• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warm greetings from the Christian Conference of Asia (CCA). We hope that you are keeping well by God s grace.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Warm greetings from the Christian Conference of Asia (CCA). We hope that you are keeping well by God s grace."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Christian Conference of Asia

Asian Ecumenical Institute (AEI)–2020

‘We are Called to be Stewards for Renewal and Restoration of God’s Creation’

2–30 November 2020

3 October 2020

Dear Rev. Dr Binsar J. Pakpahan,

Warm greetings from the Christian Conference of Asia (CCA). We hope that you are keeping well by God’s grace.

We are immensely grateful to you for accepting our invitation to be a lecturer/resource person at the Asian Ecumenical Institute (AEI)-2020, which will be held online.

We have now finalised the curriculum specially designed for this month-long online course. We are writing to you now to share with you the sessions proposed to you:

Topic : Redefining Ecclesiology in Global Pandemic Context Time : Friday, 13 November 2020, 1:00 – 2:00 PM (Bangkok time)

Topic : Responsible Society and Christian Solidarity in God’s Creation (in ethical perspective) Time : Friday, 20 November 2020, 2:30 – 3:30 PM (Bangkok time)

We have scheduled each lecture to be 45 minutes long, with an additional 15 minutes designated for discussions/responses from the students. We recommend that you give the students pre-class readings

or assignments. If you wish to do so, kindly send the materials by 20 October 2020. We will share

further details including the ZOOM link towards the end of October.

If you find the time arranged for you does not fit with your schedule, kindly suggest the dates/times that are convenient for you. We will try to rearrange the course schedule accordingly. Please refer to the attached AEI–2020’s schedule for your reference.

Please do not hesitate to contact us in case of any concerns/queries you may have. We look forward to hearing from you.

Sincerely in Christ, Rosiana Indah Purnomo AEI Organising Team

(3)

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

MENJADI PEMATERI DALAM “ASIAN ECUMENICAL INSTITUTE 2019” YANG DIADAKAN OLEH CHRISTIAN CONFERENCE OF ASIA

ONLINE, 13 & 20 NOVEMBER 2020

Dewan Gereja Asia (Christian Conference of Asia) mengadakan summer course untuk para teolog muda dari berbagai negara Asia. Peserta yang mengikuti Asian Ecumenical Course Institute yang diadakan selama satu bulan penuh ini adalah 50 pemuda. Saya menjadi pemateri di beberapa sesi, terutama berhubungan dengan gaya baru bergereja di Asia dalam rangka respons terhadap pandemi Para peserta sangat antusias dalam berbagi pengalaman mereka mengenai peran gereja di konteks mereka masing-masing. Jakarta 21 November 2020

(4)

Asian Ecumenical Course

Digital Theology

Melakukan Misi di Dunia Digital

Binsar Jonathan Pakpahan

Pada Mei 2015, Christian Conference of Asia (CCA) mengadakan sidang raya tahunan di Jakarta, dengan tema “Living Together in The Household of God.” Tema ini menunjukkan sebuah harapan akan kebersamaan semua umat (dalam kepelbagaian agama, ras, suku, warna kulit, bahkan spesies) dalam sebuah tempat yang disediakan Allah. Household tidak menunjuk kepada sebuah bangunan rumah, melainkan merujuk ke ruang yang Allah sediakan untuk makhluk yang diciptakannya. Dalam Sidang Raya, gereja-gereja di Asia membahas posisinya dalam kehidupan bersama di tengah

keberagaman. Keberagaman adalah suatu hal yang disadari dan dirangkul dengan sengaja karena kita semua tinggal dalam ruang yang sama. Tema Sidang Raya CCA menunjukkan arah berteologi gereja-gereja di Asia, yang ingin hidup lebih dari sekedar toleran, atau hidup berdampingan, melainkan betul-betul masuk ke dalam interaksi yang sesungguhnya sebagai makhluk ciptaan Allah.

Gereja-gereja di Asia memahami misi sebagai panggilannya untuk merespons permasalahan bersama dalam ruang tinggal tersebut, yaitu kemiskinan, perdagangan manusia, keadilan, kedamaian, dan hidup dengan penganut kepercayaan lain. Alih-alih melihat dunia sebagai kami (gereja) dan mereka (dunia), perkembangan paham ini memandang dunia sebagai tempat di mana kita (gereja dan yang lain) berada dan berusaha untuk hidup bersama di dalamnya. Ini adalah sebuah pandangan yang memperlihatkan arah pandangan teologi misi yang baru di Asia.

Sementara itu, pandangan teologi misi ini sepertinya belum sepenuhnya diadopsi oleh gereja-gereja di Asia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya. Ketegangan-ketegangan yang terjadi di antara umat beragama di Indonesia banyak dimulai dari isu kristenisasi. Beberapa gereja memahami bahwa misi Kristen adalah usaha untuk memenangkan jiwa, dan pandangan ini tentu akan bergesekan dengan kenyataan keragaman hidup umat beragama di Indonesia. Pertanyaannya sekarang, apa sebenarnya pandangan gereja, dan lembaga parachurch di Indonesia mengenai misi? Apakah pemahaman misi lebih kepada apa yang gereja-gereja di Asia akan bahas dalam Sidang Raya mereka pada tahun 2015, atau apakah misi adalah masalah penginjilan yang berujung kepada conversion?

