• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN KONSUMEN PENUMPANG PESAWAT TERBANG TERHADAP KEHILANGAN BARANG BAGASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN KONSUMEN PENUMPANG PESAWAT TERBANG TERHADAP KEHILANGAN BARANG BAGASI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN KONSUMEN PENUMPANG PESAWAT TERBANG TERHADAP KEHILANGAN BARANG BAGASI

(Studi Kasus Tentang Penyelesaian Sengketa Antara Penumpang dan Maskapai Penerbangan di BPSK Kota Semarang)

JURNAL PENELITIAN

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada

Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta

Disusun Oleh :

SELVIA RIZKY MAHARANI NIM. 13100031

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA

(2)

PERLINDUNGAN KONSUMEN PENUMPANG PESAWAT TERBANG TERHADAP KEHILANGAN BARANG BAGASI

(Studi Kasus Tentang Penyelesaian Sengketa Antara Penumpang dan Maskapai Penerbangan di BPSK Kota Semarang)

Oleh :

SELVIA RIZKY MAHARANI

Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Semarang dalam menyelesaikan perkara kehilangan barang bagasi antara penumpang dan maskapai penerbangan, serta untuk mengetahui kendala apa sajakah yang ditemui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Semarang dalam menyelesaikan kasus tersebut.

BPSK adalah sebuah lembaga penyelesaian sengketa konsumen yang bebas biaya serta jauh dari formalitas layaknya pengadilan sehingga sengketa dapat diselesaikan dengan lebih cepat. Salah satu keberhasilan BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen terlihat dalam penyelesaian perkara kehilangan barang bagasi antara Herlina Sunarti dan PT Lion Mentari Airlines di tahun 2011. Herlina Sunarti, penumpang maskapai Lion Air yang kehilangan kopernya saat menggunakan jasa maskapai tersebut, berhasil memenangkan tuntutan ganti ruginya sebesar Rp 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah). Jumlah ini memang tidak setara dengan kerugian materiil yang dideritanya, namun jauh lebih besar daripada jumlah yang ditawarkan pihak Lion Air sebesar Rp 3.000.000 (tiga juta rupiah.

Berdasarkan penelitian yang bersifat yuridis sosiologis, Penulis menyimpulkan bahwa BPSK Kota Semarang telah menjalankan perannya sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang efisien, cepat, murah dan profesional sesuai amanat UUPK. Meski demikian, dalam melaksanakan perannya sebagai lembaga penyelesaian sengketa, BPSK terkendala oleh inkonsistensi dalam UUPK yang menyatakan sifat putusan arbitrase BPSK final dan mengikat namun masih membuka kesempatan untuk mengajukan keberatan atas putusan tersebut ke Pengadilan Negeri. Dari kesimpulan tersebut, Penulis menyarankan diberikan kewenangan yang lebih terhadap lembaga BPSK terutama di dalam eksekusi putusan-putusannya dan sosialisasi eksistensi kepada konsumen di daerah hukumnya.

(3)

Latar Belakang Masalah

Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, seorang manusia senantiasa membutuhkan kehadiran manusia yang lain. Pada masa dahulu ketika kehidupan manusia masih sangat sederhana, dikenal sistem tukar menukar atau barter yang dipakai untuk memperoleh kebutuhan sehari-hari. Dengan menggunakan sistem barter, seorang petani penghasil beras dapat memperoleh telur dari seorang peternak ayam. Seiring dengan kemajuan peradaban manusia, muncul sebuah sistem baru dalam perdagangan yaitu dengan menggunakan uang sebagai alat tukar. Tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama kali menggunakan uang sebagai alat tukar, namun dengan lahirnya sistem ini perdagangan di antara manusia menjadi semakin maju dan berkembang.

