• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN. Penelitian tentang Mural Publik: Representasi, Transformasi. dan Citra Ruang Publik Kota Yogyakarta menghasilkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V KESIMPULAN. Penelitian tentang Mural Publik: Representasi, Transformasi. dan Citra Ruang Publik Kota Yogyakarta menghasilkan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

KESIMPULAN

Kesimpulan

Penelitian tentang “Mural Publik: Representasi, Transformasi dan Citra Ruang Publik Kota Yogyakarta” menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Tanda dan Makna dalam Mural

Mural di ruang publik memiliki beragam karakter visual yang dapat dibaca melalui tanda-tanda visualnya. Kumpulan dari tanda-tanda visual tersbut membawa makna dan dimaknai oleh pembacanya, baik secara denotatif, konotatif, bahkan mitos. Teori semiotika Roland Barthes tentang tanda menjadi acuan utama untuk membaca tanda-tanda visual yang terdapat dalam mural di kota Yogyakarta dalam konteks ruang dan waktu, sebagai berikut : a. Karakteristik Visual Mural Publik.

Gaya pribadi para pemural sebagai perupa kontemporer sangat mempengaruhi karakter visual mural yang mereka buat di ruang publik. Seperti yang tampak pada proyek mural “Sama-sama” tahun 2002 oleh Apotik Komik dan “Sama-sama/You’re Welcome” tahun 2003 oleh Apotik Komik bersama kelompok Clarion Alley Mural Project (CAMP) dari San Fransisco. Karya yang biasa dikerjakan di studio, diusung ke ruang publik. Sedangkan

(2)

karya mural yang dikerjakan para perupa bersama masyarakat yang merupakan proyek mural Jogja Mural Forum (JMF), baik pelaku seni tradisi (proyek mural “Tanda Mata dari Jogja” tahun 2007) ataupun masyarakat perkampungan di Yogyakarta (Kampung Sebelah Art Project dan Kode Post Art Project pada tahun 2008) lebih berorientasi pada kesesuaian tematik dengan objek visual untuk menyampaikan pesan komunikatif.

Secara umum karakter visual yang terekspresikan dalam mural di ruang publik dapat dikategorikan dalam karakter komikal ataupun kartunal, realistik, dekoratif dan surialistik. Khusus karya mural yang dikerjakan oleh kelompok-kelompok street art seperti YORC (Yogya Art Crime), Love-Hate-Love, memiliki variasi karakter visual yang beragam dan mencirikan kekhasan dari komponen kelompok yang ada di dalamnya. Karakter visual yang surialistik dan kartunal lebih dominan. Idiom visual yang digelar di ruang publik bersifat sangat pribadi. Publik hanya dapat menikmati dari aspek artistik tanpa bisa memahami maksudnya. b. Tematik Mural Publik.

Mural yang hadir di ruang publik kota Yogyakarta pada kurun waktu 1997 s/d 2012 secara umum dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tema utama, yaitu: lingkungan hidup, situasi politik aktual, kritik sosial, kesetaraan gender, pendidikan dan nilai-nilai luhur dalam masyarakat, perdamaian, dan fiksi. Tema

(3)

yang dipilih para pemural sangat bergantung pada beberapa hal, yaitu peristiwa menonjol yang terjadi saat mural akan dikerjakan, tema utama proyek mural yang dipesankan oleh penyelenggara kegiatan, lokasi tempat mural dibuat, serta interes-interes masing-masing pemural terhadap berbagai permasalahan sosial.

c. Makna Mural Publik.

Mural yang dihadirkan di ruang publik pada dasarnya menjadi media komunikasi visual, media menyampaikan pesan yang komunikatif, artistik, cerdas dan unik. Bukan sebagai media yang privat sebagaimana lukisan yang dipajang di ruang privat seperti galeri seni. Hal ini sangat disadari oleh para seniman mural, sehingga meskipun karakter dan idiom visual yang dipilih membawa gaya pribadi, tetapi pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh masyarakat. Seniman mural berperan sebagai pembawa aspirasi masyarakat, seniman mengolah kegelisahan masyarakat, sehingga apa yang disampaikan pada publik melalui mural pada dasarnya merepresentasikan masyarakat. Respon positif masyarakat terhadap proyek-proyek mural menjadi indikator bagaimana seniman mampu mewakili kegelisahan masyarakat yang disampaikan secara visual dengan artistik dan estetik. Pesan-pesan dalam mural yang selaras dengan tema yang terpilih, mampu merepresentasikan kehendak publik dari berbagai lapisan, baik yang menyangkut isu lokal maupun global, seperti

(4)

pelestarian lingkungan alam, menjaga kebersihan, semangat belajar dan bekerja keras, toleransi, rasa percaya diri sebagai bangsa, menjaga kelestarian tradisi, atau tema lainnya yang aktual. Mural yang terlalu ekpresif dengan pesan moral yang tidak jelas hanya berfungsi sebagai elemen estetis ruang publik, tetapi tidak memberi makna penting bagi pencerahan masyarakat.