(5)

Dua Pemahaman Misi

Apa itu misi. Ketika pekerjaan misi tiba di Indonesia, dia dipandang sebagai penginjilan kepada bangsa-bangsa yang belum percaya kepada Tuhan. Misi dipahami dalam arti klasik yaitu penyebaran Injil. Gereja Katolik Roma masuk ke Indonesia sejak tahun 1511 dan dia berkembang secara pesat di daerah pesisir dan pelabuhan

(Aritonang 1996, 11). Namun, misi Gereja Gereformeerd Belanda yang kemudian masuk melalui kekuatan dagang VOC sejak awal abad ke-17, justru mengkristenkan (baca: memprotestankan) orang-orang pribumi, termasuk orang-orang yang sudah menjadi penganut Katolik. Penginjilan ini dilakukan atas semangat pietisme gereja beraliran Calvinis, yaitu untuk membawa berita Injil ke seluruh dunia.

Pada awal masuknya agama Kristen Protestan di Indonesia, mereka diterima karena berbagai alasan. Th van den End menuliskan bahwa kekristenan masuk bukan hanya sebagai fenomena religius, namun bagian dari negosiasi politis dan perdagangan, dan sebagian besar diterima di Indonesia timur, lalu mereka juga menerima gabungan budaya baru dengan budaya asal mereka sebagai identitas yang baru (van den End 1987). Dengan demikian, pada awalnya misi dilihat sebagai cara untuk menyebarkan kabar baik dan memulai gereja di tempat-tempat baru.

Dalam perkembangannya kemudian, yang tidak akan saya gambarkan di sini, pemahaman misi secara teologis mengalami perubahan makna. David J. Bosch, dalam pendahuluan buku wajib misi Kristen Transformasi Misi Kristen menuliskan bahwa pengertian misi sampai tahun 1950 memiliki beragam makna yang terbatas kepada hal-hal berikut ini: (1) penyebaran iman; (b) perluasan pemerintahan Allah; (c) pertobatan orang-orang kafir; dan (d) pendirian jemaat-jemaat baru (Bosch 2000, 1). Pengertian tradisional ini telah menerima tantangan dari luar dan dalam gereja. Beberapa dari tantangan atas pengertian misi itu adalah kemajuan teknologi, fakta bahwa kekuatan kekristenan juga mulai berpindah ke dunia-dunia selatan, filosofi dunia postmodern, lahirnya teologi yang berasal dari dunia-dunia non-Utara, dsb.

Dari tiga belas poin yang diajukan Bosch sebagai pemahaman misi yang baru akibat dari perubahan-perubahan di atas (Bosch 2001, 13-17), kita bisa merumuskan bahwa misi adalah pekerjaan Allah sendiri. Misi adalah penyataan diri Allah dan respons-Nya kepada dunia (missio Dei). Misi adalah soal Allah yang hendak menjawab dunia. Gereja ikut dalam pergerakan ini untuk membawa Injil ke seluruh dunia. Gagasan missio Dei mendapatkan ruakh-nya dalam Konferensi IMC di Wilingen pada tahun 1952 berdasarkan pemikiran Karl Barth yang menempatkan misi dalam konteks Tritunggal

(6)

dan bukan eklesiologi (gereja) atau soteriologi (keselamatan). Intinya, inisiatif misi berasal dari Allah dan bukan dari gereja.

Pengejawantahan misi Allah ini adalah panggilan kepada gereja-gereja untuk ikut berperan dalam berbagai langkah. Bosch mencatat beberapa unsur-unsur paradigma misi oikumenis yang muncul, yaitu: misi sebagai perantara keselamatan; misi sebagai perjuangan demi keadilan; misi sebagai penginjilan; misi sebagai kontekstualisasi; misi sebagai pembebasan; misi sebagai inkulturasi; misi sebagai kesaksian bersama; misi sebagai pelayanan oleh seluruh umat Allah; misi sebagai kesaksian kepada orang-orang berkepercayaan lain; misi sebagai teologi; dan misi sebagai aksi dalam pengharapan. Dengan melihat pemahaman misi di atas, kita bisa memahami bahwa misi telah memasuki babak baru yang melampaui pemahaman tentang penginjilan itu sendiri. Penginjilan adalah bagian dari misi, namun dia bukan keseluruhan dari misi.

Sumartana, dalam bukunya Mission at the Crossroads (1991), menggambarkan dilema yang dihadapi oleh teologi misi Kristen di Indonesia dalam hubungannya dengan agama-agama lain. Dilema teologis dalam pergerakan misi Kristen terletak dalam dua isu: kristenisasi dan Negara Islam (Sumartana 1991, 333). Salah satu cara untuk melihat dilema ini adalah dengan kembali ke Pancasila sebagai model positif dari sinkretisme agama, sehingga ketakutan akan pengerasan identitas yang ingin mengalahkan identitas yang lain bisa diminimalisir. Sumartana menulis,

Dalam perspektif ini, agama diarahkan menuju komitmennya bagi kesejahteraan manusia yang hidupnya selalu berhadapan dengan masalah sehari-hari. Dalam konteks hubungan lintas agama di Indoneisa, sebuah harapan harus ditunjukkan kepada agama-agama: harapan akan kemampuan untuk saling memahami, saling memaafkan, dan saling bekerja sama (Sumartana 1991, 343).

Cara Sumartana untuk melihat misi diterjemahkan sebagai misi presensia. Presensia dipahami sebagai cara gereja untuk menjalankan misi dengan menjadi garam dan terang di mana pun mereka berada. Menurut paham ini, kehadiran kekristenan harus ditandai dengan perbaikan kualitas kemanusiaan, baik rohani maupun jasmani. Gereja tidak melulu bicara soal menarik seseorang menjadi pengikut Kristus, namun bagaimana seorang pengikut Kristus bisa memberi arti bagi dunia di sekitarnya.

