BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan suatu yang integral dengan masyarakat. Hal ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Sebagai kreasi manusia yang diangkat dari realitas kehidupan, sastra juga mampu menjadi wakil dari zamannya. Dengan demikian, sastra pada dasarnya merupakan kegiatan kebudayaan maupun peradaban dari setiap situasi, masa ataupun zaman saat sastra itu dihasilkan.
Sebagai bagian dari ilmu sastra, sastra lisan merupakan sarana untuk menyampaikan ajaran, nilai dan norma-norma kehidupan yang perlu dipatuhi oleh anggota masyarakat. Melalui sastra lisan diajarkan cara bersikap, bertutur kata dan bertindak. Sinar keberadaan sastra lisan tampaknya sudah mulai redup. Hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat, oleh karena kematian penutur sastra lisan, dan tidak adanya pewaris sastra lisan yang menyampaikan pada generasi muda yang umumnya bersikap kurang memperhatikan sastra lisan daerah.
tradisioanal ini muncul dalam pembicaraan sehari-hari, upacara adat, acara keramaian, dan lain-lain. Kelompok kata atau kalimat dalam ungkapan tradisioanal memiliki struktur susunan yang tetap serta merupakan kiasan terhadap maksud tertentu. Kalimat dalam ungkapan tradisioanal biasanya mengesankan, dengan arti yang luas dan isi yang bijak. Dalam ungkapan tradisional, tersirat unsur sistem budaya masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma, petunjuk dan aturan yang menjadi acuan bagi anggota masyarakat. (Hasan, 2008)
mudah dilupakan dan hilang. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban generasi muda untuk mempertahankan sastra lisan seperti ungkapan tradisional. Mempertahankan sastra lisan seperti ungkapan tradisional dapat dilakukan dengan mengadakan penelitian tentang ungkapan tradisional Bima yang ada di masyarakat.
Hadirnya agama islam dalam kerajaan Bima membuat tatanan nilai-nilai budaya dan adat terpengaruh serta mengubah nilai-nilai yang telah ada sebelumnya, maka penelitian ini mengaitkan antara ungkapan tradisional Bima dengan ayat Alquran, yang merupakan pedoman atau kitab suci agama islam. Urgensi dari kajian ini karena kehadiran islam semakin memperkuat dan memperkaya adat Bima yang menjadi dasar pandangan hidup masyarakat. Sikap hidup yang diwarnai oleh adat yang disaring dan diperkaya oleh ajaran islam merupakan sikap dan kepribadian yang tinggi (Wahid, 2006:11-12). Sehingga tidak heran ketika ditemukan kesamaan antara makna ungkapan tradisional Bima dengan amanat ayat Alquran. Oleh sebab itu, harus dilakukan penelitian lebih lanjut tentang relevansi di antara keduanya.
Penelitian ini menggunakan metode kulitatif karena memberikan perhatian terhadap data alamiah, atau dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Dalam ilmu sastra sumber datanya karya, naskah, data penelitiannya, sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat atau wacana. (Ratna, 2005:47)
Penelitian ini dilakukan dengan telaah pustaka. Data ungkapan tradisional Bima diambil dari hasil penelitian sebelumnya dan dilanjutkan dengan menganalisis makna denotatif dan makna konotatifnya. Ungkapan tradisional Bima yang diambil hanya sebagian yang merupakan representasi dari keseluruhan data. Setelah mendapatkan maknanya, analisis lanjutannya dengan membahas relevansi dari ungkapan tradisional Bima dengan ayat Alquran.
Relevansi keduanya didapatkan dengan mengkaji makna konotatif ungkapan Tradisional Bima dengan amanah ayat Alquran. Amanah ayat Alquran didapatkan dari pengkajian ulama melalui ilmu tafsir karena tafsir ialah ilmu untuk memahami kitab Allah swt, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya. (Imam Az Zarkasyi)
lain), menafsirkan Alquran dengan Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. (Hamidi, 2010)
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang menjadi objek penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah makna denotatif ungkapan tradisional Bima?
b. Bagaimanakah makna konotatif ungkapan tradisional Bima?
c. Bagaimanakah relevansi makna konotatif ungkapan tradisional Bima terhadap ayat Alquran?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusun masalah di atas, dapat dirumuskan tujuan penulisan sebagai berikut:
a. Menganalisis makna denotatif ungkapan tradisional Bima
b. Menganalisis makna konotatif ungkapan tradisional Bima
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Mengapreasiasi karya sastra serta mempelajari banyak hal tentang teori sastra.
b. Diharapkan dapat menganalisis makna ungkapan tradisional Bima. Baik makna denotatif, maupun makna konotatif.
c. Diharapkan dapat menganalisis relevansi dari ungkapan tradisional Bima terhadap ayat Alquran.
d. Diharapkan dapat menjadi inspirasi lahirnya penelitian selanjutnya tentang ungkapan tradisional Bima dan relevansinya dengan disiplin ilmu lain.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang sastra lisan Bima sudah pernah dilakukan sebelumnya yang mencakup berbagai bidang sastra lisan Bima. Di antaranya adalah yang dilakukan oleh Sri Haryanti (2004) yang membahas tentang, ”Nilai Pendidikan dalam Sya’ir Kerajaan Bima.” Dalam penelitian tersebut dianalisis unsur intrinsik dari sya’ir-sya’ir kerajaan Bima yang dilanjutkan dengan menganalisis nilai pendidikan yang terkandung di dalam sya’ir-sya’ir tersebut. Di bidang takhayul pernah dilakukan oleh Nurfajri Mujahidah (2009) yang berjudul, ”Takhayul dalam Masyarakat Bima: Sebuah Kajian Struktur dan Fungsi.” Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat empat jenis struktur takhayul dalam masyarakat Bima serta lima fungsinya. Hal lain yang dikemukakan dari hasil penelitian ini adalah adanya jenis takhayul yang banyak dalam masyarakat Bima yang mencapai sepuluh jenis.
Di bidang ungkapan tradisional Bima, dilakukan oleh Gunawan (1991) dengan judul penelitian, ” Nilai-Nilai Pendidikan dalam Ungkapan Tradisioanal Suku Bima.” Dalam penelitian tersebut, Gunawan menganalisis nilai-nilai pendidikan yang ada dalam ungkapan tradisional Suku Bima.
tersebut dianalisis bentuk dan makna serta fungsi ungkapan tradisional dalam masyarakat Bima dilihat dari diksi, tema, dan amanat yang mengandung nilai kehidupan yang mendalam. Nilai kehidupan yang dimaksud seperti nilai sosial, pendidikan, agama, serta mengandung norma-norma dan sikap hidup yang berhubungan dengan nilai persatuan bangsa serta keadlian.
Nia Andriani (2009) melakukan penelitian yang hampir sama dengan Asriati tersebut. Nia mengambil judul tentang, ” Bentuk, Makna, dan Fungsi Nggahi Ncemba dalam Masyarakat Donggo.” Penelitian ini disebut hampir sama dengan penelitian Asriati karena pada hasil dan pembahasannya menguraikan hal yang hampir sama yakni analisis unsur intrinsik yang berkenaan dengan analisis bunyi, diksi, tema dan amanat. Serta menguraikan makna dan fungsi dari nggahi ncemba dalam masyarakat Donggo. Nggahi Ncemba merupakan istilah lain dari ungkapan Tradisional. Sedangkan masyarakat Donggo adalah masyarakat asli dari Suku Bima, sekarang menjadi salah satu wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Bima. Artinya, hasil dan pembahasannya hampir sama yakni tentang unsur intrinsik, makna dan fungsi. Demikian pula dengan objek penelitiannya yang berupa nggahi ncemba/ ungkapan tradisional dalam masyarakat Donggo, salah satu wilayah di Kabupaten Bima.
