• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETA SOSIAL DESA SUKOSONO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PETA SOSIAL DESA SUKOSONO"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PETA SOSIAL DESA SUKOSONO

Gambaran Umum Lokasi

Wilayah kerja administrasi pemerintahan Kabupaten Jepara meliputi 14 kecamatan yang terdiri dari 194 desa dan 11 kelurahan. Perbandingan luas wilayah tiap kecamatan dan jarak ibukota kecamatan dari ibukota kabupaten dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

Tabel 5. Wilayah Kerja Administrasi Kabupaten Jepara

No Kecamatan Ha Km % Km dari ibukota

1 Kedung 4.306,281 43,063 4,29 9 2 Pecangaan 3.539,896 35,399 3,53 15 3 Kalinyamatan 2.417,910 24,179 2,41 18 4 Welahan 2.764,205 27,642 2,75 27 5 Mayong 6.504,267 65,043 6,48 23 6 Nalumsari 5.696,538 56,965 5,67 28 7 Batealit 8.887,865 88,879 8,85 12 8 Jepara 2.466,701 24,667 2,46 0 9 Tahunan 3.890,581 38,906 3,87 7 10 Mlonggo 10.295,516 102,955 10,25 9 11 Bangsri 8.535,241 85,352 8,50 16 12 Kembang 10.812,384 108,124 10,77 21 13 Keling 23.175,804 231,758 23,09 36 14 Karimunjawa 7.120,000 71,200 7,09 90 Jumlah 100.413,189 1.004,132 100

Sumber: Profil Daerah Kabupaten Jepara 2004

Desa Sukosono - yang menjadi lokasi kajian - merupakan salah satu dari 18 Desa yang terdapat di Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara, merupakan daerah di sekitar pesisir pantai utara Jawa (+ 3 km dari daerah pantai), berada pada ketinggian + 0 s.d. 3 m di atas permukaan laut, dan termasuk dalam klasifikasi Desa Swasembada (Kecamatan Kedung 2007). Dilihat dari karakteristik wilayah, dapat dikategorikan sebagai wilayah perdesaan. Topografi wilayah berbukit-bukit, karena secara umum seluruh wilayah Kabupaten Jepara - termasuk Kecamatan Kedung - berada dalam lingkup pegunungan Muria. Penduduk Desa Sukosono memiliki karakteristik masyarakat perdesaan yang memiliki ikatan kekeluargaan dan kekerabatan yang masih kuat, dibuktikan

(2)

dengan masih terlihatnya kebersamaan, kerja sama dan gotong-royong di antara warga masyarakat.

Desa Sukosono merupakan wilayah paling utara Kecamatan Kedung, dengan batas wilayah sebagai berikut:

a. sebelah utara : Desa Langon Kecamatan Tahunan

b. sebelah selatan : Desa Kerso Kecamatan Kedung

c. sebelah barat : Desa Rau Kecamatan Kedung

d. sebelah timur : Desa Dongos Kecamatan Kedung

Secara administratif, Desa Sukosono terdiri dari 8 RW dan 32 RT, mempunyai luas wilayah 383,352 ha. Jarak dengan ibukota Kecamatan Kedung + 5 km, sedangkan dengan ibukota kabupaten berjarak + 9 km, yang ditempuh dengan angkutan perdesaan (angkudes) selama + 30 menit atau 20 menit dengan mobil/sepeda motor. Tidak sulit untuk mencapai desa ini, karena infrastruktur perhubungan berupa jalan kabupaten sudah baik, selebar 5 m dengan aspal hot mix. Begitu pun dengan jalan desa, sebagian telah diaspal.

Kegiatan keagamaan Islam terasa sangat kental karena seluruh masyarakat Desa Sukosono beragama Islam, terutama dipengaruhi oleh kultur Nahdlatul Ulama, di mana semua kegiatan yang lazim dilaksanakan oleh warga nahdliyin seperti pengajian, tahlilan, yasin-an, manakiban, berjanzi, kegiatan pengajian ibu-ibu, pengajian remaja, dan kegiatan lain; acapkali dilaksanakan tiap sore atau malam hari. Warga RT mengadakan pertemuan mingguan yang disebut dengan kumpulan RT atau RT-nan dengan tempat pelaksanaan bergilir di rumah-rumah warga.

Kependudukan

Berdasarkan angka statistik, pada tahun 2006 jumlah penduduk Desa Sukosono adalah 5.582 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki 2.793 jiwa dan 2.789 jiwa berjenis kelamin perempuan. Jumlah rumah tangga mencapai 1.695 KK atau rata-rata 3 jiwa per rumah tangga. Seluruh penduduk Sukosono merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Dengan jumlah jiwa sebanyak 5.582 dan luas wilayah 3,83 km², maka kepadatan penduduk Sukosono adalah 1.457 jiwa/km². Sex ratio penduduk cukup berimbang, yaitu 1.001,43 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan.