Perdagangan adalah transaksi jual beli yang dilakukan antara penjual (produsen) dan pembeli (konsumen). Jual beli dapat terjadi bila terdapat pertemuan antara penawaran dan permintaan atas suatu barang maupun jasa. Dalam sebuah transaksi jual beli terdapat hubungan antara pihak penjual dan pembeli yang menimbulkan sebuah akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban, sehingga jual beli merupakan sebuah bentuk perjanjian.1

Dalam merumuskan suatu perjanjian diperlukan keseimbangan kedudukan dari para pihak. Hal ini dimaksudkan agar para pihak dalam perjanjian berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang mereka inginkan dalam perjanjian.2

BPSK sebagai salah satu mekanisme out of court settlement dinilai cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa konsumen dengan pelaku usaha. Menurut Srie Agustina, Direktur Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Pemberdayaan Konsumen Kementerian Perdagangan, penyelesaian di luar pengadilan memakan waktu lebih cepat, murah, dan prosesnya sederhana.3

1

Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.

2

Heniyatun, Aspek Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Perjanjian Baku, Fakultas Hukum UniversitasMuhammadiyah Malang, hlm. 2

3

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f4dec97a6186/perkara-konsumen-sebaiknya diselesaikan-di-luarpengadilandiakses pada10 November 2016

(4)

Tercatat sebanyak 1.348 kasus yang masuk ke BPSK sejak diberlakukannya UUPK. Dari jumlah tersebut hanya 15 sampai 17 kasus yang berlanjut hingga ke tingkat kasasi. Salah satu contoh kasus sengketa konsumen yang berhasil diselesaikan BPSK adalah penanganan aduan penumpang pesawat yang kehilangan barang bagasi.

PERUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana peran BPSK Kota Semarang dalam menyelesaikan perkara kehilangan barang bagasiantara Penumpang dan Maskapai Penerbangan? 2. Kendala apa sajakah yang ditemui oleh BPSK Kota Semarang dalam

menangani perkara kehilangan barang bagasiantara Penumpang dan Maskapai Penerbangan ?

TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Subjektif

Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi.

2. Tujuan Objektif

Secara objektif penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam ilmu hukum perdata terutama hukum perlindungan konsumen di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah yuridis sosiologis, artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (fact-finding), dan kemudian menuju pada identifikasi (problem-identification) dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah (problem-solution).4 Dalam penelitian ini fakta yang terjadi adalah sengketa konsumen penumpang pesawat yang kehilangan barang bagasi danyang akan diidentifikasi yaitu peran BPSK Kota Semarang dalam penyelesaikan sengketa tersebut.

4

(5)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peran BPSK Kota Semarang dalam menyelesaikan Perkara Kehilangan Barang Bagasi antara Penumpang dan Maskapai Penerbangan

Salah satu kasus yang ditangani Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah Putusan Nomor 605K/Pdt.Sus/BPSK/2012 di mana PT. Lion Mentari Airlines selaku pelaku usaha yang bersengketa dengan konsumen yakni Herlina Sunarti. Di mana Herlina Sunarti selaku konsumen dari PT. Lion Mentari Airlines telah mengajukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Semarang atas kehilangan tas merk Polo seberat 12 kilogram miliknya saat ia menumpang pesawat milik PT. Lion Mentari Airlines dari Jakarta menuju ke Semarang. Atas gugatan tersebut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Semarang menjatuhkan putusan Nomor 12/BPSK/Smg/Put/Arbitrase/ X/2011 yang mengabulkan gugatan Herlina Sunarti tersebut. Namun pihak pelaku usaha yakni PT. Lion Mentari Airlines keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Semarang tersebut dan mengajukan keberatan atas putusan tersebut kepada Pengadilan Negeri Semarang. Dan atas keberatan pelaku usaha tersebut Pengadilan Negeri Semarang menjatuhkan Putusan Nomor 02/Arbitrase/ 2011/PN.Smg yang pada pokoknya menyatakan bahwa permohonan pelaku usaha PT. Lion Mentari Airlines tidak dapat diterima. Atas putusan Pengadilan Negeri Semarang tersebut pelaku usaha PT. Lion Mentari Airlines juga merasa keberatan sehingga mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pada akhirnya di dalam amar putusan Kasasinya, Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi pelaku usaha PT. Lion Mentari Airlines tersebut.

