• Tidak ada hasil yang ditemukan

Foto dan Biografi Okky Madasari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Foto dan Biografi Okky Madasari"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1

Foto dan Biografi Okky Madasari

Okky Madasari lahir di Magetan, Jawa Timur, pada 30 Oktober 1984. Mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. Setamat kuliah memilih berkarier sebagai wartawan dan mendalami dunia penulisan. Entrok adalah novel pertamanya yang lahir sebagai kegelisahan atas menipisnya toleransi dan maraknya kesewenang-wenangan. Tinggal di Jakarta dan dapat dihubungi di okky_madasari@yahoo.com dan www.madasari.blogspot.com

(2)

Lampiran 2

Sinopsis Novel Entrok Karya Okky Madasari

Okky Madasari mengawali Entrok-nya dengan kehadiran dua orang yang berperan sebagai tokoh utama, yakni Sumarni dan Rahayu. Sumarni adalah ibu kandung Rahayu, sedangkan Rahayu adalah anak semata wayang dari pernikahan Sumarni dan Teja. Cerita bermula pada tahun 1950-an, ketika Sumarni hidup bersama ibunya yang biasa dipanggil “Simbok” tanpa asuhan dan nafkah dari seorang ayah. Pada masa ini Sumarni adalah seorang gadis kecil yang tidak pernah mendapatkan pendidikan formal. Hal ini disebabkan karena sulitnya perekonomian pada masa itu. Sedangkan Simbok bekerja di pasar hanya sebagai tukang potong ubi pada orang-orang yang berjualan ubi di pasar. Ubi merupakan makanan pokok pada masa itu dan akan diolah menjadi gaplek. Desa Singget sebagai tempat tinggal Sumarni dan Simbok berada jauh dari pasar Ngranget, tempat Simbok kerja.

Suatu hari Sumarni ikut bersama Simbok ke pasar Ngranget. Ia mencoba membantu ibunya bekerja mengupas dan memotong ubi. Ia telah melihat hingar-bingar kehidupan pasar, mulai dari para penjual yang berjualan beraneka ragam barang dagangan, pembeli yang beragam status sosialnya, para kuli yang mondar-mandir membawa belanjaan para pembeli, bahkan para preman pasar yang selalu menunggu jatah duit dari setiap pedagang pasar.

(3)

Setelah pekerjaan mengupas ubi berakhir, maka Simbok pun menerima upah dari pedagang tersebut berupa beberapa buah ubi. Sumarni menjadi sangat kecewa melihat pembayaran atas keringatnya dan ibunya. Akan tetapi memang seperti ini tradisi yang berlaku di pasar ini, pekerja perempuan dihargai dengan ubi dan sebaliknya pekerja laki-laki dihargai dengan uang. Hal ini tentu saja dirasakan Sumarni sebagai suatu ketidakadilan yang perlu diperangi. Apalagi seusia Sumarni yang sudah layak memakai entrok (bahasa Jawa, artinya kutang). Sumarni sangat mendambakan entrok-entrok yang dijual di pasar karena teman-teman seusianya yang memiliki ayah yang berprofesi pegawai telah memiliki minimal satu buah entrok. Sedangkan Simbok setiap harinya hanya mendapatkan ubi.

Mulai saat itu Sumarni berjanji pada dirinya sendiri untuk menaikkan derajat kehidupannya dan keluarganya. Ia pun tertarik untuk menjadi kuli di sebuah grosir milik seorang Cina, meskipun cuma Sumarni satu-satunya kuli perempuan di Pasar Ngranget. Setiap hari Ia lalui bersama Simbok di pasar yang memberikannya sedikit demi sedikit uang, sehingga Ia pun dapat membeli entrok yang diinginkannya.

Cerita pun tidak berakhir sampai di sini. Disela-sela Sumarni bekerja sebagai kuli, Ia pun menjalin hubungan dengan teman laki-lakinya yang berprofesi sama dengannya, namanya Teja. Mereka lalu menikah dan hidup berkecukupan bersama Simbok. Sumarni mulai beralih profesi menjadi pedagang di Pasar Ngranget. Modalnya berjualan didapatkannya dari tabungan upah kuli. Ia berjualan barang-barang rumah tangga dan dikreditkannya kepada seluruh pembeli, sehingga banyak pedagang-pedagang pasar membeli barang dagangannya. Pundi-pundi Sumarni pun

(4)

terus meningkat. Gaplek yang dikonsumsi sebagai makanan pokok perlahan berganti dengan nasi. Tak lama kemudian Simbok meninggal dunia. Hari-hari yang dilalui Sumarni pun menjadi sepi tanpa kehadiran Simbok. Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama dalam kehidupan Sumarni dan Teja. Karena tak lama sepeninggal Simbok, lahirlah Rahayu melengkapi kehidupan Sumarni dan Teja.

