ILTIFA
<
T
KETIKA SALAT DALAM SUNAN AL-TIRMIDHI
<
NOMOR INDEKS 589
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
AHMAD WAFI RIZQON
NIM: E03212042
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
Ahmad Wafi Rizqon, 2016, Iltifa>t ketika Salat dalam Sunan Al-Tirmidhi> nomor indeks 589. Skripsi Prodi Al-Qur’an dan Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Penelitian ini dilakukan karena penulis menemukan beberapa pemahaman
tentang iltifa>t ketika salat, yaitu menoleh dengan lehernya, namun ada juga yang
melakukan dengan lirikan mata, bahkan menoleh dengan badannya. Dan iltifa>t di
dalam salat ini berkaitan dengan arah salat dalam menghadap kiblat, Sedangkan dalam salat diharuskan untuk menghadap kiblat.
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab
permasalahan mengenai kualitas, keh}ujjahan, dan subtansial hadis tentang Iltifa>t
ketika salat dalam Sunan Al-Tirmidhi> nomor indeks 589. Sifat dari penelitian ini adalah kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analitis. Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka pengumpulan data diperoleh dengan meneliti kitab Sunan Al-Tirmidhi dan dibantu dengan kitab standar lainnya, kemudian dianalisa dengan menggunakan
metode takhri>j dan diakhiri dengan metode i’tibar al-sanad, serta melakukan
analisa sanad dan matan serta melakukan pemaknaan dengan beberapa langkah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah hadis dalam Sunan Al-Tirmidhi>
nomor indeks 589 berkualitas h}asan lidha>tihi sehingga bisa dijadikan hujjah.
makna iltifa>t ditinjau dari beberapa aspek berarti menoleh dengan lehernya ke
arah atas, kanan atau kiri. Karena orang yang sedang salat itu diperintahkan untuk menghadapkan wajahnya ke arah qiblat, tidak condong ke kanan atau ke kiri. Demikian juga menoleh hanya sebatas penglihatannya, dengan melihat ke arah kanan dan kiri. Dalam hal ini dapat mengurangi pahala salat seseorang. Karena orang yang sedang salat seharusnya memposisikan pandangannya tepatnya melihat ke tempat sujud.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
ABSTRAK ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Rumusan Masalah ... 5
D. Tujuan Penelitian ... 6
E. Kegunaan Penelitian ... 6
F. Telaah Pustaka ... 7
G. Metode Penelitian ... 7
H. Sistematika Pembahasan ... 11
B. Teori Jarh} Wa al-Ta’di>l ... 25
C. Kaidah Keh}ujjahan Hadis ... 28
D. Kaidah Pemaknaan Hadis ... 31
BAB III : IMAM AL-TIRMIDHI< DAN HADIS TENTANG ILTIFA<<T A. Biografi Imam al-Tirmidhi< ... 35
B. Kitab Sunan Al-Tirmidhi< ... 36
C. Hadis Tentang Iltifat Ketika Salat ... 41
D. Skema Sanad dan Biografi Perawi ... 47
E. I’tiba>r dan Skema Sanad Keseluruhan ... 59
BAB IV : HADIS TENTANG ILTIFA<T KETIKA SALAT A. Kualitas Sanad ... 63
B. Kualitas Matan ... 71
C. Kandungan Matan Hadis ... 74
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Keharusan mengikuti hadis bagi umat Islam (baik berupa perintah maupun larangannya) sama halnya dengan kewajiban mengikuti Alquran.
Hal ini karena hadis merupakan mubayyin (penjelas) terhadap Alquran, karena itu
siapapun tidak akan bisa memahami Alquran tanpa dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya dengan menggunakan hadis tanpa Alquran. Karena Alquran merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari’at. Dengan demikian, antara hadis dengan Alquran memiliki kaitan
sangat erat, untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan
atau berjalan sendiri-sendiri.1
Dalam Islam latihan rahani yang diperlukan manusia diberikan dalam bentuk ibadah, semua ibadah dalam Islam baik dalam bentuk salat, puasa, zakat, maupun haji bertujuan untuk membuat rahani manusia tetap ingat kepada Allah, keadaan senantiasa dekat dengan Allah dapat mempertajam rasa kesucian yang selanjutnya menjadi banteng pertahanan bagi hawa nafsu seseorang untuk
melanggar nilai-nilai moral peraturan dan hukum yang berlaku.2
Diantara ibadah dalam Islam salatlah yang membawa manusia kepada suatu yang amat dekat dengan dengan Allah apabila dilakukan dengan sepenuh
1
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadits, cetakan kedua, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2012), 47.
2
2
hati. Salat juga akan bisa menghiasi dan memperindah seseorang dengan akhlak yang terpuji dan mental yang sehat seperti sifat jujur mengemban amanat,
memenuhi janji, bersikap adil, dan lain sebagainya.3
Salat yang dikehendaki Islam, bukanlah semata-mata sejumlah bacaan yang diucapkan oleh lisan, sejumlah gerakan yang dilakukan oleh anggota badan, tanpa disertai kesadaran akal dan kekhusyukan hati. Bukan pula salat yang dikerjakan oleh seseorang, yang ketika sujud, bagaikan ayam yang mematukkan
paruhnya, dan disaat ruku’ bagaikan gagak yang sedang menyambar mangsanya,
dan disaat salam bagaikan serigala memalingkan wajahnya. Namun, salat yang diterima adalah salat yang terpenuhi ketentuan ketentuannya. Berupa perhatian pikirannya, dan kedudukan hatinya, dan kehadiran keagungan Allah, yang maha luhur dan maha mulia, seolah-olah sedang berada dihadapan-Nya.
Demikian itu, karena tujuan utama dari salat, dan semua ibadah adalah agar semua manusia selalu mengingat Tuhannya yang telah menciptakan dan menyempurnakan dirinya. Dan juga yang telah mengatur kadarnya dan
memimpinnya.4
Sebagaimana firman Allah:
ىركذلَةَصلاَميقاو
...
Dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku. 5
3Rif’at Syauqi Nawawi,
Salat Ilmiah dan Amaliah, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2001), 13 4
Yusuf Al-Qordlowi, Ibadah dalam Islam, terj. Umar Fanani, (Surabaya: Bina Ilmu, 2001), 389 5
3
S}alat juga erat kaitannya dengan latihan dan perbuatan moral yang baik.
Sebagaimana firman Allah SWT:
ةولصلا مقاو بتكلا نم كيلا يحوا ام لتا
صلا ّنا .
ركذلو .ركنملاو ءاشخفلا نع ىهنت ةول
.نوعنصت ام ملعي هاو .ربكا ها
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Qur’a>n) dan dirikanlah s}alat. Sesungguhnya s}alat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (s}alat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Oleh sebab itu, wajib atas setiap muslim untuk memahami hakikat s}alat
serta berusaha untuk mengungkap rahasia-rahasia dan hikmanya. Di samping itu wajib mengetahui hal-hal yang membatalkan salat, juga hal-hal yang dimakruhkan dalam salat. seperti meninggalkan perkara wajib dari kewajiban salat dengan
sengaja, meninggalkan sunnah-sunnah salat dengan sengaja, membaca ta’awud
dan basmalah sebelum surat al-Fatihah menurut malikiyyah, membaca doa sebelum surah al-Fatihah menurut Malikiyyah, memanjangkan rakaat kedua dari pada rakaat pertama, membaca surah yang sama pada rakaat satu dan rakaat dua, membaca surah dengan urutan terbalik, memain-mainkan tangan di pakaian, badan dan janggut, menoleh dalam salat tanpa ada keperluan, memandang ke
langit.7
Dalam hal ini penulis akan mengulas tentang menoleh dalam salat atau
iltifa>t dalam salat. Salah satu kandungan hadis Nabi SAW menjelaskan tentang
iltifa>t dalam salat, yang berbunyi:
6
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahannya. (Surabaya: Duta Ilmu. 2005), Al-Ankabu>t, 45
7
4
ََح
َْنَعَ،ِهيِبَأَْنَعَ،يِراَصْنَأاَِهللاَِدْبَعَُنْبَُدمََُُاَنَ ثدَحَ:َلاَقَيِرْصَبلاَ ٍِِاَحَُنْبَُمِلْسُمَاَنَ ثد
َ
َِنْبَِيِلَع
َْبَِديِعَسَْنَعَ،ٍدْيَز
َ:َملَسَوَِهْيَلَعَُهللاَىلَصَِهللاَُلوُسَرَ ََِِلاَقَ:َلاَقٍَسَنَأَْنَعَ، ِبِيَسُماَِن
«
ََكايِإَ، ََُ بَاَي
َ
اَيِفَفَدُبَ َََِناَكَْنِإَفَ،ٌةَكَلََِة ََصلاَ ََِِتاَفِتل ِِاَنِإَفَ،ِة ََصلاَ ََِِتاَفِتل ِِاَو
ََضيِرَفلاَ َِِ ََِِعوَطتل
َِة.
