• Tidak ada hasil yang ditemukan

RE-INTERPRETASI HUBUNGAN LAVA BANTAL WATUADEG DENGAN BATUAN VULKANIKLASTIK DI DESA WATUADEG, BERBAH, SLEMAN, D. I. YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RE-INTERPRETASI HUBUNGAN LAVA BANTAL WATUADEG DENGAN BATUAN VULKANIKLASTIK DI DESA WATUADEG, BERBAH, SLEMAN, D. I. YOGYAKARTA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

M4P-08

RE-INTERPRETASI HUBUNGAN LAVA BANTAL WATUADEG

DENGAN BATUAN VULKANIKLASTIK DI DESA WATUADEG,

BERBAH, SLEMAN, D. I. YOGYAKARTA

Agung Harijoko1*, Richa Hidiyawati1, Haryo Edi Wibowo1, Nugroho Iman Setiawan1, Bambang Budiono1

1

Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, Jalan Grafika No. 2 Kampus UGM, Indonesia, *Email:aharijoko@ugm.ac.id

Diterima 20 November 2014

Abstrak

Kehadiran lava bantal biasa digunakan untuk menandai vulkanisme bawah air oleh karena itu ia biasa dijumpai tersingkap bersama dengan batuan sedimen. Akan tetapi, hubungan stratigrafi antara lava bantal dan batuan sedimen, seperti misalnya vulkaniklastik kaya pumis, yang hadir bersama mungkin membingungkan karena perbedaan mekanisme pembentukannya. Ada beberapa singkapan lava bantal di Pegunungan Selatan dan salah satunya terdapat di Watuadeg, Kecamatan Berbah Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Lava bantal di lokasi ini terdapat bersama dengan batuan vulkaniklastik bagian dari Formasi Semilir, dimana hubungan stratigrafi yang telah diusulkan oleh peneliti terdahulu masih kontroversi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menelaah ulang hubungan strattigrafi antara lava bantal dengan batuan vulkaniklastik kaya pumis yang diyakini sebagai bagian dari Formasi Semilir di Watuadeg. Untuk itu kami menggunakan premis, jika lava bantal panas dan sedimen hadir bersamaan maka akan terjadi ubahan hidrotermal. Untuk mencapai tujuan tersebut maka kami melakukan pengamatan geologi lapangan dan beberapa analisis laboratorium seperti pengamatan sayatan tipis, analisis difaksi sinar-X (XRD) dan analisis paleontologi dengan sampel batuan sedimen yang terjebak di antara bongkah lava bantal dan batuan sedimen yang menumpangi lava bantal. Pengamatan sayatan tipis dan analisis XRD menunjukkan bahwa sedimen antar bongkah lava bantal adalah sama dengan batuan vulkaniklastik yang menumpangi lava bantal. Mineral ubahan seperti smektit, kristobalit dan heulandit (zeolit) hadir hanya di batuan sedimen yang terjebak di antara bongkah lava bantal dan diinterpretasi sebagai hasil dari ubahan hidrotermal setempat ketika lava panas bersinggungan dengan air laut. Analisis paleontologi terhadap batuan sedimen di antara bongkah lava bantal menemukan fosil foraminifera (Goboquadrina altispira and Globorotalia peripheroronda) yang menandakan umur Miosen Tengah sedangkan fosil foraminifera bentonik (Amphistegina lessonii) menandakan lingkungan pengendapan neritik. Kesamaan batuan, umur dan kehadiran mineral ubahan hidrotermal menunjukkan bahwa lava bantal di Watuadeg dan vulkaniklastik terbentuk bersamaan, oleh karena itu kami mengusulkan bahwa hubungan stratigrafinya adalah selaras.

Kata Kunci: hubungan stratigrafi, batuan vulkaniklastik, Formasi Semilir, lava bantal Watuadeg

Pendahuluan

Lava bantal terbentuk jika ada aliran lava masuk ke dalam tubuh air seperti laut maupun danau. Oleh karena itu, lava bantal sering dijadikan indikator lingkungan pengendapan bawah air. Di banyak tempat lava bantal terbentuk pada lingkungan laut dan dijumpai bersama dengan batuan vulkaniklastik. Di Pegunungan Selatan Jawa timur, lava bantal berasosiasi dengan batuan vulkaniklastik berumur Paleogen - Neogen dijumpai di beberapa tempat seperti di desa Watuadeg, Berbah (Bronto dkk., 2008), Nampurejo, Bayat (Surono, 2008), Sukoharjo (Hartono dkk., 2008). Namun, karena kompleksitas dan kelangkaan data umur baik umur relatif maupun umur mutlak, hubungan stratigrafi antara lava bantal