Kehidupan ekonomi Sumarni semakin meningkat drastis, dan tentu saja hal ini berdampak besar bagi Rahayu dan Teja. Sumarni mengembangkan usahanya dari keuntungannya berjualan, yaitu meminjamkan uang dengan imbalan pembayaran komplit bunga sepuluh persen dan juga bisa dicicil. Rahayu juga sudah tidak lagi mengalami masa-masa sulit seperti yang dulu dialami ibunya. Rahayu bersekolah di tempat yang bagus bersama dengan anak-anak pegawai. Kemudian Rahayu juga belajar mengaji sepulang sekolah. Memang semua ini adalah cita-cita Sumarni sejak dulu agar nasibnya tidak terulang pada putrinya itu. Sumarni yang sepanjang hidupnya bekerja keras demi mendapatkan sesuatu selalu mendapat masalah dengan masyarakat sekitar hanya gara-gara prasangka. Ditambah masalahnya dengan “penguasa berbaju loreng” yang sedikit-sedikit datang meminta uang keamanan dengan ancaman terselubung.

Suatu ketika Pak Guru Waji yang mengajar Rahayu di sekolahnya, meminjam uang pada Sumarni. Pak Guru Waji merupakan guru agama yang dikagumi Rahayu karena kepintarannya. Bukan hanya Pak Waji, bahkan hampir semua warga Desa Singget mencari hutangan ke rumah ibu Rahayu tersebut. Lalu pada saat tanggal penagihan hutang tiba, maka Sumarni pun berkeliling menagih satu per satu warga

(5)

Singget maupun pedagang Ngranget. Bermacam pola tingkah pelanggan-pelanggan Sumarni ketika ditagih olehnya. Ada yang dengan legowo membayar cicilannya, ada yang tampak tidak senang terlihat dari parasnya walaupun akhirnya cicilan itu dipenuhinya, ada juga yang memaki-maki Sumarni dengan sebutan “lintah darat”, “penghisap darah”, dan sebagainya. Hal ini awalnya tidak diambil pusing oleh Sumarni karena Ia berpikir bahwa Ia tidak pernah memaksa orang-orang berhutang kepadanya, malahan orang-orang itu yang memelas datang kepadanya agar dipinjami uang dengan dalih yang bermacam-macam.

Lontaran-lontaran negatif itu justru terucap dari Pak Waji ketika sedang mengajar di kelas. Pak Waji secara terang-terangan mengatakan bahwa Ibu Rahayu adalah rentenir yang suka menyiksa orang, lintah darat, dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja membuat Rahayu marah dan malu di hadapan teman-teman sekelasnya itu. Setelah Rahayu pulang ke rumah, Ia menjadi sangat marah dan seketika meluapkan emosinya kepada Ibunya, karena ucapan-ucapan negatif dari Pak Waji yang tidak bisa diterimanya. Begitu juga dengan kebiasaan Ibunya di malam hari yang selalu duduk dan merenung di bawah pohon depan rumahnya sambil memohon kepada “Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa” yang diyakini Sumarni sebagai Tuhan Penguasa Alam. Sejak kecil Sumarni diajarkan Simbok mengenai hal ini. Sumarni yang tak bisa baca, tak pernah sekolah, tak bisa mengaji, selalu mengamalkan segala sesuatu yang diajarkan Simbok kepadanya. Ditambah lagi dengan hadirnya sesajen di dalam kamar Sumarni yang berisi tumpengan dan panggang yang ditujukan kepada para leluhur di setiap tanggal kelahiran dan hari-hari tertentu. Sumarni dan almarhumah Simbok meyakini

(6)

akan ada perlindungan dan kemurahan rejeki yang terus mengalir apabila semua ritual di atas dijalankan.

Segala kebiasaan Ibunya tentu saja ditentang oleh Rahayu yang sangat menjunjung tinggi ajaran-ajaran agama yang hakiki yang telah diperolehnya dari guru agama di sekolah. Perbedaan paham inilah yang mengakibatkan Rahayu sering berselisih dengan Ibunya. Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang hingga Rahayu tumbuh menjadi seorang remaja yang beranjak dewasa. Ketika Rahayu telah lulus SMA, maka Sumarni pun menganjurkan kepada putrinya itu agar melanjutkan ke bangku kuliah. Dan Rahayu pun memilih berkuliah di Yogyakarta. Walaupun dengan berat hati Sumarni tetap memperbolehkan Rahayu hidup mandiri demi cita-citanya “jadi pegawai”.

