• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN FASILITATOR DALAM IMPLEMENTASI PNPM MPd

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN FASILITATOR DALAM IMPLEMENTASI PNPM MPd"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN FASILITATOR DALAM IMPLEMENTASI PNPM MPd

Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya. Kenyataannya seringkali proses ini tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau adanya intervensi dari fasilitator yang bekerja secara profesional. Dalam aktivitas pada PNPM MPd di lapangan fasilitator ini berperan sebagai pendamping sosial bagi partisipan penerima program. Peran seorang fasilitator di lapngan ini dapat peneliti uraikan menjadi tiga bagian, yaitu peran teknik, fasilitasi, dan pendidik.

Peran Teknik

Peran teknik dilakukan oleh fasilitator untuk menjamin bahwa PNPM MPd mengakibatkan partisipan atau masyarakat penerima program mendapat prasarana yang bermutu baik sebagai hasil karya sendiri, dan masyarakat menjadi semakin mampu dalam proses pengelolaan pembangunan secara mandiri. Pada acara musyawarah desa pertama, masyarakat akan memilih kader‐kader desa, di antaranya satu orang kader teknik. Kader teknik merupakan asistennya Fasilitator Teknik di desa, sehingga harus banyak menambah ilmu teknik sipil dan manajemen konstruksi. Produk utama dari peran teknik seorang fasilitator adalah gambar desain serta perhitungan kebutuhan bahan, tenaga, peralatan, dan biaya. Kebutuhan untuk program pemberdayaan masyarakat tidak sama dengan kebutuhan di pekerjaan yang diborongkan kepada kontraktor atau perusahaan swasta. Gambar desain yang dibutuhkan adalah gambar yang dapat dipegang oleh masyarakat sebagai dasar konstruksi dan gambar yang merupakan dasar perhitungan volume pekerjaan di desa lokasi kegiatan.

Masyarakat di Desa Teluk mengungkapkan bahwa kualitas dan volume bangunan yang dibuat oleh PPK maupun PNPM MPd jauh lebih baik ketimbang proyek yang dikerjakan oleh rekanan Dinas PU. Mereka mencontohkan ada bangunan madrasah dengan nilai hampir 400 juta yang dikerjakan oleh rekanan Dinas PU dengan sumber dana dari APBD kabupaten, volumenya lebih kecil, yaitu hanya mampu membangun tiga ruang kelas dengan kualitas rendah yang mengecewakan jika dibandingkan dengan bangunan yang dikerjakan oleh

(2)

masyarakat melalui PNPM MPd dengan biaya yang jauh lebih murah yaitu hanya sekitar 200 juta rupiah, tetapi berhasil membangun empat ruang kelas dengan kualitas yang jauh baik. Alhasil bangunan madrasah yang dikerjakan oleh rekanan Dinas PU tersebut sampai kini belum diserahterimakan dan ditolak oleh warga karena beberapa bagian dari bangunan tersebut ternyata sudah banyak yang retak sebagaimana juga terlihat dari dekat ketika peneliti melakukan observasi di lapangan.

Gambar 8. Bangunan Infrastruktur Madrasah yang dikerjakan oleh rekanan Dinas PU di Desa Teluk

Berbeda dengan gambar di atas, bangunan madrasah yang dibangun oleh PNPM MPd yang berada persis di sampingnya terlihat kokoh, rapi dan lebih berkualitas. Saat ini bangunan madrasah tersebut terus digunakan untuk aktivitas pendidikan agama (sekolah sore) bagi anak-anak warga Desa Teluk. Diyakini bahwa faktor fasilitator dalam melakukan pendampingan kepada masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan madrasah dan selalu menjaga agar kualitas bangunan betul-betul maksimal menjadi sangat menentukan. Beberapa mantan pelaku PPK yang terlibat dalam pembangunan madrasah tersebut menuturkan bahwa fasilitator sangat rajin memberikan motivasi dan mengajak semua komponen masyarakat untuk terlibat dalam setiap tahapan pembangunan. Masyarakat, terutama pelaku ditingkat desa (TPK) bersama-sama komponen masyarakat lain ikut mempersiapkan, mengerjakan dan memantau hingga pembangunan madrasah tersebut kelar.