(2)

dengan batuan vulkaniklastik yang melingkupinya menjadi sulit ditentukan. Demikian juga yang terjadi dengan keberadaan lava bantal yang dilingkupi batuan vulkaniklastik bagian dari Formasi Semilir di daerah Watuadeg, Kecamatan Berbah Kabupaten Sleman (Gambar 1). Bronto dkk. (2008) menginterpretasi bahwa lava bantal Watuadeg ditumpangi secara tidak selaras oleh Formasi Semilir berdasarkan perbedaan umur yang sangat mencolok antara umur lava bantal dan Formasi semilir, yaitu 56 ± 3,8 juta tahun lalu (Ngkoimani dkk., 2006) dan Miosen Awal – Miosen Tengah (Surono dkk., 1992 dan Rahardjo, 2007), secara berurutan. Bukti lain yang digunakan oleh Bronto dkk. (2008) adalah keberadaan fragmen batuan pecahan lava bantal di dalam Formasi Semilir yang diinterpretasikan sebagai hasil dari erosi karena ada selang pengendapan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan pengkajian ulang terhadap interpretasi hubungan stratigrafi antara lava bantal dan batuan vulkaniklastik di Watuadeg. Hal ini perlu dilakukan mengingat data yang digunakan sebagai dasar interpretasi kurang handal, yaitu: umur lava bantal yang dilaporkan Ngkoimani dkk. (2006) 56 ± 3,8 juta tahun lalu bertentangan dengan hasil penelitian sebelumnya seperti: Hall (1995) menjelaskan pembentukan palung Sunda-Jawa dimulai pada 40 jtl. Lebih lanjut lagi, berdasarkan hasil penanggalan mutlak batuan menggunakan metode jejak belah zirkon yang terkandung dalam batuan vulkaniklastik pertama yang muncul pada Pegunungan Selatan, Smyth dkk. (2011) mengungkapkan bahwa inisiasi busur Pegunungan Selatan dan penunjaman di bawah Jawa dimulai pada Kala Eosen Tengah (42 jtl). Selain itu pembentukan breksi dengan fragmen lava bantal bisa diinterpretasikan dengan mekanisme selain proses erosi, sehingga argumen masuknya pecahan lava bantal ke dalam breksi sebagai bukti ketidakselarasan menjadi lemah.

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode studi petrologi, paleontologi dan pengamatan geologi lapangan yang dilakukan terhadap batuan vulkaniklastik yang melingkupi lava bantal Watuadeg. Keterdapatan batuan vulkaniklastik yang terjebak di antara bongkahan lava bantal memungkinkan untuk menguji apakah batuan vulkaniklastik tersebut terjebak pada saat aliran lava terjadi atau setelah lava membeku. Kemudian ciri petrologi dan paleontologi akan memberikan informasi untuk menguji kesamaan antara batuan vulkaniklastik yang terjebak tersebut dengan batuan vulkaniklastik Formasi Semilir. Selain itu karena di area kontak antar batuan vulkaniklastik dan lava bantal ditemukan banyak fragmen batuan beku maka perlu untuk diketahui apakah fragmen tersebut merupakan hasil erosi atau hasil fragmentasi ketika lava panas bertemu dengan sedimen lunak berair. Dengan hasil pengamatan dan ciri petrologi maupun paleontologi yang dihasilkan akan digunakan untuk menginterpretasi hubungan stratigrafi antara lava bantal dengan batuan vulkaniklastik.

Tatanan Geologi

Pegunungan Selatan tersusun oleh basement berupa batuan malihan, Formasi Wungkal-Gamping yang tersusun oleh batuan epiklastik karbonatan. Kemudian secara tidak selaras ditumpangi Formasi Kebo Butak yang menandai awal periode vulkanisme pada mandala ini dengan ditandai oleh kemunculan Lava Bantal Nampurejo yang berkomposisi basal dan berselingan dengan batuan vulkanik berwarna hitam pekat (Surono, 2008a). Umur lava Bantal dari penarikan umur dengan metode K-Ar menunjukkan umur 33,15-31,29 juta tahun lalu (Oligosen Awal). Kemudian di atasnya secara tidak selaras terdapat Formasi Kebo dan Butak yang tersusun oleh perselingan batupasir dan batupasir kerikilan, dengan sisipan batulanau, batulempung, tuf, dan serpih dimana batupasir dan batulempung bersifat gampingan. ketidakselarasan ini didasarkan atas perbedaan umur, dimana Fomasi Kebo Butak didapatkan umur Oligosen Akhir-Miosen Awal (Surono, 2008b; Sumarso dan Ismoyowati, 1975; Rahardjo, 2007; dan Soeria-Atmaja dkk, 1994). Pengendapan Formasi

(3)

Kebo berada di laut (Surono, 2009) namun tidak dijelaskan pada bagian laut yang mana, dengan struktur sedimen pada formasi ini berupa struktur sedimen akibat pengendapan arus berat.

