuk mendeteksi kehadiran aditif dan sisa usia pakai
4000 3000 3200 2000 2400 2000 1300 1000 1400 1200 1000 Bilangan gelombang (cm1)
Gambar 1. Spektra FTIR gugus fungsional dari base oil dan additif^
Tabel 3Daftar spektra FTIR gugus fungsional dari base oil dan additif**
Gugus fungsi
Bilangan gelombang (cm"1)
KeteranganMethyl (-CH3) 3000 Base Oil (Mineral & PAO)
Aromatic 1600 Mineral
ZnDDP 978 & 654 Antioxidant & Antiwear
Phenol 3648 Antioxidant
Aromatic amine 744,1310,1514 Antioxidant
Carbonat 1494 & 868 Detergent
Sulfonat 1158 & 1169 Detergent
Succinimide 1230 & 1366 Detergent
Succinimide 1704, 1773 Dispersant
pelumas berdasarkan jumlah kandungan
additif tersisa7).
Gambar
1 menampilkan
karakteristik spektrum pelumas beserta gugus fungsi yang berasal dari additif dan minyakdasar (base oil). Tabel 3 memuat gugus
fungsional yang terkandung pada base oil dan additif beserta bilangan gelombangnya.
METODOLOGI Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah alat ukur untuk parameter yang berkaitan fisika pelumas yaitu viskometer kinematik Scott gerate (viskositas
dan viskositas indeks), tabung gelas dan
termometer (titik tuang), flash point close cup Pensky Marten, titrator Metrum (TBN). ICP Perkin Elmer Plasma 400 (kandungan logam
additif) dan FTIR Perkin Elmer Paragon 1000
(sidik jari pelumas). Bahan kimia yang digunakan adalah pelarut sebagai pembersih
(alkohol dan aceton). Bahan kimia untuk
keperluan analisis (proanalis) adalah chlorobenzene, asam acetat, asam perchlorat untuk analisis kandungan basa (TBN) dan xylene sebagai pengencer sampel pelumas sebelum dianalisis kandungan logam dengan
ICP.
Sampel Pelumas
Sampel diambil dari grosir pelumas yang telah dijamin keasliannya dari produsen. Sampel terdiri dari jenis mineral, semi sintetik dan sintetik. Setelah dicatat jenis pelumas dan
kekentalannya, sampel pelumas dipindahkan
ke botol yang bersih dan kering. Selanjutnya botol-botol sampel diberi kode A, B, C hingga V. Maksud dari pemindahan sampel adalah obyektifitas tetap terjaga selam analisis (Merk pelumas tidak akan dikenal oleh para analis di laboratorium). Jumlah total sampel pelumas adalah 22 buah, dimana perincianya adalah:
• Mineral: 5 buah
• Semi Sintetik: 9 buah
• Sintetik: 8 buah
Ke-22 sampel pelumas kemudian
dikirim ke laboratorium untuk dianalisis.
Identitas dan klasifikasi dari sampel pelumas terdapat pada Tabel 4.
Metode Pengukuran
Dari pengukuran parameter yang menentukan sifat pelumasan (viskositas, indeks viskositas, titik tuang) dilakukan perbandingan terhadap nilai standar yang berlaku untuk jenis pelumas yang bersangkutan, seperti yang tercantum pada Tabel 2. Jika tidak mungkin membandingkan dengan nilai standar maka digunakan nilai yang bersifat lokal atau nilai tipikal yang sesuai dengan kondisi operasional mesin (kandungan additif). Berikut ini akan diuraikan parameter beserta nilai standar yang digunakan dalam penilaian.