(3)

di Desa Teluk

Selain bangunan madrasah seperti terlihat pada gambar di atas, tahun 2004 juga dibangun rehab MTs di desa tersebut dengan kualitas yang juga sangat memuaskan warga. Seorang tokoh agama di Desa Teluk yaitu Ustadz Zawawi yang juga pernah menjadi anggota tim enam PPK tahun 2003 menyatakan bahwa untuk pembangunan sarana fisik, beliau mengakui bahwa kualitas maupun manfaat dari bangunan yang dikerjakan oleh PPK sangat dirasakan oleh masyarakat. Berikut adalah penuturan beliau:

“Bangunan madrasah ini sudah hampir roboh sementara anak-anak harus terus bersekolah, jadi setelah ada pembangunan gedung baru oleh PPK kita merasa bersyukur sekali dan aktifitas sekolah kembali lancar. Apalagi bangunannya cukup kokoh dan permanen jika dibandingkan sebelumnya”. Bagaimana dengan bangunan fisik yang dikerjakan oleh PNPM MPd? Tahun 2008 di Desa Teluk telah dibangun jalan desa (perkerasan jalan) yang melintasi areal perkebunan kelapa sawit dan durian milik warga. Jalan tersebut saat ini dimanfaatkan oleh warga untuk mempermudah akses mengeluarkan hasil panen kebun mereka. Berbeda dengan pembangunan madrasah, pembangunan jalan ini selain dikerjakan oleh sebagian warga Desa Teluk, juga melibatkan tenaga kerja dari luar Desa Teluk. Menurut pengurus TPK Desa Teluk, hal ini dilakukan karena ada beberapa pekerjaan yang membutuhkan keahlian dan untuk menjamin kualitas bangunan diperlukan tenaga dari luar desa. Pendapat ini agak berbeda dengan penuturan beberapa RTM yang sempat peneliti temui. Mereka menyatakan, sebenarnya semua komponen pekerjaan itu bisa dilakukan oleh warga desa sehingga mereka yang tergolong RTM bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari pekerjaan tersebut. Mereka juga kurang paham maksud atau tujuan dari pengurus TPK, mengapa harus merekrut tenaga kerja dari luar desa. Beberapa warga yang lain menuturkan, terlepas siapa yang mengerjakan yang penting bangunan tersebut memberikan manfaat

(4)

yang besar bagi warga terutama bagi mereka yang memiliki kebun yang dilintasi jalan tersebut. Harus diakui memang, proyek fisik yang dikerjakan oleh PPK maupun PNPM MPd melalui pendampingan yang intensif oleh fasilitator memberikan dampak positif bagi warga setempat.

Pendapat tentang hal serupa juga muncul dari Bapak Habibullah. Beliau adalah mantan pelaku PPK dan sekarang menjadi ketua BKAD Kecamatan Pemayung. Menurutnya, peran fasilitator dari aspek fisik diakui cukup berhasil. Hal ini bisa ditunjukkan oleh begitu banyak pembangunan sarana fisik yang telah dibangun di wilayah Kecamatan Pemayung, seperti pembangunan jalan rabat beton, perkerasan jalan desa, pembangunan gedung TK, madrasah dan irigasi. Kesemua bangunan tersebut sangat terjamin kualitasnya karena melibatkan masyarakat secara langsung dalam pengerjaan bangunan pada setiap tahapan. Berikut adalah penuturan dari beliau:

“Harus kita akui bahwa proses pembangunan fisik, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi memang melibatkan masyarakat desa. Pengawasan yang cukup rapi dari seluruh komponen masyarakat desa mampu meningkatkan efisiensi dan lebih manjamin kualitas bangunan, terutama jika dibandingkan dengan proyek yang dibangun oleh rekanan seperti proyek APBN maupun APBD yang lain. Ketika peneliti berjalan ke desa-desa lokasi kegiatan PNPM MPd yang lain memang terlihat, bahwa peran teknik dari fasilitator yang ber-output bangunan fisik ini sangat menonjol ketimbang peran-peran lain. Hal ini bisa dimaklumi karena memang aktivitas program umumnya adalah pembangunan sarana fisik yang membutuhkan pendampingan kepada partisipan pada aspek teknis. Dalam dokumen-dokumen yang peneliti telusuri juga terlihat jelas begitu padatnya aktivitas fasilitator dalam menjalankan peran teknis, apalagi sejak tahun 2007 cakupan lokasi kegiatan PNPM MPd yang diperluas ditambah lagi program P2SPP yang juga membutuhkan pendampingan dari fasilitator yang sama. Dokumen tersebut menjelaskan aktivitas teknis yang mesti diselesaikan secara tepat waktu, misalnya pembuatan RAB dan desain gambar bangunan pada masing-masing desa lokasi.