Periode vulkanisme pada Pegunungan Selatan dilanjutkan secara selaras oleh Formasi Semilir. Formasi Ini tersusun oleh hasil dari proklastik jatuhan, surge, dan aliran dengan struktur dune dan antidune, lapisan kristal, laminasi butiran dengan sortasi baik, lapisan

diffuse, breksi (dengan blok pumis yang tebal), tutupan material ukuran debu, dan cukup

fragmen arang (Smyth dkk., 2011). Secara setempat dijumpai Formasi Semilir hasil dari endapan pada lingkungan lereng marine. Hal ini didasarkan atas struktur scouring, flame, endapan traksi dan suspensi, dan lipatan slump. Umur formasi ini adalah Miosen Awal (Smyth dkk., 2011; Surono, 2008b). Lingkungan pengendapan formasi ini pada bagian bawah berada di laut yang mendangkal ke atas menjadi darat pada Formasi Semilir Bagian Atas. Perubahan lingkungan ini tidak dijelaskan pada titik mana.

Kemudian Formasi Nglanggran terendapkan menjari dengan Formasi Semilir dan beberapa tempat selaras. Formasi Nglanggran ini memiliki ketebalan 200 – 500 m berupa breksi andesit yang masif dan resisten, batupasir kaya akan kristal, dan sedikit lava (Smyth dkk., 2011). Surono (2009) menjelaskan formasi ini tersusun atas breksi gunung api, tuf, aglomerat berlapis buruk, lava bantal andesit-basal, breksi autoklastik dan hyaloklastik.

Lalu terjadi penurunan aktivitas vulkanik, sehingga berkembang pembentukan karbonat. Periode ini diawali oleh pengendapan batuan vulkaniklastik yang berlanjut menjadi batuan karbonat dari Formasi Sambipitu, kemudian ditindih secara selaras oleh Formasi Oyo, lalu Wonosari, dan paling atas adalah Formasi Kepek.

Asumsi, Sampel dan Analisa Laboratorium

Hubungan stratigrafi bisa didekati berdasarkan hubungan temporal antar dua batuan. Pada umumnya hubungan temporal bisa dilakukan berdasarkan umur relatif berdasarkan hukum potong memotong atau menggunakan kandungan fosil. Namun untuk batuan bukan sedimen yang tidak mengandung fosil maka penentuan umur dilakukan menggunakan umur mutlak dari penanggalan radiometrik. Dalam penelitian ini hubungan temporal antara lava bantal dengan batuan vulkaniklastik tidak dilakukan berdasarkan umur mutlak batuan. Sebagai pendekatan hubungan temporal dilakukan secara relatif, berdasarkan data ubahan hidrotermal. Untuk itu ada beberapa asumsi yang kami pergunakan dalam penelitian ini, yaitu: (1) batuan sedimen yang terjebak di antara bongkah lava bantal adalah sama dengan Formasi Semilir yang merupakan batuan vulkaniklastik yang menumpang di atas lava bantal. (2) Jika sedimen lunak terjebak di antara bongkah lava bantal terjadi pada saat lava bantal masih panas maka sedimen yang tersusun oleh material vulkanik akan mengalami ubahan hidrotermal, dan sebaliknya jika sedimen terendapakan lama sesudah lava bantal mendingin maka sedimen tidak mengalami ubahan hidrotermal. (3) Jika lava bantal bertemu dengan sedimen lunak di bawah air maka lava akan mengalami fragmentasi termal, sehingga fragmen lava bantal akan menjadi fragmen di dalam batuan sedimen di sekitar lava bantal.

Untuk membuktikan asumsi tersebut di atas, maka kami melakukan beberapa analisis laboratorium, yaitu: (1) analisis petrologi dengan melakukan observasi asahan tipis sampel lava bantal dan fragmen batuan beku di dalam batuan sedimen yang kontak dengan lava bantal. (2) analisis paleontologi batuan sedimen yang terjebak di antara bongkah lava bantal untuk mengetahui umur relatif batuan sedimen tersebut untuk dibandingkan dengan data umur Formasi Semilir. (3) melakukan analisis difraksi sinar-X (XRD) terhadap sampel batuan sedimen yang terjebak di antara bongkah lava bantal untuk mengetahui keberadaan mineral ubahan hidrotermal.