Berdasarkan Kasus tersebut peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam penyelesaian kasus sengketa konsumen tidak lepas dari latar belakangterbentuknya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang merupakan suatu perhatian pemerintah terhadap warga masyarakat demi terciptanya keadilan yang merata disegala golongan masyarakat.Terkhusus bagi konsumen yang merasa dirugikan akibat penggunaan produk/barang

(6)

pelaku usaha. Karena sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha ini biasanya memiliki nilai nominal yang kecil sehingga terkadang masyarakat enggan untuk mengajukannya ke Pengadilan Negeri karena tidak sebanding dengan nilai harga barang dengan harga biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada dasarnya dibentuk karena adanya kecenderungan masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha.

Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam penyelesaian sengketa sengketa konsumen yakni agar sengketa antara konsumen dengan pelaku dapat diselesaikan secara tepat, mudah, dan murah dan cepat karena penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja, dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian perkara. Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan keputusan yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen. Jika putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersifat final dan mengikat, sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan. Dengan demikian, maka terciptanya penyelesaian sengketa konsumen secara tepat, mudah dan murah menjadi tolak ukur tercapainya tujuan dari dibentuknya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Berdasarkan Pasal 54 Ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen, putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai hasil dari penyelesaian sengketa konsumen secara konsiliasi, mediasi dan arbitrase, bersifat final dan mengikat. Pengertian final berarti penyelesaian sengketa telah selesai dan berakhir. Sedangkan kata mengikat mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu.

(7)

Putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat dibedakan atas 2 jenis putusan yaitu:

a. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa dengan cara konsiliasi atau mediasi. Putusan dengan cara konsiliasi atau mediasi pada dasarnya hanya mengkukuhkan isi perjanjian perdamaian, yang telah disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

b. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara arbitrase. Putusan ini seperti halnya putusan perkara perdata, memuat duduknya perkara dan pertimbangan hukumnya Putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sedapat mungkin didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat, namun jika telah diusahakan namun tidak mencapai kata mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak (voting), hal ini berdasarkan Pasal 39 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001.

Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha, selanjutnya dikuatkan dengan putusan majelis.

Keputusan majelis dalam konsiliasi dan mediasi tidak memuat saksi administratif, sedangkan hasil penyelesaian sengketa konsumen ditandatangani oleh Ketua dan Anggota Majelis. Keputusan majelis dalam arbitrase dapat memuat sanksi administratif (Pasal 37 ayat (5) Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001).

Berdasarkan Pasal 38 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 Majelis wajib memutuskan sengketa konsumen tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari kerja terhitung sejak gugatan diterima Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Setelah putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diberitahukan, selambat-lambatnya dalam 7 hari kerja sejak putusan dibacakan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

(8)

Apabila konsumen dan atau pelaku usaha menolak putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka mereka dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari kerja terhitung sejak putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diberitahukan. Sebaliknya apabila konsumen dan pelaku usaha menerima putusan tersebut maka pelaku usaha wajib menjalankan putusan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari kerja sejak menyatakan menerima putusan tersebut.

Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang tidak diajukan keberatan oleh pelaku usaha, dimintakan penetapan fiat eksekusinya kepada pengadilan negeri di tempat tinggal konsumen yang dirugikan. Pelaku usaha yang menolak putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, tetapi tidak mengajukan keberatan setelah melampaui batas waktu untuk menjalankan putusan, maka dianggap menerima putusan.