(3)

Data jumlah penduduk menurut kelompok umur per jenis kelamin dapat disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur

No. Kelompok umur Jumlah jiwa

L P Jml 1. 0 - 4 tahun 316 315 631 2. 5 - 9 tahun 290 285 575 3. 10 - 14 tahun 313 312 625 4. 15 -19 tahun 301 321 622 5. 20 - 24 tahun 236 222 458 6. 25 - 29 tahun 234 233 467 7. 30 - 34 tahun 192 201 393 8. 35 - 39 tahun 172 168 340 9. 40 - 44 tahun 174 171 345 10. 45 - 49 tahun 132 130 262 11. 50 - 54 tahun 107 109 216 12. 55 - 59 tahun 108 104 212 13. 60 - 64 tahun 109 109 218 14. 65 tahun ke atas 109 109 218 Jumlah 2.793 2.789 5.582

Sumber: Kecamatan Kedung Dalam Angka 2007, diolah

Data di atas jika disajikan dalam bentuk piramida penduduk adalah sebagai berikut:

Gambar 4. Piramida Penduduk Desa Sukosono

400 300 200 100 0 100 200 300 400 0 - 4 5 - 9 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 + Laki-laki Perempuan

(4)

Berdasarkan piramida di atas terlihat bahwa struktur penduduk Desa Sukosono termasuk pada struktur umur peralihan dari struktur umur muda ke struktur umur tua. Proporsi penduduk yang usianya kurang dari 15 tahun sebanyak 32,80% belum menunjukkan struktur umur muda, di mana struktur umur penduduk dikatakan struktur umur muda jika proporsi penduduk yang usianya kurang dari 15 tahun mencapai 40%. Sedangkan proporsi penduduk yang umurnya lebih dari 65 tahun hanya sekitar 3% saja. Hal ini juga tidak menunjukkan struktur umur tua, karena kondisi struktur umur tua ditunjukkan dengan proporsi penduduk berumur 65 tahun ke atas mencapai lebih dari 10%.

Struktur penduduk ini merupakan peluang bagi Desa untuk mengembangkan potensi wilayah. Mayoritas penduduk pada struktur transisi merupakan penduduk produktif, jika mempunyai kualitas yang baik maka merupakan potensi sumber daya manusia bagi Desa. Untuk meningkatkan kualitas, salah satu di antaranya melalui peningkatan pendidikan.

Sebanyak 1.831 jiwa merupakan anak-anak usia 0 s.d. 14 tahun, tetapi data penduduk usia 65 tahun ke atas tidak tersedia karena yang ada adalah data usia 60 tahun ke atas, sebanyak 436 tahun. Apabila usia 60 - 64 tahun adalah separuh jumlah tersebut, maka penduduk usia 65 tahun ke atas dianggap 218 jiwa. Dengan asumsi tersebut maka jumlah keseluruhan penduduk tidak produktif adalah 2.049 jiwa, dan penduduk usia produktif berjumlah 3.533 jiwa. Berarti dilihat dari RBT (Rasio Beban Tanggungan), setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 58 orang penduduk usia tidak produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa penduduk Desa Sukosono memiliki rasio beban tanggungan yang tinggi (100:58).

Pertumbuhan penduduk dilihat dari angka fertilitas, mortalitas, dan mobilitas penduduk adalah untuk tahun 2006 berjumlah 66 jiwa fertilitas, 18 jiwa untuk angka mortalitas, dan migrasi pindah datang sebanyak 5 jiwa, serta mutasi pindah pergi sebanyak 7 orang. Melihat angka statistik tersebut, maka pada tahun 2006 penduduk Desa Sukosono bertambah 46 orang atau 0,83% dari jumlah penduduk pada tahun 2007; suatu pertumbuhan penduduk yang relatif rendah. Rata-rata jiwa per rumah tangga adalah 3 jiwa, maka bisa jadi pemahaman masyarakat tentang pentingnya pengaturan jumlah anak dalam keluarga yang juga merupakan program nasional Keluarga Berencana, cukup baik. Hal ini ditunjang oleh sarana dan prasarana kesehatan yang memadai,

(5)

berupa 1 buah puskesmas pembantu, 1 buah poliklinik desa, 1 orang tenaga dokter praktek, 1 orang bidan desa, dan 2 orang dukun bayi. Sebanyak 749 PUS merupakan peserta KB aktif dari 1.091 PUS yang ada. Alat kontrasepsi yang dipakai oleh PUS terdiri dari 9 orang pengguna IUD, 30 orang pengguna MOP, 2 orang MOW, 113 orang KB Inplan, 428 suntik, serta 167 menggunakan pil KB.

