• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HAK HUKUM PEREMPUAN DALAM TRANSAKSI DAN PENGELOLAAN TANAH DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN HAK HUKUM PEREMPUAN DALAM TRANSAKSI DAN PENGELOLAAN TANAH DI INDONESIA"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Halaman 1 dari 5

PERLINDUNGAN HAK HUKUM PEREMPUAN

DALAM TRANSAKSI DAN PENGELOLAAN TANAH DI INDONESIA

Joint-Paper yang disusun oleh:

Ayu Nadiariyani, S.H., LL.M. Kepala Subbagian Kerja Sama Luar Negeri

di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Dan

Rima Baskoro, S.H., ACIArb.

Advokat yang terdaftar di beberapa Kedutaan Besar Asing di Indonesia,

Wasekjen bidang Jaringan Advokat Muda Internasional - Komite Advokat Muda PERADI, Anggota Bidang Kerjasama Internasional – DPN PERADI

Tanah memiliki hubungan yang sangat fundamental bagi manusia dalam pemenuhan kebutuhan primer, dan merupakan salah satu komponen capital asset di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Tingkat ketidaksetaraan yang tinggi dalam kepemilikan dan pemanfaatan tanah dipercaya sebagai salah satu faktor yang dapat memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Dari sekitar 270,2 juta penduduk, sekitar 26,42 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Posisi strategis tanah sebagai salah satu aset penting dalam kehidupan, khususnya dalam hal pertahanan ekonomi keluarga, mendorong Pemerintah untuk terus meningkatkan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat untuk memiliki dan memanfaatkan tanah. Akses terhadap kepemilikan dan pemanfaatan tanah berpotensi besar dalam peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, akses permodalan, mendukung produksi pertanian, maupun fungsi sosial lainnya seperti akses terhadap kesehatan, pendidikan maupun kewirausahaan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 49,42 % penduduk Indonesia adalah perempuan, dimana sekitar separuh dari jumlah tersebut berada di usia produktif. Sumbangan pendapatan perempuan terhadap perekonomian diperkirakan sejumlah 36,7 %, dimana pengeluaran perkapita perempuan tidak sampai 60 % dari pengeluaran perkapita laki-laki (BPS, 2018). Hal ini disebabkan oleh porsi perempuan yang relatif rendah pada beberapa lapangan usaha dengan tingkat produktivitas tinggi, sehingga diperlukan adanya tindakan afirmatif untuk meningkatkan kesadaran atas peran perempuan dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi bangsa. Selain itu, memperlakukan laki-laki dan perempuan pada posisi yang setara dalam perolehan dan pengelolaan tanah di Indonesia memiliki peranan penting sebagaimana perwujudan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sehingga bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dapat dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Kentalnya budaya patriaki di lingkungan masyarakat dimana perempuan dinilai memiliki peran utama dalam urusan rumah tangga, sementara urusan tanah

(2)

Halaman 2 dari 5 dianggap sebagai urusan laki-laki, mengakibatkan terbatasnya akses informasi bahwa Pemerintah sudah memfasilitasi kesetaraan gender dalam kepemilikan tanah. Penerbitan sertipikat tanah diperbolehkan atas nama suami atau istri maupun keduanya, sehingga laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama. Selain itu, peralihan hak atas tanah juga mengharuskan adanya persetujuan suami atau istri dari pemegang hak atas tanah.

Namun demikian, keharusan dalam memperoleh persetujuan suami dalam peralihan hak atas tanah serta adanya pembatasan istri untuk mengadakan persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 ayat (3) KUHPerdata di sisi lain dapat menghambat transaksi dan pengelolaan hak atas tanah dalam kondisi tertentu, khususnya apabila tanah dimaksud diperoleh setelah perkawinan.

I. Kontroversi Pembatasan Hak Hukum Perempuan Dalam Transaksi Dan Pengelolaan Hak Atas Tanah di Indonesia

Sekeras apapun gaung soal persamaan gender terkait hak hukum atas transaksi dan pengelolaan tanah di Indonesia, tetap faktanya ada ketentuan Pasal 1330 ayat (3) KUHPerdata yang mengatur bahwa seorang istri dikualifikasikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap untuk mengadakan persetujuan. Konsekuensinya adalah jika ada seorang istri mengadakan persetujuan, perjanjian penjualan tanah misalnya, berdasarkan ketentuan Pasal 1330 ayat (3) KUHPerdata maka persetujuan tersebut menjadi batal demi hukum karena tidak memenuhi persyaratan sahnya persetujuan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 1320 KUHPerdata. Artinya, tetap untuk melakukan persetujuan, harus berdasarkan pengetahuan dan persetujuan suami, termasuk persetujuan yang objeknya adalah tanah seperti misalnya: jual beli, sewa, hibah, dll

Praktek di lapangan, dalam hal transaksi tanah yang perolehannya terjadi saat seorang perempuan menjadi istri, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1330 ayat (3) Jo. Pasal 1320 KUHPerdata dan prinsip harta bersama, tetap seorang istri butuh persetujuan suami. Salah satu transaksi tanah tersebut antara lain ketika istri ingin menjual tanah ataupun menyewakan tanah yang diperoleh saat dalam perkawinan, maka perbuatan hukum seorang istri atas tanah tersebut harus berdasarkan pengetahuan dan persetujuan suami. Dengan kata lain, meskipun tanah tersebut dibeli dari penghasilan jerih payah istri saja (tanpa meminta uang dari suami), tapi tetap untuk pengelolaan maupun transaksinya seorang istri tidak memiliki kebebasan untuk melaksanakannya berdasarkan keputusan dan pertimbangan si istri sendiri.