Putusan final dan mengikat pada Pasal 54 ayat (3) diartikan sebagai sudah tidak adanya upaya hukum lanjutan baik itu berupa banding maupun kasasi. Namun ada Pasal 56 ayat (2) yang menyebutkan bahwa para pihak yang yang tidak menerima putusan itu bisa mengajukan keberatan di Pengadilan Negeri. Dilihat dari ketentuan-ketentuan pasal tersebut jelas terjadi ketidaksesuaian pasal yang satu dengan pasal yang lainnya. Hal ini mengakibatkan putusan BPSK menjadi tidak efektif, kembali lagi berdasarkan atas asas kepastian hukum yang diterima oleh konsumen yang notabene telah dirugikan oleh pelaku usaha karena dengan adanya keberatan atas putusan BPSK tersebut, maka akan memakan waktu yang panjang untuk dilaksanakannya putusan itu. Meskipun pencantuman pasal mengenai keberatan tidak dituliskan di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tetap saja secara manusiawi orang-orang yang berperkara pasti akan menempuh upaya hukum apapun untuk bisa memenangkan dirinya.

(9)

Berdasarkan Pasal 56 Ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa apabila konsumen atau pelaku usaha menolak putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dapat mengajukan keberatan di Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Jika hal itu terjadi, maka akan memperpanjang waktu penyelesaian sengketa konsumen sekaligus menambah beban biaya yang harus ditanggung oleh para pihak. Hal ini sedikit bertentangan dengan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang final dan mengikat tersebut, sehingga dengan demikian ketentuan Pasal-Pasal tersebut saling kontradiktif dan menjadi tidak efesien.

Sebagai maskapai penerbangan yang mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi akan tidak mengalami kesulitan mengenai pembiayaan karena memang mempunyai kekuatan finansial yang cukup, akan tetapi lain halnya dengan konsumen, posisi tawar yang lemah menyebabkan penumpang cenderung merasa kesulitan jika harus berlawanan dengan pelaku usaha. Dengan demikian, maka penyelesaian sengketa menjadi tidak efektif karena harapan dari pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk dapat menjalankan proses beracara yang bersifat cepat, mudah (sederhana) dan murah masih sulit tercapai. Sehingga efektivitas dari pelaksanaan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen menjadi diragukan. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan dalam penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen relatif murah dan dapat dijangkau oleh penumpang yang sebagian besar yang memiliki tingkat keuangan yang masih rendah. Dan prosedur administrasi pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen juga sederhana dan tidak berbelit-belit, karena tata cara yang dilaksanakan tidak terlalu formil seperti yang biasa dilaksanakan di pengadilan, akan tetapi lebih bersifat dan bernuansa kekeluargaan.

(10)

Analisis :

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis juga menyimpulkan bahwa peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terhadap penyelesaian sengketa konsumen dibagi atas 2 (dua) sudut pandang yang pertama berdasarkan sudut pandang penumpang bahwa putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sudah efektif dilihat dari proses beracara yang mudah, cepat, dan murah. Sedangkan jika dilihat dari sudut padang peraturan pelaksanaan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah tidak efektif hal ini karena pada Pasal 54 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ayat (3) menegaskan bahwa putusan Majelis BPSK itu bersifat final. Final dapat diartikan sebagai suatu putusan yang telah berkekutan hukum tetap, sehingga terhadapnya tidak dapat diajukan upaya banding dan kasasi. Kembali timbul kerancuan tentang kata final dan mengikat dari pasal tersebut, dengan dibukanya kesempatan kepada para pihak yang merasa dirugikan oleh Keputusan BPSK untuk mengajukan keberatan pada peradilan umum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) UUPK, Sehingga dapatlah disimpulkan bahwa putusan BPSK tersebut masih belum final. Sementara pengertian kata "mengikat" dalam pasal tersebut adalah putusan itu wajib dilaksanakan.

Sifat pelaksanaan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat dilihat dari 2 aspek yaitu dari proses beracaranya karena proses beracara yang mudah, cepat, dan murah dan dari pelaksanaan putusannya karena terhadap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang bersifat final masih dimungkinkan adanya upaya keberatan di peradilan umum.