8
Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Hatim Al-Bashri, ia berkata: telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah Al-Anshari, dari
Bapaknya, dari ‘Ali bin Zaid, dari Sa’id bin Musayyab, dari Anas bin Malik, ia
berkata: Rasulullah saw telah berkata kepadaku: Wahai pemuda, janganlah kamu menoleh dalam sholat, karena sesungguhnya menoleh dalam sholat itu merusak, jika hal itu harus dilakukan, maka dalam sholat sunnah saja, tidak dalam sholat fardlu. (HR. al-Tirmidhi).
Penelitian diatas menegaskan bahwa alasan mengadakan penelitian ini dianggap penting, mengingat tidak semua hadis yang diriwayatkan oleh
al-Tirmidhi> tergolong s}ah}i>h}. adapun penelitian yang berkaitan dengan pemaknaan
juga dianggap penting karena iltifa>t di dalam salat berkaitan dengan arah salat
dalam menghadap kiblat, demikian juga tentang hukum salat itu sendiri. Namun dalam penelitian ini tidak membahas secara tuntas hukum menoleh di dalam salat. Di samping itu, al-Tirmidhi juga merupakan ulama hadis yang sangat berjasa sekali dalam kodifikasi hadis Nabi.
Pentingnya pemaknaan terhadap hadis tentang iltifa>t ini karena memahami
hadis dari sudut pandang yang berbeda juga akan menghasilkan pemahaman yang berbeda. Terdapat beberapa pemaknaan di kalangan ulama, diantaranya banyak ditemukannnya seseorang ketika salat menoleh dengan lehernya, namun ada juga yang melakukan dengan lirikan mata, bahkan menoleh dengan badannya.
8
5
Hal ini merupakan argumentasi utama penulis dalam melakukan penelitian tentang hadis ini. Bekal ini seharusnya menjadi penuntun manusia agar lebih berhati- hati dan berpegang teguh kepada hadis, dan bagaimana menerapkan suatu hukum dan permasalahan dalam hadis tersebut. Di sisi lain, penulis juga belum
menemukan adanya penelitian lain tentang Kitab al-Ja>mi’ al-Tirmidhi> ini yang
berkenaan dengan hadis tentang iltifa>t ketika dalam Hadis Nabi SAW menjadikan
penelitian ini menemukan relevansinya.
B. Identifikasi Masalah
Terkait hadis tentang Iltifa>t ketika salat dalam Sunan Al-Tirmidhi> nomor
indeks 589, ada beberapa permasalahan yang dapat dikaji. Diantaranya:
1. Bagaimana urgensi hadis ini bagi umat Islam?
2. Bagaimana aplikasi kandungan hadis bagi kehidupan manusia?
3. Bagaimana kualitas hadis tentang Iltifa>t ketika salat dalam Sunan
Al-Tirmidhi> nomor indeks 589?
4. Bagaimana kehujjahan hadis tentang Iltifa>t ketika salat dalam Sunan
Al-Tirmidhi> nomor indeks 589?
5. Bagaimana pemaknaan hadis tentang Iltifa>t ketika salat dalam Sunan
Al-Tirmidhi> nomor indeks 589?
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dan identifikasi masalah di atas, dapat ditarik rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis tentang Iltifa>t ketika salat dalam
6
2. Bagaimana pemaknaan hadis tentang Iltifa>t ketika salat dalam Sunan
Al-Tirmidhi> nomor indeks 589?
D. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini diantaranya:
1. Untuk mengetahui kualitas dan kehujjahan hadis tentang Iltifa>t ketika salat
dalam Sunan Al-Tirmidhi> nomor indeks 589?
2. Untuk mengetahui pemaknaan hadis tentang Iltifa>t ketika salat dalam
Sunan Al-Tirmidhi> nomor indeks 589?
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam bidang hadis. Agar hasil penelitian ini betul-betul jelas dan benar-benar berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan dari penelitian ini.
Adapun kegunaan hasil penelitian ini ada dua yaitu:
1. Kegunaan secara teoritis
Hasil penelitian ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan ilmu keagamaan khususnya mengenai Iltifa>t ketika salat
dalam Sunan Al-Tirmidhi> nomor indeks 589
7
Implementasi penelitian ini diharapkan agar hadis menjadi teks yang hidup dan menjadi pedoman serta menjadi dasar pijakan bagi kaum muslimin dalam berperilaku dari masa ke masa.
F. Telaah Pustaka
Sebatas pengetahuan penulis tidak ditemukan literatur atau hasil penelitian
akademis (skripsi, tesis, disertasi) yang membahas hadis tentang Iltifa>t ketika salat
dalam Sunan Al-Tirmidhi> nomor indeks 589.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini meliputi:
1. Model dan jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis, yang bermaksud mendeskripsikan pemaknaan hadis. Penelitian ini termasuk jenis penelitian
non-empirik. Metode ini yang digunakan adalah metode library research
(penelitian kepustakaan). Penelitian kepustakaan ini membatasi kegiatan hanya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan riset
lapangan. 9 Oleh karena itu sumber data yang digunakan dalam penelitian
ini berasal dari sumber tertulis baik yang berupa literatur Bahasa Arab maupun Indonesia yang berhubungan dengan permasalahan penelitian ini.
2. Metode pengumpulan data
9
8
Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam menyelesaikan penelitian ini dapat diketahui bahwa metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen. Dokumen yang dimaksud adalah dokumen internal yang berupa catatan seperti memo, pengumuman,
dan lain sebagainya.10 Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini
berupa tulisan-tulisan dan karya-karya tentang hadis. Salah satu bentuk dokumentasi yang dilakukan dalam pengumpulan hadis yang akan diteliti antara lain dengan:
a. Takhri>j hadis
Takhri>j hadis adalah penjelasan keberadaan sebuah hadis dalam
berbagai referensi hadis utama dan penjelasan otentisitas serta
validitasnya.11 Dengan kata lain Takhri>j hadis adalah suatu usaha
menggali hadis dari sumber otentik representatif.
b. I’tiba>r adalah suatu usaha untuk mencari dukungan hadis dari kitab
lain yang setema. I’tiba>r juga berguna untuk mengkategorikan
muttaba’ta>m dan muttaba>’ qa>sir yang berujung pada akhir sanad
(nama sahabat) yang berbeda (sha>hid). Dengan metode ini pula hadis
yang sebelumnya berstatus rendah dapat terangkat satu derajat jika terdapat riwayat lain yang perawi-perawinya lebih kuat.
10
Heris herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, catatan ketiga, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), 146
11
9
3. Pengolahan data
Dalam pengelolahan data yang telah dikumpulkan, penulisan ini menggunakan beberapa langkah, yaitu:
a. Editing, yaitu memeriksa kembali data-data yang diperoleh dari segi
kelengkapan, kejelasan, kesesuaian, relevansi, dan keragamannya.
b. Pengorganisasian data, yaitu: menyusun dan mensistematikan
data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan sebelumnya sesuai dengan rumusan masalah.
Semua data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan analisis isi, yaitu suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengelolahnya dengan tujuan
menangkap pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan.12 Selain
itu, analisis isi dapat juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak peneliti.
4. Sumber data
Sumber data yang diperlukan untuk menjadi bahan penelitian, bersumber dari dokumen perpustakaan yang terbagi menjadi dua klasifikasi, antara lain:
a. Data primer
1) Kitab Sunan Al-Tirmidhi> dan sharahnya.