2. Transformasi Mural sebagai Seni Rupa Publik di Yogyakarta: a. Pergeseran paradigmatik kiblat seni rupa modern menuju kontemporer, membawa perubahan besar dalam pola produksi "makna" dalam penciptaan dan penikmatan karya seni. Titik pusat pemaknaan tidak lagi pada sang seniman melainkan pada sosok karya itu sendiri dan pada para penikmatnya.

Wacana internasionalisasi dalam seni rupa kontemporer memberi rangsangan yang kuat bagi perupa kontemporer Yogyakarta untuk menemukan strategi yang efektif agar bisa menjadi bagian dari konstelasi percaturan global tersebut. Wacana internasionalisasi mendorong para perupa kontemporer Yogyakarta memasuki event biennale maupun triennale internasional serta art fair. Perkembangan dalam seni rupa kontemporer Barat praktis tidak pernah terlewatkan oleh para perupa Yogyakarta. Mereka mencari celah yang tidak dimiliki dan diisi para perupa kontemporer Barat, dengan mengisi sesuatu

(5)

yang berbeda yang dapat menunjukkan posisi tawar seni rupa Timur dengan mengusung spirit global dan menggunakan idiom-idiom lokal. Kecenderungan ini juga terjadi dalam seni rupa kontemporer Yogyakarta yang dengan jelas menampilkan multikultur dan multietnik sekaligus identitas subjek dengan mengutamakan identitas budaya dan sosial, seperti misalnya identitas etnik, identitas kaum marginal, identitas perempuan, identitas politik dan budaya media, dalam bentuk seni lukis, instalasi, dan performance.

Infrastruktur seni berupa galeri yang sangat terbatas jumlahnya dan jalur yang berliku untuk dapat memasuki jaringan seni internasional, mendorong perupa-perupa muda menemukan ruang baru untuk mempresentasikan karya mereka serta mampu mencuri perhatian publik seni. Karya seni yang bersifat privat yang jauh dari publik diseret ke ranah publik, mereka menjadikan ruang publik sebagai medan yang tepat untuk bereksplorasi dan berekspresi. Elitisme seni rupa tinggi yang biasa diusung perupa konvensional dalam ruang-ruang privat (galeri) dipatahkan. Seni rupa publik menjadi idiom yang lebih populer bagi para perupa kontemporer di Yogyakarta.

b. Tahun 1997 menjadi momentum penting bangkitnya seni rupa publik di Yogyakarta, ketika Apotik Komik membuat proyek

(6)

Melayang di Nitiprajan yang berkolaborasi dengan para perupa kelompok lain menyajikan karya di tembok sepanjang 700 m di sekitar studio mereka. Mereka sadar betul akan konsekuensi yang diambil pada masa itu, bahwa karya mereka sangat mungkin tidak masuk dalam jajaran penting seni rupa kontemporer Yogyakarta dan bahkan dimarginalkan. Gagasan tersebut mampu mencuri perhatian pengamat seni rupa, galeri, kurator serta publikasi media massa secara terus menerus. Apotik Komik dianggap membuka wacana baru dalam seni rupa kontemporer Yogyakarta, di mana bahasa gambar yang ditempatkan di ruang publik dapat menjadi media ekspresi alternatif yang dapat mendekatkan karya mereka dengan masyarakat dan ikut menjadi bagian dari proses penciptaannya. Apotik Komik menjadi pionir seni rupa publik di Yogyakarta dan para perupa yang tergabung di dalamnya mulai diperhitungkan dalam arus besar seni rupa kontemporer Indonesia.

Perkembangan seni publik di Yogyakarta juga diwarnai oleh menguatnya seni jalanan (street art), khususnya graffiti, street logos, dan poster-poster. Kelompok Taring Padi mambangun wacana visual di ruang publik melalui poster-poster dengan teknik cetak yang menyuarakan keberpihakan mereka terhadap rakyat kecil yang dimarginalkan. Khusus graffiti, tagging dan street logos persebarannya di ruang publik sangat mendominasi dan mengisi

(7)

dinding-dinding ruang publik di hampir seluruh kota. Kelompok anak muda yang di ruang publik teridentifikasi melalui identitas YORC, Love-Hate-Love, dan Here-here menjadi yang paling populer.

c. Gagasan mural publik oleh Apotik Komik pada tahun 2002 melalui proyek mural “Sama-sama” dengan memperbesar ukuran karya mereka dari ukuran sebenarnya dan munculnya gagasan untuk mendekatkan pada publik sebagaimana layaknya sebuah graffiti di jalanan, menempatkan Apotik Komik sebagai pionir mural publik. Proyek tersebut juga dimaksudkan untuk mencuri perhatian guna memperkuat popularitas yang telah diperoleh dan memperebutkan kesempatan masuk dalam jaringan seni yang lebih luas. Kelompok Apotik Komik mengusung gaya visual mereka ke dinding-dinding ruang publik kota dalam bentuk mural dengan menonjolkan karakter individu yang sangat kental, sehingga masyarakat dapat mengenali dan mengapresiasi karya mereka di ruang publik yang telah dijadikan galeri alternatif tersebut.