(4)

Hasil Penelitian

Observasi Lapangan

Lava Bantal Watuadeg tersingkap di badan Sungai Opak sebelah barat bersebelahan dengan batuan vulkaniklastik yang termasuk dalam Formasi Semilir (Gambar 2). Lava bantal dan batuan vulkaniklastik ini terpisahkan oleh arus sungai, namun pada bagian barat sungai, yaitu pada lava bantal terdapat kontak antara lava bantal dan breksi polimik (Gambar 3). Di sela-sela bongkah lava bantal terisi oleh batuan sedimen vulkaniklastik berwarna kehijauan (Gambar 4). Breksi polimik berada di bawah lava bantal pada sisi sebelah barat, dan tidak ditemukan kontak dengan lava bantal pada sisi sebelah timur. Breksi polimik (Gambar 5) berwarna coklat, struktur masif, fragmen kerikil-kerakal, ukuran matriks pasir kasar, bentuk fragmen subangular, kemas matriks supported, sortasi jelek. Komposisi batuan berupa fragmen basal, pumis, batulempung yang tercampur dalam matriks berupa litik (batuapung, basal), plagioklas, dan gelas. Batuan vulkaniklastik tersusun oleh breksi batuapung, batupasir kerikil tufan, batupasir tufan, dan batulanau tufan. Struktur sedimen batuan vulkaniklastik berupa double grading, flame, lensa, perlapisan, perlapisan laminasi, dan mini slump.

Petrologi

Pengamatan petrologi dan sayatan tipis batuan dilakukan terutama untuk batuan penyusun lava bantal dan fragmen batuan beku di dalam beksi aneka bahan. Pengamatan secara megaskopis menunjukkan bahwa fragmen batuan beku dalam batuan breksi adalah sama dengan batuan lava bantal. Batuan mempunyai ciri-ciri warna hitam keabu-abuan, tekstur porfiroafanitik, struktur membantal, ukuran butir 0,1 mm-0,5 cm, tersusun oleh fenokris piroksen, plagioklas,dan gelas dan tertanam pada massa dasar berupa mineral mafik dan gelas berukuran halus. Secara mikroskopis (Gambar 6), batuan mempunyai tekstur

inequigranular, subofitik, dan intersertal, tingkat kristalinitas hipokristalin, ukuran kristal

< 1mm - 5 mm, komposisi fenokris berupa plagioklas berupa andesine (40-55%), berukuran 1-3 mm, klinopiroksen (25-30%), berukuran 1mm dan olivin (5%) tertanam pada massa dasar plagioklas <1mm, piroksen <1mm, dan gelas (22%), dan mineral opak (3 %).

Alterasi hidrotermal

Di sela-sela bongkah lava bantal terdapat batuan sedimen berwarna hijau, secara megaskopis tekstur berupa ukuran butir lempung, tersusun oleh plagioklas (30-45%), zeolite (20-25%), gelas (25-30%) dan kuarsa (10%). Analisis difraksi sinar X (XRD) menunjukkan batuan tersusun atas plagioklas, heulandite (jenis zeolite) dan kristobalit.

Di atas lava basalt terdapat breksi polimik berwarna coklat, struktur batuan masif, tekstur batuan berupa ukuran fragmen kerikil-kerakal, ukuran matriks berupa pasir sedang, bentuk sub angular, kemas matriks supported, sortasi buruk. Komposisi batuan berupa litik (batuapung, basalt) (49-50%), plagioklas (35-40%), piroksen, dan gelas. Ciri-ciri dari breksi ini mirip dengan ciri-ciri breksi hyaloklastik (peperit) yang dijelaskan McPhie (1993), yaitu secara megaskopis batuan breksi polimik berwarna coklat kehijauan, struktur masif, tekstur berupa ukuran fragmen kerikil-kerakal, ukuran matriks pasir kasar, bentuk fragmen subangular, kemas matriks supported, sortasi jelek. Fragmen batuan berupa basal, batulempung hijau, plagioklas, pumis, dan litik.

(5)

Paleontologi

Analisis paleontologi dilakukan terhadap sampel sedimen antar bongkah lava bantal dengan tujuan mengetahui kesamaan umur relatif antara batuan sedimen tersebut dengan stratigrafi regional. Analisis paleontologi dilakukan dengan mengamati keberadaan fosil foraminifera plantonik maupun bentonik menunjukkan kemunculan fosil Globoquadrina

altispira (CUSHMAN dan JARVIS) dan Globorotalia peripheroronda (BLOW dan BANNER), sedangkan lingkungan pengendapan diwakili oleh kemunculanforaminifera bentonik berupa Amphitegina lessonii. Keberadaan fosil (Tabel 1) ini mengindikasikan bahwa batuan sedimen yang terjebak di antara bongkah lava bantal berumur Miosen Awal-Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan neritik dalam - neritik tengah (0 - 100 m).