12
10
b. Data sekunder, yang melengkapi data primer atau sebagai pendukung
diantaranya:
1) Mus}anif ‘Abdul Razāq karya Abu Bakar Abdul Rozaq bin
Hamma>m bin Nafi’ al-H{umairi> al-Yamani> al-S}an‘ani>.
2) Mu’jam al-S}aghir li T{abrani karya Abu al-Qosim al-T{abra>ni.
3) Targhīb wa Tarhīib karya Abu al-Qasi>m Ismail bin Muhammad
bin al-Fad}l al-Jauzi> al-As}baha>ni>.
4) Sharah Sunnah li al-Baghawī karya Abu Muhammad al-Husain bin
Mas‘ud bi Muhammad bin al-Farra’ al-Baghawi> al-Syafi’i>.
5) Mashakah al-Mas}abih karya Muhammad bin Abdullah al-Khat}i>b
al-‘umri
6) Kanzu al-‘Amal karya Alauddin Ali Ibn Hisamuddin ibn Qod}i
Khan al-Qadri al-Shadhili al-Hindi
7) Musnad Abi Ya’lā al-Maus}uli karya Abi Ya’la al-Maus}uli
8) Al-Mu’jam Al-Ausa>t} karya Abu al-Qosim al-T{abra>ni
9) Al-Maqs}ud al-‘Ali fi Zawā’id karya Abi Ya’la al-Maus}uli
10) Tahdhi>b al-Kama>l fi Asma’ al-Rija>l Karya Jamal al Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi
11
H. Sistematika Pembahasan
Masalah pokok yang disebutkan di atas dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bab antara lain:
Bab pertama, pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.
Bab kedua, landasan teori yang menjelaskan tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan yanng menjadi tolak ukur dalam penelitian hadis.
Diantaranya adalah kaidah ke-s}ah}i>h}-an hadis, Teori Jarh} wa al ta’di>l, kaidah
ke-h}ujjah-an hadis dan kaidah pemaknaan hadis.
Bab ketiga, tinjauan redaksional hadis tentang Iltifa>t ketika salat dalam
hadis Nabi Saw. yang membahas tentang biografi Ima>m Al-Tirmidhi> dan kitabnya
Ja>mi’ al-Tirmidhi>. Serta menampilkan hadis tentang Iltifa>t ketika salat yaitu
meliputi: data hadis, skema sanad hadis nomor indeks 589, I’tiba>r serta skema
sanadnya secara keseluruhan.
Bab keempat, merupakan analisis pemaknaan hadis tentang Iltifa>t ketika
salat, mengenai kehujjahan hadis tersebut, analisis secara umum dan analisis berdasarkan sanad dan matan.
BAB II
METODE KRITIK HADIS DAN PEMAKNAANNYA
A. Kaidah Ke-s}ah}i>h}-an Hadis
Untuk meneliti dan mengukur ke-s}ah}i>h}-an suatu hadis diperlukan acuan
standar yang dapat digunakan sebagai ukuran menilai kualitas hadis. Acuan yang
dipakai adalah kaidah ke-s}ah}i>h}-an hadis, jika hadis yang diteliti ternyata bukan
hadis mutawatir.1
Ulama‟ hadis dari kalangan al-mutaqaddimin belum memberikan
pengertian yang ekplisit tentang hadis s}ah}i>h}. Mereka pada umumnya memberikan
penjelasan tentang penerimaan berita yang bisa dipegangi. Dengan pernyataan-pernyataan seperti:
1. Tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, kecuali yang berasal dari
orang-orang thiqah.
2. Orang yang akan meriwayatkan hadis itu diperhatikan salatnya, perilaku dan
keadaan dirinya, apabila salatnya, perilakunya dan keadaannya tidak baik maka tidak diterima riwayat hadisnya.
3. Tidak diterima riwayat hadis tersebut ketika orang yang mkeriwayatkannya
tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis.
4. Tidak diterima periwayatan hadis dari orang-orang yang suka berdusta.
5. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya. 2
1
Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel , Studi Hadis, Cetakan ketiga (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), 155.
2
13
Pernyataan-pernyataan tersebut tertuju kepada pada kualitas dan kapasitas periwayat hadis. Baik yang boleh diterima maupun yang ditolak periwayatannya.
Berbagai peryataaan itu belum seluruhnya sebagai syarat ke-s}ah}i>h}-an hadis.3
Sedangkan definisi hadis s}ah}i>h} secara tegas baru dikemukakan oleh
kalangan ulama‟ al-mutaakhkhirin. Definisi yang mereka kemukakan
sesungguhnya tidak terlepas dari berbagai keterangan yang dikemukakan oleh
ulama al-mutaqaddimin.4
Kaidah ke-s}ah}i>h}-an sanad dan matan hadis diketahui dari pengertian
istilah hadis s}ah}i>h}.5 Menurut ulama‟ hadis, misalnya Mah}mu>d al T{ah}h}a>n hadis
s}ah}i>h} adalah:
بَ دنسَلصتاَام
َلقن
دعلا
عَطباضلاَل
نَ
نمَ اهتنمََإَهلثم
َ
َذوذشَْغ
َ لعَِو
َ.ة
Hadis s}ah}i>h} adalah hadis yang bersambung sanad-nya, diriwayatkan oleh
perawi yang „adil dan d}a>bit} sampai akhir sanad serta tidak terdapat
kejanggalan (syudhu>dh) dan cacat (’illat).6
Dari pengertian tersebut dapat diuraikan unsur-unsur ke-s}ah}i>h}-an hadis
s}ah}i>h} menjadi:
1. Sanadnya bersambung
2. Perawi bersifat ‘a>dil
3. Perawi bersifat d}a>bit}}
4. Dalam hadis itu tidak terdapat keganjalan (shudhu>dh)
3 Ibid. 4
Ibid., 128. 5
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 76.
6
14
5. Dalam hadis itu tidak terdapat cacat (’illat)
Ketiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedangkan dua unsur berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan. Dengan
demikian, unsur-unsur yang termasuk dalam persyaratan kaidan ke-s}ah}i>h}-an hadis
ada tujuh macam, yaitu lima macam yang berkaitan dengan sanad dan dua macam berkaitan dengan matan. Persyaratan umum itu dapat diberi istilah sebagai kaidah mayor sebab masing-masing unsur memiliki syarat-syarat khusus, sedangkan yang berkaitan dengan persyaratan khusus dapat diberi istilah sebagai kaidah
minor.7
Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad diatas sesungguhnya dapat “didapatkan” menjadi tiga unsur saja, yaitu unsur-unsur
terhindar dari shudhu>dh dan ’illa>t yang dimasukkan pada unsur pertama dan
ketiga. Pemadatan unsur-unsur itu tidak mengganggu substansi kaidah sebab hanya bersifat metodologi untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
unsur-unsur, khususnya dalam kaidah minor.8
1. Kriteria ke-s}ah}i>h}}-an sanad
Kaidah minor ke-s}ah}i>h}-an sanad sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung, yang dimaksud bersambung disini adalah.
دنسلاَرخآََإَاذك وَ,ةقيقحَهقوفَنمعَعمَدقَةاورلاَنمَوارلاَلكَنوكيَنا
9.
Hadis yang setiap perawi-perawi hingga akhir sanadnya mendengarkan hadis tersebut secara langsung dari syaikhnya.
7
Ismail, Hadis Nabi, 77.
8 Ibid.
9Muhammad bin „Alawi>al Māliki>
al Hasani>, al Qawāid al Asāsi> yah fi>‘Ilm Mus}t}alah} al Hadi>th,
15
Menurut M. Syuhudi Ismail, kriteria kriteria ini mengandung unsur-unsur minor yang merupakan turunan dari unsur mayor, yaitu:
1) Muttas}il (bersambung)
2) Marfu>’ (bersandar kepada Nabi Saw.)