Tradisional Bima-Dompu.” Dalam penelitian ini, Badrun mekankan pada makna ungkapan tradisional yang diklasifikasikan berdasarkan temanya.
Penelitian tentang ungkapan tradisional Bima misalnya yang dilakukan oleh Asriati (2004) yang dalam analisisnya hanya mengajukan satu makna pada setiap ungkapan. Berikut dikutipkan contoh data makna ungkapan tradisional Bima hasil penelitian Asriati (2004) dalam bentuk tabel di bawah ini.
UNGKAPAN TRADISIONAL BIMA
5. Likipu loko
7. Nggahi rawi pahu. Berkata, kerja dan rupa. tradisional Bima dan akan dilanjutkan dengan mengkaji relevansinya dengan ayat Alquran karena saling terkaitnya makna ungkapan tradisional Bima dengan amanat ayat Alquran.
Makna adalah gejala dalam ujaran. (Chaer, 2002:35) Makna adalah arti atau maksud dari pembicara atau penulis. (KBBI, 2005:703) Makna dalam sastra adalah jawaban yang memadai tentang unsur-unsur instrinsik yang membangun teks sastra ungkapan. (Hasan, 2008) Jadi, makna adalah arti atau maksud yang merupakan hasil dari gejala dalam ujaran yang berupa unsur-unsur instrinsik yang membangun teks sastra ungkapan.
Ada tiga cara yang dipakai oleh linguis dan filsuf dalam usahanya menjelaskan makna dalam bahasa manusia : (a) dengan memberikan definisi hakikat makna kata, (b) dengan mendefinisikan hakikat makna kalimat, dan (c) dengan menjelaskan proses komunikasi. (Wahab, 1995:9)
Menganalisis makna kata dalam sastra perlu dipahami dua aspek yakni makna denotatif dan makna konotatif. Berikut dijabarkan secara definitif kedua makna tersebut serta cara menemukannya.
2.2.2 Makna Denotatif dan Cara Menemukannya
Makna denotatif adalah makna sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Makna ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Makna ini sering disebut sebagai makna sebenarnya. (Chaer, 2002:65-66)
Altenbernd (1970:9 dalam Pradopo, 2005:58) mengatakan bahwa, denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu disebutkan, atau diceritakan. Menurut Wellek (1968:22 dalam Pradopo, 2005:58-59) bahasa yang denotatif adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk. Pradopo (2005: 59) menyimpulkan bahwa satu kata itu menunjuk satu hal saja. Ia menambahkan bahwa dalam membaca sajak orang harus mengerti arti kamusnya, arti denotatif, orang harus mengerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang dipergunakan.
Penemuan makna denotatif dapat dilakukan dengan mencari arti kata berdasarkan korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk sehingga satu kata dapat ditemukan satu makna. Dengan demikinan, penemuan makna denotatif ungkapan tradisional Bima dilakukan dengan mencari makna kata-kata ungkapan tersebut sehingga satu kata menunjuk satu hal saja.
2.2.3 Makna Konotatif dan Cara Menemukannya
Makna konotatif adalah makna yang bersifat konotasi. Sedangkan makna konotasi adalah makna (nilai rasa) yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dengan pengalaman pribadi (KBBI, 2005:703).
Menurut Pradopo (2005:59), konotasi adalah kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari setting yang dilukiskan. Sedangkan Chaer (2004:65-66), menjelaskan bahwa sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif.
kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata yang diperoleh dari setting yang dilukiskan.
Dalam puisi (karya sastra pada umumnya), penemuan makna konotatif dilakukan dengan mencari arti tambahan yang ditimbulkan oleh asosiai-asosiasi yang keluar dari denotatifnya. Kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari setting yang dilukiskan (Pradopo, 2005:59).
Dengan demikian, penemuan makna konotatif dalam penelitian ini diperoleh dengan menerjemahkan kata untuk mendapatkan makna denotatif. Setelah itu dilanjutkan dengan mencari arti tambahan dari ungkapan tradisional Bima yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam makna kata-kata yang ada pada ungkapan tradisional Bima tersebut.
2.2.4 Ungkapan Tradisional
secara turun-temurun atau menurut adat. (Ananda S, 1955:367 dalam Hasan, 2008)
Peribahasa adalah ungkapan tradisional yang terdiri dari kalimat ringkas, padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasehat, prinsip hidup ataupun aturan tingkah laku. (Hasan, 2008)
Ungkapan tradisional mempunyai tiga sifat hakiki, yang perlu diperhatikan oleh mereka yang hendak menelitinya: (a) peribahasa harus serupa satu kalimat ungkapan, tidak cukup hanya satu kalimat ungkapan saja. (b) peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar (c) suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya hidup) tradisi lisan, yang dapat dibedakan dalam bentuk-bentuk klise tulisan yang berbentuk syair, iklan, reportase olah raga, dan lain sebagainya. (Brundvand, 1968:38 dalam Dananjaja, 1997)
2.2.5 Ayat Alquran
dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia (KBBI, 2005:33). Pengertian lain dari Alquran di antaranya yang dedefinisikan oleh Abdurrahman (2005:17) bahwa Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril kemudian pula sering disebut sebagai kitab. Definisi lain pula menyebutkan bahwa Alquran adalah perkataan Allah swt. yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., sampai kepada kita secara mutawatir dan menjadi ibadah bagi yang membacanya (TIM Penyusun Panduan MAI, 2008:59)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Deskripsi Sasaran
Sasaran penelitian ini ada dua yakni ungkapan tradisional Bima dan ayat Alquran. Untuk lebih jelasnya dapat dirincikan sebagai berikut:
a. Ungkapan Tradisional Bima
Sasaran pertama dalam penelitian ini adalah ungkapan tradisional Bima. Ungkapan tradisional Bima yang akan dianalisis berjumlah sepuluh buah. Tujuan analisis adalah untuk mendapatkan makna lain. Data awal diambil dari hasil penelitian Asriati (2004) yang dilanjutkan dengan studi kritis untuk mendapatkan makna lain.
b. Ayat Alquran
Ayat Alquran yang dimaksud adalah ayat yang memiliki relevansi dengan makna ungkapan tradisional Bima. Relevansi yang dimaksud adalah yang ditunjukkan oleh keterkaitan antara makna konotatif ungkapan tradisional Bima dengan amanat ayat Alquran. Amanat ayat Alquran didapatkan dari penjelasan ulama yang tertulis dalam kitab tafsir. Penelitian ini merujuk pada kitab tafsir Ibnu Katsir.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya. (Sugiyono, 2009:117) Sementara Arikunto (2006:130) mendefinisikan populasi sebagai keseluruhan subjek penelitian. Sedangkan Sevilla dkk (dalam Mahsun, 2007:28) mendefinisikan populasi sebagai kelompok besar yang merupakan sasaran generalisasi.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa popuasi merupakan keseluruhan dari obyek atau subyek penelitian yang mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ungkapan tradisional Bima hasil penelitian Asriati (2004) beserta seluruh maknanya dan ayat Alquran yang ada dalam mushaf Alquran.
b. Sampel
mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, peneliti dapat menggunakan sampel yang ada dalam penelitian itu dengan mempertimbangkan representatifnya terhadap populasi. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sampel adalah perwakilan data yang sengaja diambil untuk mewakili keseluruhan data yang menjadi obyek penelitian.