Untuk melakukan pendampingan di lapangan, sebenarnya dipersiapkan dua orang fasilitator yaitu fasilitator pemberdayaan dan fasilitator teknik, tetapi karena volume dan cakupan lokasi pekerjaan pada aspek teknis sangat besar serta dituntut oleh target dan waktu yang sangat mekanistis. fasilitator pemberdayaanpun juga kerap terjebak sibuk dengan aktivitas fisik yang seyogianya dijalankan oleh fasilitator teknis, sehingga peran-peran lain termasuk

(5)

aktivitas sosial fasilitator seperti berkunjung, berdiskusi dan mendengar keluhan dan kebutuhan warga ke desa-desa lokasi di luar konteks kerja teknis menjadi jarang dilakukan.

Suatu ketika yaitu pada tanggal 24 Maret 2008, peneliti juga sempat mengikuti ekspose hasil audit dari BPKP dari Provinsi Jambi tentang implementasi P2SPP dan PNPM MPd se-Kabupaten Batang Hari yang digelar di aula kantor bupati setempat. Uraian hasil ekspose audit tersebut hampir keseluruhan mengevaluasi dan memonitoring kerja-kerja teknis di lapangan, misalnya menyangkut apakah kualitas dan volume bangunan jalan, jembatan, sekolah dan posyandu dikerjakan sesuai dengan PTO? Bagaimana penggunaan dana untuk kegiatan tersebut benar-benar transparan?. Hanya sedikit sekali disinggung evaluasi tentang aktivitas pemberdayaan bagi partisipan. Hal ini tentu saja akan mendorong dan menjadikan fasilitator serta pelaku lainnya selalu mengoptimalkan kerja-kerja fisik dan karena keterbatasannya tersebut bisa menjadikan peran-peran lain menjadi sulit dijalankan.

Untuk memperkuat kemampuannya dalam menjalankan peran teknik ini, fasilitator akan menerima In Service Training (IST) yang biasanya disampaikan oleh FKab satu bulan sekali. InService Training (IST) yang diterima di tingkat kabupaten topik dan lamanya ditentukan oleh Fasilitator Kabupaten, kecuali ada hal-hal tertentu yang telah di atur secara khusus oleh tim PNPM MPd pusat atau dari provinsi. IST menyangkut topik topik pelatihan yang dianggap perlu diketahui oleh fasilitator, termasuk topik teknis, topik manajemen, topik aturan atau prinsip program, topik pengembangan profesi, serta topik keterampilan keterampilan yang perlu dikuasai oleh seorang fasilitator. Karena tuntutan peran teknis yang begitu besar umumnya materi IST juga dominan menyangkut hal-hal yang bersifat teknis.

Peran Fasilitasi

Selain pembangunan infrastrukur atau fisik, PNPM MPd di Desa Teluk juga menyelengggarakan program Simpan Pinjam Khusus Perempuan (SPP). Beberapa desa sudah memanfaatkannnya sejak beberapa tahun yang lalu. Sedangkan untuk Desa Teluk baru digulirkan pada tahun ini. Bergulirnya program ini ternyata menuai kontroversi dari berbagai kalangan masyarakat. Menurut beberapa warga hampir seluruh tokoh masyarakat terutama tokoh agama dan adat menolak SPP, karena bunga pinjaman dalam SPP tersebut di anggap riba (haram) tetapi oleh pihak kecamatan tetap dipaksakan untuk

(6)

diterima dan warga desa tak kuasa menolak. Penolakan di Desa Teluk ini dituturkan oleh beberapa tokoh masyarakat berikut ini :

“Kita kebobolan dan ini menjadi kemunduran bagi warga desa serta menjadi catatan sejarah yang tidak baik. Program SPP itu dipaksakan untuk diterima oleh warga. Kalau ada warga yang mau pinjam uang di Bank dan ada bunganya itu adalah persoalan individu tetapi untuk SPP ini kita semua dipaksa secara bersama untuk melegalkan praktek riba ini” (Uz).