Bukan hanya itu, dalam hal terjadi hutang suami yang sudah jatuh tempo dan tidak bisa diselesaikan, maka ada kemungkinan penyitaan aset tanah yang dibeli dengan

(3)

Halaman 3 dari 5 hasil jerih payah istri. Penyitaan aset tanah istri atas hutang suami tersebut pada prakteknya banyak sebagai bentuk pelunasan hutang suami yang hutangnya belum tentu digunakan untuk keperluan kebutuhan primer keluarga. Maka jelas masih terdapat permasalahan atas jaminan dan kepastian hukum bagi seorang istri yang telah mengupayakan kepemilikan tanah dengan kerja kerasnya sendiri untuk bisa bergerak bebas mengelola tanahnya.

Bahkan ketika terjadi perceraian, maka tanah yang dibeli dari hasil jerih payah istri seorang diri pada saat perkawinan, harus rela dibagi 2 dengan suami berdasarkan prinsip harta bersama tersebut. Konsep harta bersama sendiri akhirnya pun tidak sanggup menjamin posisi istri sehingga ada keterkungkungan atas hak hukum perempuan dalam memperoleh dan mengelola hak atas tanah.

II. Strategi Dan Upaya Negara Untuk Ikut Serta Dalam Perlindungan Hak Hukum Perempuan Dalam Kepemilikan Dan Pengelolaan Hak Atas Tanah di Indonesia Namun demikian, untuk memitigasi pengebirian hak hukum perempuan sebagai istri dalam transaksi dan pemilikan hak atas tanah, telah ada konsep perjanjian pisah harta yang hadir di beberapa regulasi di Indonesia, seperti dalam: KUHPerdata, UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan yang terbaru adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No 69/PUU-XIII/2015 (“Putusan MK No. 69/2015”). Sebelum adanya Putusan MK No. 69/2015, perjanjian pisah harta hanya bisa dibuat sebelum terjadinya perkawinan. Sejak adanya Putusan MK No. 69/2015, maka perjanjian pisah harta bisa dibuat selama masa perkawinan.

Perjanjian pisah harta pada prinsipnya mengatur pemisahan harta dan hutang antara suami dan istri. Dalam hal terdapat perjanjian pisah harta, maka istri diberikan kewenangan dan kebebasan untuk mengadakan transaksi dan mengelola seluruh aset-asetnya, termasuk tanah, tanpa persetujuan suami. Dengan kata lain, dalam hal istri ingin menjual atau menyewakan tanah miliknya, maka transaksi tanah tersebut dapat dilakukan tanpa persetujuan suami. Prakteknya, perjanjian terkait transaksi tanah istri tidak butuh tanda tangan suami dalam hal ada perjanjian pisah harta. Namun demikian, perjanjian pisah harta tidak lantas mengesampingkan kewajiban suami untuk pemberian nafkah dan pemenuhan kebutuhan istri serta rumah tangga.

Selanjutnya, dengan adanya perjanjian pisah harta, maka dalam hal suami terdapat hutang yang sudah jatuh tempo dan tidak sanggup dilunasi, maka yang boleh disita hanyalah aset (termasuk tanah) atas nama suami saja. Seluruh aset atas nama istri, dalam hal adanya perjanjian pisah harta, maka demi hukum dilarang untuk disita untuk keperluan pelunasan hutang atas nama suami.

(4)

Halaman 4 dari 5 Termasuk juga dalam hal perceraian. Dikarenakan perjanjian pisah harta mengesampingkan konsep harta bersama, maka tidak berlaku pembagian sama rata antara suami dan istri jika terjadi perceraian. Seluruh aset, termasuk tanah, atas nama istri maka demi hukum menjadi milik istri saja, tidak dibagi dua dengan suami. Maka telah ada jaminan kepastian hak hukum atas kepemilikan dan pengelolaan tanah istri dengan cara pemisahan

Keberadaan perjanjian pisah harta perlu diketahui manfaat dan akibat hukumnya bagi posisi istri dalam rumah tangga dan harta bersama. Hal ini menjadi point utama diseminasi perjanjian pisah harta, supaya perempuan dapat mempertahankan hak hukumnya terhadap asetnya antara lain tanah.