Migrasi penduduk baik datang maupun pergi tidak begitu banyak, yang mengindikasikan bahwa penduduk Desa Sukosono merasa nyaman hidup dalam lingkungannya, dan tidak mempunyai keinginan untuk merantau yang memang tidak menjadi tradisi di desa ini. Menurut penuturan Sekretaris Desa Sukosono, merantau yang dilakukan oleh penduduk tidak berniat untuk menetap di tempat tujuan, tetapi pada suatu saat akan kembali lagi ke desa asalnya.

Perekonomian

Penduduk Desa Sukosono yang tercatat bekerja sebanyak 2.219 orang atau 40% dari total jumlah penduduk. Dari angka tersebut, 445 atau 20% terserap pada sektor industri meubel baik sebagai buruh industri, pengusaha pedagang meubel skala kecil dan sedang, 981 orang atau 44% menjadi petani dan buruh tani, selebihnya bekerja sebagai buruh bangunan, angkutan, PNS, TNI/Polri, pensiunan, dan lain-lain (jasa). Dengan luas lahan pertanian yang relatif sempit yaitu 6,13% dari luas wilayah Desa sementara sektor pertanian menyerap 44%, maka terlihat perbandingan yang kurang seimbang antara petani dengan lahan pertanian yang diusahakan. Dalam kenyataannya, para petani ini kemudian beralih profesi ke dalam sektor industri meubel. Hal ini diperkuat oleh penuturan perangkat desa Sukosono bahwa sebagian besar masyarakatnya bergerak pada sektor industri meubel. Dalam bidang peternakan, relatif tidak ada yang berprofesi sebagai peternak. Ternak yang dikembangkan hanya sebatas sebagai hobi dan aset semata serta tidak dikembangkan untuk peningkatan penghasilan. Jenis ternak yang dimiliki oleh masyarakat sebagaimana tercatat dalam Kecamatan Kedung Dalam Angka Tahun 2007, adalah sapi biasa sebanyak 31 ekor, kambing 77 ekor, domba 36 ekor, ayam kampung 599 ekor, serta itik manila 33 ekor.

Secara umum, industri meubel yang saat ini berkembang menjadi industri furnitur di Kabupaten Jepara merupakan kerajinan warisan leluhur yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan telah menjadi produk unggulan. Berawal

(6)

dari kerajinan tangan yang menjadi industri kerajinan, ukiran Jepara terus berkembang menyebabkan Jepara mendapatkan julukan sebagai kota ukir. Dalam perkembangannya, bukan hanya ukiran saja yang menjadi komoditas andalan, melainkan juga meubel. Sektor meubel ini juga menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduk Sukosono, sehingga berbicara mengenai industri meubel di Desa Sukosono tidak terlepas dari perkembangan industri meubel di Jepara.

Seiring dengan perkembangan industri meubel di pasar nasional dan internasional, terjadi masa keemasan pada dekade 1990-an di mana setiap bulannya tidak kurang dari 800 kontainer dikirim dari Jepara ke luar negeri. Hal ini berimbas pada hampir wilayah di seluruh Kabupaten Jepara meliputi daerah Kecamatan Pecangaan, Kedung, Tahunan, Mlonggo, Bangsri, Batealit, Keling, Mayong, dan Jepara. Pasang-surutnya industri meubel di Jepara ini, juga berimbas pada masyarakat Desa Sukosono, antara lain dalam hal penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.

Perkembangan industri meubel di Jepara mengalami pasang-surut, terutama berkaitan dengan pengadaan bahan baku kayu dan harga produksi. Pada kisaran tahun 1990, sebagian masyarakat Jepara melakukan banyak penebangan liar terhadap kayu jati yang pada saat itu dikuasai oleh Perhutani, antara lain karena lemahnya sektor pengamanan sebagai imbas dari krisis kepercayaan masyarakat pada masa reformasi.

Maraknya penebangan liar ini, menyebabkan hutan jati semakin berkurang, di sisi lain ketergantungan bahan baku industri meubel akan kayu jati sangat besar. Kekurangan kebutuhan bahan baku tersebut dipenuhi dari luar Kabupaten Jepara, seperti Blora, Rembang, Wonogiri, Wonosari Jogjakarta, dan Jawa Barat. Permintaan yang tinggi mengakibatkan harga kayu jati menjadi mahal, yang akhirnya mendorong para pengrajin mengganti bahan baku dengan kayu hutan dan kayu kampung yang kualitasnya lebih rendah. Selain mahalnya bahan baku, rendahnya kualitas meubel Jepara juga dikarenakan terbatasnya kualitas pelaku industri dan perdagangan, selain karena keterpaksaan pelaku industri meubel mengganti bahan baku kayu jati Perhutani dengan bahan baku yang relatif lebih menurun kualitasnya untuk menyikapi mahalnya harga kayu jati dengan kualitas baik. Hal tersebut menyebabkan meubel dari Kabupaten Jepara beberapa tahun terakhir kurang diminati.