3) Mahfu>z (terhindar dari shudhu>dh)
4) Bukan mu’all (bercacat) 10
Maksud dari bersambung adalah tiap tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya sampai akhir sanad dari hadis tersebut. jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam
sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharij, sampai pada
periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis dari Nabi secara
bersambung dalam periwayatan tersebut.11
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, ulama hadis menempuh beberapa langkah sebagai berikut: pertama, mencatat semua riwayat dalam sanad yang diteliti. Kedua, mempelajari sejarah
hidup masing-masing periwayat melalui kitab rija>l al-h}adith (kitab yang
membahas tentang sejarah hidup periwayat hadis) dengan tujuan untuk mengetahui apakah setiap periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat suatu zaman dan hubungan antara guru dan murid dalam periwayatan hadis. Ketiga, meneliti lafadz yang menghubungkan antara
periwayat dengan periwayat terdekatnya dalam sanad tersebut.12
10
Ismail, Hadis Nabi, 77. 11
Ismail, Kaidah Kesahihan, 131. 12
16
Terkait dengan persambungan sanad, kualitas periwayat terbagi
antara thiqah dan tidak thiqah. Dalam penyampaian riwayat, periwayat
yang thiqah mempunyai akurasi yang tinggi karena labih dapat dipercaya
riwayatnya. Sedangkan periwayat yang tidak thiqah, memerlukan
penelitian tentang ke-’a>dil-an dan ke-d}a>bit}-annya yang akurasinya
dibawah perawi yang thiqah.13
b. Periwayat bersifat ‘‘a>dil yaitu.
اعَاغلابَاملسمَهنوكبَفصتاَهتاورَنمَوارَلكَنأ
َ.ةءورماَمورخَْغَوَقسافَْغََق
14
َ
Setiap perawi dalam sanadnya adalah orang Islam, baligh, berakal, tidak fasiq, dan tidak melakukan hal-hal yang dapat menjatuhkan harga diri.
Mah}mu>d al-T}ah}h}an mendefinisakan perawi yang ‘a>dil adalah
setiap perawi yang muslim, mukallaf, berakal sehat, tidak fa>siq dan selalu
menjaga muru>’ah. Sifat ‘a>dil berkaitan dengan integritas seseorang yang
diukur menurut ajaran Islam.15
Persyaratan beragama Islam, berlaku dalam meriwayatkan hadis, sedangkan untuk menerima hadis tidak diisyaratkan beragama Islam. Jadi boleh saja perawi ketika menerima hadis belum beragama Islam, akan
tetapi ketika meriwayatkan hadis harus beragama Islam. 16
Mayoritas ulama hadis berpendapat bahwa seluruh sahabat dinilai
‘a>dil berdasarkan Al-Qur’a>n, hadis dan ijma>’. Namun, setelah dilihat lebih
13 Ibid. 14
T}ah}h}ān, Taysi>r Mus}t}alah}, 34.
15
Muhid, dkk, Metodologi Penelitian, 56.
16
17
seksama, ke-‘a>dil-an sahabat bersifat umum dan ada beberapa sahabat
yang tidak ‘a>dil. Jadi para sahabat dinilai ‘a>dil kecuali telah berperilaku
yang menyalahi ketentuan ke-‘a>dil-annya.17
Secara umum, ulama telah menetapkan cara menilai keadilan periwayat hadis berdasarkan sebagai berikut:
1) Popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadis,
periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya, seperti Malik ibn
Anas, Sufyan al-Sawri>.
2) Penilaian dari para kritikus periwayat hadis, penilaian ini berisi
pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis.
3) Penerapan kaidah al-jarh} wa al-ta’di>l, cara ini ditempuh bila para
kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.
Jadi penetapan ke-‘a>dil-an periwayat diperlukan kesaksian para
ulama, dalam hal ini ulama sebagai ahli kritik hadis. Khusus para sahabat
Nabi, hampir seluruh ulama menilai bahwasanya sahabat bersifat ‘a>dil.18
c. Periwayat bersifat d}a>bit}
.باتكَطبضَواَردصلاَطبضَامإَ,طبضلاََِناكَهتاورَنمَوارَلكَنأ
19Setiap perawi memiliki sifat d}a>bit}} yang sempurna, baik d}a>bit}}s}adri>
maupun d}a>bit}}kita>bi>.
17
Muhid, dkk, Metodologi Penelitian, 56.
18
Ismail, Kaidah Kesahihan, 139. 19
18
D}a>bit} s}adri> adalah perawi yang hafal benar dengan apa yang dia
dengar dan ia memungkinkan dengan apa yang ia dengar dan ia memungkinkan untuk mengutarakan hafalannya kapanpun ia berkehendak
mengutarakannya. Sedangkan d}a>bit} kita>bi> adalah perawi yang benar-benar
menjaga kitab yang ia tulis sejak mendengarnya dan memperbaikinya hingga ia menyampaian hadis yang ditulisnya serta tidak menyerahkan kepada orang-orang yang tidak bisa menjaganya dan dimungkinkan akan
merubah atau mengganti hadis yang ada di dalamnya.20
Kriteria periwayat yang bersifat d}a>bit} mengandung unsur-unsur
minor sebagai berikut:
1) Hafal dengan baik hadis yang diriwayatkannya
2) Mampu meriwayatkan hadis yang dihafalkannya kepada orang lain
dengan baik.
3) Terhindar dari shudhu>dh
4) Terhindar dari ‘illat. 21
Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa perawi yang
mukhta>lif al thiqah (menyalahi perawi yang lebih kuat), shadid al takhlit
(kacau hafalannya), mughaffal (mudah lalai), d}a‘i>f (lemah hafalannya),
dan s}a>h}ib al awha>m (perawi yang sering keliru) tidak termasuk pada
kriteria d}a>bit}. 22
20Muhammad bin Ibrāhi>m Khirāj al Salafi al Jazā’iri>
, Mengenal Kaidah Dasar Ilmu Hadis: Penjelasan al Manzūmah al Bayqūni>yah, )t.t: Maktabah al Ghuraba’, t.th(, 24.
21
Ismail, Hadis Nabi, 78. 22
19
Sebagai halnya perawi yang ‘a>dil, perawi yang d}a>bit} juga dapat
diketahui dari beberapa cara sebagai berikut:
1) Ke-d}a>bit}-an perawi dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama
2) Ke-d}a>bit}-an perawi dapat diketahui berdasarkan kesesuaian
riwayatya dengan riwayat yang disampaikan oleh perawi lain yang
telah dikenal ke-d}a>bit}-annya, baik kesesuainnya sampai pada
tingkat makna maupun tingkat harfiah.
3) Perawi yang kadang mengalami kekeliruan, tetapi dinyatakan
d}a>bit}, jika kesalahan itu tidak sering terjadi. namun jika sering
mengalami kekeliruan dalam meriwayatkan hadis, maka tidak
disebut d}a>bit}.
Dengan acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut, maka penelitian hadis dilaksanakan. Sepanjang seua unsur diterapkan secara benar dan cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat
akurasi yang tinggi.23
2. Kriteria Ke-s}ah}i>h}-an Matan
Ke-s}ah}i>h}-an hadis tidak menjamin Ke-s}ah}i>h}-an matannya, artinya bisa jadi
persyaratan otentisitas sebuah hadis sudah terpenuhi keseluruhannya, namun dari sisi analisis matannya dinilai ada kajanggalan. Dalam kaidah ilmu hadis
نت لل يص د سلل يص ز تس ِ
Sanad yang s}ah}i>h itu matannya tidak pasti } s}ah}i>h}
23
20
Sedemikian pula sebaliknya, kadang ditemukan hadis yang sanadnya
d}ai>f, namun sisi maknanya tidak bermasalah. 24 sebagaimana telah disebutkan
di atas, kaidah mayor untuk matan ada dua, yaitu :
a. terhindar dari shudhu>dh
Berdasarkan pendapat al Ima>m al Sha>fi’i> dan al Khafi>fi> dalam masalah
hadis yang terhindar dari shudhu>dh adalah:
1) sanad dari matan yang bersangkutan harus mah}fu>z} dan tidak ghari>b
2) Matan hadis bersangkutan tidak bertentangan atau tidak menyalahi
riwayat yang lebih kuat.
Penelitaian ini tidak dapat terlepaskan dari penelitian atas kualitas sanad hadis yang bersangkutan. Dengan demikian, langkah metodologis yang ditempuh untuk mengetahui apakah suatu matan hadis itu terdapat
shudhu>dh atau tidak adalah:
1) Melakukan penelitian terhadap kualitas sanad matan yang diduga
bermasalah.
2) Membandingkan redaksi matan yang bersangkutan dengan
matan-matan-matan lain yang memiliki tema sama, dan memiliki sanad yang berbeda.
3) Melakukan klarifikasi keselarasan antara redaksi matan-matan hadis
yang mengangkat tema sama.