Diskusi

Proses

Keikutsertaan fragmen batuan beku di dalam batuan sedimen bisa melalui dua mekanisme, yaitu: pertama, proses erosi dan transportasi seperti pada proses pembentukan batuan sedimen epiklastik pada umumnya; kedua, melalui proses fragmentasi pendinginan yang terjadi pada saat erupsi lava di bawah air membentuk lava bantal. Salah satu ciri-ciri yang bisa digunakan untuk membedakan kedua proses tersebut adalah derajat pembundaran dan derajat pelapukan. Jika fragmen batuan terbawa oleh proses sedimentasi maka akan mengalami proses pembundaran yang terjadi selama fragmen tersebut ditransport oleh aliran air, dan sebelum tertransport maka batuan sudah mengalami proses pelapukan, sehingga masih ada bukti pelapukan pada fragmen batuan beku tersebut. Sedangkan pada proses fragmentasi karena pendinginan fragmen batuan beku dari lava bantal tidak mengalami transportasi sehingga fagmen akan mempunyai sudut yang runcing dan tidak mengalami proses pelapukan.

Lava bantal sering dipakai sebagai indikasi lingkungan pembentukan berada di bawah air. Oleh karena itu dalam pembentukannya akan diikuti beberapa proses, salah satunya adalah terjadinya fragmentasi pendinginan yang terjadi karena material panas berupa lava kontak dengan air atau sedimen kaya air. Kontak antara lava panas dengan material yang jauh lebih dingin akan menyebabkan adanya respon terhadap gaya termal yag terbentuk karena pendinginan yang cepat dan gaya yang mengenai bagian luar lava yang sudah mendingin karena adanya dorongan pergerakan lava bagian dalam yang masih panas (Pichler, 1965; Kokelaar, 1986 dalam McPhie dkk. 1993). Proses ini akan menyebabkan fragmentasi lava, framen ini bersama dengan pecahan gelas lava akan masuk ke tubuh sedimen sehingga terbentuk hyaloklastit. Sebagai hasil, maka sedimen di dekat kontak dengan lava bantal akan mempunyai fragmen batuan dan material gelasan yang berasal dari fragmentasi lava bantal. Secara diskriptif batuan sedimen akan dideskripsikan sebagai breksi aneka bahan.

Hasil pengamatan megaskopis maupun sayatan tipis dengan mikroskop memastikan bahwa baik tekstur maupun komposisi antara fragmen batuan beku di dalam breksi aneka bahan sama dengan lava bantal. Hal ini mengindikasikan bahwa fragmen batuan tersebut berasal dari pecahan lava bantal. Derajat pembundaran fragmen batuan beku relatif rendah, artinya fragmen masih menyudut karena belum mengalami pengikisan akibat gesekan pada waktu tertransport. Pengamatan sayatan tipis memperlihatkan bahwa batuan masih segar tidak terpengaruh oleh proses pelapukan sebelum batuan masuk ke dalam batuan sedimen. Oleh karena itu berdasarkan pengamatan di lapangan maupun pengamatan sayatan tipis dapat disimpulkan bahwa breksi aneka bahan yang terdapat di sekitar kontak dengan lava bantal adalah hyaloklastit yang terbentuk karena proses fragmentasi pendinginan lava bantal pada saat lava mengalir di bawah air.

(6)

Ubahan hidrotermal

Ubahan hidrotermal suhu rendah bisa terbentuk ketika magma erupsi di dasar laut seperti yang terjadi di komplek ofiolit Toodos, Siprus. Kumpulan mineral alterasi tersusun oleh zeolit suhu rendah seperti analsim, natrolit, filipsi dan chabazit (Gillis dan Robinson, 1985). Analogi dengan proses tersebut, maka diharapkan terjadi alterasi di sedimen yang terjebak di antara bongkah lava bantal. Pengamatan di lapangan mendapati bahwa bagian tepi dari lava bantal tersusun oleh lapisan kulit gelasan (glass rind) yang segar, sedangkan batuan sedimen vulkaniklastik terlihat masih segar tidak terubah. Akan tetapi, sedimen yang terjebak di antara bongkah lava bantal berwarna kehijau-hijauan menandakan bahwa batuan tersebut sudah mengalami ubahan hidrotermal.

Data analisis XRD menunjukkan keterdapatan mineral ubahan di dalam batuan sedimen yang terjebak di antara bongkah lava bantal. Mineral ubahan tersebut terdiri dari heulandite dan kristobalit. Kandungan heulandite dan kristobalit menunjukkan adanya interaksi antara batuan dan air panas pada suhu relatif rendah untuk suatu air hidrotermal. Panas ini diduga datang dari lava bantal ketika erupsi.

