• Tidak ada hasil yang ditemukan

Journal Polingua Scientific Journal of Linguistic, Literature and Education

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Journal Polingua Scientific Journal of Linguistic, Literature and Education"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN : 2252 - 4797 Volume 2 No. 2 - Tahun 2013

Journal Polingua

Scientific Journal of Linguistic, Literature and Education

1

Tipe teks dan penerjemahan

Indah Sari

Jurusan Bahasa Inggris, Politeknik Negeri Padang, Kampus Limau Manis, Padang Email: indahsari.048@gmail.com

Abstract—One of the procedures conducted by a translator is text analysis. It is aimed to find out the text type of the source text. Traditionally, a text type is determined by the topic, form, and the language used. However, it does not applicable to a text like science-fiction text. It is difficult for the translator to decide the text type. Therefore, Reiss (1971) gave the solution by determining the text type from its function. There are three types of text proposed by Reiss; they are informative, expressive, and operative. Although a text may have more than one function, the translator just needs to see which function dominated the text. Text type is the important basic for the translator before producing a target text. He may produce the same or even different texts type depending on his translation purpose.

I. Pendahuluan

Sebelum abad ke-19, penerjemahan

hanyalah bagian dari metode pembelajaran bahasa asing yang banyak digunakan sebagai sarana untuk memperkaya kosakata. Namun sejak abad ke-19 bidang penerjemahan berkembang pesat dan menjadi satu bidang ilmu tersendiri. Penerjemahan bukan lagi sekadar masalah penguasaan bahasa, ada banyak faktor lain yang berperan penting dan perlu dipertimbangkan dalam menerjemahkan sebuah teks. Salah satu hal penting yang harus dipertimbangkan oleh seorang penerjemah adalah tipe teks yang akan diterjemahkannya. Dengan mengetahui tipe teks sumber (TSu), penerjemah dapat menentukan teks sasaran seperti apa yang akan diproduksinya.

II. Penerjemahan

Berbagai definisi penerjemahan

dikemukakan oleh para ahli menggunakan pendekatan yang berbeda, salah satunya dengan menggunakan pendekatan kebahasaan. Larson

(1984) berpendapat bahwa penerjemahan

merupakan pengalihan makna dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa). Newmark (1988) memberikan definisi serupa, dengan sedikit penambahan, bahwa proses mengalihkan makna itu dilakukan sesuai dengan maksud penulis.

Sementara Baker (2011) tidak memberikan definisi eksplisit mengenai penerjemahan, namun ia juga menggunakan pendekatan kebahasaan dengan berfokus pada kesepadanan dalam tataran kata, frasa, gramatika, dan pragmatik. Selain itu, Bell (1991) menambahkan bahwa penerjemahan adalah pengungkapan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan mempertahankan gaya bahasa dan semantik bahasa sumber. Berbagai definisi itu menjelaskan penerjemahan dalam arti sempit; penerjemahan merupakan proses satu arah, yakni proses mengganti teks sumber dengan teks sasaran. Padahal para ahli itu sendiri juga

mengakui bahwa penerjemahan tidaklah

sesederhana itu, ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan oleh penerjemah, seperti faktor budaya, penulis teks sumber (TSu), dan pembaca potensial teks sasaran (TSa).

Beberapa ahli lain menawarkan definisi

penerjemahan yang lebih luas, mereka

berpendapat bahwa penerjemahan tidak hanya berkaitan dengan aspek kebahasaan. Reiss (1971) menggunakan pendekatan fungsional. Menurutnya, penerjemahan adalah proses komunikasi dua bahasa yang dijembatani oleh penerjemah; tujuan idealnya adalah untuk menghasilkan teks sasaran yang berfungsi sepadan dengan teks sumber. Tujuan itu disebut “skopos” (Vermeer, 1989) dan

(2)

2 merupakan hasil negosiasi antara klien dan

pemesan terjemahan1. Masih dalam pendekatan fungsional, Nord (1991) juga berpendapat bahwa penerjemahan adalah produksi TSa dari teks sumber sesuai fungsi yang diminta atau diinginkan

pada teks sasaran (tujuan penerjemahan).