Dengan langkah-langkah ini akan diperoleh kesimpulan mana
matan yang mahfu>dz}, dan matan yang janggal (shudhu>dh). Untuk
24
21
memenuhi kebutuhan tersebut harus dilakukan penggalian data dengan
menempuh langkah takhri>j bi al mawd}u>’. 25
b. terhindar dari ‘illat
Dalam hal ini matan yang terhindar dari ‘illat lebih ditekankan pada
kaidah minor. Adapun matan hadis yang terhindar dari ‘illat adalah:
1) Tidak terdapat ziya>dah (tambahan) dalam lafadz matan.
2) Tidak terdapat idra>j (sisipan) dalam lafadz matan.
3) Tidak terdapat iz}t}ira>b (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan)
dalam lafadz matan hadis.
4) Jika ziya>dah, idra>j dan iz}t}ira>b bertentangan dengan riwayat yang
thiqah lainnya, maka matan hadis tersebut sekaligus mengandung
shudhu>dh.
Langkah-langkah metodologis yang perlu ditempuh dalam melacak
dugaan ‘illat pada matan hadis adalah:
1) Melakukan takhri>j untuk matan yang bersangkutan guna mengetahui
seluruh jalur sanadnya.
2) Melanjutkan kegiatan I’tiba>r untuk mengkategorikan muttaba’ ta>m
atau qa>s}ir dan menghimpun matan yang bertema sama sekalipun
berujung pada akhir sanad (nama sahabat) yang berbeda (syahid)
3) Mencermati data serta mengukur perbedaan-perbedaan atau kedekatan
pada nisbat ungkapan narasumber, pada s}i>ghat al tah}di>th, dan pada
25
22
susunnan matannya, kemudian menentukan sejauh mana unsur perbedaan yang teridentifikasi.
Selanjutnya akan diperoleh kesimpulan apakah kadar
penyimpangan dalam penuturan riwayat matan hadis masih dalam batas toleransi atau sudah pada taraf merusak dan memanipulasi pemberitaan
suatau matan hadis tersebut.26
Selain di atas, khusus untuk penelitian matan, disamping
menggunakan pendekatan kaidah shudhu>dh dan ‘illat, para ulama’ juga
merumuskan acuan standart yang lain untuk menilai keabsahan matan
hadis. Secara umum matan hadis bisa dikatakan s}ah}i>h} dengna
menggunakan tolak ukur sebagai berikut:
1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’a>n.
2) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.
3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.
4) Susunan bahasanya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. 27
Al-Khat}ib al Baghda>di> memberikan beberapa kriteria sebagai tolak ukur
matan hadis yang berstatus s}ah}i>h} diantaranya:
1) Tidak bertentangan dengan akal sehat.
2) Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’a>n.
3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawa>tir.
4) Tidak bertentangna dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan.
5) Tidak bertentangna dengan dalil yang pasti.
26
Ibid., 167-168. 27
23
6) Tidak bertentangan dengan hadis ah}ad yang lebih kuat. 28
Ibn al jawzi> secara singkat memberikan tolak ukur ke-s}ah}i>h}-an
matan dengan ketentuan bahwa setiap hadis yang bertentangan dengan akal ataupun yang berlawanan dengan pokok agama, hadis tersebut
tergolong dengan hadis mawd}u>’, karena Nabi Muhammad tidak mungkin
menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan kala sehat. Demikian pula hadis yang menyangkut dengan persoalan agama baik yang menyangkut
akidah maupun ibadah. 29 langkah-langkah yang ditempuh dalam kritik
matan adalah sebagai berikut:
1) Proses kebahasaan
Merupakan kritik teks yang mencermati keaslian dan kebenaran
teks, yang berupa qauli> dan fi’li>. Bentuk adanya perbedaan struktur
matan hadis dapat digambarkan melalui ziya>dah (tambahan lafad} atau
kalimat oleh periwayat tertentu, sedang periwayat yang lain tidak),
idra>j (memasukkan suatu pernyataan dari riwayat kedalam matan
hadis yang diriwayatkan, sehingga mengesankan pernyataan itu
sebagai pernyataan Nabi Muhammad dan tidak ada penjelasan), tas}h}i>f
(perubahan bentuk kata), tah}ri>f (pergeseran cara baca hadis), taqli>b
atau maqlu>b (perpindahan tata letak kata atau kalimat), id}t}ira>b atau
mud}t}ar>ri>b (kacau, hadis diriwayatkan dengan tema tertentu dari
berbagai jalur sanad melalui satu sahabat), ‘illal al h}adi>th (fakta
28
Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Yokyakarta, TH-Press, 2009), 116.
29
24
penyebab yang tersembunyi keberadaannya dan tidak transparan). 30
temuan hasil analisisnya bisa berupa gejala maud}u’, mud}t}ari>b,
mudraj, maqlu>b, mus}ah}h}af/muh}arraf, ziya>dat al-thiqqah dan
sebagainya.
2) Analisis terhadap isi kandungan makna pada matan hadis
Langkah analisis terhadap isi kandungan makna pada matan hadis ini berorientasi langsung pada aplikasi ajaran hadis berstatus
layak diamalkan, harus dikesampingkan atau ditangguhkan
pemanfaatannya sebagai h}ujjah shar’iyyah. Hasil analisisnya bisa
berupa gejala munkar, shad}, mukhtalif atau ta’arud}. 31
Untuk memperkaya hazanah penelitian matan, perlu adanya upaya kontekstualisasi penelitian matan dengan melibatkan keilmuan lain seperti sosiologi, antropologi, psikologi, pendidikan dan keilmuan lainnya untuk menjadikan penelitian hadis semakin berkembang dan
tidak hanya berhenti pada dimensi h}ad}a>rah al nas}s} saja. 32 dengan
demikian, perlu dipertimbangkan untuk menggunakan keilmuan lain dalam analisa matan, agar bisa difahami dengan baik agar sesuai dengan konteks kekinian.
3) Penelusuran ulang nisbah, pemberitaan dalam matan hadis kepada
narasumber. 33
30
Suryadi, Metodologi Penelitian, 149-150. 31
Hasim Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha (Yokyakarta: Teras, 2004), 16. 32
Suryadi, Metodologi Penelitian…, 16.
33
25
Langkah ini terkait dengan potensi keh}ujjahan hadis dalam
upaya merumuskan norma syari’ah. Perlunya dikembangkan uji
nisbah kandungan makna yang termuat dalam matan hadis adalah untuk mengetahui apakah matan hadis yang diteliti benar-benar peran aktif Nabi Muhammad sebagai sumber hadis atau hadis tersebut hanya sebatas praktik keagamaan yang dilakukan oleh sahabat, tabi’in atau
semata-mata hanya sebatas pendapat pribadi saja. Hasil analisis dri
langkah ini akan mengantarkan peneliti pada berstatus marfu>’,
mawqu>f, atau maqtu>’. 34
B. Teori Jarh}wa al ta’di>l
Adalah suatu kewajaran bila dalam menyampaikan atau mentranmisikan suatu perkataan terjadi kesalahan karena hal itu sangatlah manusiawi. Hal ini terjadi juga dalam hadis, namun jika kesalahan itu terjadi berulang kali dilakukan, maka akan berdampak pada panilian bagi perawi itu sendiri berupa predikat jelek bagi periwayat itu sendiri, para ulama berusaha menjaga keotentikan suatu hadis dengan berbagai cara seperti penelitian matan, sanad dengan meneliti sifat-sifat perowi, sehingga dapat dibedakan antara perawi yang kurang kredibel dengan yang mempunyai kredibilitas yang tinggi. Karena hal ini sangat dibutuhkan untuk menjaga hadis Nabi dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggung jawab.
Penelitian hadis sebenarnya telah dilakukan pada masa Nabi, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Abu Bakar dalam masalah pembagian hak waris bagi
nenek (ja>ddah), Abu Bakar meminta saksi sebagai langkakh antisipasi. Para
34
26
ulama sepakat menganggap adil seluruh sahabat karena tidak akan berkata dusta yang dinisbatkan kepada Nabi, hal ini tentu berbeda dengan generasi setelahnya, banyak fitnah terjadi dan memunculkan hadis-hadis palsu dengan tujuan untuk kepentingan masing-masing. Sehingga akan sangat beresiko ketika setiap hadis langsung diterima tanpa adanya penelitian terlebih dahulu. Salah satu penelitian
dalam menjaga keaslian hadis adalah dengan meneliti ihwa>l tentang perawi hadis.