Sampel dalam penelitian ini adalah ungkapan tradisional Bima yang berjumlah sepuluh buah yang dikutip dari penelitian Asriati (2004) yang berjumlah 60 buah dan sebagian dari ayat Alquran yang memiliki relevansi dengan ungkapan tradisional Bima.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian sastra, data berujud kata atau verbal data, bukan angka atau numerical data (Siswantoro, 2004:62). Menurut Ratna (2009:47), dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah karya, naskah, data penelitiannya, sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat, dan wacana. Dengan demikian, data yang akan dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat atau wacana.
perbedaan sudut pandang, perbedaan juga dipicu oleh latar belakang keilmuan yang mereka miliki.
Menurut Arikunto (2006:150-158), jenis-jenis metode atau instrumen pengumpulam data ada enam. Yaitu, tes, angket/kuesioner, interviu, observasi, skala bertingkat, dan dokumentasi. Sedangkan Sugiyono (2009:309) menyebutkan bahwa upaya pengumpulan data dengan teknik pengumpulan data yang dirinci dalam empat macam yaitu, observasi, wawancara, dokumentasi, dan tringulasi atau gabungan. Mahsun (2005) dalam bukunya Metode Penelitian Bahasa mengemukakan bahwa metode pengumpulan data disebut sebagai metode dan teknik penyediaan data dalam penelitian bahasa yang meliputi, metode simak, cakap, dan intospeksi.
Oleh sebab itu, penelitian ini menggukan metode dokumenter, observasi, dan purposif sampling. Adapun penjabaran ketiga metode pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dokumenter
Di dalam melaksanakan metode dokumenter, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan, catatan harian, dan sebagainya (Arikunto, 2006:158). Sugiyono (2009:329) mengemukakan bahwa dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang. Jadi, metode pengumpulan data dengan dokumenter adalah mengambil data dari dokumen yang berbentuk tulisan, gambar atau karya monumental seseorang.
Dalam penelitian ini, data dikumpulkan dari dokumen yang berupa hasil penelitian Asriati (2004) tentang makna ungkapan tradisional Bima dan mengambil ayat Alquran yang mempunyai relevansi dengannya.
b. Observasi
Sedangkan Arikunto (2006:156), mengemukakan bahwa observasi atau pengamatan meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu obyek dengan menggunakan seluruh alat indra yang secara sederhana diartikan bahwa kegiatan observasi merupakan pengamatan langsung.
Dengan demikian, kegiatan observasi merupakan kegiatan pengamatan secara langsung terhadap suatu obyek yang akan diteliti untuk mendapatkan data dalam penelitian. Data yang akan diobservasi adalah semua ungkapan tradisional Bima hasil penelitian Asriati (2004) dan mushaf Alquran.
c. Purposif Sampling
Purposif sampling dilakukan dengan cara mengambil subyek bukan didasarkan atas strata, norma, random atau daerah tetapi didasarkan atas dasar tujuan tertentu (Arikunto, 2006:139-140). Purposif sampling diterapkan karena pengambilan data dalam penelitian ini didasarkan pada tujuan tertentu yakni mempertimbangkan relevansi antara data ungkapan tradisional Bima dengan ayat Alquran.
3.4 Metode Analisis Data
diterapkan dalam penelitian ini adalah pendekatan evaluatif , komparatif , moral, dan sosiologis.
a. Pendekatan Evaluatif
Pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang berusaha memberikan penilaian terhadap berbagai aspek yang terkandung dalam puisi yang dianalisis (Aminuddin, 2004:168). Menurut Reaske (dalam Aminuddin, 2004:168), pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang seharusnya ditaruh pada tahap akhir, yakni setelah seseorang melaksanakan analisis dengan menggunakan satu atau lebih pendekatan di luar pendekatan evaluatif tersebut. Namun dalam penelitian ini ditaruh pada tahap awal karena proses penilaian dilakukan pada tahap awal yakni memberikan penilaian terhadap makna ungkapan tradisional Bima berdasarkan data Asriati (2004) dan mengambil ayat Alquran yang relevan dengan data ungkapan tersebut.
b. Pendekatan Komparatif
untuk menganalisis puisi, dapat pula diterapkan dalam menganalis ungkapan tradisional. Penerapannya dalam penelitian ini adalah membandingkan ungkapan tradisional Bima dengan ayat Alquran untuk memperoleh relevansi di antara keduanya.
c. Pendekatan Moral
Pendekatan moral bertolak dari asumsi dasar bahwa salah satu tujuan dari kelahiran sastra di tengah-tengah masyarakat pembaca adalah berupaya untuk meningkatkan harakat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya, berpikir, dan berketuhanan (Laxemburg dkk, 1984:71).
Maksud dari penerapan pendekatan ini dalam penelitian karena dalam ungkapan tradisional tersirat unsur sistem budaya masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma, petunjuk dan aturan yang menjadi acuan bagi anggota masyarakat (Hasan, 2008) Demikian pula dengan kehadiran ayat Alquran yang merupakan syariat islam yang mengandung ajaran moral, etika dan norma yang mengatur tata kehidupan bermasyarakat.
d. Pendekatan Sosiologis
dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat (Laxemburg dkk, 1984:73). Demikian pula dengan ungkapan tradisional Bima dan ayat Alquran yang merupakan landasan beretika dan berkehidupan sosial serta menjadi norma dalam kehidupan bermasyarakat.
BAB IV PEMBAHASAN
Analisis makna ungkapan tradisional Bima dan relevansinya dengan ayat Alquran dilakukan dengan mencari makna denotatif dan konotatifnya yang dilanjutkan dengan mencari ayat Alquran yang relevan dengan makna konotatif ungkapan tradisional Bima.
berdasarkan nilai rasa. Setelah menemukan kedua makna tersebut, yang kemudian dianalisis adalah amanat ayat Alquran yang sudah dikumpulkan menjadi data relevansi. Untuk menemukan amanat ayat Alquran, harus dilakukan analisis berdasarkan tafsir karena Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syari’at, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah subhaanahu wa ta’ala tidak memberi perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Alquran yang membutuhkan tafsir, apalagi sering menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah, diperlukan penjelasan berupa tafsir Alquran.
Analisis makna ungkapan tradisional Bima dan relevansinya dengan ayat Alquran adalah sebagai berikut.
4.1 Makna Denotatif Ungkapan Tradisional Bima
Makna denotatif adalah makna yang sebenarnya dari kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa yang dapat diobservasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan atau pengalaman lainnya.