Berdasarkan tugas dan wewenang yang diberikan oleh UUPK, BPSK Kota Semarang telah menjalankan peran sebagai lembaga penyelesaian sengketa dan lembaga konsultasi perlindungan konsumen dalam sengketa kehilangan barang bagasi antara Penumpang dan Maskapai Penerbangan dalam kasus ini adalah Herlina Sunarti dan PT.Lion Mentari

(11)

Airlines. Dalam menjalankan perannya sebagai lembaga penyelesaian sengketa, BPSK Kota Semarang mengedepankan pemenuhan asas keadilan dan kemanfaatan dibandingkan asas kepastian hukum. Hal ini terlihat dari penyimpangan yang dilakukan BPSK Kota Semarang terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 yang mengatur besaran ganti rugi atas kehilangan bagasi tercatat milik penumpang. BPSK Kota Semarang juga telah mengimplementasikan ketentuan UUPK yang menegaskan pembentukan BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen yang efisien, cepat, murah, dan profesional. Hal ini dibuktikan dengan pembebasan biaya perkara serta fleksibilitas dalam proses pembuktian. Sedangkan peran sebagai lembaga konsultasi dilaksanakan BPSK Kota Semarang dengan memberikan konsultasi perlindungan konsumen kepada Herlina Sunarti sebelum memasuki tahap sidang di BPSK dan ketika menghadapi upaya hukum keberatan dan kasasi yang diajukan oleh pihak PT.Lion Mentari Airlines.

B. Kendala Yang Dihadapi Oleh Bpsk Kota Semarang Dalam Menyelesaikan Perkara Kehilangan Barang Bagasi Antara Penumpang Dan Maskapai Penerbangan.

1. Kendala kelembagaan dan keterbatasan wewenang dapat ditinjau dari kompleksnya peran yang diberikan untuk badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sehingga menimbulkan kendala pada tahap pelaksanaannya, dalam hal ini dapat diuraikan mengenai peran yang diberikan kepada Badan Penyelesaian sengketa konsumen yaitu : peran sebagai penyedia jasa penyelesaian sengketa sebagai mediator, konsiliator, arbiter, peran sebagai konsultan masyarakat atau public defender, peran sebagai administrative regulator atau sebagai pengawas dan pemberi sanksi, peran ombudsman, ajudicator atau pemutus. Berdasarkan pasal 52 Undang-undang Perlindungan Konsumen jo. SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 adalah: (a). melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi dan

(12)

abitrase. (b). Memberikan konsultasi mengenai perlindungan konsumen (c) melakukan pengawasan terhadap pencatuman klausula baku (d). Melaporkan kepada penyidik jika terjadi pelanggaran Undang-undang perlindungan konsumen. (e). Menerima pengaduan tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen terhadap terjadinya pelanggaran perlindungan konsumen. (f). Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen. (g). Memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. (h). Memanggil saksi-saksi atau saksi ahli atau setiap orang yang diduga mengetahui pelanggaran mengenai perlindungan konsumen. (i). Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi ahli, atau setiap orang pada butir g dan butir h yang tidak bersedia memenuhi panggilan dari Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). (j). Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat dokumen atau bukti lain guna penyelidikandan/atau pemeriksaan. (k). Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak penumpang (l). Memberitahukan putusan kepada maskapai penerbangan yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen (m). Menjatuhkan sanksi administratif kepada maskapai penerbangan yang melanggar ketentuan undang-undang perlindungan konsumen.

2. Kendala eksekusi putusan berdasarakan pasal 54 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen, putusan BPSK dari hasil konsiliasim arbitrase, dan mediasi bersifat final dan mengikat. Suatu putusan yang tidak mungkin lagi umtuk dilakukan upaya hukum dinyatakan sebagai keputusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Berdasarkan prinsip demikian, putusan BPSK mestinya harus dipandang sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun bandingkan dengan pasal 56 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen. Para pihak ternyata masih bisa mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari setelah pemberitahuan putusan BPSK. Hal ini bertentangan dengan sifat putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat.