Dalam paparan singkat di atas, kita bisa melihat bahwa pemahaman teologis mengenai misi juga berubah dari masa ke masa. Pada masa ini, gereja-gereja dunia sepakat untuk memahami misi juga sebagai hospitalitas, kesanggrahan terhadap sang liyan. Penyambutan terhadap yang lain adalah sebuah cara melakukan misi di dunia yang penuh dengan keragaman dan perbedaan. Hershberger (2009) menuliskan bahwa

(7)

hospitalitas adalah kehidupan yang penuh dengan panggilan untuk berjumpa dan melayani orang yang membutuhkan demi mewartakan Injil. Misi yang dilakukan di sini juga bukan untuk mengkristenkan seseorang, melainkan untuk mengenalkan dan menjadi perpanjangan tangan Allah yang memiliki misi untuk menjawab dunia. Paham misi yang baru ini juga telah diadopsi oleh para teolog pentakostal seperti Amos Yong (2008) dan Vondey Wolfgang (2010).

Beragam paham mengenai misi disederhanakan menjadi dua pilihan, yaitu: (1) presentia atau misi gereja dalam hal siginifikansi kehadiran gereja dalam masyarakat dan menjadi garam dan terang dunia (kualitas kehadiran); dan (2) church planting yaitu misi dilihat sebagai penyebaran Injil yang sering dinilai dari pendirian gereja yang baru (kuantitas kehadiran). Kedua posisi ini tentu tidak cukup untuk menggambarkan perkembangan pemikiran teologis mengenai misi, namun dirasa dapat digunakan sebagai kacamata untuk melihat pemahaman misi organisasi-organisasi gereja yang diteliti.

Melakukan Amanat Agung dalam Dunia Digital

Dalam pengejawantahan misi dalam hal apa yang harus dilakukan, banyak gereja berpegang kepada Amanat Agung. Meski kebanyakan gereja bicara mengenai Amanat Agung sebagai landasan misi dari Matius 28:18-20, beberapa gereja mulai

menggunakan amanat agungnya dari Injil Markus atau Lukas.

Matius 28 Markus 16 Lukas 24

28:18 Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. 28:19 Karena itu

pergilah,jadikanlah semua bangsa murid-Kudan

baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,28:20 danajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah

Kuperintahkan kepadamu.

Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."

16:15 Lalu Ia berkata kepada mereka: "Pergilah ke seluruh dunia,beritakanlah Injil kepada segala makhluk. 16:16 Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan

dihukum. 16:17 Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan

berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, 16:18 mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh."

24:46 Kata-Nya kepada mereka: "Ada tertulis demikian:Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, 24:47 dan lagi: dalam nama-Nyaberita tentang pertobatan dan pengampunan dosaharus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. 24:48Kamu adalah saksi dari semuanya ini.24:49 Dan Aku akan mengirim kepadamu apa yang dijanjikan Bapa-Ku. Tetapi kamu harus tinggal di dalam kota ini sampai kamu diperlengkapi dengan

kekuasaan dari tempat tinggi."

1. pergilah,

2. jadikanlah semua bangsa murid-Ku

1. Pergilah ke seluruh dunia, 2. beritakanlah Injil kepada

segala makhluk.

1. Kamu adalah saksi dari semuanya ini [bahwa “Mesias harus menderita dan bangkit

(8)

3. baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus

4. ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.

dari antara orang mati pada hari yang ketiga”, dan “berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa”] 2. harus disampaikan kepada

segala bangsa, mulai dari Yerusalem.

Pemahaman misi memang tidak bisa kita pecah dari pesan keseluruhan Injil, terutama bahwa seluruh Alkitab berisi firman Allah dan misi Allah yang memperli-hatkan inisiatif Allah dalam relasinya dengan makhluk ciptaan (Wright 2006). Namun, jika kita mencoba literary interpretation dalam pemahaman pemberitaan di Markus dan Lukas, penggunaan media sosial membuat pemberitaan ke seluruh dunia menjadi efektif. Meski demikian, kita juga harus mengingat bahwa perintah untuk pergi ke seluruh dunia dipahami Yesus sebagai perintah literer secara fisik, pergi ke ujung dan batas dari keyahudian dan menuju bangsa-bangsa di luar Israel. Perintah pergi ke seluruh dunia bisa kita terjemahkan entah sebagai pergi secara fisik ke tempat-tempat yang belum mendengar Firman Allah, atau bisa juga dengan memberi kampanya media sosial yang baik untuk menjangkau mereka yang belum mendengar kabar baik. Meski demikian, kelemahan dari penggunaan media teknologi untuk mencapai pendengar pertama, karena dia tidak lagi personal, dan sulit untuk diukur karena apa yang disebut sebagai media bubble.1Lebih sulit lagi, kita sekarang berada dalam genggaman media sosial yang cenderung menyensor apa yang kita tampilkan berdasarkan aturan yang mereka umumkan (Gillespie 2018, 5-9) dan kepentingan yang ada di balik organisasi mereka. Seringkali kepentingan yang mereka miliki dipengaruhi oleh politik mereka dalam pemahaman,

Rather, politics is understood in more general terms, as ways of world-making—the practices and capacities entailed in ordering and arranging different ways of being in the world. Drawing on insights from Science and Technology Studies (STS), politics here is more about the making of certain realities than taking reality for granted (Mol, 2002; Moser, 2008; Law, 2002). (Bucher 2019, 3)

Dengan pemaparan di atas, kita bisa memahami bahwa media sosial yang dimiliki untuk mengabarkan Kabar Baik akan banyak tergantung kepada jenis media, apa kebijakan media