Makna denotatif ungkapan tradisional Bima dapat dilakukan dengan memberikan arti harfiah untuk memudahkan pembaca memahami teks ungkapan. Makna denotatif ungkapan tradisional Bima dapat dilihat berikut ini:
(1) ainacaû ntanda ca ese [
jangan suka pandang ke atas
’jangan suka memandang ke atas’
(2) dodo pu tando ro tambari kontu
lihat lah depan dan menoleh belakang
’lihatlah ke depan dan tengoklah ke belakang’
(3) aina kamaru mada ro kamidi ade
lingga pu sadumpu nepi pu rui bada
bantal lah belam kasur lah duri kaktus
’jangan menidurkan mata dan mendiamkan hati, berbantallah belam dan berkasurlah duri kaktus’
(4) maja labo dahu
malu dan takut
’malu dan takut’
(5) liki pu loko ndaimu ampo mu liki loko dou
cubit lah perut anda baru kamu cubit perut orang
‘cubit dahulu perutmu sendiri baru mencubit perut orang lain’
(6) mbolo ro dampa pu ma katantu dirawi
bermusyawarah lah yang penentu dikerjakan
’bermusyawarahlah yang menentukan apa yang harus dikerjakan’
(7) nggahi rawi pahu
berkata bekerja rupa
(8) ederu nahu sura dou labo dana
tidak usah saya asal orang dan tanah
’tidak usah (untuk) saya asalkan ada untuk rakyat dan bangsa’
(9) hiî sanggii peke satako
daging sekerat tulang sebatang
’daging sekerat (dan) tulang sebatang’
(10)malanta laba mpa di waâ dula labo
kain putih (kafan) saja akan bawa pulang teman
’hanya kain putih (kafan) saja yang akan menemani (meninggal)’
4.2 Makna Konotatif Ungkapan Tradisional Bima
Makna konotatif adalah makna kata berdasarkan nilai rasa, baik positif maupun negatif, yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dengan pengalaman pribadi. Dalam arti lain, konotatif adalah kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata yang diperoleh dari setting yang dilukiskan.
Bima. Hal ini dapat dilakukan dengan mengambil referensi yang tepat. Baik dari studi pustaka, maupun dari analisis hasil observasi yang terjadi di masyarakat. Analisisnya dapat dilihat berikut ini:
(1a) aina caû ntanda ca ese
jangan suka pandang ke atas
’jangan suka memandang ke atas’
Secara filosofis, ungkapan ini mengandung amanat untuk memperbaiki diri. Dalam hidup janganlah membeda-bedakan manusia (lihat juga Hasnun, 2008:6). Jangan lupa dan sombong. Janganlah berangan-angan terlalu tinggi. Jangan kasar terhadap orang yang lebih tua. Kalau sudah menjadi orang besar (kaya, sukses, berhasil) jangan lupa memperhatikan orang kecil (miskin) dengan mengayomi serta membantu mereka.
(2a) dodo pu tando ro tambari kontu
lihat lah depan dan menoleh belakang
’lihatlah ke depan dan tengoklah ke belakang’
sifat peduli terhadap urusan bersama. Dalam makna lain, ungkapan ini menganjurkan manusia agar mampu menyesuaikan keadaan dengan kenyataan yang ada sehingga ia tidak menganggap remeh orang lain. (lihat juga Hasnun, 2008:7)
(3a) aina kamaru mada ro kamidi ade
jangan menidurkan mata dan mendiamkan hati
lingga pu sadumpu nepi pu rui bada
bantal lah belam kasur lah duri kaktus
’jangan menidurkan mata dan mendiamkan hati, berbantallah belam dan berkasurlah duri kaktus’
bekerja.” Apa saja dapat dikerjakan yang penting halal (lihat juga Asriati, 2004 dan Hasnun, 2008:14).
(4a) maja labo dahu
malu dan takut
’malu dan takut’
Filosofi dari ungkapan ini adalah rasa malu dan takut kepada Allah swt, diri sendiri, keluarga, nusa, dan bangsa jika melakukan keburukan dan dosa atau maksiat. Serta mampu menjadi orang yang bermanfaat.
(5a) liki pu loko ndaimu ampo mu liki loko dou
cubit lah perut anda baru kamu cubit perut orang
‘cubit dahulu perutmu sendiri baru mencubit perut orang lain’
Dalam filosofi masyarakat Bima, ungkapan ini merupakan nasehat orang tua-tua yang patut diikuti sepanjang hayat agar dalam hidup perlu ikut merasakan penderitaan orang lain sehingga tidak menyakiti perasaannya. (lihat juga Hasnun, 2008:11).
(6a) mbolo ro dampa pu ma katantu dirawi musyawarah lah yang penentu dikerjakan
Maksudnya adalah setiap pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama, sebelum diputuskan atau dilaksanakan hendaknya dimusyawarahkan terlebih dahulu untuk memudahkan pekerjaan yang sulit serta meringankan pekerjaan yang berat (lihat juga Hasnun, 2008:10).
(7a ) nggahi rawi pahu
berkata bekerja rupa
’perkataan perbuatan (dan) rupa’
Satunya perkataan dan perbuatan bagi masyarakat Bima sangat penting, seperti menghadapi keluarga atau masarakat umumnya (lihat juga Hasnun, 2008:10). Dalam hal ini misalnya ketika ada kematian, perkawinan, pertanian, atau kepentingan bersama dalam kehidupan berkeluarga atau bertetangga juga perlu menyamakan pikiran dan menyatukan perbuatan. Hidup bila dilandasi dengan niat yang tulus dan didukung oleh kebersamaan maka tidak ada pekerjaan yang memberatkan.
(8a) ederu nahu sura dou labo dana
tidak usah saya asal orang dan tanah
Ungkapan ini bermakna adanya sifat rela berkorban yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam mengayomi rakyat dan bangsanya. Meskipun pada dasarnya ditujukan untuk pemimpin, namun perlu dihayati bersama dalam kehidupan sehari-hari karena mengandung petuah agar kita selalu memikirkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. (lihat juga Hasnun 2008:9)
(9a) hiî sanggii peke satako
daging sekerat tulang sebatang
’daging sekerat dan tulang sebatang’
Adapun makna konotatif ungkapan di atas adalah anjuran orang tua-tua terhadap anaknya untuk senantiasa memupuk rasa persaudaraan dan kekeluargaan. Kadang-kadang diungkapkan juga oleh orang tua laki-laki yang melamar seorang gadis. Demikian juga ketika ada kasus perkelahian atau konflik antar keluarga. (lihat juga Hasnun, 2008:8)
(10a)malanta laba mpa di waâ dula labo
kain putih (kafan) saja akan bawa pulang teman
’hanya kain putih (kafan) saja yang akan menemani (meninggal)’
menasehati tentang kematian. Ungkapan di atas juga mengandung makna untuk senantiasa menyiapkan bekal menuju kematian. Ketika meninggal dunia manusia tidak akan ditemani oleh harta, jabatan, keluarga atau sesuatu yang dinikmatinya selama di dunia. Semuanya akan ditinggalkan. Hanya kain kafan sebagai pembungkus badan, menjadi harta satu-satunya yang akan menemani manusia ketika meninggal.
4.3 Relevansi Makna Ungkapan Tradisional Bima terhadap Ayat Alquran
sekian banyak makna. Untuk itulah, diperlukan penjelasan berupa tafsir Alquran. Adapun relevansinya sebagai berikut:
1. Larangan Sombong
Larangan sombong merupakan relevansi dari Alquran Surat Al-Israa’ : 37 dan 83 serta Alquran Surat Al-Qashash : 83 dengan makna konotatif ungkapan,
(1b) aina caû ntanda ca ese
jangan suka pandang ke atas
’jangan suka memandang ke atas’
Adapun makna konotatif ungkapan tersebut adalah Secara filosofis, ungkapan ini mengandung amanat untuk memperbaiki diri. Dalam hidup janganlah membeda-bedakan manusia (lihat juga Hasnun, 2008:6). Jangan lupa dan sombong. Janganlah berangan-angan terlalu tinggi. Jangan kasar terhadap orang yang lebih tua. Kalau sudah menjadi orang besar (kaya, sukses, berhasil) jangan lupa memperhatikan orang kecil (miskin) dengan mengayomi serta membantu mereka.