Sementara itu, menurut Hatim dan Mason (1992), penerjemahan merupakan proses komunikasi yang berlangsung dalam konteks sosial. Selanjutnya, kedua ahli itu menyempurnakannya dengan menambahkan aspek budaya dan kebahasaan.

Penerjemahan adalah usaha menyampaikan

tindakan komunikasi lain yang mungkin ditujukan untuk pembaca yang berbeda dengan tujuan yang berbeda dengan melintasi batas budaya dan bahasa (Hatim dan Mason, 1997). Berbagai definisi itu mengungkapkan hal sama dengan cara yang berbeda, yakni penerjemahan merupakan proses komunikasi yang dijembatani oleh penerjemah dan

melibatkan dua bahasa serta budaya;

penerjemahan dilakukan dengan tujuan tertentu yang mungkin berbeda dari tujuan penulis TSu.

III. Penerjemahan sebagai tindakan

komunikasi

Sebagai mediator, penerjemah berada di antara dua budaya. Perbedaan budaya itu

memengaruhi pembentukan TSu dan TSa

(Newmark, 1988). TSu terikat budaya BSu dan TSa terikat budaya BSa sebagaimana dijelaskan oleh Nord (1991, hlm. 7) bahwa “Being culture-bound linguistic signs, both the source text and the target text are determined by the communicative situation in which they serve to convey a message”2. Selain itu, hal terpenting yang harus

dipahami oleh penerjemah adalah tujuan

menerjemahkan TSu dan fungsi yang hendak diberikan pada TSa dengan mempertimbangkan pembaca potensial TSa. Dengan demikian, ia dapat menentukan strategi penerjemahan yang akan digunakan (Vermeer, 1989). Oleh karena itu, cara seorang penerjemah menyampaikan pesan dalam TSu dapat berbeda dari cara penulisnya. Selain itu, Reiss (1971) menyebutkan adanya kemungkinan bahwa pesan yang disampaikan

1 Dalam terjemahan beranotasi ini, penerjemah

menempatkan diri sebagai pemesan dan pembaca potensial teks sasaran adalah kliennya.

2 “Sebagai tanda bahasa yang terikat budaya, TSu dan TSa

ditentukan oleh situasi komunikasi yang mereka gunakan untuk mengirim pesan.”

tidaklah persis sama karena perbedaan situasi komunikasi.

Halliday (1985) menggunakan istilah ‘konteks situasi’ dan ‘konteks budaya’3 untuk mengacu kepada situasi komunikasi tersebut. Menurutnya, teks dibentuk oleh susunan medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse) yang secara khas bergandengan dalam suatu budaya.

III.1 Konteks Situasi

Teks merupakan bahasa yang sedang menjalankan tugas tertentu, yakni sebagai alat komunikasi tertulis, dalam suatu konteks budaya dan bahasa. Halliday (1985) memperkenalkan tiga ciri konteks situasi, sebagai berikut:

1. Pelibat wacana (tenor of discourse)

Pelibat wacana adalah orang yang terlibat dalam teks, yakni pengirim pesan (sender) atau penulis dan penerima pesan (receiver) atau pembaca. Pelibat juga memperlihatkan posisi penulis terhadap pembaca. Menurut Bell (1993), pelibat memberikan informasi mengenai jarak antara penulis dan pembaca (formality), hubungan kekuasaan antara penulis dan

pembaca (politeness), keterlibatan

pembaca dalam teks (impersonality), dan

asumsi yang dimiliki oleh penulis

mengenai pengetahuan terkait topik

bahasan yang dimiliki pembacanya

(accessibility). Hubungan itu terlihat dalam pilihan kata dan struktur kalimat yang digunakan penulis.

2. Sarana wacana (mode of discourse)

Sarana wacana adalah saluran atau

media yang digunakan untuk

menyampaikan pesan. Hubungan antara penulis dan pembaca juga ditentukan oleh saluran atau media yang digunakan. Bell (1993) mengemukakan empat parameter dalam sarana wacana ini, sebagai berikut:

(i) Pembatasan saluran (channel

limitation)

Wacana yang menggunakan media lisan lebih luwes dibandingkan dengan yang tertulis karena mempunyai dua

3 Malinowski memperkenalkan istilah konteks situasi dan

konteks budaya pada 1923. Konteks situasi adalah lingkungan langsung teks atau lingkungan verbalnya, sedangkan konteks budaya adalah lingkungan hidup itu.

