• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Jaminan Legalitas Kayu/Startegy Timber Legality and Assurance System

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Sistem Jaminan Legalitas Kayu/Startegy Timber Legality and Assurance System"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sistem Jaminan Legalitas Kayu/Startegy Timber Legality and Assurance System (TLAS) atau di dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) merupakan inisiatif dan komitmen pemerintah Indonesia, bukan atas dorongan atau intervensi dari negara lain dalam upaya menjamin legalitas kayu dan produk perkayuan Indonesia khususnya produk mebel yang bersertifikat ramah lingkungan yang dipasarkan di dalam negeri maupun tujuan ekspor (Amafnini, 2014). SVLK dapat dikatakan sebagai suatu kebijakan dan kendaraan politik Indonesia, yang dibuat atau dirumuskan oleh berbagai pihak, tidak terlepas dari perundingan FLEGT dan kerjasama Voluntary Partnership Agreements-Forest Law Enforcement Governance and Trade (VPA-FLEGT) yang dibangun antara Indonesia – Uni Eropa pada tahun 2007 – 2009.

Tujuan dibuat dan dikeluarkannya SVLK oleh pemerintah yaitu untuk mengatasi isu lingkungan seperti illegal logging dan illegal trade, yang dapat menghambat kontinuitas pelaku industri di sektor kehutanan khususnya eksportir mebel di tanah air mengekspor produk-produknya di kawasan Uni Eropa. Oleh sebab itu, SVLK dinilai sangat penting dibuat agar pelaku industri di sektor kehutanan termasuk industri mebel di tanah air, dapat leluasa mengekspor produk-produknya ke Uni

(2)

2 Eropa dan menjadi suatu sistem dan kebijakan yang dipersyaratkan oleh Uni Eropa (Mandelson, 2012). Selain itu dengan SVLK, maka pemerintah Indonesia dan pelaku industri di sektor kehutanan termasuk industri mebel di tanah air, siap dan tidak keberatan terhadap persyaratan eco-labelling oleh Uni Eropa terhadap ekspor produk-produk kayu tropis termasuk produk-produk mebel dari Indonesia (Montes & Magno, 1997). SVLK juga menandakan kepatuhan Indonesia, untuk mematuhi kerjasama VPA-FLEGT dan memenuhi kebijakan European Union Timber Regulation (EUTR) yang dipersyaratkan oleh Uni Eropa.

Industri mebel (furniture) yang merupakan salah satu industri manufaktur pengolahan kayu dengan trend ekspor yang meningkat, turut menyumbang pendapatan bagi Indonesia. Pada tahun 2004, nilai ekspor mebel Indonesia sebesar 1.129.502.649 US$ dan meningkat lagi sebesar 1.326.300.209 US$ di tahun 2005 dengan nilai ekspor sebesar 6,14% di tahun 2004 dan 2005 (Fauzi, Rachmaningtyas, Rumayya, & Suaidi, 2007, p. 3). Di tahun 2001, Uni Eropa yang menjadi pangsa pasar terbesar bagi ekspor dari produk mebel Indonesia, menyumbang pendapatan sekitar 33,5 € juta dengan pangsa pasar 10,22% dan mencapai 19,30% per tahun (Anggraini, 2002, p. 1). Namun saat ini, Uni Eropa telah menjadi pasar tujuan ekspor mebel Indonesia kedua setelah Amerika Serikat dengan nilai share 27% dari nilai total ekspor Indonesia sebesar 1,8 USD milyar (Tribun Jogja, 2012, p. 3).

Dengan dikeluarkannya SVLK, pelaku industri mebel di tanah air menolak untuk melaksanakan dan mematuhi SVLK. Respon pemangku kepentingan, untuk menunda

(3)

3 pelaksanaan SVLK tidaklah berlebihan. Hal ini dikarenakan, adanya kesenjangan antara standar-standar yang termuat di dalam SVLK, dengan kondisi industri mebel di Indonesia. Selain itu, belum adanya studi kelayakan mengenai SVLK dari berbagai sektor-sektor industri kehutanan termasuk sektor industri mebel yang mengandalkan kayu dalam proses produksinya, sehingga diperkirakan dapat mengganggu ekspor mebel. Perkirakan tersebut dapat terjadi, karena ekspor dari industri mebel dan kayu olahan menyumbang pendapatan untuk negara di tahun 2009 sebesar 433 juta dolar, di tahun 2010 sebesar 529,82 juta dolar dan di tahun 2011 sebesar 673,75 juta dolar (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah, 2012).

Namun setelah mengalami penundaan yang cukup lama, akhirnya SVLK diberlakukan kembali di tahun 2014. Pemberlakuan SVLK ditandai dengan, dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2011, untuk menyempurnakan standar-standar yang terdapat dalam peraturan sebelumnya dan meningkatkan akuntabilitas serta kredibilitas SVLK. Selain itu, pemerintah Indonesia mengeluarkan logo “V-Legal” yang disahkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 641 /KPTS-II/2011, sebagai tindak lanjut dari implementasi SVLK.