Relevansi makna konotatif ungkapan tradisional Bima di atas dengan Alquran Surat Israa’ : 37 dan 83 serta Alquran Surat Al-Qashash : 83 dapat dilihat pada analisis berikut:
Berikut terjemahan ayatnya.
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah berfirman seraya melarang hamba-hamba-Nya berjalan dengan penuh kesombongan dan keangkuhan. Kamu tidak akan memotong bumi dengan jalanmu itu. ”Dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” yakni dengan lenggak-lenggok, keangkuhan dan kebanggan pada diri sendiri. (2008:165, Jilid :5)
Sifat sombong yang ditunjukkan oleh Alquran Surat Al-Israa’: 37 adalah bergaul di tengah masyarakat dengan penuh keangkuhan dan rasa bangga diri. Amanah ini relevan dengan makna konotatif, ”anjuran untuk memperbaiki diri agar tidak membeda-bedakan manusia, tidak lupa diri serta tidak berangan-angan terlalu tinggi.”
bersifat angkuh, maka itu termasuk sifat membeda-bedakan manusia. Dengan demikian, terdapat kesamaan dari amanah ayat tersebut dengan makna konotatif ungkapan tradisional Bima. Berangan-angan terlalu tinggi juga bagian dari efek sifat sombong karena ketika seseorang berangan-angan terlalu tinggi maka ia akan cenderung ambisius yang berakibat ada sombong dan bangga diri.
Apabila manusia cenderung membeda-bedakan manusia dalam pergaulannya, maka konotasinya adalah ia mencari yang sepadan yang dirasa cocok saja dengannya untuk dijadikan teman bergaul. Hal ini harus dihindari agar terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang senantiasa menjaga pola komunikasi dan interaksinya dengan sesama. Tidak sombong dan iri serta dapat bersikap realistis yang menjadikan kehidupan rukun dan damai.
b. Al-Israa’ :83
Terjemahan ayatnya sebagai berikut.
Dalam Alquran surat Al-Israa’ : 83, Ibnu Katsir (2008:207, Jilid:5) menjelaskan, ”Jika Dia menolong dan dan memberikan apa yang menjadi keinginannya (manusia, pent), maka ia tidak mau taat kepada-Nya dan enggan menyembah-Nya serta membelakangi-Nya dengan sikap yang sombong.” Manusia cenderung lupa diri dan sombong serta tidak mau bersyukur setelah mendapatkan nikmat dari Allah. Oleh sebab itu, apabila menjadi orang besar (kaya, sukses, berhasil) jangan lupa memperhatikan orang kecil (miskin) dengan mengayomi serta membantu mereka agar terhindar dari sifat sombong yang merupakan sifat tercela yang dilarang oleh agama. Dalam masyarakat Bima pun, sifat ini sangat dilarang sehingga ada ungkapan tradisional Bima yang mengarah pada larangan tersebut.
c. Al-Qashash : 83
Terjemahan ayatnya sebagai berikut.
Ibnu Juraij (dalam Ibnu Katsrir, 2008:304, jilid:6) berkata, ”orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri”, maksudnya adalah ”membesarkan dan membanggakan diri.” Sebuah hadits shohih menyebutkan bahwa Nabi saw bersabda yang terjemahan hadisnya, ”diberikan wahyu kepadaku, hendaklah kalian tawadhu’ hingga tidak orang yang menyombongkan dirinya atas orang lain dan tidak ada seorang pun yang berbuat zhalim terhadap orang lain” (dalam Ibnu Katsir, 2008:305, jilid:6) penjelasan dari ayat yang terakhir ini merupakan larangan sombong dalam segala bentuk dan maknanya. Apabila manusia mampu untuk melakukannya maka ia tergolong orang yang bertaqwa yang berhak mendapatkan balasan berupa kebahagiaan akhirat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan adanya relevansi di antara antara keduanya. Hal yang relevan adalah amanat untuk tidak sombong dalam kehidupan bermasyarakat. Semakin melihat ke atas semakin tertekan hidup kita, semakin melihat saudara kita yang papa, semakin bersyukur pula dalam hidup.
Introspeksi diri dalam segala hal merupakam relevansi Alquran Surat Ali ’Imran:191 dan Al-Israa’ :36 dengan makna konotatif ungkapan,
(2b) dodo pu tando ro tambari kontu
lihat lah depan dan menoleh belakang
’lihatlah ke depan dan tengoklah ke belakang’
Adapun makna konotatif ungkapan di atas adalah amanat untuk mengevaluasi diri, baik dalam bertutur kata, bertingkah laku, maupun dalam hal-hal lain. Dalam makna lain, ungkapan ini menganjurkan manusia agar mampu menyesuaikan keadaan dengan kenyataan yang ada sehingga ia tidak menganggap remeh orang lain. (lihat juga Hasnun, 2008:7)
Relevansi makna konotatif ungkapan tradisional Bima di atas dengan Alquran Surat Ali ’Imran:191 dan Al-Israa’ :36 dapat dilihat pada analisis berikut.
a. Ali-’Imran : 191
Terjemahan ayatnya sebagai berikut.
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ”Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
Ibnu Katsir (2008:208, jilid:2) menafsirkan surat Ali ’Imran : 191 dengan gambaran umumnya, ”Berfikir dan mengambil pelajaran.” Dengan demikian, amanat dari ayat tersebut adalah anjuran untuk berintrospeksi diri dalam segala hal. Berfikir dan mengambil pelajaran merupakan dua hal pokok dalam berintrospeksi diri sehingga makna konotatif ungkapan tradisional Bima ini mempunyai relevansi dengan amanat Alquran Surat Ali-’Imran:191.
b. Al-Israa’ :36
Terjemahan ayatnya sebagai berikut.
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
seorang hamba.” (Ibnu Katsir, 2008:164 jilid:5) Oleh sebab itu, manusia hendaknya memperbaiki diri karena semuanya akan dipertanggungjawabkan. Introspeksi diri dalam bertingkah laku seperti tidak menyekutukan Allah serta menyakiti sesama. Dalam bertutur kata adalah tidak berkata yang sia-sia atau buruk. Manusia juga hendaknya tidak menganggap remeh orang lain dengan mengukur kekurangan diri sendiri. Hal ini dianjurkan agar terjalinnya hubungan yang harmonis di antara sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari.
3. Bekerja Keras untuk Memenuhi Kebutuhan Hidup serta Memiliki Rasa Kepedulian
Bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup serta memiliki rasa kepedulian merupakan relevansi Alquran Surat An-Naba’ : 11, Al-Mulk : 15 dan An-Nisaa: 36 dengan makna konotatif ungkapan,
(3b) aina kamaru mada ro kamidi ade
jangan menidurkan mata dan mendiamkan hati
lingga pu sadumpu nepi pu rui bada
’jangan menidurkan mata dan mendiamkan hati, berbantallah belam dan berkasurlah duri kaktus’
Adapun makna konotatif ungkapan di atas adalah nasehat untuk tidak berdiam diri dan bermalas-malasan, tetapi harus berusaha dan bekerka keras. Harus ada kesungguhan ketika menghadapi tantangan, seberat apapun tantangan tersebut. Di samping itu, anjuran lain yang terdapat dalam makna konotatif ungkapan di atas adalah perintah untuk menumbuhkan rasa peduli terhadap kemashlahatan bersama. Dalam pemaknaaan lain, ungkapan tradisional ini bermakna bahwa, hidup tidak bisa hanya menunggu dan mengharap. Filosofi orang Bima ”hidup untuk bekerja.” Apa saja dapat dikerjakan yang penting halal (Lihat Asriati, 2004 dan Hasnun, 2008:14).