Sampel pelumas diambil dari distributor yang telah mempunyai reputasi. Ke-22 sampel tersebut memiliki merk, kekentalan dan jenis
base oil yang berlainan. Identitas dari ke-22 sampel pelumas tersebut diuraikan pada Tabel 4. Parameter yang digunakan untuk mengevaluasi unjuk kerja pelumasan dan
metode
pengukurannya
diuraikan
pada
Tabel 5.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel Pelumas Sintetik
Hasil pengukuran sifat kimia fisika dari
sampel pelumas sintetik 10W-40 dan SAE
20W-50 terdapat pada Tabel 6. Dari semua
sampel dengan kekentalan SAE 10W-40 (kode
A hingga G) hanya sampel dengan kode A
yang memiliki viskositas 100°C (18,08 cSt)
melebihi ketentuan yang ditetapkan menurut SAE J300 (min. 12,5 dan maks. 16,3 cSt).Visksoitas pada 100°C merupakan vi skositas
pada temperatur operasional mesin. Jika pada
jika viskositas terlalu tinggi maka mesin
bekerja lebih berat sehingga memerlukan
energi atau bahan bakar yang banyak. Viskositas sampel pelumas A pada
temperature 40°C juga lebih tinggi dibanding
sampel pelumas sintetik yang lain. Dikhawatirkan pada temperatur rendah, hal ini akan menyulitkan starting karena pompa oli akan bekerja berat. Lain halnya dengan sampel pelumas dengan kode B dan G yang memiliki viskositas rendah sehingga akan mempermudah starting mesin pada temperatur rendah, meskipun sampel pelumas G memiliki viskositas pada 100°C yang relatif lebih rendah (12,2 cSt) dibandingkan batas yang ditetapkan (min. 12,5 cSt). Hanya ada sebuah sampel dengan bilangan kekentalan SAE 20W-50
yaitu H. Visksoitasnya pada temperatur 100°C
(17,56 cSt) memenuhi klasifikasi SAE J300 (16,3-21,9 cSt), namun demikian penggunaan pelumas sintetik saat ini dapat mentolerir visksoitas yang lebih rendah karena pelumas
sintetik memilki kekuatan film, friksi,
ketahanan oksidasi dan panas yang lebih tinggi
Tabel 4. Identitas dan klasifikasi sampel pelumas
Kode Kekentalan Jenis Base Oil Kode Kekentalan Jenis Base Oil
A 10W-40 Sintetik L 20W-50 Semi Sintetik
B 10W-40 Sintetik M 20W-50 Semi Sintetik
C 10W-40 Sintetik N 20W-50 Semi Sintetik
D 10W-40 Sintetik O 20W-50 Semi Sintetik
£ 10W-40 Sintetik P 20W-50 Semi Sintetik
F 10W-40 Sintetik Q 20W-50 Semi Sintetik
G 10W-40 Sintetik R 20W-50 Mineral
H 20W-50 Sintetik S 20W-50 Mineral
I 10W-40 Semi Sintetik T 20W-50 Mineral
J 10W-40 Semi Sintetik U 20W-50 Mineral
K 10W-40 Semi Sintetik V 20W-50 Mineral
Tabel 5. Parameter Pelumasan dan Metode Uji
Sifat Pelumas Metode Uji
Viskositas pada 40°C, cST ASTM D-445
Viskositas pada 100°C,cSt ASTM D-445
Indeks Viskositas ASTM D-2270
Titik Tuang (Pour Point), °C ASTM D-97
Titik Nyala (Flash Point), °C ASTM D-92
TBN, mg KOH/g ASTM D-2896
Kandungan Additive (Zn, Ca, Mg) ICP
Tabel 6. Properties pelumas sintetik dengan SAE 10W-40 dan SAE 20W-50
SAE 20W-50 SAE 10W-40
H Batas A B C D E F G Batas
Viskositas 40°C, 156,76 - 113,84 78,45 90,48 91,60 87,06 100,35 76,43
-cSt
Viskositas I00°C, 17,56 Min. 18,08 13,66 14,29 14,15 13.85 14,35 12,20 Min.
cSt 16,3 Max. 21,9 12,5 Max. 16,3 Indeks Viskositas 116 130-150 139 143 137 135 137 130 135 130-150
Titik Tuang (PP), -30 Max. -21 -30 -24 -24 -27 -27 -24 Max.