Dalam hal ini dalam keilmuan hadis lazim disebut ilmu Jarh}wa al ta’di>l.35 yaitu
ilmu yang membicarakan masalah keadaan perawi, baik dengan mengungkapkan sifat-sifat yang menunjukkan kecacatannya yang bermuara pada penerimaan atau
penolakan terhadap riwayat yang disampaikan. 36
Syarat-syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai ja>rih} dan
Mu’addil sebagai berikut:
1. Sikap yang berkenaan dengan sikap pribadi, yakni: bersifat adil (bersdasar
ilmu hadis), tidak bersikap fanatic terhadap aliran atau madzhab yang dianutnya, tidak bersikap bermusuhan dengan perawi yang dinilainya, termasuk terhadap perawi yang berbeda aliran dengannya.
2. Syarat yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan yang harus dikuasi
oleh seorang jari>h} dan mu’addil adalah ajaran Islam, bahas arab, hadis dan
ilmu hadis, pribadi perawi yang di kritik, adat istiadat yang berlaku, dan
35Muhammad ‘Ajjaj al
-Kha>tib, Usūl al Ha>dis ‘Ulūmuhu wa mustala>hu (Beirut: Da>r al Fikr, t.th.), 261.
36
27
sebab-sebab yang melatarbelakangi sifat-sifat utama yang tercela yang
dimiliki oleh perawi.37
Macam-macam ulama ketika mengkritik antara lain:
1. Mutasyaddid (ketat) seperti al Nasa>’i>, Ali bin Abd al Lah bin Ja’far al Sa’di> al
Madini> (Ibn al Madini>). mereka dikenal sebagai mutasyaddid dalam menilai
ke-s}ah}ih}-an hadis.
2. Mutawassit (moderat) seperti al Dhahabi>. Ia dikenal sebagai ulama yang
mutawassit dalam menilai perawi dan kualitas hadis.
3. Mutasahhil (longgar) seperti al H}a>kim al Naysa>buri>, Jala>l al Di>n al Suyu>t}i>.
mereka dikenal sebagai mutasahhil dalam menilai ke-s}ah}i>h}-an hadis.
Sedangkan, Ibn al-jawzi> dikenal ulama yang mutasahhil dalam menilai
ke-d}a‘i>f-an hadis. 38
Dalam penelitian, jika para kritikus sepakat dengan kritikan terhadap seorang perawi, maka kualitas perawi jelas. Tetapi, jika para kritikus tidak sepakat
dengan kritikan perawi tertentu. Maka sebaiknya menggunakan teori al-jarh} yang
kontra dengan ta`di>l, sebagai berikut:
1. Al-Ta`di>l didahulukan atas al-jarh} ( لل ى ع دقن ديتلل( Teori ini digunakan
ketika seorang perawi dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela
oleh kritikus lain. Maka yang didahulukan adalah Al-Ta`di>l-nya.
2. Al-jarh} didahulukan daripada al-ta`di>l ( ديتلل ى ع دقن لل) Bila seseorang
kritikus menilai tercela dan dinilai terpuji oleh kritikus lain. Maka yang
didahulukan adalah al-jarh}.
37
Syuhudi ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), 74. 38
28
3. Apabila al-jarh} bertentangan dengan Al-Ta`di>l, maka ta`di>l-nya harus
didahulukan kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan
terhadap sebab-sebabnya. ( لل ت ث ل ل ِل لدي ل يل ف لدي للق س لل س يت ل ل
سف لل)
4. Apabila kritikus pen-jarh} tergolong d}a`i>f maka kritikan terhadap orang yang
thiqah tidak diterima. ( قث ل ح ج ق اف فييض س لل ن ك ل ل )
5. Al-jarh} tidak diterima kecuali setelah ditetapkan adanya kekhawatiran
terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya. ( دي ِل لل ق ِ
نيحق لل شأل يشخ ت ثتلل )
6. Al-jarh} yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam
masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan ( ِ ي د قلدع نع ئش لل لل
دتي ) 39
C. Kaidah Keh}ujjahan Hadis
Hadis merupakan bagian wahyu, oleh sebab itu layak dijadikan sumber
hukum.40 Ulama bersepakat bahwa hadis yang dapat dijadikan h}ujjah adalah hadis
yang maqbu>l, sedangkan hadis yang tidak dapat dijadikan h}ujjah adalah hadis
yang mardu>d.
1. Hadis Maqbu>l
Menurut Al-Baqi>‟ dan Jala>l al-di>n al-Suyu>t{}i>, kriteria hadis maqbu>l adalah:41
a. Perawinya adil
b. perawinya d{a>bit{ sekalipun tidak sempurna
39
Ibid., 77-80. 40
Tim Penyusun, StudiHadis…, 47. 41
29
c. Sanadnya bersambung
d. Susunan bahasanya tidak rancu
e. Tidak terdapat ‘illat yang merusak
f. Mempunyai mata rantai utuh
Berikut pembagian hadis yang tergolong maqbu>l:
a. Hadis s}ah}i>h} lidha>tihi, yaitu hadis yang telah memenuhi syarat-syarat
hadis maqbu>l secara sempurna. 42
b. Hadis s}ah}i>h}lighairihi, yaitu hadis yang tidak memenuhi sifat-sifat hadis
maqbu>l secara sempurna, karena ia sebenarnya bukan hadis s}ah}i>h} namun
naik derajatnya lantaran ada faktor pendukung yang data menutupi
kekurangan yang ada. 43
c. Hadis h}asan lidha>tihi, yaitu hadis yang sanadnya bersambung dengan
para perawi-perawi yang adil dan daya ingatannya kurang sempurna mulai dari awal sanad sampai akhir sanad tanpa ada kejanggalan
(shudhu>dh( dan cacat )‘illat) yang merusak. 44
d. Hadis h}asan lighairihi, yaitu hadis d{a’i>f yang mempunyai banyak perawi
yang meriwayatkannya dan sebab ke-d{a’i>f-annya tidak disebabkan
perawi atau orang yang tertuduh kuat senang berbohong. 45
Adapun hadis maqbu>l dibagi menjadi dua yakni ma’mu>l bih (diterima dan
dapat diamalkan ajarannya) dan ghairu ma’mu>l bih (diterima dan tidak dapat
diamalkan ajarannya). Yang termasuk ma’mu>l bih adalah:
42
Ibid., 113. 43
Ibid., 114. 44
Ibid., 120. 45
30
a. Hadis muh}kam (tidak ada perselisihan dengan lainnya )
b. Mukhtala>f mumkin al-taufi>q (yang berselisih dengan lainnya namun bisa
dipadukan)
c. Ra>jih (yang menang atas hadist lainnya) dan nasikh (yang menghapus
hadis lainnya).
Sedangkan yang ghoiru ma’mu>l bih dapat dibagi menjadi:
a. Mukhtala>f la yumkin al-taufi>q (berselisih dan tidak mungkin dipadukan).
b. Marju>h} ( dikalahkan ) dan mansukh ( terhapus ).
Men-tarji>h suatu hadist bisa dilihat dari berbagai segi, seperti dari
pertimbangan sanad, matan, saksi dll. Sedang untuk mengetahui nasakh
(penghapusan ) biasanya melalui:
a. Keterangan Nabi sendiri
b. Ucapan sahabat
c. Memahami sejarah hadis dan
d. dengan ijma>’ ( kesepakatan para sahabat ).
2. Hadis mardu>d
Dalam menentukan hadis yang mardu>d, ulama mengelompokkannya menjadi
dua yaitu hadis d{a’i>f dan hadis mawd}u>’. Adapun faktor penyebab hadis d{a’i>f
tertolak adalah:
a. Dari sisi sanad mata rantainya tidak bersambung sebab ditemukan adanya
seorang perawi atau lebih yang hilang atau tidak bertemu satu sama lain. Disini dikeompokkan menjadi tiga macam, diantaranya:
31
2) Jika yang gugur sanad terakhir (sahabat) disebut hadis mursal.