“Ada intimidasi dari pihak-pihak tertentu kalau tidak mau menerima SPP maka program lain (misalnya pembangunan infrastruktur) akan dianggap tidak layak dan tidak akan diverifikasi. Ada pencucian otak secara sistematis oleh tim dari kecamatan sehingga SPP masuk dalam daftar usulan desa” (Ib).

Kasus penolakan SPP oleh warga di atas merupakan salah satu contoh dimana fasilitator belum mampu melaksanakan peran fasilitasi secara baik. Fasilitasi merupakan suatu kegiatan yang menjelaskan pemahaman, tindakan, keputusan yang dilakukan seseorang dengan atau bersama orang lain untuk memberdayakan partisipan. Dalam proses pemberdayaan, fasilitasi mengandung pengertian membantu dan menguatkan masyarakat agar dapat memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya sendiri sesuai potensi yang dimilikinya bukan dengan cara-cara pemaksaan yang justru menjauhkan fasilitator dari partisipan.

Aturan simpan pinjam, pada SPP yang mengadopsi sistem sebagaimana yang berlaku pada perbankan secara umum di desa-desa tertentu ternyata menuai protes. Fasilitator sesungguhnya bisa memerankan diri dengan memfasilitasi dan menguatkan masyarakat agar dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh partisipan sesuai konteks lokal tanpa harus menyeragamkan aturan di tempat lain yang justru mengundang kontroversi tidak produktif. Bersama dengan beberapa tokoh agama, peneliti sempat berdiskusi dan menanyakan apa sebenarnya keinginannya dalam konteks SPP. Mereka tidak memungkiri membutuhkan modal untuk pengembangan usaha, tetapi apakah tidak ada cara lain selain membungakan “riba” uang. Sebenarnya ada solusi yang bisa ditawarkan oleh fasilitator bersama pelaku PNPM MPd dengan menawarkan jasa pinjaman uang SPP dengan sistem syariah mengingat Desa Teluk sangat kental dan menjaga agar nilai-nilai agama Islam tetap lestari.

Kegiatan fasilitasi bukan hanya sekedar menjejalkan sejumlah pengetahuan dan pengalaman fasilitator maupun pelaku PNPM MPd dari tempat lain kepada partisipan melainkan upaya penyadaran melalui proses belajar

(7)

bersama dan mendorong prakarsa masyarakat secara mandiri untuk menentukan keputusannya. Fasilitator di samping melakukan transfer pengetahuan dan pengalaman juga harus mau belajar kepada budaya lokal agar program yang dibawa bisa diterima oleh partisipan. Lalu bagaimana dengan desa-desa lain? apakah program SPP ini berjalan semestinya?

Beberapa desa yang sempat peneliti telusuri, kegiatan SPP memang telah bergulir sejak PPK dan tidak dipersoalkan oleh warga tentang “keabsahan” program. Akan tetapi program mendapatkan kritik terutama dari RTM karena ternyata dana yang digulirkan justru dimanfaatkan oleh mereka yang sudah mapan ekonominya. Alasannya adalah RTM dianggap tidak mampu membayar cicilan secara rutin kepada pengurus UPK. Hal ini tentu sangat kontras dengan tujuan program untuk memberdayakan RTM “kaum marginal”. Dalam konteks ini dapatlah dinyatakan bahwa belum/tidak terjadi proses pemberdayaan (khususnya bagi warga miskin) karena tidak terjadi transfer daya kepada warga miskin, sebab program lebih dimanfaatkan oleh kelompok yang mampu. Apa dampaknya kemudian ? RTM menjadi enggan untuk terlibat dalam program-program berikutnya. Rapat-rapat sebagai instrument menggali gagasan yang “partisipatif” menjadi sulit untuk menghadirkan RTM.