(3)

3 saluran, yakni saluran audio dan visual.

Oleh karena itu, pemberi pesan lebih leluasa memberikan penekanan makna dengan menggunakan intonasi suara atau ekspresi wajah. Sementara itu, wacana

yang menggunakan media tertulis,

selanjutnya disebut teks, hanya mempunyai saluran visual sehingga penulis dituntut untuk lebih mengeksplisitkan makna dalam teks dan menandai kata yang maknanya hendak ditekankan.

(ii) Spontanitas (spontaneity)

Sebagai wacana tertulis, tingkat spontanitas teks lebih rendah daripada wacana lisan karena penulis mempunyai lebih banyak waktu untuk merencanakan tulisannya serta merevisinya. Itu terlihat

dengan penggunaan sinonim untuk

menghindari pengulangan kata. (iii) Partisipasi (participation)

Parameter ini mirip dengan

impersonality yang melihat keterlibatan pembaca dalam teks. Teks yang tidak melibatkan pembacanya bersifat monolog, sedangkan yang melibatkan pembacanya bersifat dialog.

(iv) Kekhususan (privateness)

Kategori kekhususan ini

bertumpang tindih dengan accessibility. Kategori itu dilihat dari jumlah pembaca yang diinginkan oleh penulis; semakin banyak jumlah pembaca yang diinginkan oleh penulis, semakin umum teks tersebut. 3. Medan wacana (field of discourse)

Bell (1993) menyebut medan

wacana, “ domain” atau ranah. Medan wacana adalah yang menjadi pokok pembicaraan dalam teks. Itu ditentukan oleh laras yang digunakan dalam teks.

IV Tipe teks dalam penerjemahan

Penting bagi seorang penerjemah untuk melakukan analisis teks sumber terlebih dahulu. Menurut Nord (1991), analisis TSu dilakukan tidak hanya untuk memastikan pemahaman menyeluruh dan penafsiran yang benar terhadap TSu, atau untuk mengetahui aspek kebahasaan dan struktur TSu, melainkan juga sebagai pedoman

penerjemah untuk mengambil keputusan dalam proses menerjemahkan.

Dengan melakukan analisis teks sumber, penerjemah dapat mengetahui tipe teks yang akan diterjemahkannya. Informasi mengenai tipe teks akan membantunya dalam menentukan metode yang akan digunakan. Bell (1993, hlm. 206) mengemukakan bahwa

“Without the ability to recognize a text as a sample of a particular form which is itself a token of a particular type, we would be unable to decide what to do with it; we could neither comprehend nor write nor, clearly, translate.”4

Reiss (1971) dan Vermeer (1989)

berpendapat bahwa untuk mengetahui tujuan TSu dan menetapkan tujuan TSa, penerjemah harus mengenali tipe teks sumber. Reiss (1971) mengelompokkan tipe teks berdasarkan fungsinya yang dikembangkan dari Bühler, sebagai berikut:

1. Teks informatif, teks yang berisikan

informasi, pendapat, atau fakta, atau dengan kata lain berfungsi menyampaikan informasi. Bahasa yang digunakan netral dan formal, contohnya adalah laporan teknis atau jurnal ilmiah.

2. Teks ekspresif, teks yang berisikan

ungkapan pikiran atau perasaan penulis. Teks ini berfungsi sebagai hiburan. Bahasa yang digunakan menonjolkan unsur estetika. Contoh teks adalah puisi, drama, cerita pendek, dan novel.

3. Teks operatif, teks yang ditujukan untuk memengaruhi pikiran, pandangan, dan perilaku pembaca sesuai dengan keinginan penulis. Dalam teks itu, penulis berusaha menjalin komunikasi dengan pembaca melalui penggunaan gaya bahasa yang akrab dengan pembaca. Teks ini memiliki fungsi persuasif. Contoh teks yang bersifat vokatif adalah propaganda, iklan, dan promosi.