Tak lama setelah kepergian Rahayu, konflik demi konflik pun terjadi pada kehidupan Sumarni. Meskipun usahanya berkembang pesat, akan tetapi tetap saja kebahagiaan yang sejati sulit untuk diperolehnya, belum lagi Teja yang sering pulang pagi. Sikap suaminya ini telah disadari Sumarni sebagai gejala-gejala perselingkuhan antara Teja dan gendakannya.

Tahun berganti tahun Sumarni lalui dengan peluh bercampur darah mengumpulkan rejeki seorang diri, karena Teja yang semenjak menikah dengan Sumarni adalah Teja yang hidup dari penghasilan sang istri semata. Sedangkan Rahayu tak juga datang ke kampung halamannya. Sumarni yang menyimpan kerinduan yang tulus selalu berdoa agar putri semata wayangnya itu senantiasa dalam perlindungan Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.

(7)

Dibalik harapan-harapan agung seorang ibu terhadap anaknya, ternyata sang anak satu-satunya ini telah menemukan kekasihnya, yaitu seorang dosen yang mengajarnya di universitas tempat Rahayu menimba ilmu. Dosen yang telah beristri itu adalah Amri Hasan. Rahayu dan Amri beserta beberapa temannya bergabung membentuk kelompok demonstran yang melakukan unjuk rasa di markas besar tentara, akan tetapi aksi mereka ditentang oleh pihak rektorat universitas, maka mereka pun resmi dikeluarkan dan Amri dipecat. Kemudian Rahayu pun kembali ke kampung halamannya bersama calon suaminya itu.

Doa restu pun diperoleh mereka dari kedua orang tua Rahayu meskipun ada rasa kecewa yang amat dalam pada diri Sumarni. Kemudian mereka menikah dengan hanya disaksikan orang-orang terdekat saja. Beberapa hari setelah pernikahan berlangsung mereka pun berangkat ke Yogyakarta. Setibanya di sana Rahayu pun bergabung ke dalam kelompok jamaah sang suami. Mereka tinggal di pesantren milik Kyai Hasbi, guru spiritual Amri. Rahayu dan Amri sangat mengagumi ajaran-ajaran Kyai Hasbi. Suatu ketika Rahayu, Amri, Kyai Hasbi, dan beberapa anggota pesantren pergi ke sebuah kampung yang hendak digusur oleh pemerintah. Mereka akan memperjuangkan nasib para warga yang tinggal di kampung tersebut.

Akan tetapi perjuangan mereka berakhir tragis, yang menyebabkan Rahayu masuk penjara dan Amri meninggal dunia. Sedangkan Ibu Rahayu belum sekalipun mendapatkan kabar dari putrinya itu. Kesedihan dialami Sumarni untuk kesekian kalinya. Teja meninggal dunia.

(8)

Setelah tiga tahun terlewati, Rahayu pun telah keluar dari penjara. Ia pun kembali kepada ibunya di tengah-tengah duka yang dialami keluarganya. Rahayu kini tidak lagi seperti Rahayu yang dulu. Kini Ia lebih pendiam dan sangat menurut kepada ibunya. Ia bahkan tidak lagi menentang Sumarni ketika sesajen-sesajen meramaikan rumahnya, juga ketika ibunya berdoa di depan rumah pada malam hari seraya memohon perlindungan kepada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.

Sumarni menerima dengan legowo keadaan putrinya sebagai mantan napi. Akan tetapi Rahayu tetap saja cacat KTP. Setiap penduduk yang pernah menjadi narapidana, akan mendapat perlakuan berbeda di lingkungan sosial dan mendapat tanda di KTP, karena pada masa itu hal ini dianggap terlibat dalam PKI. Sehingga orang yang telah masuk dalam kategori ini akan sulit diterima dalam masyarakat. Dampak dari peristiwa di atas menjadi suatu beban moral bagi Sumarni. Kondisi fisiknya pun semakin lemah sejalan dengan pertambahan usianya. Baginya tiada berarti lagi harta yang banyak bila dibandingkan dengan keberadaan putri semata wayangnya yang meresahkan masyarakat Singget.

(9)

Lampiran 3

(10)

Lampiran 4

Kulit Sampul Buku-Buku Acuan

(11)

Gambar

Foto dan Biografi Okky Madasari

Referensi

Dokumen terkait