(7)

Masalah lainnya adalah kompetitifnya harga produksi meubel akibat menumpuknya barang jadi meubel menyebabkan harganya tetap cenderung menurun, terkadang “memaksa” pengusaha meubel ukuran kecil menurunkan harga barang jadinya. Di satu sisi harga bahan baku meningkat tajam, sedangkan harga barang jadi tetap cenderung menurun, sehingga terjadi pasang-surut dalam industri ini. “Perang harga” produksi meubel ini dianggap sesuatu hal yang wajar dalam dunia industri, karena yang penting adalah mempertahankan kualitas produksinya untuk dapat mempertahankan harga yang dikehendaki, dan tidak sampai menimbulkan konflik internal.

Di Desa Sukosono, bahan baku kayu jati diperoleh pengrajin dari para pengepul. Industri meubel di desa ini 80%-nya berbahan baku jati, dan sisanya sebesar 20% berupa kayu mahoni. 70% kayu jati berupa kayu jati kampung yang tidak dibeli dari Perhutani, tetapi para pengepul membeli kayu dari daerah penghasil seperti dikemukakan di atas, sedangkan kayu jati yang ditanam masyarakat Sukosono masih belum dapat dimanfaatkan karena masih relatif muda. Pemasaran meubelnya lokalan, 90% di sekitar Jepara yaitu dicari pembeli sendiri dikirim ke luar kota seperti Semarang, Solo, dan Surabaya, dan sisanya sebesar 10% diekspor ke luar negeri melalui gudang-gudang besar.

Untuk pemenuhan kebutuhan sembako, terdapat pasar yang walaupun tidak berada di Desa Sukosono tetapi relatif dekat dengan jarak + 5 km terletak di Desa Bugel. Terdapat 21 toko/kios barang kelontong, 2 warung, dan 11 warung makan yang aktif menyediakan kebutuhan masyarakat.

Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk Sukosono cukup berimbang, mulai dari tingkat pendidikan rendah, menengah, dan tinggi. Komposisi penduduk Desa Sukosono menurut pendidikan bagi umur 5 tahun ke atas pada tahun 2006, dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini:

(8)

Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Bagi 5 Tahun Ke Atas Tahun 2006

No. Tingkat Pendidikan Jumlah

1. Perguruan Tinggi 20 2. Akademi 11 3. SLTA 299 4. SLTP 296 5. Tamat SD 572 6. Belum/tidak tamat SD 2.989 7. Tidak/belum bersekolah 622 Jumlah 4.809

Sumber: Kecamatan Kedung Dalam Angka 2007, diolah

Mencermati Tabel 7, terlihat bahwa 62,15% penduduk Sukosono berada pada tingkat belum/tidak tamat SD dan sebesar 12,93% termasuk tidak/belum pernah bersekolah. Hal ini mungkin disebabkan karena masih banyak yang masih bersekolah terutama yang berusia pendidikan dasar 7-15 tahun, atau belum berusia sekolah yaitu usia 5 dan 6 tahun, meskipun memang sebagian tidak pernah mengenyam pendidikan formal atau putus sekolah SD. Jumlah anak tamat SD yang melanjutkan ke SLTP sebanyak 52% atau hampir setengah anak lulusan SD tidak melanjutkan ke SLTP; sedangkan 99% lulusan SLTP melanjutkan ke SLTA.

Menurut penuturan perangkat desa Sukosono, masyarakat sebenarnya cukup antusias dengan pendidikan. Indikasinya adalah para orang tua tetap berusaha menyekolahkan anaknya minimal sampai dengan SD meski terbentur oleh kendala biaya, walaupun ada juga pemikiran masyarakat yang lebih mementingkan bekerja dan mendapatkan uang daripada sekolah. Indikasi lainnya adalah terdapat pesantren baik pesantren putra dan putri yang didirikan oleh masyarakat, yang menyelenggarakan program Kejar Paket bagi masyarakat dengan gratis untuk menampung yang mau sekolah. Tercatat di data pondok pesantren Kantor Departemen Agama Kabupaten Jepara, pada tahun 2007 ada dua buah pesantren yang terdapat di desa ini yaitu Pondok Pesantren Mamba’ul Qur’an dan Nurul Hidayah dengan jumlah santri mencapai 437 orang.