Sementara itu, Newmark (1988) membuat pengelompokan tipe teks yang hamper sama. Ia mendasarkan pengelompokkan tipe teksnya pada

4 “Tanpa kemampuan mengenali sebuah teks sebagai

percontoh suatu bentuk teks yang merupakan spesimen dari tipe teks tertentu, kita tidak akan mampu memutuskan tindakan yang akan kita ambil terhadap teks; kita juga tidak mampu memahaminya, tidak juga menuliskannya kembali, apalagi menerjemahkannya.”

(4)

4 fungsi bahasa Jakobson5. Perbedaan pendapat

Newmark (1988) dan Reiss (1971) terletak pada istilah; Newmark menggunakan istilah tipe teks vokatif untuk teks yang memiliki fungsi persuasif. Namun, baik Reiss (1971) dan Newmark (1988) mengakui bahwa tipe teks jarang hadir dalam bentuk murninya, biasanya satu teks terdiri dari dua tipe teks. Contohnya adalah teks keagamaan, teks ini biasanya memberikan

informasi sekaligus berusaha memengaruhi

pembacanya sehingga dapat hadir dalam tipe teks informatif sekaligus operatif. Meskipun demikian, salah satu tipe teks lebih dominan dari yang lainnya dan menjadi penentu tipe TSu.

Hatim dan Mason (1992) mengemukakan bahwa, memang secara tradisional teks dapat dibagi berdasarkan bentuk (formal typology), topik, atau isinya, misalnya teks sastra, teks teknis, dan teks institusional. Menurutnya, teks teknis merupakan teks yang bahasannya bersifat ilmiah, tidak mengandungi kata budaya, menggunakan struktur bahasa pasif, menggunakan kala masa sekarang, dan menggunakan pronomina orang ketiga. Sebaliknya teks sastra/fiksi merupakan cerita khayalan dan banyak mengandungi unsur budaya, seperti idiom, metafora, dan ragam bahasa slang. Kenyataannya banyak ditemukan teks yang dari segi bentuk merupakan teks fiksi, tetapi dari segi bidang dapat disebut teks teknis, contohnya jenis teks science-fiction. Kelemahan model

pengelompokan itu adalah menyulitkan

penerjemah dalam menentukan tipe teks ketika menghadapi sebuah teks yang mengambil bentuk teks lain. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa TSu tidak dapat dikategorikan berdasarkan topik, bentuk, kategori fiksi, atau nonfiksi saja.

Selain itu, Hatim dan Mason (1992) menilai pengelompokan tipe teks berdasarkan fungsi teks juga masih memiliki kelemahan karena memungkinkan terjadinya tumpang tindih antara satu fungsi dan fungsi lain dalam satu teks. Sebagai solusinya, mereka memperkenalkan tiga tipe teks utama berdasarkan fokus komunikasi dengan mempertimbangkan tiga ciri konteks situasi (pelibat, sarana, dan media). Tiga tipe utama itu adalah (i) Teks eksposisi berfokus pada peristiwa, keadaan, atau analisa suatu objek; (ii) Teks argumentatif berfokus pada pemberian

5 Fungsi bahasa Jakobson merupakan pengembangan dari

fungsi bahasa Bühler.

argumen baik secara langsung maupun tidak langsung; dan (iii) Teks instruksional berfokus pada upaya memengaruhi tindakan dan opini serta memprovokasi aksi atau reaksi pembacanya.