1Media bubble adalah “an environment in which one’s exposure to news, entertainment, social

media, etc., represents only one ideological or cultural perspective and excludes or misrepresents other points of view” (Dictionary.com s.v. “media bubble”). Media bubble membuat kita hanya membaca apa yang kita ingin baca, karena algoritma media sosial atau berita bahkan mesin pencari disesuaikan dengan apa yang mereka [baca: AI dari mesin pencari atau media sosial] pikir sesuai dengan kebutuhan kita berdasarkan terminologi yang kita masukkan di mesin pencari atau media sosial. Bahkan media nasional di Amerika Serikat juga diduga berdasarkan media bubble mereka sendiri sehingga polaritas antara pendukung Demokrat dan Republikan di Amerika Serikat akan semakin luas. Lihat Jack Shafer and Tucker Doherty, “The Media Bubble Is Worse Than You Think,” Politico, 2017, https://www.politico.com/magazine/story/2017/04/25/media-bubble-real-journalism-jobs-east-coast-215048.

(9)

tersebut, dan media bubble para pembacanya. Akibatnya, besar kemungkinan orang yang membaca pemberitaan kabar baik adalah mereka yang memang terekspos terhadap kata-kata kunci yang berhubungan dengan kekristenan. Dengan kata lain, siapa yang menjadi

pembaca/viewer/reader/subscriber/member adalah mereka yang memang mencarinya. Meski demikian, Paus Benediktus sudah memahami pentingnya jejaring dalam penginjilan, sehingga dengan jejaring kita bisa saling menguatkan.

Social networks, as well as being a means of evangelization, can also be a factor in human development. As an example, in some geographical and cultural contexts where Christians feel isolated, social networks can reinforce their sense of real unity with the worldwide community of believers. The networks facilitate the sharing of spiritual and liturgical resources, helping people to pray with a greater sense of closeness to those who share the same faith. (Benedictus XVI 2013)

Jejaring yang dimaksud Paus Benediktus XVI bisa kita bentuk melalui media sosial. Karena pemahaman demikian, Egere, melihat media sebagai sebuah “alat” untuk melakukan penginjilan.

The Church, therefore, “Sees these media as ‘gifts of Cod’ which, in accordance with Ids providential design, unite men in brotherhood and so help them to cooperate with his plan of salvation.” This vision of the Church calls for urgent application of the social media stratagem in the evangelization vista (Egere 2015, 192).

Lebih lanjut, Egere juga melihat pentingnya pengembangan model penginjilan berdasarkan strategi pemasaran dengan pendekatan dan teknik psikologis. Egere melihat media sosial sebagai cara yang sangat efektif untuk berkomunikasi dengan dunia yang semakin terintegrasi dalam web. Menurutnya, gereja harus mereorientasi programnya dengan cara terkini untuk menyesuaikan diri dengan metode terbaru (Egere 2015, 203; Olusola 2015, 220-222).

Reimann, memandang bahwa kepentingan untuk penginjilan di ruang media sosial adalah kebutuhan, dan sekarang saatnya untuk bicara mengenai cara untuk menampilkan diri sebagai sebuah gereja (Reimann 2017, 73-74). Beberapa hal yang dia khawatirkan adalah persona online yang tidak sama dengan apa yang adad alam dunia nyata, dan aturan yang berbeda yang ditampilkan oleh dunia media sosial. Karena berbagai tantangan, Reimann membedakan agama online dan agama di ruang online Reimann 2017, 77). Baginya, agama harus muncul di ruang online namun tidak menjadi agama online (agama yang dipraktikkan murni di ruang online). Kita bisa

menyimpulkan bahwa misi di ruang online adalah pelengkap dari pelayanan yang gereja lakukan di ruang tiga dimensi.

Umumnya, para tokoh agama memandang teknologi komunikasi melalui internet sebagai hal yang positif dalam pengembangan komunitasnya (Cheong 2013, 79). Meski demikian, pengetahuan bahwa kompleksitas algoritma pemilihan (masalah potensi dan promosi), kekuatan persona online (masalah otoritas), serta otentisitas

(10)

pembicara/influencer (masalah originalitas) menjadi tantangan yang perlu dieksplor gereja dalam keterlibatannya untuk melakukan pekerjaan misi (konten misi) di dunia media sosial.

Pertanyaan untuk Dieksplorasi

Jika demikian, pertanyaan yang harus dijawab kelompok adalah:

1. Apa pemahaman misi bagi gereja jika dia mau terjun di dunia media sosial, dan apakah media sosial bisa menjadi alat utama untuk melakukan pekerjaan misi? 2. Apa perubahan pemahaman misi yang mungkin terjadi karena ada kekuatan

jejaring dalam media sosial dan algoritmanya?

3. Tantangan apa yang perlu dihadapi gereja dalam mengerjakan pekerjaan misi di jejaring media sosial? Lalu bagaimana dengan pekerjaan memuridkan dan membaptis dalam nama Allah Bapa Putra dan Roh Kudus?

4. Bagaimana dengan relasi kekristenan dengan agama-agama lain ketika misi di ruang media sosial menjadi perdebatan tanpa ujung karena hilangnya moderasi?

Bacaan Lebih Lanjut:

Antone, Hope S. 2006. Living together in the household of God: Becoming a household of faith, love, and hope. CTC Bulletin Vol. XXII, No. 2, August: 52-61.

Aritonang, Jan S. 1996. Berbagai aliran di dalam dan di sekitar gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Borowik, Claire. “From Radical Communalism to Virtual Community: The Digital Transformation of the Family International.” Nova Religio 22, no. 1 (2018): 59–86.

https://doi.org/10.1525/nr.2018.22.1.59.