°C -15 -15 TBN, mgKOH/g 5,60 9,78 6,79 9.46 7,8 9,45 8,62 5,33 sampel Additif: Zn (ppm) 1071 - 960 1158 804 820 814 762 935 -Ca (ppm) 1835 3257 2223 1506 2456 1465 2419 1755 Mg (ppm) 4 12 6 1083 17 1079 272 8
Titik Nyala, °C 236 Min. 220 226 220 222 222 224 216 228 Min. 215 Keterangan: • Zn •
paling tinggi kualitasnya
kandungan additif antioksidant/antiwear (ppm)
paling rendah kualitasnya
Ca & Mg: kandungan additif'detergent/penetralisir asam (ppm)
dari pelumas mineral. Secara umum dapat
dikatakan bahwa sampel B memilki viskositas yang ideal karena memenuhi klasifikasi SAE J300 dan memiliki viskositas yang cukup
rendah pada temperatur 40°C.
Meskipun Indeks viskositas (VI) tidak terlalu penting dalam unjuk kerja pelumasan namun pelumas sintetik biasanya memiliki VI yang berkisar antara 130 s/d 150. Semua sampel sintetik dengan SAE 1OW-40 (A s/d G) telah memenuhi persyaratan SAE J300. Sedangkan sampel dengan SAE 20W-50 (kode H) memiliki VI sebesar 116 yang agak rendah untuk digolongkan sebagai pelumas sintetik. Titik tuang (pour point) semua sampel baik dengan kekentalan SAE 10W-40 dan 20W-50
(A s/d H) telah memenuhi persyaratan (<-15°C). Pada prinsipnya semakin rendah titik
tuang akan semakin luas daerah aplikasinya (dapat diaplikasikan di daerah tropis maupun di daerah beriklim dingin). Sampel B dan F
memiliki titik tuang yang terendah atau terbaik yaitu -30°C.
Bilangan basa (TBN, total base number) menunjukkan kemampuan pelumas untuk
menetralisir asam hasil oksidasi pelumas
maupun hasil pembakaran bahan bakar.
Semakin tinggi TBN semakin tinggi pula kemampuan pelumas menetralisir asam. TBN dalam pelumas adalah proporsional dengan kandungan aditif detergent (kandungan Ca dan Mg). Selain sebagai penetralisir asam, detergen juga berfungsi untuk membersihkan
permukaan mesin/ruang bakar dari kerak.
Besar TBN untuk kondisi bahan bakar dan
pemakain mesin yang normal di Indonesia (-5.000 km) adalah sekitar 6-7 mg KOH/gram sampel. Semakin tinggi TBN pelumas semakin lama pelumas dapat digunakan 1 (>5.000 km). Pelumas no A, C dan E memiliki TBN di atas 9, oleh karena itu mempunyai kemampuan menetralisir asam lebih tinggi atau lebih lama dari pelumas lain. Sedangkan pelumas G mempunyai TBN terendah yaitu 5,30 mg KOH/g sampel.
Kandungan Zn menunjukkan jumlah aditif anti oxidant sekaligus antiwear,
sehingga jumlahnya harus mencukupi agar pelumas dapat digunakan hingga waktu tertentu. Sebagai antioxidant Zn akan terkonsumsi sehingga kandungannya harus dijaga jangan sampai terlalu rendah. Kadungan Zn biasanya berkisar antara 800-1.000 ppm. Kandungan Zn tertinggi terdapat pada sampel B (1158ppm) dan terendah pada sampel F (762 ppm). Kandungan aditif detergen (Ca dan Mg) terjadi pada sampel A dan terendah sampel G
Titik nyala (flash point) merupakan data yang menyatakan tingkat keamanan pelumas dari bahaya kebakaran selama penggunaan ataupun penyimpanan. Semakin tinggi titik nyala berarti pelumas semakin aman untuk digunakan. Dalam hal ini pelumas H memiliki tingkat keamanan tertinggi dengan titik nyala sebesar 236°C dan terendah adalah sampel F (216°C).