Namun, pengelompokan tipe teks oleh Hatim dan Mason (1992) sebenarnya juga tidak terlepas dari pengaruh tipe teks Reiss (1971). Pengaruh itu terlihat pada tipe teks instruksional yang memiliki kesamaan dengan tipe teks operatif Reiss. Tipe teks instruksional itu mengikuti prinsip tipe teks operatif dengan sedikit penambahan (Hatim dan Mason, 1992, hlm. 157), prinsip itu adalah:

1. Mudah dipahami (Comprehensibility) Sebagai teks yang bertujuan untuk

memengaruhi pikiran dan tindakan

pembacanya, penulis harus membuat teks instruksional itu mudah dipahami oleh pembaca, misalnya dengan menggunakan kalimat singkat atau struktur kalimat yang sederhana. Itu bertujuan agar pembaca dapat langsung menangkap inti dari pesan penulis. Dalam TSu, penulis menggunakan ragam bahasa dan struktur kalimat yang tidak baku, memberikan contoh nyata, serta memberikan petunjuk untuk setiap istilah psikologi.

2. Aktual (Topicality)

Teks instruksional lazimnya

mengangkat topik yang lekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga menarik minat pembaca. Topik konsep diri yang diangkat oleh penulis adalah topik yang hangat saat ini, terbukti dari banyaknya buku-buku sejenis yang beredar di pasaran. Selain itu, contoh kasus yang diberikan oleh penulis diambil dari kehidupan nyata sehingga membuat TSu semakin menarik. 3. Mudah diingat (Memorability)

Beberapa ciri teks instruksional adalah adanya pengulangan kata, retorika, lelucon, kata berima, dan slogan. Judul sebuah buku“You’re not who you think you are” bukan sekadar judul tetapi juga slogan yang diusung oleh penulis. Penulis sering mengulang slogan ini di beberapa bagian buku.

4. Memberikan sugesti (Suggestivity)

Teks instruksional berusaha

(5)

5

berlebihan terhadap sesuatu, untuk

memanipulasi opini pembacanya. 5. Menyentuh perasaan (Emotionality)

Teks instruksional biasanya

memancing emosi pembacanya dengan menimbulkan kecemasan dan ketakutan, memberikan ancaman, atau menggunakan metafora.

6. Manipulasi bahasa (Language

Manipulation)

Propaganda tidak dilakukan secara terbuka dalam teks instruksional. Itu

dilakukan secara terselubung dibalik

pemberian informasi. Dengan demikian, pembaca secara tidak sadar akan mengikuti alur permainan penulis.

7. Meyakinkan (Plausibility)

Dalam upaya untuk meyakinkan

pembaca, teks instruksional memuat

pernyataan yang mendukung isi teks. Pernyataan itu dapat berupa kesaksian atau kutipan teori ahli.

Konteks situasi dan aspek kebahasaan TSu

merupakan hal yang penting untuk diamati oleh

penerjemah. Hasil pengamatan itu akan

menginformasikan apa yang dikomunikasikan

oleh penulis, mengapa penulis

mengkomunikasikannya serta bagaimana cara penulis berkomunikasi dengan pembaca TSu.

Dengan demikian, penerjemah mampu

memutuskan tindakan apa yang akan diambil terhadap TSu.

V Tipe teks dan Penerjemahan

Menurut Reiss (1971), penerjemahan yang ideal akan menghasilkan TSa yang fungsinya betul-betul sepadan dengan TSu. Jika teks sumber bertipe operatif, teks sasaran yang dihasilkan juga bertipe operatif dengan kadar operatif yang sama. Namun, situasi ideal itu jarang terjadi karena adanya perbedaan konteks dan situasi komunikasi antara TSu dan TSa. Berbagai perubahan, baik dari segi struktur teks atau pesan yang sampai, akan terjadi dengan atau tanpa disengaja. Meskipun TSa memiliki kesamaan tipe teks dengan TSu, fungsi keduanya tidaklah betul-betul sepadan. Oleh karena itu, yang menjadi dasar seorang penerjemah dalam menerjemahkan TSu bukan lagi kesepadanan antara tipe teks TSu dan TSa.

Seorang penerjemah mempunyai

kebebasan untuk menentukan tipe teks TSa yang hendak diproduksinya dengan mempertimbangkan tujuan penerjemahannya (Vermeer, 1989). Teks operatif dapat diterjemahkan menjadi teks operatif atau malah menjadi teks informatif. Bahkan, jika penerjemah memilih untuk memproduksi TSa yang berfungsi sama dengan TSu sekalipun, bukan berarti kedua teks itu harus betul-betul persis sama. Hatim dan Mason (1997) mengungkapkan bahwa strategi persuasif antara dua budaya baik tidaklah sama baik dari aspek kebahasaan maupun sosial. Tujuan boleh sama, tapi cara yang dipakai untuk mencapai tujuan itu berbeda. Penerjemah tidak harus mempertahankan gaya penulis, ia dapat menggunakan gaya bahasa, pilihan kata, dan struktur kalimat yang berbeda.