Bosch, David J. 2000. Transformasi misi Kristen: Sejarah teologi misi yang mengubah dan

berubah. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Bucher, Taina. 2018. If...then: algorithmic power and politics. Oxford Studies in Digital Politics. Oxford: Oxford University Press.

Campbell, Heidi A. When Religion Meets New Media. London: Routledge, 2011.

Carmi, Elinor. 2020. Rhythmedia: A study of Facebook immune system. Theory, Culture and

Society 37 (5): 119–38.

Cheong, Pauline Hope. 2013. Authority. Dalam Digital religion: Understanding religious practice

(11)

Cheryl, Casey. “Virtual Ritual, Real Faith: The Revirtualization of Religious Ritual in Cyberspace.”

Journal of Religions on the Internet 2, no. 1 (2006): 73–90.

https://doi.org/10.11588/rel.2006.1.377.

Ciucci, Enrica, Andrea Baroncelli, Marta Franchi, Farrah Naz Golmaryami, dan Paul J. Frick. “The Association between Callous-Unemotional Traits and Behavioral and Academic Adjustment in Children: Further Validation of the Inventory of Callous-Unemotional Traits.” Journal of

Psychopathology and Behavioral Assessment 36, no. 2 (Juni 2014): 189–200.

https://doi.org/10.1007/s10862-013-9384-z.

Dyikuk, Justine John. “Christianity and the Digital Age: Sustaining the Online Church.” International

Journal of Journalism and Mass Communication 3, no. 1 (2017): 43–49.

http://hdl.handle.net/123456789/2890.

Egere, Inaku K. 2015. Social media and mission-based marketing approach for the new evangelization in the digital age. African ecclésial review 188 (4): 186–205.

Fanning, Don. 2014. The great commission: Matt. 28:18-20. The journal of Liberty Baptist

Theological Seminary 1 (2): 13–30.

Görzig, Anke, dan Lara A. Frumkin. “Cyberbullying Experiences On-The-Go: When Social Media Can Become Distressing.” Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on Cyberspace 7, no. 1 (2013). https://doi.org/10.5817/CP2013-1-4.

Gould, Wendy Rose. 2019. Are you in a social media bubble? Here’s how to tell.” NBC News. https://www.nbcnews.com/better/lifestyle/problem-social-media-reinforcement-bubbles-what-you-can-do-about-ncna1063896(diakses 15 September 2020).

Herschberger, Michele. 2009. Hospitalitas: Orang asing atau ancaman? Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Lapidot-Lefler, Noam, dan Azy Barak. “Effects of Anonymity, Invisibility, and Lack of Eye-Contact on Toxic Online Disinhibition.” Computers in Human Behavior 28, no. 2 (Maret 2012): 434–43. https://doi.org/10.1016/j.chb.2011.10.014.

McIntosh, Esther. “Belonging without Believing: Church as Community in an Age of Digital Media.”

International Journal of Public Theology 9, no. 2 (2015): 131–55.

https://doi.org/10.1163/15697320-12341389.

Olusola, Emmanuel B. “Digital Church and E-Culture in the New Media Age: The Spectrum of Nigeria.” African Ecclesial Review 57, no. 3 & 4 (2015): 206–24.

https://www.scribd.com/document/368083171/Inaku-K-Egere-Social-Media-and-Mission-based-Marketing-Approach-for-New-Evangelization-in-the-Digital-Age.

Olusola, Emmanuel B. 2015. Digital church and e-culture in the new media age: The spectrum of Nigeria.” African ecclesial review 57 (3 & 4): 206–24.

Pakpahan, Binsar J. 2013. Ekaristi dan Rekonsiliasi: Sebuah Upaya Mencari Eklesiologi Gereja-gereja Pasca Konflik. Gema Teologi Vol. 37, No. 1, April: 47-60.

(12)

Pardini, Dustin. “Perceptions of Social Conflicts among Incarcerated Adolescents with Callous-Unemotional Traits: ‘You’re Going to Pay. It’s Going to Hurt, but I Don’t Care.’: Perceptions of Social Conflicts.” Journal of Child Psychology and Psychiatry 52, no. 3 (Maret 2011): 248–55. https://doi.org/10.1111/j.1469-7610.2010.02336.x.

Patton, Desmond Upton, Robert D. Eschmann, dan Dirk A. Butler. “Internet Banging: New Trends in Social Media, Gang Violence, Masculinity and Hip Hop.” Computers in Human Behavior 29, no. 5 (September 2013): A54–59. https://doi.org/10.1016/j.chb.2012.12.035.

Reimann, Ralf Peter. 2017. ‘Uncharted territories’: The challenges of digitalization and social media for church and society. Ecumenical review 69 (1): 67–79.

Shafer, Jack, and Tucker Doherty. 2017. The media bubble is worse than you think. Politico. https://www.politico.com/magazine/story/2017/04/25/media-bubble-real-journalism-jobs-east-coast-215048(diakses 15 September 2020).

Shirley, Chris. 2017. Overcoming digital distance: The challenge of developing relational disciples in the internet age. Christian education journal 14 (2): 376–90.

Suler, John. “The Online Disinhibition Effect.” CyberPsychology & Behavior 7, no. 3 (Juni 2004): 321– 26. https://doi.org/10.1089/1094931041291295.

Sumartana, Th. 1993. Mission at the crossroads: Indigenous churches, European missionaries,

Islamic association and socio-religious change in Java 1812-1936. Jakarta: BPK Gunung

Mulia.