(13)

Analisis :

Kendala-kendala yang dihadapi oleh BPSK Kota Semarang dalam menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen tidak lepas dari keterbatasan wewenang yang dimilikinya sebagai sebuah lembaga penyelesaian sengketa. Pertama, tidak adanya upaya paksa yang dapat dilakukan oleh BPSK misalnya dengan melakukan penjemputan terhadap pelaku usaha yang tidak memenuhi panggilan BPSK. UUPK memberi wewenang kepada BPSK untuk meminta bantuan penyidik dalam mengadirkan pelaku usaha, namun dalam praktik upaya ini sering menemui jalan buntu karena permohonan BPSK tidak mendapat tanggapan dari penyidik. Kedua, mengenai pemilihan metode penyelesaian sengketa. Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 mengatur bahwa penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK baik melalui cara konsiliasi, mediasi, maupun arbitrase dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan konsumen dan pelaku usaha. Meski demikian, tidak terdapat jalan keluar seandainya pelaku usaha tidak mau menyepakati satupun dari ketiga metode penyelesaian sengketa tersebut. Akibatnya banyak konsumen yang kecewa karena pelaku usaha memanfaatkan celah tersebut dan menolak menyelesaikan sengketa di BPSK. Ketiga, mengenai eksekusi putusan BPSK. Meskipun putusan Majelis BPSK bersifat final dan mengikat, namun tidak terdapat kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut. Akibatnya, pelaksanaan putusan sangat bergantung pada itikad baik pelaku usaha untuk menjalankannya.

Tidak ada kendala yang berarti dalam proses penyelesaian sengketa kehilangan barang bagasiantara Herlina Sunarti dan PT.Lion Mentari Airlines karena PT.Lion Mentari Airlines bersifat kooperatif selama proses penyelesaian sengketa. Kendala yang ditemui BPSK Kota Semarang dalam perkara ini adalah inkonsistensi pengaturan dalam UUPK mengenai sifat putusan Majelis BPSK. Meskipun dinyatakan sebagai putusan yang final dan mengikat, nyatanya terdapat celah untuk mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat atas putusan BPSK tersebut. Akibatnya, meskipun BPSK telah memenangkan Herlina Sunarti, namun pihak PT.Lion Mentari Airlines mengajukan keberatan dan kasasi sehingga proses pembayaran ganti rugi sempat terhambat.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Heniyatun, Aspek Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Perjanjian Baku, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.

Soejono Sukanto, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f4dec97a6186/perkara-konsumen-sebaiknya diselesaikan-di-luarpengadilandiakses pada10 November 2016

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 jo. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2000 tentang Angkutan Udara.

Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara

Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 301/MPP/Kep/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Referensi

Dokumen terkait

If the minimum and maximum attribute are omitted then the validator only ensures that the value is numeric. Minimum – The minimum acceptable

Menyadari bahwa dalam memanfaatkan alternator mobil sebagai pembangkit listrik tenaga angin masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu demi kesempurnaan alat ini maka perlu

Untuk koreksi stasiun, dalam penelitian ini memiliki satu buah stasiun yang sama dengan penelitian Puspito (1996) serta memiliki nilai koreksi stasiun yang sama

Postotni udio kisika u vodi Sakadaškog jezera zabilježen tijekom istraživanja zajednice perifitona

Program Peningkatan dan Pengembangan Pengelolaan keuangan Daerah Program Pembinaan dan Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Kabupaten/ Kota Program Penataan penguasaan, pemilikan,

Persatuan Raya Lappadata, Sinjai Tengah 208 Pualam Jaya Konstruksi CV Irwan Ahmad GAPENSI √ Desa Kampala Kec..

syari‟at. Allah dan Rasul-Nya mengajarkan suatu cara untuk keluar dari kesulitan tersebut, baik dengan cara merubah bentuk taklif , berpindah kepada perbuatan lain atau

Selain pola asuh otoriter di keluarga militer ini juga menerapkan pola asuh demokratis yaitu orang tua selalu berembuk dan berdiskusi mengenai tindakan- tindakan