Media ekspresi berupa mural di ruang publik sejak proyek mural “Sama-sama” tahun 2002 di Jembatan Layang Lempuyangan, berlanjut ke berbagai proyek mural lainnya, baik yang dimotori oleh Apotik Komik, maupun oleh kelompok lain dalam berbagai event seni. Proyek-proyek tersebut di antaranya,

(8)

proyek mural “Sama-sama/You’re Welcome” tahun 2003 kolaborasi Apotik Komik dengan CAMP (Clarion Alley Mural Project) dari San Francisco, proyek mural “Midnight Live Mural Project” tahun 2006, proyek mural “Tanda Mata dari Jogja” tahun 2007 sebagai pembaruan mural di Jembatan Layang Lempuyangan, yang dimotori Jogja Mural Forum (JMF) dengan melibatkan para penggiat seni tradisional, “Kampung Sebelah Art Project” dan ”Kode Pos Art Project” yang melibatkan masyarakat kampung, maupun kegiatan mural dalam event lain seperti Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) atau Biennale Jogja.

Berbagai event mural tersebut semakin menguatkan posisi sentral media ini sebagai media ekspresi seni rupa publik di Yogyakarta yang dapat mendekatkan karya seni rupa pada publik seni serta melibatkan partisipasi publik dengan tanpa jarak. Mural juga mampu menjadi media komunikasi visual yang dimanfaatkan seniman, pemerintah, maupun masyarakat dalam menyampaikan pesan-pesan moral yang bermakna dengan cara lugas dan bersahaja melalui tema-tema keseharian yang selama ini kurang menjadi perhatian seni rupa arus utama.

3. Citra ruang publik kota dengan hadirnya mural publik.

Dalam RPJPD tahun 2005-2025 Kota Yogyakarta disebut bahwa Pembentukan Citra Kota bertujuan untuk menciptakan

(9)

kesan khusus yang berbeda dengan kota lain, sehingga dapat meningkatkan kualitas pengalaman pengunjung dengan sasaran mempertahankan dan atau memperkuat komponen fisik pembentuk citra kota. Komponen pembentuk citra kota salah satunya adalah tetenger (landmark), yang diarahkan pada usaha pelestarian dan pengembangan arsitektur kota.

Kehadiran mural-mural di ruang publik kota Yogyakarta sejak kurun waktu 1997 s/d 2012 secara khusus dapat dinilai sebagai komponen pembentuk citra, kehadirannya dapat dinilai sebagai tetenger (landmark) ruang publik kota Yogyakarta. Aspek-aspek yang berpengaruh terhadap citra ruang publik kota adalah:

a. Kebijakan penggunaan ruang publik.

Pemerintah kota Yogyakarta selaku mengelola ruang publik memberikan keleluasaan pada publik untuk memanfaatkan ruang publik. Tumpang tindih elemen visual di ruang publik memberi gambaran bahwa ruang publik di kota Yogyakarta belum mampu dikelola secara baik oleh pemerintah kota.

Terjadinya aksi pembongkaran dan pemindahan seni rupa publik juga memberi gambaran perlunya komunikasi pihak-pihak yang berkepentingan agar masing-masing tidak saling dirugikan. Hal ini juga memberi gambaran bahwa seniman tidak sepenuhnya memahami kaidah dan norma estetik yang dimiliki oleh

(10)

masyarakat serta kurang memperhitungkan kepentingan masyarakat.

b. Ruang publik sebagai ruang ekspresi.