Konsultan Manajemen (KM) PNPM MPd Provinsi Jambi ketika dikonfirmasi oleh peneliti tentang aktivitas PNPM MPd di wilayahnya memberikan tanggapan yang cukup relevan sebagaimana yang peneliti temukan di lapangan. Untuk program pembangunan infrastruktur beliau mengakui bahwa selama ini berharap ada peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai multiplier effect dari kegiatan, misalnya terbukanya lapangan kerja baru bagi RTM. Pemberdayaan dalam artian sesungguhnya yang mampu membangun kesadaran bagi RTM untuk keluar dari lingkaran kemiskinan memang belum maksimal kita dapatkan. Sementara untuk kegiatan Simpan Pinjam Khusus Perempuan (SPP) harus diakui bahwa perkembangannya di UPK cukup pesat. Untuk Kecamatan Pemayung, saat ini telah memiliki omset kurang lebih satu Milyar. Tetapi persoalannya kelompok perempuan miskin yang sejatinya memanfaatkan untuk mengembangkan ekonomi keluarga ternyata tidak memperoleh akses untuk memanfaatkan program ini. Lebih lanjut beliau secara terbuka juga menceritakan alur aktivitas PNPM MPd yang menurutnya akan sulit membawa misi pemberdayaan. Beliau mengakui bahwa ada penurunan kualitas

(8)

pada aktivitas program ketimbang pada PPK sebelumnya sebagaimana diungkapan oleh beliau berikut ini :

“Kita harus akui bahwa proses yang berjalan dalam PNPM ini sangat mekanistis sekali. Aktivitas yang berjalan selalu berpedoman pada PTO yang dikejar oleh target sehingga pemberdayaan masyarakat yang mestinya bisa didapat pada setiap tahapan program sangat sulit dijalankan”.

Pada sisi lain juga terungkap bahwa TPK PNPM MPd di Desa Teluk mengeluhkan aturan main untuk pelaksanaan program mulai tahun ini (tahun 2009). Mereka mengungkapkan bahwa sejak tahun ini diminta untuk mengumpulkan dana swadaya dari masyarakat yang jumlahnya sudah ditetapkan oleh pihak kabupaten sebesar lima persen. Menurutnya selama ini warga memang selalu diminta untuk menyumbang selama pelaksanaan program. Beberapa warga ada yang menyumbangkan bahan-bahan material seperti pasir, semen dan batu, tenaga kerja dan peralatan pekerjaan yang nilainya bisa jadi lebih dari lima persen karena merasakan bahwa program ini penting bagi kepentingan mereka tetapi ini dilakukan dengan prinsip sukarela tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Mereka berpendapat dengan penetapan angka minimal lima persen apalagi jika dilakukan secara terus menerus justru akan menyebabkan warga menyumbang karena ada unsur keterpaksaan dari pihak atas. Ketika persoalan ini peneliti pertanyakan kepada pengurus UPK di tingkat kecamatan mereka menyatakan sebenarnya tentang persoalan ini sudah sering dilakukan protes oleh mereka dan teman-teman dari UPK yang lain tetapi tidak ada respon dari pihak kabupaten. Menurut orang di kabupaten ketentuan ini sudah menjadi aturan baku yang tidak bisa dirubah.

Kegiatan pendampingan untuk mendidik partisipan bukanlah memaksakan apalagi memberikan materi yang “tidak sehat” kepada partisipan melainkan upaya penyadaran melalui proses belajar bersama dan mendorong prakarsa masyarakat secara mandiri untuk menentukan keputusanya. Untuk mendukung usaha ini profesi sebagai fasilitator memang membutuhkan keseriusan dan ketekunan yang cukup tentang masyarakat.

Deskripsi di atas menunjukkan bahwa proses dialog yang mesti muncul dalam pengambilan keputusan pada setiap aktivitas program ternyata belum terjadi. Dalam dialog seharusnya fasilitator membuka ruang “berbicara dan mendengar” yang setara” sehingga komunikasi antara fasilitator dan pelaku PNPM MPd dengan partisipan tidak terkesan menggurui atau bahkan memaksakan kehendak.