Hubungan stratigrafi lava bantal dan Formasi Semilir

Smyth dkk (2011) menjelaskan bahwa Formasi Semilir terbentuk dari erupsi pada daerah subaerial yang mungkin saja materialnya terendapkan hingga ke laut. Formasi Semilir diendapkan di lingkungan pengendapan laut dan berangsur berubah menjadi darat pada singakapan-singkapan Formasi Semilir di Pegunungan Selatan bagian timur (Surono, 2008b; Smyth dkk., 2011). Formasi Semilir dicirikan oleh endapan vulkaniklastik tebal kaya akan pumis.

Batuan vulkaniklastik di daerah penelitian berdasarkan ciri fisik batuannya dikelompokkan sebagai bagian dari Formasi Semilir. Selain itu hasil analisis paleontologi menunjukkan bahwa umur batuan sedimen yang terjebak di antara bongkah lava bantal berkisar antara N5 sampai N10, relevan dengan hasil penarikan umur pada Formasi Semilir oleh metode U-Pb oleh Smyth dkk. (2011) yang didapatkan umur 20,72 ± 0,02 juta tahun yang lalu yaitu Miosen Awal, sedangkan berdasarkan penentuan umur menggunakan metode belah jejak zirkon pada Formasi Semilir di Desa Sendang, Wuryantoro, Wonogiri oleh Surono (2008b) didapatkan umur 17,0 ± 1,1 dan 16,0 ± 1,0 jtl (Akhir Miosen Awal). Hal ini menunjukkan bahwa batuan ini adalah bagian dari Formasi Semilir. Sedangkan ditilik dari kedudukan dan kemiringan batuan yaitu sekitar U 315T/18 yang berarti batuan miring ke arah tenggara dan lokasi penelitian berada di sisi ujung barat laut maka batuan di Watuadeg merupakan bagian bawah Formasi Semilir.

Hubungan stratigrafi antara lava bantal dengan batuan sedimen vulkaniklastik bagian dari Formasi Semilir di Watuadeg sulit untuk ditentukan karena kelangkaan fosil. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan pendekatan berdasarkan interaksi antara lava bantal dengan batuan sedimen yang terjebak di antara bongkahan lava bantal. Lava bantal terbentuk ketika lava masuk ke tubuh air atau ketika ada pembentukan aliran lava di dasar tubuh air baik itu di lingkungan danau ataupun laut. Pertemuan lava panas dan air memungkinkan terbentuk larutan hidrotermal lokal yang bisa mengubah batuan di sekitarnya sehingga akan terbentuk kumpulan mineral ubahan hidrotermal terutama jika batuan tersusun oleh material vulkanik. Pendekatan ini mengambil asumsi, jika sedimen mengisi rekahan di antara bongkahan lava bantal sesudah lava mendingin maka tidak akan terbentuk mineral hidrotermal di dalam sedimen tersebut, dan sebaiknya jika sedimen terjebak pada waktu lava masih panas maka akan terbentuk larutan hidrotermal yang akan membentuk mineral hidrotermal di dalam sedimen tersebut.

(7)

Analisis difraksi sinar-X (XRD) yang dilakukan terhadap batuan sedimen menunjukkan bahwa batuan sedimen telah mengalmi ubahan hidrotermal. Oleh karena itu bisa diinterpretasikan bahwa batuan vulkaniklastik diendapkan bersamaan dengan erupsi lava bantal di Watuadeg. Lebih lanjut lagi, analisis paleontologi mendapati fosil foraminifera bentonik Amphitegina lessonii yang menunjukkan lingkungan pengendapan neritik dalam – tengah.

Kesimpulan

Dari penelitian ini maka bisa disimpulkan bahwa batuan sedimen yang terjebak di antara bongkah lava bantal adalah bagian dari Formasi Semilir yang terjebak ketika lava bantal panas erupsi dan kontak dengan sedimen lepas. Batuan sedimen yang terjebak ini mengalami ubahan hidrotermal yang ditandai dengan kehadiran mineral ubahan seperti smektit, kristobalit dan heulandit. Analisis paleontologi menemukan kehadiran fosil

Globoquadrina altispira (Cushman dan Jarvis) dan Globorotalia peripheroronda (Blow

dan Banner) yang menandai batuan berumur N5 – N10. Umur ini sessuai dengan kisaran umur F. Semilir. Oleh karena itu hubungan stratigrafi antara lava bantal dengan batuan vulkaniklastik yang menumpangi adalah selaras, atau bisa dikatakan bahwa lava bantal menyisip di antara F. Semilir. Berdasarkan kandungan fosil foraminifera bentonik di dalam batuan sedimen yang terjebak, maka lingkungan erupsi lava bantal diperkirakan adalah neritik dalam – tengah.