Sampel Pelumas Semi Sintetik
Pelumas dengan SAE 10W-40 (I s/d K) memiliki viskositas yang memenuhi SAE J300 (12,5-16,3) pada temperatur operasional mesin 100°C. Namun demikian sampel pelumas K memiliki viskositas yang terendah baik pada
100°C (14,34cSt) dan pada 40°C (84,95 cSt),
sehingga diprediksi akan memberikan kinerja mesin yang lebih baik seperti lebih hemat
bahan bakar, mesin mudah distort pada
temperatur rendah. Hal yang sama terjadi pada pelumas SAE 20W-50 bahwa sampel pelumas N s/d Q telah memenuhi SAE J300. Namun sampel N memiliki viskositas yang paling
rendah yaitu 18,32 (100°C) dan 156,45 °C
(40°C). Karena merupakan perbaikan dari sifat pelumas mineral maka pelumas semi sintetik memiliki indeks viskositas yang lebih tinggi dibanding pelumas mineral. Sampel pelumas dengan SAE 10W-40 mempunyai VI yang lebih tinggi (132-140) dari SAE 20W-50 (118-122). Sampel pelumas K mempunyai VI tertinggi yaitu 140 sedangkan VI terendah terdapat pada sampel P dan Q.
Sebagian besar sampel pelumas semi sintetik memiliki titik tuang lebih rendah dari -15°C, kecuali sampel I, P dan Q. Sampel dengan titik tuang terendah adalah pelumas SAE 10W-40 dengan kode J dan K (-30°C).
Besar TBN untuk semua pelumas semi sintetik agak rendah (TBN <7) dibanding pelumas sintetik. Sampel pelumas M memiliki TBN yang paling rendah. Hal ini karena kandungan aditif detergent (Ca dan Mg) hanya sekitar 1785 ppm. Oleh kerena itu kemamampuan menetralisir asam juga agak
rendah dan usia pakainya menjadi lebih
pendek. Seperti diketahui bahwa aditif Zn selain sebagai antioxidant juga digunakan
sebagai aditif antiwear, leh karena itu
kandungannya dalam pelumas harus cukup
(800-1.000 ppm). Sampel pelumas K memiliki kandungan Zn yang paling rendah (773 ppm). Sampel dengan kandungan aditif Zn tertinggi
adalah Q (1293 ppm) dan terendah adalah
sampel K. Sedangkan kandungan aditif
detergen (Ca dan Mg) tertinggi pada sampel J dan terendah pada sampel M.
Titik tuang pelumas semi sintetik dengan
kekentalan SAE 10W-40 dan SAE 20W-50
telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Seperti pada pelumas sintetik, pelumas dengan viskositas tinggi memiliki titik nyala yang tinggi pula. Sampel pelumas L dan N (SAE
20W-50) memiliki titik tuang tertinggi,
sedangkan yang terendah adalah sampel I
danK.
Sampel Pelumas Mineral
Untuk pelumas mineral hasil pengukuran terdapat pada Tabel 8. Sampel pelumas yang tersedia hanya dengan kekentalan SAE 20W-50 tanpa SAE 10W-40. Viskositas yang
terukur
pada temperatur
100°C
ternyata
melebihi batas yang ditetapkan dalam SAE J300 (max. 16,3 cSt), kecuali sampel pelumas T. Viskositas tertinggi terjadi pada kode S
(18,80 cSt). Penggunaan pelumas dengan viskositas tinggi akan menyebabkan mesin
mengkonsumsi bahan bakar yang tinggi pula. Semua sampel memiliki indeks viskositas yang memenuhi syarat (>100).