III. Penutup

Berangkat dari konsep Trias Politika, untuk mewujudkan persamaan gender dalam hal perlindungan hak hukum terutama tentang perolehan dan pengelolaan hak atas tanah, maka harus melibatkan 3 jenis kekuasaan yang berperan penting dalam penjaminan perlindungan hak hukum warga negara:

 Kekuasaan Legislatif:

Institusi yang diberi kewenangan untuk merumuskan peraturan perundang-undangan agar dapat mengakomodir perlindungan hak hukum perempuan terkait perolehan dan pengelolaan tanah. Jika memang perlu dapat dilakukan amandemen terhadap aturan yang ada demi terwujudnya kesetaraan gender terutama perlindungan hak hukum perempuan terkait transaksi dan pengelolaan tanah;

 Kekuasaan Eksekutif:

Dalam hal telah ada regulasi yang menjamin hak hukum perempuan untuk mengadakan transaksi dan mengelola tanah, maka eksekusinya harus dijamin oleh negara. Karena niat baik saja tidak cukup, harus dilaksanakan dengan cara-cara yang baik dan maksimal juga. Dengan kata lain, segala peraturan yang dibuat sebaik-baiknya tidak akan pernah cukup baik hasilnya jika tidak dilaksanakan dengan cara yang baik. Maka pemegang kekuasaan eksekutif harus memastikan kepatuhan masyarakat terhadap regulasi yang telah menjamin perlindungan hak hukum perempuan terkait transaksi dan pengelolaan tanah.

 Kekuasaan Yudikatif:

Kekuasaan ini adalah salah satu kekuasaan krusial yang berwenang mengontrol seluruh lembaga negara guna mencegah penyimpangan terhadap hukum yang berlaku. Maka dalam hal terjadi penyimpangan pelaksanaan maupun konsep

(5)

Halaman 5 dari 5 atas regulasi yang sudah terbentuk, institusi pemegang kekuasaan yudikatif harus melakukan penegakan hukum, penguji materiil, penyelesaian perselisihan dan pengesahan maupun pembatalan regulasi terutama untuk menjamin hak hukum perempuan dalam perolehan dan pengelolaan tanah.

Dan yang terpenting, upaya penyetaraan gender ini bukan berarti bentuk penggebrakan terhadap kodrat wanita atau upaya pengesampingan hak hukum laki-laki. Namun bagaimanapun sebagai manusia, ada hak asasi yang melekat dalam setiap diri manusia berupa pengelolaan harta, antara lain hak istri untuk melakukan transaksi dan mengelola tanah miliknya berdasarkan kehendaknya sendiri. Hak asasi tersebut tidak boleh dikesampingkan, dikurangi dan/atau dihilangkan. Maka adalah penting untuk menyuarakan konsep kesetaraan gender ini agar masyarakat menjadi sadar hukum tentang hak-haknya dan mumpuni untuk menyusun strategi dalam mempertahankan hak hukumnya.

Ayu Nadiariyani, S.H., LL.M adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro angkatan 2004 dan telah menyelesaikan studi master hukum di Universitas Maastricht, Belanda, pada tahun 2016. Saat ini Ayu menjabat sebagai Kepala Subbagian Kerja Sama Luar Negeri di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Rima Baskoro, S.H., ACIArb. adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro angkatan 2004, dan telah memperoleh gelar profesi Associate dari Chartered Institute of Arbitrators (London) pada tahun 2018. Selain sebagai Managing Partner dan Pendiri firma hukum Rima Baskoro & Partners, Rima juga menjabat sebagai Wasekjen Jaringan Advokat Muda Internasional di Komite Advokat Muda PERADI (PERADI Young Lawyers Committee) dan anggota divisi Kerjasama Internasional di DPN PERADI.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan implementasi program CSR yang telah dilaksanakan di daerah penyangga Taman Nasional Gungung Gede Pangrango,

redaksional yang diterapkan RRI Pro 1 Yogyakarta dalam menyiarkan berita.. terkait kasus sedang berkembang di tengah masyarakat seperti pada kasus penggusuran

Return on investment adalah biaya Fixed Capital yang kembali pertahun atau tingkat keimtungan yang dapat dihasilkan dari tingkat investasi yang

Dasar pertimbangan Permen KP Nomor 56 Tahun 2014 yang ditetapkan pada 3 November 2014 dan telah diperpanjang dengan Permen KP Nomor 10 Tahun 2015 hingga 31 Oktober 2015 adalah

(4)(a) Pada masing-masing kategori AQ, untuk AQ tinggi dan rendah, siswa yang dikenai model pembelajaran PBL, Jigsaw maupun STAD, ketiganya mempunyai pemahaman

Berdasarkan latar belakang masalah serta masalah-masalah lain yang telah dikenalpasti, penulis ingin membangunkan satu laman web bercirikan Pembelajaran Berbantukan

30 Tahun 2010 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, untuk itu judul skripsi ini adalah “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah

Penelitian menggunakan desain Studi Komparasi pendekatan cross sectional.Terdiri dari dua kelompok sampel yaitu yang diberikan ASI Eksklusif berjumlah 16 responden dan