Salah satu alasan utama para penggerakan mural di ruang publik adalah “estetisasi” ruang publik akibat graffiti atau coretan-coretan liar yang vandal. Melalui gerakan mural yang terencana serta proyek-proyek mural di ruang publik diharapkan vandalism ruang publik dapat di kendalikan dan ruang publik menjadi lebih estetis. Dari beberapa proyek mural yang diprakarsai seniman maupun pemerintah kota, tidak seluruhnya menghasilkan lingkungan yang lebih estetis dalam konteks arsitektural. Banyak mural yang dibuat tanpa memperhatikan kesatuan arsitektural. Mural hanya tampil sebagai elemen estetis pada deretan dinding jalanan, namun tidak memiliki kesatuan makna dengan lingkungannya, bahkan banyak mural publik yang menambah carut-marut wajah ruang publik. Tidak semua ruang publik tepat untuk dimural, bahkan tampil lebih elegan bila dicat senada. Muralisasi ruang publik juga memicu pemahaman bahwa di luar proyek yang digagas seniman atau pemerintah kota, masyarakat juga boleh atau berhak untuk membuat mural atau graffiti, tagging, street logos ataupun coretan lainnya sesuai selera mereka sendiri, sehingga tujuan estetisasi ruang publik menjadi salah

(11)

sasaran. Ruang publik menjadi semakin carut-marut dan kesan kotor menyeruak di hampir seluruh sudut kota.

c. Ruang publik sebagai ruang sosial dan demokratis.

Hadirnya berbagai seni publik di ruang publik kota, khususnya mural merupakan fenomena baru dalam pemanfaatan ruang publik. Gambaran ruang publik yang birokratif hampir tidak berlaku bagi para perupa mural. Pemerintah kota tampaknya juga tidak mempermasalahkan kehadiran berbagai elemen visual yang merupakan partisipasi masyarakat ini, berijin ataupun tidak. Ruang publik kota melalui mural juga dimanfaatkan untuk menyampaikan beragam maksud yang perlu dikomunikasikan kepada publik, seolah melalui mural kampanye sosial, pendidikan, cinta lingkungan dan maksud-maksud lainnya dikemas sebagai iklan layanan masyarakat. Terakomodasinya beragam kepentingan publik yang disampaikan dengan beragam cara, termasuk secara visual melalui mural mencerminkan ruang publik kota Yogyakarta sebagai ruang komunikasi yang demokratis, tetapi penguasaan secara paksa dinding di jalanan yang bersifat privat oleh pelaku graffiti, tagging, street logos, dan mural membiaskan makna demokratis.

d. Mural dan Citra Arsitektural Ruang Publik

(12)

dengan cara yang benar-benar direncanakan dan dipikirkan. Pemerintah kota Yogyakarta sebagai pengelola ruang publik tampaknya tidak terlalu mempedulikan aspek estetika ruang arsitektural pada proyek mural di Yogyakarta. Aspek estetika ruang publik yang menyertai kehadiran mural dengan mengusung aspek tematik yang mampu menghadirkan ikon kota telah dicoba oleh seniman mural untuk dihadirkan, tetapi penataan kawasan secara umum dalam konteks arsitektural belum sepenuhnya dipikirkan, sehingga tempat-tempat di sekitar proyek mural tidak memberi kontribusi dalam puitisasi ruang.

Kehadiran proyek mural di Yogyakarta belum mampu mengendalikan vandalisme ruang publik oleh graffiti, tagging, street logos, maupun coretan tak bermakna, sehingga ruang publik kembali menjadi hutan visual yang menyesakkan, kurang nyaman, dan tidak hadir sebagai ruang puitik yang memberi kesan dan pengalaman mental bagi penggunanya.

e. Mural dan Prospek Membangun Citra Ruang Publik Kota Keberadaan mural di tembok-tembok kota Yogyakarta yang terawat baik telah memberikan gambaran bahwa masyarakat telah dapat menerima bentuk seni mural dalam kehidupan keseharian mereka. Melalui proyek mural para perupa ditantang untuk menciptakan sesuatu yang dapat dinikmati oleh orang

(13)

kebanyakan dengan memahami kaidah-kaidah estetika yang biasa dipahami oleh orang kebanyakan (public) tersebut. Juga tantangan memilih lokasi yang khusus sebagai tempat menampilkan dirinya melalui mural, artinya ketepatan pemilihan lokasi perlu menjadi pertimbangan penting untuk menguji kontribusi mural dalam ruang publik kota.

Temuan Penelitian:

1. Mural publik di kota Yogyakarta yang mengekspresikan nilai-nilai tradisi, mampu mengingatkan publik pada mitos-mitos budaya Jawa yang mulai dilupakan. Seni rupa publik dapat menjadi media strategis untuk pelestarian dan propaganda nilai-nilai budaya yang luhur.

2. Arus utama dalam medan seni rupa memberi pengaruh kuat lahirnya subkultur dalam seni rupa. Membangun subkultur dapat digunakan sebagai strategi yang cerdik agar diperhitungkan arus utama.

3. Kehadiran seni rupa publik yang bersifat temporal dapat menjadi landmark bagi kota, memperkuat identitas kota dan menjadi destinasi wisata. Landmark yang bersifat temporal tidak harus monumental secara arsitektural, tetapi proses menghadirkan landmark temporal dapat menjadi event untuk memperkuat citra kota.

Referensi

Dokumen terkait