Titik tuang semua sampel pelumas lebih
rendah dari -15°C, berarti telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Bahkan sampel pelumas R memiliki titik tuang sangat rendah
Tabel 7. Properties pelumas semi sintetik SAE 10W-40 dan SAE 20W-50 SAE 20W-50 SAE 10W-40 L M N 0 P Q Batas I J K Batas Viskositas 40°C. cSt 166.42 163.65 156,45 164.19 166.95 170,64 102,13 97.84 84,95 -Viskositas 100°C. cSt 18.70 19.60 18,32 18.89 18.80 19,89 Min. 16,3 Max. 21,9 14,95 14.60 14,14 Min. 12.5 Max. 16,3 Indeks Viskositas 118 123 120 120 118 122 >100 132 133 140 >I00 Titik Tuang (PP),°C -18 -18 -27 -18 -15 -15 Max. -15 -15 -30 -30 Max. -15 TBN. mgKOH/g sampel 5.92 5,50 6.25 5,88 6.60 6.09 - 6,46 6,95 5.71 -Zn (ppm) Ca (ppm) Mg (ppm) 1104 2019 7 912 1780 5 937 2167 3 1123 1895 in 901 2135 9 1293 1959 10 - 1073 2102 8 988 2257 12 773 1971 12 -Titik Nyala, °C 236 230 236 232 224 228 Min. 220 216 222 216 Min. 215
Tabel 8. Hasi pengukuranproperties pelumas mineral SAE 20W-50
SAE 20W-50
R S T U V Batas
Viskositas 40°C, cSt 127,34 151,47 144,80 159,45 143,23
-Viskositas 100°C, cSt 16,50 18,80 15,95 18,14 17,45 Min. 12,5
Max. 16,3
Indeks Viskositas 125 125 111 118 118 >I00
Titik Tuang (PP), °C -30 -18 -18 -21 -21 Max.-15
TBN, mgKOH/g sampel 7,07 9,16 6,91 6,58 7,96 Zn (ppm) Ca (ppm) Mg(ppm) 1144 2269 12 1054 3047 6 935 2167 10 860 2456 17 904 2272 170
Titik Nyala, °C 222 228 226 238 218 Min. 220
Keteranean:
Zn
Ca & Mg
paling tinggi kualitasnya
kandungan additif antioksidant/antiwear (ppm) paling rendah kualitasnya
kandungan additif detergent/penetralisir asam (ppm)
TBN pelumas mineral memiliki nilai
yang standar (6-7 gKOH/g sampel), kecuali pelumas dengan kode S memiliki TBN yang cukup tinggi (9,16). Hal ini memungkinkan
sampel pelumas S untuk digunakan lebih lama. Kandungan aditif antioxidant dan antiwear Zn
dalam pelumas berkisar antara 800-1.000 ppm (standar). Kandungan aditif detergen tertinggi
terdapat pada sampel S dan terendah pada
sampel T.
Meskipun pelumas no. 14 memiliki titik
nyala yang rendah (118°C) namun
diperkirakan tidak akan membahayakan selama penggunaan. Rendahnya titik nyala
mengindikasikan bahwa pelumas no. 14 mengandung komponen yang mudah menguap
ditambahkan (topping up) selama penggunaan lebih besar dari pelumas lain.
Analisis Sidik Jari FTIR
Dari hasil spektra FTIR ke 22 sampel, sidik jari yang menunjukkan gugus fungsional
base oil maupun aditif dapat diidentifikasi.
Untuk berbagai jenis base oil, khususnya pelumas sintetik tidak dapat dibedakan dengan pelumas mineral. Dari semua pelumas sintetik (A s/d H) tampak bahwa sampel B tidak mengandung/sedikt sekali gugus aromatik
(panjang gelombang = 1600 cm"1) yang
merupakan ciri khas pelumas mineral. Kemungkinan besar sampel B tersusun sebagian besar dari base oil sintetik berjenis PAO (Poly Alpha Olefine). Demikian pula dengan sample no. A, C, G dan H meskipun spektra aromatiknya tampak jelas atau lebih dominan dibanding pelumas B. Dari hasil pengukuran viskositas, VI dan titik tuang juga tampak bahwa sample no. 5 lebih superior dibanding yang lain. Sementara itu pelumas sintetik no. D, E dan F spektra aromatiknya
(1600 cm"1) tampak sangat jelas. Meskipun
ada indikasi kandungan mineral dalam pelumas sintetik tersebut namun ad kemungkinan pula pelumas sintetik tersebut tersusun oleh base oil sintetik jenis AlkylatedAromatic. Kehadiran gugus aromatik pada pelumas semi sintetik sangat jelas pada
gelombang 1600 cm"1. Hal ini menunjukkan
bahwa pelumas semi sintetik merupakan campuran dengan base oil mineral.