Tarleton Gillespie. 2018. Custodians of the internet: Platforms, content moderation, and the

hidden decisions that shape social media. New Haven; London: Yale University Press.

van den End, Th. 1987. Ragi Carita 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Vondey, Wolfgang. 2010. Pentecostal ecclesiology and eucharistie hospitality: Toward a systematic and ecumenical account of the church. Pneuma 32: 41-55.

Wise, Justin. The Social Church a Theology and Digital Communication. Chicago: Moody Publisher, 2014.

Wright, Christopher. 2006. The mission of God: Unlocking the Bible’s grand narrative. New York: InterVarsity Press.

Yong, Amos. 2008. Hospitality and the other: Pentecost, Christian practices, and the neighbor. Maryknoll, NY: Orbis.

(13)

Asian Ecumenical Course

Digital Theology

Persekutuan dan Komunitas dalam Era Digital

Binsar Jonathan Pakpahan

Komunitas dan Gereja

Apa itu komunitas? Kata komunitas berasal dari communitas (latin: kesamaan) yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani sebagai koinonia. Kata communitas memiliki akar kata communis yang berarti sama, publik, dibagi atau dinikmati bersama. Komunitas bisa

terbentuk atas dua hal, yaitu kesamaan lokasi dan kesamaan emosi (seperasaan,

sepenanggungan, minat, hobi, dsb.). Beberapa budaya di Indonesia sepertinya memahami juga komunitas dalam berbagai kata yang mungkin memiliki makna yang kurang lebih sama. Dalam Bahasa Sunda misalnya, kata paguyuban berarti “Perkumpulan yang bersifat

kekeluargaan, dan didirikan oleh orang-orang yang sepaham untuk membina kerukunan.”1 Dalam Bahasa Sunda, guyub berarti sehati dan setujuan. Paguyuban tidak diikat oleh lokasi. Dalam Bahasa Batak, ada dua kata yang digunakan untuk menunjukkan persekutuan yaitu parsahutaon untuk merujuk kepada persekutuan dalam satu wilayah (huta) dan punguan dalam makna paguyuban di atas.

Dalam akar kata Yunani, κοινωνια-Koinonia (akar kata: κοινος-Koinos atau “common/umum”) berarti sama-sama memiliki, berbagi, atau persekutuan dengan kedekatan yang intim. Gereja umumnya menerjemahkan koinonia sebagai “persekutuan” atau kebersamaan jemaat yang turut berbagi, ambil bagian dan berperan dalam kesatuan. Dalam pemahaman ini, persekutuan menjadi erat dengan kesehatian dan kesatuan

perasaan.

Bagaimana dengan gereja (ekklesia)? Dalam bagian pertama dokumen The Church Towards a Common Vision, terdapat pernyataan,

The Christian understanding of the Church and its mission is rooted in the vision of God‘s and manifested in Jesus Christ. According to the Bible, man and woman were created in

(14)

God‘s image (cf. Gen. 1:26-27), so bearing an inherent capacity for communion (in Greek

koinonia) with God and with one another.2

Kata communion (koinonia) merujuk kepada persekutuan dalam Allah dan dengan sesama. Kesatuan hati dalam Allah dan dengan sesama menjadi syarat utama pembentukan perseku-tuan. Beberapa aksi yang mendefinisikan koinonia juga dicantumkan seperti berbagi komuni dan dalam pengalaman pelayanan kepada yang lain.

The noun koinonia (communion, participation, fellowship, sharing), which derives from a Cor. 10:16-17), the reconciliation of Paul with Peter, James and John (cf. Gal. 2:9), the collection for the poor (cf. Rom. 15:26; 2 Cor. 8:3-4) and the experience and witness of the Church (cf. Acts 2:42-45). As a divinely established communion, the Church belongs to God and does not exist for itself. It is by its very nature missionary, called and sent to witness in its own life to that communion God intends for all humanity and for all creation in the kingdom.3

Lebih lanjut, koinonia soal kesamaan visi akan nilai dan virtues yang Allah berikan kepada mereka.4

Dokumen yang sama membedakan gereja lokal dan gereja universal. Definisi gereja lokal adalah,

“a community of baptized believers in which the word of God is preached, the apostolic faith confessed, the sacraments are celebrated, the redemptive work of Christ for the world is witnessed to, and a ministry of episkopé exercised by bishops or other ministers in serving the community. Culture, language and shared history all enter into the very fabric of the local church.5

Selain kesamaan dalam persekutuan, ada unsur lain yang menyatu dalam gereja lokal, yaitu budaya, bahasa, dan sejarah yang partikular di konteksnya sendiri. Ada sebuah perasaan lokalitas yang ditentukan oleh faktor lokasi yang particular untuk membentuk sebuah gereja lokal. Gereja lokal selalu terhubung dengan gereja yang universal, dan pada saat yang sama juga menjadi gereja yang sepenuhnya dalam konteksnya sendiri. Tantangan utama bagi definisi ini adalah bagaimana gereja bisa menjadi penuh dalam konteks lokalnya dan memiliki visi yang sama dengan gereja yang universal.

Sementara itu, dalam penelitiannya yang lebih melihat permasalahan komunitas tanpa iman yang sama, McIntosh memahami gereja (Yun. Ekklesia) sebagai “a public

gathering of believers whose aim is friendship and social action.”6Penekanan friendship dan 2WCC, The Church (Geneva: WCC, 2016), Bab I, A. par. 1.

3WCC, The Church, Bab II, B. par. 13. 4WCC, The Church,Bab IV, B. par. 62. 5WCC, The Church, par. 31.