(9)

Di lokasi penelitian, peran fasilitasi memang tidak begitu tampak dijalankan oleh fasilitator. Kegiatan fasilitasi umumnya hanya dilakukan dalam rangka aktivitas teknis yang menjadi unggulan dari program. Misalnya memfasilitasi setiap pertemuan dalam pelaksanaan tahapan PNPM MPd, fasilitasi dan membantu survey lapangan, melakukan survey harga satuan dan menerapkannya dalam RAB dan memfasilitasi dalam penanganan dan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan program fisik. Beberapa warga dalam beberapa kesempatan ngobrol dengan peneliti juga menyampaikan bahwa fasilitator hanya datang ketika proyek akan berjalan. Sementara untuk fasilitasi program-program yang lain termasuk hadir dan berkunjung ke desa sekedar untuk merajut kebersamaan dengan warga jarang dilakukan. Kegiatan memfasilitasi yang merupakan tugas paling rutin fasilitator adalah pendampingan pembelajaran bersama kelompok yang harus diawali dengan interaksi sosial yang harmoni antara fasilitator dan partisipan. Apapun kegiatannya, proses fasilitasi yang dikembangkan oleh fasilitator harus selalu berorientasi pada proses pembelajaran yang bertumpu pada partisipan.

Dalam beberapa kesempatan sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang pelaku PNPM MPd, fasilitator bersama pelaku PNPM MPd yang lain pernah menjadi mediator ketika terjadi ketegangan dan konflik antar kelompok yang berlawanan. Pernah suatu ketika terjadi ketegangan antara warga masyarakat dengan kontraktor yang melaksanakan pekerjaan pembangunan jalan. Saat itu sebagaimana dituturkan oleh Ketua BKAD, kontraktor meminta dibayar lunas sementara pekerjaan belum selesai. Warga tetap bersikukuh untuk tidak membayar. Kontraktor sempat mengancam dan mengadukan persoalan ini kepada Kejaksaan Negeri Muara Bulian. Oknum kejaksaan bersama kontraktor tersebut sempat mengeluarkan ancaman untuk membawa persoalan ini ke meja hukum. Akhirnya setelah melalui proses mediasi persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan baik antara warga dan pihak kontraktor.

Sebenarnya peran fasilitasi mediasi yang lain yang bisa dilakukan misalnya membantu masyarakat untuk bisa mengakses potensi-potensi dan sumber daya yang dapat mendukung pengembangan dirinya, seperti sektor swasta, perguruan tinggi, LSM dan peluang pasar. Akan tetapi peran-peran ini belum muncul. Sering ditemui di lapangan bahwa masyarakat jarang mengetahui dan mengenal potensi dan kapasitasnya sendiri. Seorang fasilitator mestinya mampu merangsang dan mendorong masyarakat untuk menemukenali potensi

(10)

dan kapasitasnya sendiri. Dengan fungsinya tersebut fasilitator mampu mendorong masyarakat sehingga dapat melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan secara mandiri.

Peran Pendidik

Peran pendidik yang mesti dijalankan oleh fasilitator di lokasi kegiatan PNPM MPd adalah berperan aktif dalam proses pengembangan guna merangsang dan mendukung kegiatan-kegiatan partisipan. Kegiatan itu tidak saja sekedar membantu, namun lebih-lebih harus punya input dan arahan-arahan positif dari hasil pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai oleh fasilitator. Pendidikan dalam artian ini adalah upaya berbagi pengetahuan dalam membangun suatu kesadaran bersama dalam memahami kenyataan sehari-hari. Pengertian ini merujuk pada upaya memberikan kemudahan, kepada siapa saja untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam situasi kritis, peran pendampingan tidak hanya memberikan kemudahan terhadap berbagai akses bantuan saja tetapi secara proaktif juga melakukan intervensi langsung kepada masyarakat. Disisi inilah fasilitator mencoba mengambil peran sebagai perantara atau katarsis untuk mempercepat proses belajar dan peningkatan kesejahteraan. Kegiatan yang dimungkinkan dapat dilakukan adalah melalui pelatihan keterampilan bagi partisipan.