Daftar Pustaka

Bronto, S., Partama, Hartono, dan Sayudi. 1994. Penyelidikan Awal Lava Bantal Watuadeg, Bayat, dan Karangsambung, Jawa Tengah. Proceedings Geologi dan

Geotektonik Pulau Jawa. Hal 143-150.

Bronto, S., S. Mulyanigsih, G. Hartono, dan B. Hastuti, 2008. Gunung api purba Watuadeg: Sumber erupsi dan posisi stratigrafi. Jurnal Geologi Indonesia, 3 (3) September 2008. Hal: 117-128

Cas, R.A.F. dan J.V. Wright. 1987. Volcanic Successions Modern and Ancient. London: Allen & Unwin.

Chen, Pey-Yuan. 1977. Table of Key Lines in X-Ray Powder Diffraction Patterns of

Minerals in Clays and Associated Rocks. Bloomington: Authority of State of Indiana.

Fisher, R.H., 1984. Submarine volcaniclastic rocks. Geological Society, London, Special

Publication 1984, Vol. 16, hal 5-27.

Fisher, R.V. dan Ulrich Schminke.1984. Pyroclastic rocks. New York: Springer-Verlag. Gillis, K. M. dan Robinson P. T. (1985) Low temperature alteration of the extrusive

sequence, Troodos Ophiolite, Cyprus. Canadian Mineralogist, 23, 431-441

Hartono, G., Sudrajat A dan Syafri, I. 2008. Gumuk gunung api purba bawah laut di Tawangsari - Jomboran, Sukoharjo - Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 1, 37-48.

Houghton, 2000. Explosive Volcanism. Dalam: Sigurdsson, H., Houghton, B.F., McNutt, S.R., Rymer, H., Stix, J.,(Eds.), Encyclopedia of Volcanoes. San Diego: Academic Press. Hal: 419

McPhie, J., M. Doyle, R. Allen, 1993. Volcanic Textures A Guide to The Interpretation of

textures in volcanic rocks. Tasmania : Centre for Ore Deposit and Exploration Studies.

Nèmèth, K., dan Ulrike Martin. 2007. Practical Volcanology. Budapest: Geological Institute of Hungary.

(8)

Ngkoimani, La Ode, Satria Bijaksana, Challid I. A., Paleo-magnetic and Geochronological Constraints On The Cretaceous-Miocene Tectonic Evolution of Java. Proceedings,

Jakarta 2006 Geosciences Conference and Exhibition.

Novian, M.I, P. K. D. Setiawan, S. Husein, dan W. Rahardjo, 2007. Stratigrafi Formasi Semilir Bagian Atas di Dusun Boyo, Desa Ngalang, Kecamatan Gedang Sari, Kabupaten Gunung Kidul, DIY : Pertimbangan Untuk Penamaan Anggota Buyutan.

Kumpulan Makalah Workshop Yogya. Hal : 201-214.

Pettijohn, F. J., P. E. Potter dan R.Siever. 1972. Sand and Sandstone. New York: Springer-Verlag. Pg:

Pulunggono, dan Soejono Martodjojo. 1994. Perubahan Tektonik Paleogene-Neogene Merupakan Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa. Proceedings Geologi dan

Geotektonik Pulau Jawa. Hal 37-50

Rahardjo, W., Sukandarrumidi dan Rosidi, H.M.D.1995. Peta Geologi Lembar

Yogyakarta, Jawa, skala 1:100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan.

Raymond, Loren A., 2002. Petrology: The Study of Igneous Rocks, Sedimentary, and Metamorphic Rocks. Long Grove, IL: Waveland Press, Inc. Pg: 33-405

Schminke, Ulrich. 2004. Volcanism. London: Springer.

Simkin, Tom dan Lee Siebert. 2000. Earth’s Volcanoes and Eruptions: an overview. Dalam: Sigurdsson, H., Houghton, B.F., McNutt, S.R., Rymer, H., Stix, J.,(Eds.),

Encyclopedia of Volcanoes. San Diego: Academic Press, hal 249.

Smyth, H.R., R. Hall, R. Hamilton, & P. Kinny, 2005, East Java Cenozoics basins, volcanoes and ancient basement. Proceedings Indonesian Petroleoum Association, 30

th Annual Convention & Exhibition, pp. 251-266

Smyth, H, R. Hall, J. Hamilton, Pete Kinny, 2011. A-Toba scale eruption in the Early Miocene: The Semilir eruption, East Java, Indonesia. Elsevier B. V.