(15)

social action diambil dari ucapan Paus Fransiskus Ketika bertemu dengan Archbishop of Canterbury Justin Welby yang ingin menjawab penekanan individualitas spiritualitas pada masa ini.7Dengan berbagai media sosial, McIntosh berpendapat bahwa gereja perlu memiliki cara pendekatan yang baik kepada jemaat melalui media digital, namun tetap menjadi sebuah persekutuan. Tantangan yang lebih dipikirkan oleh McIntosh adalah mereka yang ikut persekutuan tanpa percaya.

Tantangan Virtual Community

Beberapa studi yang membicarakan virtual community, dan juga mempertanyakan kekuatan dari persekutuan gereja yang terancam oleh bentuk baru tidak memberikan terobosan yang berarti. Salah satu contoh adalah penelitian yang dilakukan oleh Dyikuk. Baginya, gereja harus mengatasi budaya digital yang baru. Definisi budaya digital adalah,

In this study, Digital Culture is understood as the contemporary explosion of Information and Communication Technologies and how they affect the gathering and processing of

information as well as human interactions, worldviews, beliefs and opinions. By placing Inter Mirifica (Decree on Mass Media) on the front burner at the first session of the Second Vatican Council, the Council Fathers set the Church in motion for embracing the digital culture (Sanders, 2015).8

Dyikuk kemudian memprediksi bagaimana gereja bergumul menyesuaikan diri dengan budaya digital tersebut meski tanpa data lapangan atau analisis. Budaya digital akan membawa gereja kepada godaan untuk terlibat dalam pelayanan gereja online. Namun, menurut Dyikuk, efek negatif dari gereja online adalah: penurunan kehadiran di Gedung gereja, individu menggantikan komunitas, gawai tanpa interaksi manusia, subjektivitas dan relativisme, dan tantangan koneksi internet.9Pada akhirnya Dyikuk tidak memberikan pandangan teologis yang berarti mengenai bagaimana jemaat harus merespons perubahan ini dalam level teologis. Dyikuk memberi beberapa saran yang termasuk menciptakan gereja online dalam bentuk forum yang melengkapi gereja on-site. Yang Dyikuk juga belum

antisipasi bahwa akan ada gereja yang sepenuhnya memberikan pelayanan online tanpa memiliki tempat fisik.

7The meeting took place at Vatican City on 14 June 2013; their addresses to each other can be read at

‘Archbishop Justin Meets Pope Francis in Rome’ (14 June 2013), Justin Welby The Archbishop of Canterbury, <http://www.archbishopofcanterbury.org/articles.php/5076/ archbishop-justin-meets-pope-francis-in-rome> [accessed 22 October 2014] dalam McIntosh, “Belonging without Believing: Church as Community in an Age of Digital Media,” 136.

8Justine John Dyikuk, “Christianity and the Digital Age: Sustaining the Online Church,” International

Journal of Journalism and Mass Communication 3, no. 1 (2017): 45, http://hdl.handle.net/123456789/2890.

(16)

Dalam bentuk online, gereja juga dipengaruhi oleh syarat yang berbeda akan para pelayan penuh waktu dalam pemahaman tradisional. Jika tadinya para pelayan firman dan mereka yang menjadi teladan adalah mereka yang menempuh pendidikan akademik, professional dan menginspirasi,10sekarang menjadi mereka yang memiliki konten relevan dan memiliki kepribadian menarik. Perubahan ini juga datang dari kebutuhan masyarakat untuk komunikasi dua arah yang dimungkinkan di media sosial dibandingkan satu arah yang sering terjadi dalam ibadah.11

Perlu kita catat juga bahwa pemahaman mengenai komunitas ruang virtual telah menjadi semakin positif seiring dengan perkembangan teknologi dan semakin seringnya kita menggunakan fasilitas tersebut. Misalnya, Cheryl di 2006 mengatakan,

In particular, I argue that cyberspace is a uniquely appropriate medium for the enactment of religious ritual, for it returns ritual to its fundamental relationship with the virtual. By offering virtual presence from inside a virtual realm, ritual, as enacted symbol in cyberspace, is all the more effective at pointing beyond itself to the divine or the sacred.12

Dalam tulisannya mengenai kemungkinan pelayanan perjamuan kudus secara online, Cheryl sudah melihat bahwa kita perlu memikirkan ulang makna ritus karena simbol kehadiran di ruang virtual menunjuk ke simbol yang sama dengan ruang fisik. Meski demikian, saya juga berargumen bahwa Cheryl sepertinya melupakan faktor penting mengenai makna real presence dalam teologi yang menjadi perdebatan panjang karena berkaitan dengan roti dan anggur dan perubahan setelah konsekrasi. Di samping kesimpulan yang Cheryl ajukan yang masih memiliki kelemahan, reaksinya yang positif mengenai komunitas online perlu kita catat.

Setelah teknologi berkembang, dan komunitas online semakin menjamur, dalam tulisannya di 2011, Campbell berargumen bahwa komunitas virtual adalah sebuah komunitas yang terbatas pada teknologi yang berbeda dengan komunitas onsite/ruang fisik.13Baginya, komunitas dunia virtual baru bisa terbentuk Ketika sebelumnya mereka sudah mengalami perjumpaan di dunia fisik. Ruang virtual hanya berfungsi untuk

10Emmanuel B. Olusola, “Digital Church and E-Culture in the New Media Age: The Spectrum of

Nigeria,” African Ecclesial Review 57, no. 3 & 4 (2015): 210,

https://www.scribd.com/document/368083171/Inaku-K-Egere-Social-Media-and-Mission-based-Marketing-Approach-for-New-Evangelization-in-the-Digital-Age; Esther McIntosh, “Belonging without Believing: Church as Community in an Age of Digital Media,” International Journal of Public Theology 9, no. 2 (2015): 137,

https://doi.org/10.1163/15697320-12341389..