Fasilitas pendidikan di Desa Sukosono dapat dilihat pada Tabel 8 sebagai berikut:

(9)

Tabel 8. Sarana dan Prasarana Pendidikan di Desa Sukosono Tahun 2006

No. Jenjang Pendidikan Sarana dan Prasarana

Sekolah Gedung Murid Guru

Pendidikan formal:

1. Taman Kanak-Kanak 3 3 128 6

2. Sekolah Dasar Negeri 4 7 592 33

3. Madrasah Ibtidaiyah 1 1 140 20

4. Madrasah Tsanawiyah 1 1 155 20

Pendidikan non formal:

5. Pendidikan Anak Usia Dini 1 -

6. Taman Pendidikan Quran 5 5

7. PBA/Keaksaraan Fungsional - - 160 8 8. Paket B - - 20 6 9. Paket C - - 22 9 10. TBM - - - - 11. Life skills - - 160 1 12. Pondok Pesantren 2 2 437 29 Jumlah 17 19 1.814 132

Sumber: Kecamatan Kedung Dalam Angka 2007, Dokumen Pesantren Depag Kab. Jepara Tahun 2007 dan Dokumen PLS Tahun 2007, diolah Selain itu, telah berdiri sebuah SMP Negeri Satu Atap pada tahun 2005, yang menempati lokasi dan bergabung dengan SD Negeri 3 Sukosono. Banyaknya sarana dan prasana pendidikan ini sejalan dengan program wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun. Hanya saja, banyaknya anak lulusan SD yang tidak melanjutkan sekolah cukup besar, dan ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius.

Pelapisan Sosial Ekonomi

Pelapisan sosial ekonomi masyarakat merupakan fenomena penting untuk mengetahui bagaimana masyarakat lokal membangun suatu komunitas satu dengan lainnya. Fenomena tersebut timbul karena adanya sesuatu yang dihargai dalam kelompok sosial masyarakat. Dalam membicarakan pelapisan sosial ekonomi dalam masyarakat, Soekanto (1990) memulainya dengan “penghargaan”, dalam arti bibit tumbuh atau terjadinya pelapisan karena adanya sesuatu yang dihargai. Sesuatu itu mungkin dapat berupa uang, atau benda-benda bernilai ekonomis, mungkin juga berupa tanah, kekuasaan, dan keturunan keluarga terhormat. Dengan kata lain, adanya penghargaan terhadap sesuatu

(10)

tersebut mengakibatkan anggota masyarakat mengidentifikasikan dan menetapkan seseorang dalam posisi tinggi atau rendah dalam masyarakatnya. Menurut Pitrim A. Sorikin, sebagaimana dikutip Soekanto (1990), bahwa sistem berlapis-lapis itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Ini berdasarkan pemikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa di dalam tiap-tiap negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya.

Masyarakat Desa Sukosono tidak terlepas dari fenomena tersebut. Pelapisan sosial dalam masyarakat antara lain berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan pemahaman terhadap agama. Berdasarkan kekayaan, dapat dibedakan dalam keluarga pra sejahtera sampai dengan keluarga sejahtera III plus. Tingkat kekayaan ini berkorelasi dengan tingkat pekerjaan penduduk seperti disinggung di atas, bahwa hanya 40% penduduk yang tercatat bekerja, sementara 60% penduduk menjadi pengangguran atau ibu rumah tangga. Banyaknya rumah tangga menurut status kesejahteraan pada tahun 2006 adalah tersaji dalam Tabel 9 berikut ini:

Tabel 9. Banyaknya Rumah Tangga Menurut Status Kesejahteraan pada Tahun 2006

No. Status Kesejahteraan Jumlah rumah tangga

1. Prasejahtera 619 2. Sejahtera I 557 3. Sejahtera II 189 4. Sejahtera III 232 5. Sejahtera III+ 98 Jumlah 1.695

Sumber: Kecamatan Kedung Dalam Angka 2007, diolah

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga prasejahtera dan sejahtera I mencapai 69,40%; suatu angka yang cukup besar. Besarnya tingkat kesejahteraan masyarakat Sukosono juga dapat dilihat pada jumlah rumah kurang sehat yang mencapai 459 buah, sedangkan rumah yang tergolong rumah sehat adalah 811 buah.

(11)

Grafik di bawah ini memperlihatkan rumah tangga di Desa Sukosono berdasarkan tingkat kesejahteraan, sebagai berikut:

Gambar 5. Grafik Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga di Desa Sukosono 2006 619 557 189 232 98 0 100 200 300 400 500 600 700

P ras ejahtera S ejahtera I S ejah tera II S ejah tera III S ejahtera III+

Berdasarkan pendidikan, pelapisan sosial ekonomi masyarakat terlihat dari yang berpendidikan tinggi, menengah, dan rendah. Berpendidikan tinggi adalah sarjana dan diploma, menengah setingkat SMP dan SMA, sedangkan berpendidikan rendah bagi masyarakat yang lulusan SD atau tidak tamat SD. Data penduduk menurut tingkat pendidikan sebagaimana terlihat pada Tabel 7 di atas.