Relevansi makna konotatif ungkapan tradisional Bima di atas dengan Alquran Surat An-Naba’ : 11 dan Al-Mulk : 15 dapat dilihat pada analisis berikut.
a. An-Naba’ : 11
Terjemahan ayatnya sebagai berikut.
Ibnu Katsir (2008:380, jilid: 8) menyebutkan tafsir dari ayat tersebut adalah Allah menciptakan siang hari yang cerah, terang dan bersinar agar manusia dapat pulang pergi untuk mencari penghidupan dan berusaha serta berdagang dan lain sebagainya.
Penjelasan di atas relevan dengan makna konotatif ungkapan ditunjukkan oleh perintah untuk menjadikan siang hari yang cerah, terang dan bersinar agar manusia dapat pulang pergi untuk mencari penghidupan. Usaha yang dilakukan manusia dapat bermacam-macam asalkan halal. Dengan demikian, manusia tidak akan menunggu belas kasih dari orang lain serta mengharap pertolongan mereka saja.
b. Al-Mulk : 15
Terjemahan ayatnya sebagai berikut.
“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
usaha manusia tidak akan membawa manfaat baginya kecuali Allah memudahkan untuknya. (Ibnu Katsir, 2008: 242, jilid :8)
Relevansi makna konotatif ungkapan di atas dengan tafsir Alquran Surat Al-Mulk : 15 ditunjukkan oleh perintah untuk mencari rezeki dengan penuh kesungguhan dan kerja keras serta penuh keyakinan terhadap apa yang Allah berikan merupakan sesuatu yang terbaik untuknya.
Berdasarkan penjelasan relevansi makna konotatif ungkapan di atas dengan tafsir kedua ayat tersebut dapat disimpulkan adanya perintah untuk berusaha dan bekerka keras untuk mencari rejeki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Allah menciptakan semua yang dibutuhkan manusia dan Allah menjamin rejeki hamba-hamba-Nya. Manusia diberi rejeki semenjak di dalam kandungan. Semenjak lahir ke dunia rejeki masing-masing sudah diatur sedemikian rupa. Ketika mulai bisa jalan, mulailah ada jarak dengan rejeki. Sesudah dewasa makin ada jarak lagi dengan rejeki, karena manusia makin banyak keinginan. Kita harus yakin bahwa rejeki sudah diatur dan kita harus menjemput rejeki tersebut dengan ikhtiar mencarinya.
Ketahuilah Allah memberi rejeki tidak akan pernah terhalang oleh krisis. Tidak ada yang mati karena kelaparan kecuali memang sudah waktunya. Kalau sudah patah semangat dari awal maka energi untuk berjuang dalam hidup ini tidak akan maksimal. Boleh jadi rejeki itu jalurnya tidak sesuai dengan jalur yang ditempuh kita karena Allah SWT memberi rezeki yang tidak selalu terprediksi oleh kita. Orang yang kaya adalah yang kaya batinnya dan tidak takut miskin. Tidak ada kata putus asa bagi seseorang yang yakin kepada Allah. Sekarang Allah melarang sesuatu yang haram tentu tidak akan mempersulit sesuatu yang halal.
Dahulu Rasul terkesan dengan seekor burung yang pergi dengan perut kosong namun terus bergerak mencari rejeki dan pulang dalam keadaan kenyang. Daya tahan kita dalam bekerja diuji agar lebih tangguh. Kesulitan akan membuat kita mengucap doa-doa terbaik dan semakin kuat terhadap ujian yang menimpa.
gembira mendengar bonus adalah bagaimana supaya dengan bonus itu banyak beramal dan jangan membeli barang konsumtif. Seharusnya kelebihan rezeki adalah ladang untuk menggandeng rezeki yang lebih banyak untuk menambah amal kita.
c. An-Nisaa : 36
Terjemahan ayatnya sebagai berikut.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
tersebut berlaku umum terhadap sesama. Di akhir ayat disebutkan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. Hal ini merupakan sindiran terhadap orang-orang yang tidak peduli dengan kondisi sesama.
Relevansi makna konotatif ungkapan di atas dengan Alquran Surat An-Nisaa: 36 adalah adanya amanat yang sama yakni terkait anjuran untuk menumbuhkan jiwa peduli terhadap sesama. Jika dalam Alquran dirincikan semua objek yang harus diperhatikan, namun dalam ungkapan tradisional Bima hanya secara umum saja.
4. Anjuran untuk Mengajak Perbuat Baik dan Mencegah Perbuatan Buruk
Anjuran untuk mengajak perbuat baik dan mencegah perbuatan buruk merupakam relevansi Alquran Surat Ali ’Imran:104 dan 110 dengan makna konotatif ungkapan,
(4b) maja labo dahu
malu dan takut
’malu dan takut’
melakukan keburukan dan dosa atau maksiat. Serta mampu menjadi orang yang bermanfaat.
Relevansi makna konotatif ungkapan tradisional Bima di atas dengan Alquran Surat Ali ’Imran:104 dan 110 dapat dilihat pada analisis berikut.
a. Ali-’Imran:104
Terjemahan ayatnya sebagai berikut.
”Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Tafsir Quran Surat Ali ’Imran: 104 adalah perintah untuk berdakwah dengan menegakkan amar ma’ruf nahy mungkar (menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan buruk). Perintah ini menjadi anjuran kepada sebuah kelompok orang yang siap memegang amanah tersebut. Walaupun hal itu menjadi kewajiban individu. (Ibnu Katsir, 2008:108, jilid: 2)
perbuatan buruk. Dari dua pondasi tersebut akan menyadarkan seseorang untuk senantiasa menamkan rasa malu pada diri maupun orang lain jika melakukan keburukan atau tidak melakukan kebaikan. Dengan demikianlah seseorang akan mendapat keberuntungan.
b. Ali ’Imran:110
Terjemahan ayatnya sebagai berikut.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Sedangkan tafsir Quran surat Ali-’Imran: 110 disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abi Hurairah (Ibnu Katsir, 2008:110, jilid:2), ia berkata: ”Kalian adalah sebaik-baik manusia untuk manusia lain. Kalian datang membawa mereka dalam belenggu yang melilit di leher mereka sehingga mereka masuk islam.”
Allah atas dosa dan maksiat yang telah diperbuat. Mengingatkan untuk menjaga diri dari perbuatan yang memalukan yaitu perbuatan yang buruk.
Dari kedua analisis di atas, dapat disimpulkan adanya relevansi untuk menjunjung tinggi rasa kepedulian untuk saling mengingatkan. Mengingatkan untuk malu melakukan keburukan serta takut apabila melakukan dosa dan maksiat terhadap Allah. Mengingatkan untuk melakukan amalan yang bermanfaat untuk yang lain.