Menurut penuturan beberapa warga, termasuk pelaku PNPM MPd, aktivitas PNPM MPd hanya ditunjukkan oleh pembangunan sarana fisik. Sementara program-program pemberdayaan, seperti pelatihan-pelatihan bagi RTM nyaris tidak pernah ada sebagaimana dituturkan oleh ketua BKAD warga berikut ini :

Kegiatan PNPM-MPd yang betul-betul menyentuh kebutuhan dan memberdayakan masyarakat miskin sebagaimana tujuan PNPM MPd terutama yang terkait dengan upaya peningkatan keterampilan berusaha (ekonomi) bagi warga miskin tidak pernah ada. Seperti pelatihan menjahit, border, industri rumah tangga. Hampir semua usulan dari desa yang pernah muncul terkait dengan pelatihan selalu tidak mendapatkan prioritas termasuk dari tim. Selalu saja yang diunggulkan dan mendapatkan prioritas usulan adalah bangunan fisik saja, walaupun pada tahun-tahun sebelumnya telah pernah mendapatkan program PNPM juga dalam bentuk bangunan fisik sehingga keberadaan orang miskin di desa tidak pernah mengalami perubahan. Mereka tetap miskin dan tidak berdaya”

Ketua BKAD juga mengungkapkan bahwa dalam rapat-rapat di tingkat kecamatan kita selalu mengingatkan agar selalu melibatkan dan mengutamakan kebutuhan RTM, tetapi selalu saja mentah dalam forum. Utusan dari

(11)

masing-masing desa beralasan kalau sarana fisik yang dibangun diperlukan semua orang, sementara kalau pelatihan atau yang sejenis hanya beberapa orang saja yang bisa memanfaatkan. Dengan demikian kepentingan program untuk memberdayakan orang miskin selalu terabaikan. Mengapa selalu terjadi hal demikian ? Menurutnya hal ini dikarenakan usulan program selalu dibawa oleh tim enam yang umumnya adalah elit desa. Beberapa usulan program yang digagas sejak MMDD, baik di tingkat RT, dusun dan desa maupun MKP, terkesan hanya sebagai prasyarat program saja, toh yang akan membawa dan memperjuangkan untuk mendapatkan program adalah tim enam juga. Sehingga yang terjadi adalah usulan dari RTM dan perempuan tidak benar-benar diperjuangkan oleh tim enam pada MAD prioritas usulan (kompetisi) di kecamatan. Hal lain yang menjadi persoalan adalah tidak adanya keterlibatan stakeholder lain yang mendukung aktivitas pemberdayaan di lapangan. Seharusnya dalam Musrenbang baik di tingkat desa maupun kecamatan menghadirkan dinas-dinas terkait yang dibutuhkan oleh masyarakat penerima program untuk pemberdayaan mereka.

Catatan penting yang juga dapat peneliti ungkap di lapangan terkait dengan aspek pendidikan adalah adanya situasi yang memaksa perilaku “tidak jujur” dari pelaku kepada partisipan PNPM MPd. Salah seorang pelaku di Desa Teluk menceritakan kepada peneliti tentang hal ini. Menurutnya ada kesan skenario yang tidak jujur dari pelaku di tingkat desa (TPK) dan diajarkan oleh tim verifikasi di kecamatan serta kabupaten. Pada aspek pelestarian kegiatan, fasilitas yang pernah dibangun oleh PPK dan PNPM MPd pada tahun-tahun sebelumnya dengan berbagai cara harus disulap sehingga seolah-olah sangat terawat atau paling tidak ada tanda-tanda upaya ingin dirawat, misalnya ada tumpukan material di samping bangunan sehingga usulan desa bisa lolos untuk verifikasi program pada tahun berikutnya. Kondisi ini sebenarnya tidak mesti terjadi ketika monitoring dan evaluasi rutin dilakukan oleh pelaku program. Dalam sebuah obrolan dengan pelaku di kabupaten disebutkan, dahulu pada program PPK, monitoring ini rutin dilakukan bahkan oleh tim dari Depdagri dan Bank Dunia. Akan tetapi sejak PNPM MPd monitoring menjadi jarang dilakukan. Dalam konteks pendidikan hal ini tentu sangat tidak arif dilakukan oleh pelaku PNPM MPd ditingkatan yang lebih tinggi yang seyogianya harus mendorong transparansi “apa adanya” sebagai ciri program pemberdayaan.