Berdasarkan pemahaman pada agama, masyarakat masih menempatkan figur kyai sebagai orang yang dihormati dan diikuti. Hal ini diperkuat dengan budaya kaum nahdliyin yang kebanyakan mengikuti apa yang dikatakan oleh kyai yang dianutnya. Penghargaan lain diberikan kepada warga yang telah melaksanakan ibadah haji, yang berarti mempunyai status sosial dan ekonomi yang relatif lebih baik dibandingkan dengan warga lainnya. Selain memperoleh gelar “haji” dari masyarakat, warga yang telah melaksanakan ibadah haji biasanya relatif mampu dalam hal ekonomi serta dianggap telah mempunyai pengetahuan yang mendalam terhadap agama Islam.

Dalam hal kepemimpinan formal yaitu kepala desa, secara umum figur kepala desa diterima kepemimpinannya oleh masyarakat. Jika ada beberapa elemen masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan yang diambil, misalnya berkaitan dengan transparansi keuangan, hal tersebut masih dalam

(12)

batas wajar. Kepatuhan masyarakat terhadap kegiatan yang bersifat sosial keagamaan seperti gotong-royong pembangunan tempat ibadah, pengajian, kegiatan RT; masih terjaga dengan baik. Pada bulan September 2008 dilangsungkan pemilihan kepala desa dan terjadi pergantian kepala desa.

Organisasi dan Kelembagaan

Berbicara tentang kelembagaan, bukan hanya berbicara tentang lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi formal yang telah terbentuk, karena unsur utama yang penting dalam kelembagaan adalah adanya pola hubungan dan norma-norma yang disepakati bersama. Kelembagaan yang berkembang dapat menjadi potensi yang besar dalam penyelenggaraan kegiatan pengembangan masyarakat. Kelembagaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Desa Sukosono sebagai berikut:

Kelembagaan Formal

Kelembagaan formal yang dimaksudkan adalah lembaga/organisasi yang secara formal mempunyai struktur organisasi dan berbadan hukum. Terkait dengan pengertian ini, beberapa organisasi dapat disebut sebagai kelembagaan formal, yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), organisasi kepemudaan berupa Karang Taruna “Lestari”, organisasi massa Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), dan Ikatan Remaja Masjid Baitur Rohman (Irmabat). Organisasi formal ini sedikit banyak mewarnai tata kehidupan masyarakat Sukosono.

Kelembagaan Non Formal

Berbeda dengan kelembagaan formal yang dibentuk dengan badan hukum, kelembagaan non formal tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan norma-norma yang disepakati bersama. Sebagai contoh kelembagaan non formal adalah kelompok pengajian yang banyak terdapat di Desa Sukosono, yang melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan Islam yaitu tahlilan, yasin-an, manakiban, berjanzi, kegiatan pengajian ibu-ibu, dan kegiatan-kegiatan lain yang sering dilakukan warga Nahdlatul Ulama.

(13)

Kelembagaan lain berupa kegiatan sosial kemasyarakatan yang dikembangkan oleh para pemuda sebagai bentuk kepedulian para pemuda untuk masyarakat, yaitu sinoman. Sinoman artinya tenaga yang diperbantukan untuk kegiatan melayani tamu bagi warga yang punya hajat. Anggotanya berjumlah 150 orang, namun yang aktif kurang lebih 50 orang. Dalam setiap acara, tuan rumah memberikan uang yang besarnya relatif terjangkau. Uang ini kemudian dikumpulkan untuk kas perkumpulan, dan pada saat akhir tahun dipakai untuk kegiatan bersama, sedangkan untuk setiap anggota tidak mendapatkan honor.

Ada juga bentuk kelembagaan kumpulan RT atau RT-nan yang diselenggarakan seminggu sekali dengan mengambil tempat bergilir pada setiap rumah. RT-nan ini sangat penting keberadaannya, selain untuk sosialisasi antar warga, juga dalam RT-nan dibicarakan persoalan-persoalan yang dihadapi bersama untuk kemudian dicari solusi secara musyawarah mufakat.

Keberadaan kelembagaan non formal yang hidup dan dijaga oleh masyarakat Desa Sukosono, menjadikan desa ini tetap dalam suasana kekeluargaan, gotong-royong, dan meminimalkan potensi konflik yang terjadi antar anggota masyarakat.