Dengan demikian, akan mampu mewujudkan umat yang kuat karena kekuatan umat bukan karena senjata, bukan karena jumlah orang, melainkan karena ketaatan menjalankan ajaran agama. Umat akan kuat manakala menaati perintah Allah swt dan Rasulullah saw. Sebaliknya, umat islam akan rapuh, mudah ditaklukkan musuh, dan dihinakan, jika mereka mudah berbuat dosa, mengabaikan perintah dan larangan Allah serta Rasul-Nya. Umat islam akan rapuh dan mudah dipecah-belah bila mengabaikan ajaran agama untuk bersatu padu, merasa satu nasib dan satu perjuangan.
Larangan menyakiti orang lain merupakan relevansi Alquran Surat Al-Hujurat:11 dan Al-Ahzab:58 dengan makna konotatif ungkapan,
(5b) liki pu loko ndaimu ampo mu liki loko dou
cubit lah perut anda baru kamu cubit perut orang
‘cubit dahulu perutmu sendiri baru mencubit perut orang lain’
Adapun makna konotatif ungkapan di atas adalah nasehat orang tua-tua yang patut diikuti sepanjang hayat agar dalam hidup perlu ikut merasakan penderitaan orang lain sehingga tidak menyakiti perasaannya.
Relevansi makna konotatif ungkapan tradisional Bima di atas dengan Alquran Surat Al-Hujurat:11 dan Al-Ahzab:58 dapat dilihat pada analisis berikut.
a. Al-Hujurat:11
Terjemahan ayatnya.
mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.”
Tafsir ayat di atas adalah larangan Allah dari mengolok-olok orang lain, yakni mencela dan menghinakan mereka. Artinya, mencela orang-orang dan menghinakan mereka dengan sewenang-wenang. Allah juga melarang berjalan ke sana ke mari untuk namimah (mengadu domba). (Ibnu Katsir, 2008:486, jilid:7)
Dari makna konotatif dan tafsir ayat di atas dapat disimpulkan adanya relevansi di antara keduanya yaitu larangan Allah dari mengolok-olok orang lain, yakni mencela dan menghinakan mereka. Artinya, mencela orang-orang dan menghinakan mereka dengan sewenang-wenang. Allah juga melarang berjalan ke sana ke mari untuk namimah (mengadu domba). Kesemua larangan itu bermaksud menghindari sikap menyakiti perasaan sesama.
b. Al-Ahzab:58
”Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang
yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan
yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya
mereka Telah memikul kebohongan dan dosa
yang nyata”
Alquran surat Al-Ahzab:58 menyebutkan tentang ancaman bagi orang yang menyakiti orang mukmin tanpa kesalahan yang mereka lakukan. Ibnu Katsir menyebutkan tafsir ayat tersebut adalah, adanya tuduhan orang-oarang kafir terhadap kaum mukminin dan mukminat tentang sesuatu yang sebenarnya bersih dari mereka, mereka tidak mengamalkan dan tidak memperbuatnya. Hal itulah yang disindir sebagai sesuatu kebohongan yang besar. (2008:534, jilid:6)
posisi yang sama. Ia membenci pemarah padahal ia juga pemarah, ia membenci pada yang kejam padahal ia sama kejamnya, kebencian seseorang pada kedzaliman tidak akan mengubah apapun kalau ia sama dzalimnya.
6. Urgensi Musyawarah
Urgensi musyawarah merupakan relevansi ayat Alquran Surat Asy-Syuraa : 38 dengan makna konotatif ungkapan,
(6b) mbolo ro dampa pu ma katantu dirawi
musyawarah lah yang penentu dikerjakan
’bermusyawarahlah yang menentukan apa yang harus dikerjakan’
Adapun makna konotatif ungkapan di atas adalah setiap pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama, sebelum diputuskan atau dilaksanakan hendaknya dimusyawarahkan terlebih dahulu untuk memudahkan pekerjaan yang sulit serta meringankan pekerjaan yang berat. (lihat juga Hasnun, 2008:10)
Relevansi makna konotatif ungkapan tradisional Bima di atas dengan Alquran Surat Asy-Syuraa : 38 dapat dilihat pada analisis berikut.
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Ibnu Katsir menjelaskan tafsir ayat di atas dengan mempertegas kutipan “...sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” Yaitu, mereka tidak menunaikan satu urusan hingga mereka bermusyawarah agar mereka saling dukung-mendukung dengan pendapat mereka, seperti dalam peperangan atau dalam urusan sejenisnya, sebagaimana Allah perintahkan. (Ibnu Katsir, 2008:259, jilid :7)
Relevansi keduanya ditunjukkan oleh amanat yang sama yakni perintah untuk senantiasa menjadikan rapat (musyawarah) menjadi jalan untuk mengambil keputusan karena berdasarkan pertimbangan bersama. Mengambil keputusan melalui kesepakatan dalam rapat merupakan hal yang diutamakan karena memiliki nilai syar’i atau anjuran yang ada dalam Alquran.
mengubah keragaman menjadi sumber kreativitas kolektifnya. Dan itu dilakukan melalui mekanisme musyawarah atau rapat yang dapat memfasilitasi setiap perbedaan untuk diubah menjadi konsensus. Perbedaan itu harus dikelola, bukandihilangkan.
7. Kewajiban Menyelaraskan antara Perkataan dengan Perbuatan
Kewajiban menyelaraskan antara perkataan dengan perbuatan merupakan relevansi dari Alquran Surat Al-Baqarah : 44 dengan makna konotatif ungkapan,
(7b) nggahi rawi pahu
berkata bekerja rupa
’perkataan perbuatan dan rupa’.
Relevansi makna konotatif ungkapan tradisional Bima di atas dengan Alquran Surat Al-Baqarah : 44 dapat dilihat pada analisis berikut.
Terjemahan ayatnya.
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?”
Abu Darda’ ra. (dalam Ibnu Katsir, 2008, jilid:6) Mengatakan, “Seseorang tidak memiliki pemahaman yang mendalam sehingga ia mencela orang lain karena Allah, kemudian ia mengintrospeksi dirinya sendiri, akhirnya ia lebih mencela dirinya sendiri.” Yang wajib dan lebih patut bagi seseorang ulama adalah mengerjakan kebajikan bersama orang-orang yang diperintahkan dan tidak menyelisihi mereka.
Berdasarkan tafsir ayat di atas, dapat disimpulkan adanya perintah yang tegas untuk menjaga keselarasan antara perkataan dan perbuatan. Setelah menyeru orang lain untuk mengerjakan kebajikan, hendaklah seseorang tidak menyelisihinya sehingga orang yang diseru merasa seruan tersebut merupakan kebenaran yang patut untuk dilakukan.
melaksanakannya terlebih dahulu. Akan jauh lebih baik, jika ia segera berlatih untuk melaksanakan dan menunjukan kegigihannya. Kadang-kadang menyuruh dengan perbuatan bisa jadi jauh lebih efektif dari pada menyuruh dengan lisan.
8. Pengorbanan untuk Rakyat dan Bangsa
Pengorbanan untuk rakyat dan bangsa merupakan relevansi dari Alquran Surat Ali-’Imran : 200 dengan makna konotatif ungkapan,
(8b) ederu nahu sura dou labo dana
tidak usah saya asal orang dan tanah
’tidak usah untuk saya asalkan ada untuk rakyat dan bangsa’
Adapun makna konotatif ungkapan di atas adalah adanya sifat rela berkorban yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam mengayomi rakyat dan bangsanya. Ungkapan ini meskipun pada dasarnya ditujukan untuk pemimpin, namun perlu dihayati bersama dalam kehidupan sehari-hari karena mengandung petuah agar kita selalu memikirkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. (lihat juga Hasnun, 2008:9)
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.”