11McIntosh “Belonging without Believing”, 141. Menurut saya, kepribadian menarik tidak selalu

berkorelasi dengan kualitas dan kedalaman isi dari pembicaraan sang pribadi yang menjadi teladan. Misalnya, seseorang bisa menjadi terkenal karena melakukan suatu kebodohan, atau menyebar video tentang hal-hal yang kurang pantas, namun memiliki lebih banyak pengikut di media sosialnya daripada seorang tokoh agama.

12Casey Cheryl, “Virtual Ritual, Real Faith: The Revirtualization of Religious Ritual in Cyberspace,”

Journal of Religions on the Internet 2, no. 1 (2006): 76, https://doi.org/10.11588/rel.2006.1.377.

(17)

menguatkan komunitas yang sudah ada. Menurut Campbell, teknologi tidak dapat menciptakan komunitas orang percaya, karena Allah yang akan mengumpulkan orang percaya dalam Roh Kudus.14

Komunitas adalah Gereja?

McIntosh tetap percaya bahwa relasi berhadapan muka lebih penting dan diperlukan dibandingkan pertemuan online.15Tantangan yang ditimbulkan pertemuan di ruang virtual adalah komitmen mereka yang mengikutinya, karena ada kemudahan untuk meninggalkan ruangan, dibandingkan mereka yang harus mengambil waktu khusus untuk pergi ke ruang fisik.

Peranan teknologi komunikasi juga bisa kita lihat dalam perubahan drastis komunitas The Family International (TFI). The Family International (TFI) adalah komunitas Kristen online dengan 1500 anggota dengan pelayanan misi internasional di hampir 80 negara. Sejak 2010, TFI memutuskan untuk mengubah dirinya menjadi komunitas online.16Borowik meneliti dampak perubahan TFI dari komunitas onsite, yang kemudian ditunjang oleh pelayanan online, dan menjadi sepenuhnya online. TFI dibubarkan oleh Karen Zerby dan Steve Kelly dalam perubahan organisasi yang mereka sebut “Reboot.”17(Borowik 2018, 61). Beberapa anggota memiliki respons yang berbeda, misalnya komunitas online tidak dapat menggantikan komunitas onsite, atau media online berfungsi untuk publikasi.18

Banyak komunitas keagamaan kontemporer yang menggunakan media sosial untuk membuat forum dan kelompok diskusi dalam rangka memicu rasa memiliki. Namun dalam komunitas TFI, hal ini dianggap dapat menimbulkan masalah. Karena dengan dibuatnya forum dan ruang diskusi dalam komunitas online dapat memicu kritik dan debat yang dianggap dapat merusak komunitas (Borowik 2018, 75). Sebagian besar responden menyatakan bahwa teknologi berfungsi sebagai media berkomunikasi; berkomunikasi dengan afiliasi lain melalui email dan media sosial. Dalam penelitiannya, Borowik menemukan bahwa,

14Campbell, When Religion Meets New Media, 59). Menurut Wise, Roh Kudus yang bersifat fluid dan

transenden juga bisa bekerja di dunia virtual, lihat Justin Wise, The Social Church: A Theology and Digital

Communication (Chicago: Moody Publisher, 2014), 43.

15McIntosh “Belonging without Believing”, 131-132.

16The Family International website,https://www.thefamilyinternational.org/en/about/(diakses 21

September 2020)

17Claire Borowik, “From Radical Communalism to Virtual Community: The Digital Transformation of

the Family International,” Nova Religio 22, no. 1 (2018): 61, https://doi.org/10.1525/nr.2018.22.1.59.

(18)

…the majority of research participants indicated that this individualized bricolage approach of spiritual resources, networks, and social interaction was sufficient for their contemporary religious lives and practice.19

Mereka yang terlibat dalam komunitas ini merasa bahwa interaksi mereka di dunia virtual saja telah memenuhi kebutuhan mereka. Di sini saya juga perlu memberi catatan bahwa anggota TFI juga menjadi anggota gereja di lokasi mereka tinggal, sehingga TFI tidak hanya menjadi satu-satunya komunitas di mana mereka menemukan pemenuhan kebutuhan spiritual.

Contoh TFI memperlihatkan bahwa ada pemisahan yang cukup radikal dalam konsep persekutuan sebagai gereja, dan komunitas. Jika tadinya persekutuan yang diikat dalam gereja onsite bisa dikembangkan dalam pelayanan di ruang virtual, sekarang persekutuan gereja onsite bisa dipisahkan dari komunitas online, yang keduanya sama-sama memenuhi kebutuhan spiritual jemaat.

Pertanyaan untuk Dieksplorasi

Jika demikian, pertanyaan yang harus dijawab kelompok adalah:

1. Apa perbedaan mendasar dalam pemahaman komunitas dan gereja, koinonia dan ekklesia? Apakah kita bisa mengasumsikan bahwa keduanya adalah hal yang sama atau apa perbedaan yang lebih spesifik yang bisa anda ajukan?

2. Apakah yang terjadi dalam dunia virtual, yaitu perbedaan cara bersekutu, mengubah pemahaman dasar mengenai ekklesia dan koinonia?

3. Apa kelebihan dan kekurangan persekutuan di ruang virtual, dan apa tantangan teologis utama yang ditimbulkannya?

Referensi

Dokumen terkait