Tradisi

Tradisi bisa dianggap sebagai kelembagaan apabila terdapat pola hubungan dan norma-norma yang disepakati bersama. Secara umum, tradisi yang berkembang di Desa Sukosono adalah kegotongroyongan dan saling tolong-menolong sesama anggota masyarakat, misalnya pada saat terjadi hajatan seperti pernikahan dan sunatan, serta kematian. Tanpa diminta, masya-rakat Desa Sukosono akan saling membantu tanpa mengharapkan imbalan. Keuntungan yang diperoleh adalah selain menjalin keakraban, akan menerima bantuan yang sama apabila yang bersangkutan menyelenggarakan hajatan. Terkait dengan masalah kematian, warga juga saling bantu-membantu tanpa diminta menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Sumber Daya Lokal

Sebagian besar masyarakat Desa Sukosono bergerak di bidang industri meubel, baik sebagai pengrajin/tukang, pengusaha skala kecil dan sedang, serta jasa, misalnya pengepul bahan baku dan makelar gudang. Dalam industri ini, yang sangat diperlukan adalah keterampilan/skills untuk menciptakan tenaga

(14)

kerja terlatih. Kultur budaya Kabupaten Jepara sebagai kota ukir menjadikan masyarakat sejak lama akrab dengan permeubelan. Dilihat dari sisi ini, pen-didikan formal tidaklah menjadi prioritas utama masyarakat, hanya sebatas pada pemenuhan pendidikan dasar. Selebihnya, banyak yang memilih mencari peker-jaan dengan bekal skills yang dimiliki berupa keahlian meubel yang telah dipe-lajari sejak kecil, serta etos kerja dan jiwa enterpreuner (kewirausahaan) yang tinggi. Jadi, sumber daya lokal berupa sumber daya manusia (SDM) masyarakat Sukosono sangat potensial untuk dikembangkan dalam industri meubel.

Sumber daya agraria Desa Sukosono dapat dianalisis dari peruntukan lahan sebagaimana tersaji dalam Tabel 10 berikut ini:

Tabel 10. Komposisi Luas Wilayah Desa dan Pemanfaatannya

No. Pemanfaatan Lahan Luas (ha) Persentase

1. Lahan sawah 23.470 6,12 • teknis 0 0 • ½ teknis 0 0 • sederhana PU 13.000 3,40 • Tadah hujan 10.470 2,72 2. Lahan kering 359.882 93,88

• Bangunan dan lahan sekitar 342.379 89,31

• Tegal 7.900 2,06

• Tanah lainnya 9.603 2,51

Jumlah 383.352 100

Sumber: Kecamatan Kedung Dalam Angka 2007, diolah

Tabel di atas dapat disajikan dalam bentuk gambar di bawah ini: Gambar 6. Diagram Pemanfaatan Lahan Desa Sukosono tahun 2006

93.88% 6.12%

(15)

Berdasarkan tabel dan grafik di atas, terlihat bahwa pemanfaatan lahan terbesar adalah diperuntukkan untuk lahan kering sebanyak 93,87%, di mana 89,31% berupa bangunan dan halaman sekitar. Sebagian besar warga desa mempunyai halaman dan tegalan di sekitar rumah yang disebut warga dengan istilah “alas” yang relatif luas, yang biasanya ditanami tanaman keras seperti jati, durian, mangga, jambu, randu, dan tanaman-tanaman perdu, serta singkong sehingga terlihat jarak antar rumah bisa mencapai 10-15 meter. Pohon jati merupakan bahan baku utama industri meubel sebagai komoditas unggulan, terutama meubel yang diusahakan penduduk Desa Sukosono yang 80%-nya berbahan baku kayu jati dan 20%-nya kayu mahoni, sehingga banyak warga yang memanfaatkan “alas” rumahnya untuk ditanami jati, walaupun memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa dipanen. Sementara peruntukan lahan buat sawah hanya 6,13%.

Pemanfaatan lahan di Desa Sukosono dapat dilihat dalam bentuk gambar seperti tertera di bawah ini:

Gambar 7. Pemanfaatan Lahan di Desa Sukosono Tahun 2006

L ahan S awah S ederhana P U

3.39%

L ahan S awah T adah H ujan 2.73%

B ang unan dan lahan s ekitar 89.31% T eg al

2.06%

T anah lain nya 2.51%

Dalam hubungan sosial kemasyarakatan, kapital sosial yang terbentuk antara lain adanya pola kekerabatan (linkage) yang kental terbukti dengan masih terjaganya budaya gotong-royong dan tolong-menolong sesama masyarakat, serta hubungan keagamaan khususnya agama Islam yang dianut oleh seluruh

(16)

masyarakat Desa Sukosono, yang sedikit banyak membawa nilai-nilai yang baik dan dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam bidang pendidikan, terdapat dua buah pesantren yang aktif selain mengajarkan ilmu ukhrowi juga mengajarkan ilmu duniawi dengan cara bekerjasama dengan pemerintah dalam pelaksanaan program-program PLS. Program PLS diselenggarakan sebagai alternatif bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dengan gratis, misalnya menyelenggarakan Kelompok Belajar Paket B dan C. Kepedulian sebagian masyarakat Desa Sukosono juga tercermin pada pembentukan PKBM Al-Wathoniyah yang menggunakan prinsip DOUM dalam pembentukan dan penyelenggaraannya, termasuk di dalamnya adalah pengelola dan tutor yang diambil dari masyarakat sendiri, yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan PLS lainnya seperti life skills. Keberadaan pesantren dan PKBM menjadi alternatif di saat masyarakat tidak dapat meneruskan pendidikan formal.