VI Kesimpulan

Sebelum menerjemahkan, seorang

penerjemah harus melakukan analisis teks sumber. Analisis itu dilakukan dengan memerhatikan gaya bahasa, topik yang dibahas, dan fungsi teks itu. Dari hasil analisis, penerjemah akan mengetahui tipe teks sumber. Tak dapat dipungkiri bahwa pengelompokkan tipe teks yang dikemukakan oleh Reiss sangat berpengaruh pada pendapat ahli lain sesudah zamannya dan masih relevan untuk

digunakan untuk menentukan tipe teks.

Penerjemah dapat menentukan tipe teks sumber berdasarkan fungsi dan tujuan penulisannya. Hal itu penting sebagai landasan bagi penerjemah untuk mengambil berbagai keputusan. Namun perlu diingat bahwa penerjemahan berbeda dari ilmu pasti, penerjemah tidak mutlak harus memproduksi teks sasaran dengan tipe teks yang sama dengan teks sumber. Semuanya bergantung

kepada tujuan penerjemahan dan situasi

komunikasi dalam bahasa sasaran.

REFERENCES

[1] Baker, M. (2011). In other words: A coursebook on translation. (edisi yang direvisi). London: Routledge.

[2] Bell, R.T. (1993). Translation and translating: Theory and practice. (ed.ke-2). New York: Longman.

[3] Halliday, M.A.K & Hasan, R. (1992). Bahasa, konteks, dan teks:

Aspek-aspek bahasa dalam pandangan semiotik sosial. (Asrudddin

Barori Tou, penerjemah). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. [4] Hatim, B. & I. Mason. (1992). Discourse and the translator. Essex:

Longman.

[5] _____. (1997). The translator as communicator. London: Routledge. [6] Larson, M. (1984). Meaning-based translation: a guide to

cross-language equivalence. Lanham: University Press of America. [7] Newmark, P. (1988). A textbook of translation. London: Prentice

Hall.

(6)

6

[9] Reiss, K. (1971). Type, kind and individuality of text: Decision making in translation. (Susan Kitron, penerjemah). Dalam L. Venuti (ed). A translation studies reader (ed. ke-2). (hlm. 168-179). New York: Routledge.

[10] Vermeer, H.J. (1989). Skopos and commission in transactional action. (Andrew Chesterman, penerjemah). Dalam L. Venuti (ed). A

translation studies reader (ed. ke-2). (hlm. 227-238). New York:

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian usaha kedua yaitu merencanakan kampanye diawali dengan menyusun tujuan dari kampanye Counting Down ini yaitu: untuk menberikan informasi kepada

Dari data maupun infromasi yang telah didapatkan, peserta didik diminta menyelesaikan beberapa soal di LKPD, yaitu mencoba untuk menyelesaikan soal yang

Oleh karena itu, penelitian tentang penerapan konsep Produksi Bersih di industri keramik Kota Probolinggo ini dilaksanakan dengan tujuan untukmengidentifikasikan jenis keluaran

[r]

Dari definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa akuntansi sektor publik merupakan proses pencatatan, pengklasifikasian, penganalisisan dan

1) Pengamatan digunakan untuk penelitian dan telah direncanakan secara sistemtik, artinya peneliti melakukan pengamatan ke lokasi pelaksanaan BUMDes dilakukan dengan perencanaan

Sebuah kejadian konflik dapat dikatakan serious conflict atau non-serious conflict dapat dilihat dari kecepatan para pengguna jalan yang terlibat konflik ketika sesaat

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian yang diperoleh penulis dari penelitian yaitu mengenai ketentuan asuransi atas benda sebagai objek jaminan fidusia