3) Jika yang gugur dua atau lebih dan tidak berturut-turut disebut hadis
munqat}i>’.46
b. Karena ada cacat pada perawinya, baik dalam keadilan maupun
hafalannya. Cacat tersebut meliputi:
1) Perawi seorang pendusta, hadisnya disebut hadis mawd{u>’.
2) Perawi tertuduh dusta, hadisnya disebut matruk.
3) Perawi seorang yang fasik, hadisnya disebut munkar.
4) Perawi banyak salahnya, hadisnya disebut munkar.
5) Perawi lupa hafalannya, hadisnya disebut munkar.
6) Perawi banyak prasangka, hadisnya disebut muallal.
7) Perawi menyalahi orang yang terpercaya, hadisnya meliputi mudraj,
maqlub, tharib, mushahhaf dan muharrif.
8) Perawi tidak diketahui identitas periwayatnya, yang meliputi majhul
dan mubham.
9) Perawi penganut bid’ah, hadisnya disebut hadis mardu>d.
10)Perawi buruk hafalannya, hadisnya disebut hadis mukhtalith.
D. Kaidah Pemaknaan Hadis
Yusu>f al Qarad{a>wi> menetapkan beberapa acuan untuk memahami sunnah
dengan baik, yaitu:
46
32
1. Memahami sunnah berdasarkan petunjuk al-Qur’a>n. Hal ini dilakukan agar
pemahaman terhadap hadis terhindar dari penyimpangan, pemalsuan, serta
takwil yang buruk. 47
2. Menghimpun hadis yang topik pembahasannya sama. Hal ini dilakukan agar
hal-hal yang syubhat dapat dijelaskan dengan hal-hal yang muh}kam, hal-hal
yang mutlak dapat dibatasi dengan hal yang muqayyad (terikat), dan hal-hal
yang bermakna umum dapat ditafsirkan dengan hal-hal yang bermakna khusus sehingga makna yang dimaksud oleh subjek tersebut menjadi jelas
dan tidak bertentangan.48
3. Mengkompromikan atau tarji>h} terhadap hadis-hadis yang kontradiktif, karena
nash syariat tidak mungkin bertentangan. Pertentangan mungkin terjadi
namun bukan secara hakiki, namun secara lahiriyah. Dengan solusi al-jam’u
(penggabungan dan pengkompromian), tarji>h dan al-Na>sikh wa al mansu>kh
jika metode al-jam’u tidak dapat ditempuh. 49
4. Memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi serta
tujuannya.
5. Membedakan antara sarana yang
6. berubah-ubah dan tujuan yang tetap.
7. Membedakan antara ungkapan h}aqi>qah dan maja>zi dalam memahami sunnah.
8. Membedakan antara yang gaib dan yang nyata.
47
Yusūf al Qarad}a>wi>, Studi Kritis al Sunnah, terj. Bahrun Abubar (Bandung: Trigenda Karya, t.th.), 96.
48
Ibid., 114. 49
33
9. Memastikan makna kata-kata dalam hadis. 50
Muhammad Zuhri memberikan beberapa tawaran dalam upaya memahami hadis. Berbagai pendekatan yang ditawarkan antara lain:
1. Pendekatan kebahasaan
Yang termasuk dalam kaidah ini adalah ‘am dan khas}, mut
}
laq dan muqayyad,‘amr dan nahi dan sebagainya.kaidah kebahasaan lain yang tidak boleh
diabaikakn juga adalah ilmu balaghah, seperti tashbi>h dan maja>z. Rasulullah
sebagai tokoh penting berbahasa Arab, dikenal fasih dalam berbahasa, oleh karena itu sangat banyak bahasa kiasan yang digunakan dalam menjelaskan
agama. 51
2. Menghadapkan hadis yang sedang dikaji dengan ayat-ayat al-Qur’a>n atau
dengan hadis yang membahas hadis yang sama. Hal ini perlu dilakukan karena mustahil jika Rasulullah mengambil suatu kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan Allah, dan mustahil juga jika Rasulullah tidak
konsisten, sehingga kebijakan saling bertentangan dengan satu sama lain. 52
3. Agar bahasa hadis sebagai produk lima belas abad yang lalu dapat difahami
dengan baik oleh generassi saat ini, maka diperlukan pengetahuan tentang
setting sosial saat itu, dengan ilmu asba>b al wuru>d (sebab-sebab yang
melatarbelakangi munculnya hadis) Sebenarnya, asba>b al wuru>d tidak ada
pengaruhnya secara langsung terhadap kualitas suatu hadis. Namun, dengan
50
Ibid., 218. 51
Muhammad Zuhri, Telaah Matan Hadis: Sebuah tawaran metodologis (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 86.
52
34
mengetahui asba>b al wuru>d dapat mempermudah dalam memahami
kandungan hadis. 53
4. Pendekatan dengan berbagai disiplin keilmuan, baik pengetahuan sosial
maupun pengetahuan alam. Berbagai disiplin keilmuan tersebut dapat
membantu memahami teks hadis dan ayat al-Qur’a>n yang kebetulan
menyinggung ilmu tersebut. Mengingat al-Qur’a>n dan hadis juga banyak
yang menyinggung ilmu pengetahuan.54
53
Bustamin dan M. Isa H. A., Metodologi Kritik, 85. 54
BAB III
IMAM AL-TIRMIDHI
<
DAN HADIS TENTANG
ILTIFA
<<
T
A. Biografi Imam al-Tirmidhi<
Nama lengkap Al-Tirmidhi< adalah Abu> Isa Muhammad bin Isa bin Tsurah
bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulamy Ad-Daris Al-Biqhi Al-Tirmidhi<Ad-Dariri.
Imam ahli hadis ini dilahirkan pada tahun 209 H. (824 M.) di sebuah daerah bernama Tirmidz. Dan nama beliau tersebut dinisbatkan kepada sebuah sungai
yang ada di daerah tersebut yang sering dikenal dengan nama Jaihun.1
Beliau tumbuh di daerah Tirmidz, belajar ilmu di daerah ini sebelum memulai rihlah ilmiah beliau. Dan beliau pernah menceritakan bahwa kakeknya adalah orang marwa, kemudian berpindah dari Marwa menuju ke tirmidz, dengan ini menunjukkan bahwa beliau lahir di Tirmidz.
Imam al-Tirmidhi< merupakan figur yang cerdas, tangkas, cepat hafal,
zuhud, juga wara′. Sebagai bukti kerendahan pribadi, beliau senantiasa
mencucurkan air mata, sehingga kedua bola matanya memutih, dan kemudian menimbulkan dampak kebutaan pada masa tuanya. Dengan adanya musibah
kebutaan inilah beliau juga disebut al-Dharir (yang buta). Para ulama berbeda
pendapat akan kebutaan yang beliau alami pada waktu itu. Ada yang mengatakan bahwa beliau mengalami kebutaan sejak beliau lahir. Akan tetapi yang benar adalah beliau mengalami kebutaan pada masa tua beliau, yaitu masa setelah beliau banyak melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu.
1
36
Sejak kecil beliau sudah senang mempelajari ilmu hadis dan fiqih, beliau menimba ilmu di berbagai wilayah yang meliputi Khurasan, Iraq, dan Hijaz serta
lainnya untuk mencari hadis dengan menemui guru-guru ilmu Hadis.2 Pada ketiga
wilayah itulah Al-Tirmidhi< berguru hadis pada Qutaibah bin Sa‘i<d Al-Saqofi<,
Ibra>hi<m ibn ‘Abdulla>h ibn H{atim Al-H> {a>rawi<, ‘Abdulla>h ibn Mu’awiyah
Al-Jumah}i<, ‘Ali< ibn Hajr Al-Marwazi<, Suwaid ibn Nashr ibn Suwaid Al-Marwazi<,
Abu> Mus’ab Ahmad bin Abi Bakar Al-Zuhri< Al-Madani<, Muhammad bin Abdul
Malik ibn Abi Al-Syawarib, dan lain sebagainya.