Masalah Sosial dalam Pendidikan

Masalah sosial yang muncul dalam pendidikan di Desa Sukosono, baik secara umum maupun secara khusus dalam penyelenggaraan program PLS termasuk life skills, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. permasalahan umum penyelenggaraan pendidikan di Desa Sukosono:

a. Pertama, tingkat kesadaran masyarakat tentang pendidikan masih rendah karena mereka lebih mementingkan bekerja mencari uang daripada sekolah. Tiap tahun memang ada trend peningkatan jumlah peserta didik usia sekolah dasar, tetapi secara umum relatif sedikit dibanding jumlah keseluruhan anak usia tersebut;

b. Kedua, sebagian masyarakat masih menganggap bahwa sekolah tidak ada gunanya, karena lulusan sekolah pada akhirnya hanya lungguh dingklik (duduk di kursi kecil) atau menganggur dan tidak bekerja;

c. Ketiga, terdapat beberapa pandangan dan kebiasaan masyarakat yang tidak menempatkan pendidikan sebagai pilihan utama: (1) masyarakat beranggapan bahwa secara ekonomi mereka tidak mampu untuk mengikuti pendidikan, tetapi mampu untuk membeli materi misalnya membeli sepeda motor. Walaupun pemerintah telah berupaya membuat

(17)

kebijakan bahwa untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, biaya pendidikan tidaklah terlalu banyak dan masyarakat dapat menjangkaunya; (2) kedisiplinan peserta didik dalam mengikuti sekolah juga rendah. Mereka sering datang terlambat, kurang rajin belajar, dan kurang mempunyai kesadaran bahwa sekolah itu penting bagi masa depan mereka; dan (3) faktor lingkungan, yang cukup memberikan pengaruh terhadap motivasi anak untuk melanjutkan sekolah. Pola konsumtif terhadap barang-barang seperti sepeda motor, membawa pemahaman bahwa lebih penting bekerja daripada sekolah. Faktor lingkungan yang negatif seperti kenakalan remaja juga turut berpengaruh.

2. Yang menjadi kendala dalam pelaksanaan PLS termasuk life skills oleh PKBM Al-Wathoniyah adalah kurangnya motivasi dan ketekunan warga belajar; kurangnya sosialisasi program, kualifikasi tutor yang lebih mendasarkan pada kemampuan alami dan pengalaman terhadap jenis pengalaman yang dimiliki. Masalah lainnya adalah perhatian Pemerintah yang dirasa kurang dan tidak memandang PLS sama pentingnya dengan pendidikan sekolah, antara lain terlihat pada minimnya anggaran yang diberikan, selain birokrasi pencairan anggaran yang panjang, sehingga tidak jarang program dijalankan dulu dengan “talangan” kas anggaran.

Gambar

Tabel 5. Wilayah Kerja Administrasi Kabupaten Jepara
Gambar 4. Piramida Penduduk Desa Sukosono
Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan   Bagi 5 Tahun Ke Atas Tahun 2006
Tabel 8. Sarana dan Prasarana Pendidikan di Desa Sukosono Tahun 2006
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bahan baku terhadap kualitas produk krupuk karak di Industri Rumah Tangga desa Denggungan Banyudono

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bahan baku terhadap kualitas produk krupuk karak di Industri Rumah Tangga desa Denggungan Banyudono

Dalam industri kecil kerajinan bordir, terdapat permasalahan dari segi SDM, yaitu masih rendahnya kualitas SDM pelaku industri dan manajemen yang ada pada industri.

Non Aplicable PT.Saudagar Jepara Jaya tidak melakukan kegiatan penerimaan bahan baku yang berasal dari kayu limbah

Membangkitkan industri kelautan dan perikanan melalui pemenuhan kebutuhan bahan baku industri, peningkatan kualitas mutu produk dan nilai tambah untuk peningkatan investasi dan

Terdapat 15 elemen kendala pengembangan yang terdapat pada agroindustri suwar-suwir, yaitu: Keterbatasan tersedianya bahan baku (E1); Rendahnya kualitas bahan baku utama (E2);

NA Kayu/bahan baku yang masuk ke CV Furnindo Wiratama berupa kayu olahan meubel setengah jadi dan tidak terdapat pembelian dan penggunaan kayu limbah

bahan baku rotan dalam negeri menimbulkan beberapa dampak negatif antara lain langkanya bahan baku untuk industri rotan dalam negeri, rendahnya daya saing rotan Indonesia,