Stix, 2000. Effusive Volcanism. Dalam: Sigurdsson, H., Houghton, B.F., McNutt, S.R., Rymer, H., Stix, J.,(Eds.), Encyclopedia of Volcanoes. San Diego: Academic Press, Hal: 280.

Surono, 2009, Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, J. S. D. Geologi Vol. 19 (3) Juni 2009. hal 1-13 Surono, 2008a, Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di

Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan, Jurnal Geologi Indonesia Vol. 3 (4) Desember 2008, hal 15-25.

Surono, 2008b, Sedimentasi Formasi Semilir di Desa Sendang, Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. J.S.D. Geol. Vol 18 No. 1 Februari 2008, hal 29-41.

Surono, dan Asep Permana. 2011. Lithostratigraphic And Sedimentological Significants of Deepening Marine Sediments of the Ssambipitu Formation Gunung Kidul Residence, Yogyakarta. Bull. MGI, vol. 26, hal 15-30.

Toha, R. D. Purtyasti, Sriyono, Soetoto, W. Rahardjo, dan Subagyo P., 1994, Geologi Daerah Pegunungan Selatan: Suara Kontribusi. Proceedings Geologi dan Geotektonik

Pulau Jawa. Hal 19-36.

Van Bemmelen, R. W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol. 1 A, Government Printing Office, Nijhoff, The Hague, hal 28-29.

White, J.D.L. dan B. F. Houghton. 2006. Primary volcaniclastic rocks. Geological Society

of America.

Williams, Howel, Francis J. Turner, dan Charles M. Gilbert. 1898. Petrography: An

Introduction to the Study of Rocks in Thin Section. New York: W. H. Freeman and

(9)

Tabel 1. Hasil analisis paleontologi terhadap sampel sedimen antar bongkah lava bantal

dari Watuadeg

LABORATORIUM PALEONTOLOGI JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA

DAERAH / LEMBAR PETA Watuadeg

JENIS FOSIL YANG DIPERIKSA :Foraminifera Kecil

NO.LOKASI NO.SAMPEL

3.2 WTA/ RH/ 301013/ batulempung hijau

PREPARASI CONTOH TANGGAL PEMERIKSA

AYAK ASAHAN SMEAR LAIN -LAIN 25/11/13 Agung Harijoko

KELIMPAHAN KESIMPULAN

KOSONG JARANG BEBERAPA MELIMPAH UMUM ZONA/UMUR :

N5-N10 (Miosen Awal-Tengah)

PALEOBATIMETRI : Neritik Dalam – Neritik

Tengah (0-100 m) PENGAWETAN FOSIL PADA UMUMNYA

JELEK SEDANG BAGUS ZONASI

No. Spesies N4 N5 N6 N7 N8 N9 N10 N11 N12

FORAMINIFERA PLANGTONIK

1. Globoquadrina altispira

(CUSHMAN&JARVIS)

2. Globorotalia peripheroronda (BLOW dan

BANNER)

FORAMINIFERA BENTONIK

1. Amphitegina lessonii

KETERANGAN DARAT TRANSISI

DALAM TENGAH LUAR ATAS Tengah Abisal

NERITIK BATIAL

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

(10)

Gambar 2. Posisi lava bantal dan batuan

vulkaniklastik, dengan V: batuan vulkaniklastik, dan LB: Lava Bantal

Watuadeg

Gambar 3. Kontak Lava dan breksi

hyaloklastit. Dengan B: lava bantal, H: Breksi Hyaloklastit

Gambar 4. Sedimen antar bongkah (Inter-pillow sediment, merujuk ke terminologi

oleh McPhie, 1994). Dengan L: Lobe Lava Bantal, S: sedimen antar bongkah, R: Kulit

gelas dari lava bantal.

Gambar 5. Fragmen basal pada breksi

polimik V LB H H B

(11)

Gambar 6. Sayatan Tipis Fragmen Basal

dalam Breksi Polimik. Dengan Plg: Plagioklas, px: piroksen, gls: gelas

Gambar 7. Sayatan Tipis dari Basal (Lava

Bantal Watuadeg). Dengan Plg: Plagioklas, px: piroksen, gls: gelas

Gambar

Tabel 1. Hasil analisis paleontologi terhadap sampel sedimen antar bongkah lava bantal dari Watuadeg
Gambar 4. Sedimen antar bongkah (Inter- (Inter-pillow sediment, merujuk ke terminologi oleh McPhie, 1994)
Gambar 6. Sayatan Tipis Fragmen Basal dalam Breksi Polimik. Dengan Plg:

Referensi

Dokumen terkait