Hadis-hadis dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama yang mayoritas mereka adalah murid-muridnya. Diantaranya adalah:
Makhul bin Fadl, Muhammad bin Mah}mud ‘Anbar, H{ammad bin Syakir, Ali bin
Muhammad al-Nasfiyyu>n, al H{aisam bin Kulaib al-Syasyi, Ah}mad bin Yusuf
al-Nasa’i<, Abu>l ‘Abbas Muhammad bin Mah}bub al Mah}bu>bi<. Mereka meriwayatkan
kitab Ja>mi’nya dan kitab-kitab yang lain.3
B. Kitab Sunan Al-Tirmidhi<
Judul lengkap kitab al–Ja>mi<’ adalah al-Jami> <’ al–Mukhtas}a>r min al–Sunan
‘an Rasulillah S{allallahu ‘alahi wa Sallam wa Ma’rifa>t al-S}ah}i<h} wa al-Ma’lu>l wa
Ma’ ‘alaihi al-‘Amal.4 Meski demikian kitab ini lebih popular dengan nama al– Ja>mi<’ al–Tirmidhi<atau Sunan al–Tirmidhi<. Untuk kedua penamaan ini tampaknya tidak dipermasalahkan oleh ulama. Adapun yang menjadi pokok perselisihan
2 Muhammad Abu Syu’bah,
Kitab Hadis Shahih yang Enam, Cet II (Bogor:Litera Antar Nusa, 1991), 83
3
Zeid B. Smeera, Ulumul Hadits Pengantar Studi Hadits Praktis (Malang: UIN Malang Press, 2008) , 113
4
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam: Kajian Lintas Aliran
37
adalah ketika kata-kata s}ah}i<h} melekat dengan nama kitab. Al-H}a>kim (w. 405 H)
dan al-Kha>tib al-Baghdadi< (w. 483 H) tidak keberatan menyebut dengan S}ah}i<h} al–
Tirmidhi<atau al–Ja>mi’ al–Tirmidhi<.
Berbeda dengan Ibn Katsir (w. 774 H) yang menyatakan pemberian nama
itu tidak tepat dan terlalu gegabah, sebab di dalam kitab al–Ja>mi’ al–Tirmidhi<
tidak hanya memuat hadis s}ah}i<h} saja, akan tetapi memuat pula hadis-hadis h}asan,
dha’if dan munkar, meskipun al-Tirmidhi< selalu menerangkan kelemahannya, ke-mu’alal-annya dengan ke-munkar-annya.
Kitab al–Ja>mi’ ini memuat berbagai permasalahan pokok agama, di
antaranya yaitu; al–aqa>‘id (tentang tauhid), al–ah}ka>m (tentang hukum), al–riqa>q
(tentang budi luhur), adab (tentang etika), al–tafsi<r (tentang tafsir al-Qur’an(, al–
tari<kh wa al–siya>r (tentang sejarah dan sejarah jihad Nabi SAW.), al–syama’il
)tabi’t(, al–fitan (tentang terjadinya fitnah dan malapetaka), dan al–mana>qib wa
al–masa>lib )tentang biografi sahabat dan tabi’in(.5 Oleh sebab itu kitab hadis ini
disebut dengan al–Ja>mi’.
Secara keseluruhan, kitab al–Ja>mi’ atau Sunan al–Tirmidhi< ini terdiri dari
5 juz, 2375 bab dan 3956 hadis. Menurut al-Tirmidhi<, isi hadis-hadis dalam al–
Ja>mi’, telah diamalkan ulama’ Hijaz, Iraq, Khurasan dan daerah lain )dalam kitab
Tari<kh-nya, Ibnu Katsi<r meriwayatkan dari al-Tirmidhi<, dia berkata: “Aku telah
menyusun kitab Musnad yang s}ah}i<h} ini dan telah aku tunjukkan kepada para
ulama Hijaz, Iraq, Khurasan dan mereka menyenanginya. Barangsiapa di rumahnya terdapat kitab ini, maka seakan-akan di rumahnya ada seorang Nabi
5
Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidhi,Peranannya dalam Pengembangan Hadis dan Fiqih.
38
yang bersabda)6, kecuali dua hadis (yang telah dibahas dimuka). Hadis ini
diperselisihkan ulama baik segi sanad maupun dari segi matan, sehingga sebagian ulama ada yang menerima dan ada yang menolak dengan alasan-alasan yang berdasarkan naql maupun akal.
Kitab al–Ja>mi’ ini disusun berdasarkan urutan bab fiqih, dari bab t}ahara>h
seterusnya sampai dengan bab akhla>q, do’a, tafsi<r, fadha>’il dan lain-lain. Dengan
kata lain al-Tirmidhi< dalam menulis hadis dengan mengklasifikasi sistematikanya
dengan model juz, kitab, bab dan sub bab. Kitab ini di tahqi<q dan dita’li<q oleh tiga
ulama kenamaan pada generasi sekarang (modern), yakni Ahmad Muhammad
Syakir )sebagai Qadhi Syar’i(, Muhammad Fu’ad Abdul Baqi<’ )sebagai penulis
dan pengarang terkenal(, dan Ibrahim ‘Adwah ‘Aud )sebagai dosen pada
Universitas al-Azhar Kairo Mesir).
Secara rinci sistematika kitab al–Ja>mi’ akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Juz I terdiri dari 2 kitab, tentang T{aharah dan S{alat yang meliputi 184 bab
237 hadis.
2. Juz II terdiri dari kitab Witir, Jumu’ah, Idayn dan Safar, meliputi 260 bab dan
355 hadis.
3. Juz III terdiri dari kitab Zakat, S{iyam, H{aji, Jana>zah, Nika>h, Rada’, Thalaq
dan Li’an, Buyu’ dan al–Ahka>m, meliputi 516 bab dan 781 hadis.
4. Juz IV terdiri dari kitab Diyat, Hudud, Sa‘i<d, Dzaba’ih, Ahkam dan Sa‘i<d,
Dahi, Siyar, Fadhilah Jihad, Libas, Ath’imah, Asyribah, Birr wa Shilah, al–
Thibb, Fara>’id, Washaya, Wali dan Hibbah, Fitan, al–Ra’yu, Shahadah,
6
39
Zuhud, Qiya>mah, Raqa’iq dan Wara’, Jannah dan Jahannam, meliputi 734
bab dan 997 hadis.
5. Juz V terdiri dari 10 pembahasan, tentang Iman, ‘Ilm, Isti’dzan, Adab, al–
Nisa’, Fadha’il al–Qur’a>n, Qira’ah, Tafsir al–Qur’a>n, Da’awat, Mana>qib,
yang meliputi 474 bab dan 773 hadis, di tambah tentang pembahasan ‘Ilal.
Terlepas dari kebesaran dan kontribusi yang telah diberikan oleh
al-Tirmidhi< melalui kitabnya, tetap muncul berbagai pandangan kontroversial antara
yang memuji dan mengkritik karya tersebut. Di antaranya adalah al-H{afiz
al-‘Alim al-Idri<s, yang menyatakan bahwa al-Tirmidhi< adalah seorang dari para
Imam yang memberikan tuntunan kepada mereka dalam ilmu hadis, mengarang
al–Ja>mi’, Tarikh, ‘Ilal, sebagai seorang penulis yang ‘alim yang meyakinkan, ia
seorang contoh dalam hafalan.7
Lain halnya dengan al-Hafiz Ibn Asihr (w. 524 H), yang menyatakan
bahwa kitab al-Tirmidhi< adalah kitab s}ah}i<h}, juga sebaik-baiknya kitab, banyak
kegunaannya, baik sistematika penyajiannya dan sedikit sekali hadis-hadis yang terulang. Di dalamnya juga dijelaskan pula hadis-hadis yang menjadi amalan suatu mazhab disertai argumentasinya. Di samping itu al-Timidzi juga
menjelaskan kualitas hadis, yaitu s}ah}i<h}, saqim dan gharib. Dalam kitab tersebut
juga dikemukakan kelemahan dan keutamaan (al–Jarh} wa al–Ta’di<l) para perawi
hadis. Ilmu tersebut sangat berguna untuk mengetahui keadaan perawi hadis yang menetukan apakah dia diterima atau ditolak.
7
40
Sementara Abu> Isma’il al-H{arawi (w. 581 H) berpendapat, bahwa kitab
al–Tirmidhi< lebih banyak memberikan faedah dari pada kitab S}ah}i<h} Bukha>ri dan
S}ah}i<h} Muslim< , sebab hadis yang termuat dalam kitab al–Ja>mi’ al–Tirmidhi&