Yang dimaksud dengan murabathah (dari kata ribath, tetaplah bersiap siaga di perbatasan negeri) di sini adalah keteguhan berperang melawan musuh, mempertahankan kemuliaan islam, serta menjaganya agar musuh tidak masuk ke dalam daerah islam. (Ibnu Katsir, 2008:223, jilid:2)
Penjelasan di atas bermakna adanya sifat rela berkorban yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam mengayomi rakyat dan bangsanya. Jika diperhatikan dari sudut pandang agama, ajaran agama mana pun mengutuk perbuatan keji dan sadis. Islam sangat memperhatikan hak-hak asasi manusia, dan syariatnya konsisten melindungi setiap individu dari kezaliman. Islam memandang bahwa setiap individu wajib menjaga hak pribadinya tetapi boleh membalas manakala hak tersebut dirampas. Kendati bersikap memafkan lebih utama.
keamanan, ketentraman dan kesentosaan yang mengantarkan setiap penduduknya mampu mencapai kemakmuran.
Dalam memperjuangkan hak rakyat dan bangsa, hendaklah membekali diri dengan keberanian. Dengan keberanianlah kita dapat menegakkan kebanaran di muka bumi, kemudian selain itu menjadi prajurit Allah yang siap mati syahid dimedan perang dalam membela agama maupun rakyat dan bangsanya. Dan jika kita sudah menjadi seorang yang pemberani Insya Allah apa yang kita inginkan akan tercapai. Islam jaya sampai sekarang atau kita tahu islam itu semua berkat keberanian Rasulullah Nabi muhammad didalam berda’wah .Seandainya beliau bukan orang yang pemberani mungkin kita tidak akan tahu atau tidak akan pernah mengecap manisnya memeluk agama islam.Jadi dalam ke hidupan ini sikap berani sangat dibutuhkan sekali sebagai penggerak kita untuk meraih yang kita inginkan tentunya disini hal-hal yang baik saja.Dan selain itu juga Indonesia bisa merdeka adalah karena keberanian pahlawan-pahlawannya dan tak lupa juga karena berkat pertolongan Allah swt.
9. Umat Islam Itu Bersaudara
(9b) hiî sanggii peke satako
daging sekerat tulang sebatang
’daging sekerat (dan) tulang sebatang’
Adapun makna konotatif ungkapan di atas adalah anjuran orang tua-tua terhadap anaknya untuk senantiasa memupuk rasa persaudaraan dan kekeluargaan. Kadang-kadang diungkapkan juga oleh orang tua laki-laki yang melamar seorang gadis. Demikian juga ketika ada kasus perkelahian atau konflik antar keluarga (lihat juga Hasnun, 2008:8). Berikut penjabaran relevansinya:
a. Al-Hujurat :10
Terjemahan ayatnya sebagai berikut.
”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara dua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
muslim lainnya, tidak boleh dizhalimi dan membiarkannya (menzhalimi).” Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah saw. bersabda yang artinya, ”Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya seperti bangunan yang sebagian dengan sebagian lainnya saling menguatkan.” (Ibnu Katsir, 2008:483-484, jilid: 7).
Relevansi ayat di atas dengan makna konotatif ungkapan (9) adalah amanat yang sama bahwa umat islam itu bersaudara sehingga mereka harus bersatu padu. Bersatu untuk saling menguatkan, saling mengingatkan serta larangan untuk bercerai-berai.
b. Ali ’Imran : 103
Terjemahan ayatnya sebagai berikut.
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
”... dan janganlah kamu bercerai-berai...” Ibnu Katsir menjelaskan bahwa, ”Allah memerintahkan mereka untuk bersatu dalam berjamaah dan melarang berpecah belah.”
Relevansi ayat di atas dengan ungkapan (9) adalah perintah bersatu yang merupakan penegasan dari ayat sebelumnya. Hal yang dipertegas adalah nikmatnya persatuan yang Allah anugerahkan sehingga menyelamatkan kaum muslimin pada masa jahiliyah dari ancaman neraka. Semuanya Allah terangkan agar umat islam yang hidup di zaman sekarang, mendapat petunjuk dari Allah dengan mengambil pelajaran dari kisah orang-orang terdahulu.
tentang hidup, mengatur segi-segi khusus urusan intern pribadinya dan menuntun hubungan mereka dengan alam di luar dirinya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, yaitu untuk memperoleh keridhaan Allah sepanjang kehidupannya.
10. Menyiapkan Bekal untuk Kehidupan Akhirat
Menyiapkan bekal untuk kehidupan akhirat merupakan relevansi Alquran Surat Al Hasyir : 18 dengan makna konotatif ungkapan,
(10a)malanta laba mpa di waâ dula labo
kain putih (kafan) saja akan bawa pulang teman
’hanya kain putih (kafan) saja yang akan menemani (meninggal)’
Makna konotatif si atas, relevan dengan ayat Alquran Surat Al Hasyir : 18. Berikut terjemahan ayatnya.
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Ibnu Katsir menjelaskan tafsir dari ayat di atas adalah hisablah diri kalian sebelum dihisab oleh Allah. Dan lihatlah apa yang telah kalian tabung untuk diri kalian sendiri berupa amal shalih untuk hari kemudian dan pada saat bertemu dengan Rabb kalian. Lebih rinci lagi beliau menjelaskan tentang kutipan, ”...Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan....” Maksudnya adalah ketauhilah bahwa sesungguhnya Allah Mengetahui seluruh perbuatan dan keadaan kalian. Tidak ada sedikit pun yang tersembunyi dari-Nya. Baik perkara kecil maupun perkara besar. (Ibnu Katsir, 2008: 123, jilid :8)
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN
Adapun simpulan yang dapat diambil dari makna ungkapan tradisional Bima dan relevansinya dengan ayat Alquran adalah sebagai berikut:
1. Dalam ungkapan taradisional Bima dapat ditemukan makna denotatifnya dengan pemberian makna secara harfiah sehingga satu kata menunjuk satu makna.
2. Dalam ungkapan taradisional Bima dapat ditemukan makna konotatifnya dengan mencari makna tambahan yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang tekumpul dalam makna kata-kata pada ungkapan tradisional Bima.
3. Relevansi makna ungkapan tradisional Bima terhadap ayat Alquran adalah sebagai berikut:
(a) Larangan sombong.
(b) Introspeksi diri dalam segala hal.
(d) Anjuran untuk mengajak perbuat baik dan mencegah perbuatan buruk.
(e) Larangan menyakiti orang lain.
(f) Urgensi musyawarah.
(g) Kewajiban menyelaraskan antara perkataan dengan perbuatan.
(h) Pengorbanan untuk rakyat dan bangsa.
(i) Umat islam itu bersaudara.
(j) Menyiapkan bekal untuk kehidupan akhirat.
5.1 SARAN
1. Diharapkan dukungan semua pihak untuk memberikan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini secara khusus dan pengembangan kualitas pendidikan secara umumnya.
2. Tanggung jawab pemerintah daerah sangat diharapkan untuk melestarikan budaya daerah seperti sastra lisan ini yang diharapkan nilai-nilainya bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Penelitian tentang ungkapan tradisional Bima yang dipadukan dengan disiplin ilmu lain merupakan hal yang baru sehingga menarik untuk dikaji lebih dalam karena penelitian yang pernah dilakukan hanya membahas objek yang sama yakni unsur intrinsik dan fungsi dari ungkapan tradisional Bima.