(12)

Beberapa kegiatan pada aspek pendidikan yang pernah diselenggarakan oleh fasilitator di lokasi penelitian juga belum maksimal dijalankan. Pelatihan hanya diberikan kepada pelaku PNPM MPd saja bukan kepada warga komunitas apalagi RTM. Hanya KPMD, TPU, TP3, kader teknik dan TPK yang terpilih dalam musyawarah desa sosialisasi yang akan menerima pelatihan. Peserta pelatihan ini selanjutnya diharapkan akan memandu serangkaian tahapan kegiatan PNPM MPd yang diawali dengan proses penggalian gagasan di tingkat RT, dusun dan kelompok masyarakat. Pelatihan TPU dilaksanakan tanggal 27 s.d 28 Januari 2009 sedangkan pelatihan TP3 dilaksanakan pada tanggal 28 Februari 2009 berjumlah 12 orang. Ironisnya untuk tahun 2009 ini pelatihan bagi KPMD tidak dilaksanakan. Padahal KPMD adalah perpanjangan tangan fasilitator yang akan membantu kerja-kerja pemberdayaan di tingkat desa. KPMD sendiri umumnya selalu berganti setiap tahun di setiap desa. Artinya kemampuan kognisi KPMD mestinya di up grade secara rutin untuk menjadi pelopor pemberdayaan di desanya. Menurut pengurus UPK karena ada kendala teknis sehingga pelatihan batal dilakukan. Pada tahun-tahun sebelumnya selalu dilaksanakan dengan peserta dua utusan dari masing-masing desa (satu orang laki-laki dan satu orang perempuan).

Sebagai pendidik, sesungguhnya fasilitator bisa menjadi nara sumber (resource person) karena keahliannya berperan sebagai sumber informasi sekaligus mengelola, menganalisis dan mendesiminasikan dalam berbagai cara atau pendekatan yang dianggap efektif. Fasilitator juga bisa menjadi pelatih (trainer) melakukan tugas pembimbingan, konsultasi atas masalah yang dihadapi warga dan penyampaian materi untuk peningkatan kapasitas dan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik bagi partisipan.

Ikhtisar

Realitas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa peran fasilitator dominan pada aspek teknik, sementara peran fasilitasi dan pendidikan terkesan terabaikan. Kegiatan PNPM MPd sebagai bagian dari policy pemerintah yang termuat dalam PTO menuntut sistem kerja yang mekanisitis dan dominan pada aspek teknis yaitu pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur. Sehingga walaupun di lapangan dipersiapkan dua orang fasilitator yaitu fasilitator pemberdayaan dan fasilitator teknik, karena volume dan cakupan lokasi pekerjaan pada aspek teknis sangat besar serta dituntut oleh target dan waktu

(13)

yang telah ditetapkan program maka fasilitator pemberdayaanpun ikut terjebak pada kerja teknis sehingga peran fasilitasi dan pendidikan sebagai ruh dari proses pemberdayaan terkesan diabaikan.

Gambar

Gambar 8.  Bangunan Infrastruktur Madrasah yang dikerjakan oleh rekanan  Dinas PU di Desa Teluk

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini ditandai dengan kemampuan seseorang anak untuk bisa menghargai dirinya sendiri maupun diri orang lain, memahamiperasaan terdalam orang –orang di

“Aku harus merawat kerbau ini dengan baik apabila Si Boke datang suatu kali kepadaku dia tidak akan kecewa karena aku merawat kerbau ini dengan baik,” pikir sang guru.. Kerbau itu

Prosedur penelitian pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan media Audio melalui empat (4) tahapan, yaitu: a) perencanaan, Menyusun rencana pelaksanaan

Pada hari ini Selasa tanggal Tujuh belas bulan November tahun Dua ribu lima belas, yang bertandatangan dibawah ini Pejabat Pengadaan pada Dinas Prasarana Wilayah Kabupaten

4.2.10 Pola jarak jajar legowo 4:1 budidaya padi untuk produksi benih Pola jarak jajar legowo 4:1 merupakan cara atau alternatif untuk menerapkan sistem

Apabila temuan ini dikaitkan dengan data dan kenyataan mengenai jenis-jenis teknologi AI dan Big Data yang mendukung pelaksanaan Strategi Pelandaian Kurva dan

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keadilan persepsi secara signifikan tidak berpengaruh positif terhadap kinerja Pemerintah Daerah dalam penyusunan anggaran

Sedangkan metode Jackknife merupakan teknik resampling nonparametrik yang bertujuan untuk menentukan estimasi standar error, bias, dan interval kepercayaan dari