Spektra FTIR dari sampel Q juga menunjukkna kehadiran berbagai jenis
additive seperti yang ditunjukkan oleh Gambar
1 dan 2. Hal yang menarik adalah spektra
aditif antioxidant dan antiwear (ZnDDP)
intensitasnya berbeda-beda untuk jenis pelumas yang sama. Hal ini menunjukkan kandungan aditif pada sampel pelumas sangat bervariasi untuk jenis pelumas yang sama.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil analisis unjuk kerja pelumasan sample pelumas sintetik, semi sintetik dan mineral
adalah:
a. Sampel dari pelumas sintetik sebagian besar telah memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan. Ada sebuah sampel dimana viskositas terlalu tinggi, yaitu sampel O. Meskipun hal ini tidak akan
menimbulkan kerusakan mesin, namun penggunaannya akan menyebabkan
efisiensi mesin tidak optimum. Selain itu ada beberapa sampel (G dan H) dimana kandungan aditif detergen (penetralisir asam) terlalu rendah sementara yang lain (A, C dan E) sangat tinggi. Hal ini mengakibatkan usia pakai yang sangat bervariasi diantara pelumas sintetik yang
ada. Sampel B menunjukkan kualitas yang terbaik diantara yang lain baik dari segi
sifat fisik, kandungan aditif maupun hasil sidik jari dengan FTIR
b. Sampel pelumas semi sintetik juga telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan
terutama viskositas. Namum demikian
kandungan aditif detergen pada sebagian
sampel agak rendah (K, M dan O),
sementara sebagian besar yang lain dengan
kandungan additif yang standar (<7 mgKOH/g sampel). Pada sampel K kandungan aditif antioxidant dan antiwear (Zn) terlalu rendah dibanding yang lain. Usia pakai pelumas K juga diprediksi akan
lebih pendek.
c. Diantara pelumas semi sintetik, sampel J memiliki kualitas yang terbaik terutama dari sifat fisik maupun kandungan aditif. Namun demikian secara umum dapat
dikatakan bahwa kualitasnya tidak terlalu
istimewa, sebanding dengan pelumas mineral.
d. Sebagian besar sampel pelumas mineral memiliki viskositas yang terlalu tinggi pada temperatur operasional (100°C). Hal ini dapat menurunkan efisiensi kerja. Sementara parameter yang lain cukup memenuhi persyaratan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
1. Panduan Pengawasan Produksi Pelumas, Ditjen Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan, Depperindag, Oktober 2003
2. Sanusi W, Base Oil dan Formulasi Pelumas, Bulletin MASPI, Ed. I, Jan. 2006
3. Mortier, O. (Ed), Chemistry and Technology of Lubricants, Chapman &
Hall, 1997
4. Troyer, D. and Fitch, J., Oil Analysis
Basics, 2001
5. Physical and Chemical Properties, http:// www.herguth.com/capabilities/physical_ch emical_properties.htm
6. Minvak Pelumas dan Pensaruhnva
Terhadap Mesin Anda, Trakindo
7. Suhardono, E. et al, Analisis Spektroskopi
Kandungan Minyak Mineral dan Sintetik
Berjenis Polisobutilena, Lembaran Publikasi Lemigas Vol. 35. No 1/2
8. Fajar, R., Efek Kelarutan Biodiesel, Proceeding Seminar Teknologi Untuk Negeri, BPPT, 2005