Jepara yang terletak di Provinsi Jawa Tengah, merupakan salah satu kabupaten terkenal dengan sentra industri mebel tidak luput diwajibkan untuk mempunyai SVLK. Industri mebel di Kabupaten Jepara, terbagi dalam industri skala besar sebesar 2% dan industri skala menengah sebesar 6% (Purnomo, Irawati, & Wulandari, Kesiapan Produsen Mebel di Jepara dalam Menghadapi Sertifikasi

(4)

4 Ekolabel, 2011, p. 128). Sedangkan industri kecil berjumlah sekitar 10.000, hanya menghasilkan keuntungan paling tinggi 10% dari biaya produksi (Brilliantono, 2012). Hasil penelitian yang dibukukan oleh CIFOR dan CIRAD, industri mebel memegang peranan penting dalam perekonomian di Kabupaten Jepara. Hal dikarenakan, industri mebel dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Jepara sebesar 26% dengan nilai ekspor 130 juta dolar di tahun 2010 dan di tahun 2011 mencapai 11,65 juta dolar (Brilliantono, 2012). Keberadaan industri mebel di Kabupaten Jepara, juga dapat memunculkan ribuan industri ukuran kecil dan menengah dari jaringan yang terlokalisasi dan terkosentrasi di beberapa kecamatan (Roda, Cadène, Guizol, Santoso, & Fauzan, 2007, p. 5).

Bagi pemangku kepentingan yang terkait dengan industri mebel di Kabupaten Jepara, SVLK dinilai sangat memberatkan. Dari segi biaya, SVLK dinilai sangat mahal khususnya bagi industri mebel skala kecil. Selain itu, rumitnya persyaratan legalitas yang ditetapkan dan kurangnya lembaga atau pihak ketiga sebagai verifikator untuk memverifikasi unit usaha, turut menambah beban permasalahan industri mebel sehingga melemahkan kinerja dan membahayakan kontinuitas industri mebel di Kabupaten Jepara.

1.2 Rumusan Masalah

SVLK merupakan suatu kebijakan dari pemerintah Indonesia yang wajib untuk dipatuhi oleh pelaku industri mebel Indonesia khususnya di Kabupaten Jepara,

(5)

5 menyebabkan penulis mengajukan pertanyaan yaitu: Bagaimana SVLK dibuat dan mengapa Indonesia mengeluarkan SVLK?

1.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian-penelitian maupun penulisan yang membahas mengenai sertifikasi kayu, dalam perdagangan internasional bukan sesuatu yang baru. Isu sertifikasi kayu sebagai salah satu isu lingkungan yang mempengaruhi perdagangan internasional, bermula dari permasalahan kerusakan hutan yang terjadi di Amerika Utara pada pertengahan tahun 1980-an.

Sertifikasi kayu, merupakan suatu proses yang menghasilkan suatu sertifikat untuk membuktikan asal-usul kayu atau bahan kayu yang dilakukan oleh pihak ketiga secara independen. Tujuan sertifikasi kayu, untuk menjamin konsumen bahwa produk hasil hutan yang dibeli berasal dari pengelolaan hutan yang baik. Sedangkan, menurut International Tropical Timber Organization (ITTO) sertifikasi adalah salah satu dari sejumlah instrumen berbasiskan pasar, yang berkontribusi untuk meningkatkan pengelolaan hutan dan peningkatan pembangunan sektor kehutanan, menghubungkan perdagangan hasil hutan yang dikelola secara lestari, dan menyediakan informasi kepada pembeli tentang standar pengelolaan hutan dari mana asal kayu yang datang (Rytkönen, 2003, p. 88).

Salah satu penelitian, yang membahas mengenai sertifikasi produk kayu diajukan oleh Purnomo, Irawati dan Wulandari (2011) dengan mengambil contoh kasus sertifikasi Chains of Custody, pada pengrajin kecil di Jepara. Penelitian tersebut,

(6)

6 ingin melihat kesediaan konsumen untuk membayar produk mebel yang bersertifikasi, dan kesiapan produsen mebel khususnya pengrajin di Kabupaten Jepara dalam menghadapi sertifikasi ekolabel.

Terungkap bahwa, kesiapan industri mebel di Kabupaten Jepara dalam menghadapi sertifikasi hanya sebesar 71,4%, yang dikarenakan produsen mebel kesulitan dalam mencari bahan baku bersertifikasi serta tidak ada jaminan mendapatkan harga yang lebih tinggi dari mebel bersertifikasi (Purnomo, Irawati, & Wulandari, 2011, p. 130). Kesediaan konsumen Uni Eropa, khususnya di Inggris dalam membayar produk mebel bersertifikasi lebih besar yaitu 16% daripada konsumen di Norwegia sebesar 7,5%. Sebaliknya, kesediaan konsumen konvensional (41%) dalam membayar produk mebel bersertifikasi cukup rendah. Hal ini dikarenakan, konsumen konvensional tidak mempunyai ketertarikan, maupun upaya nyata dalam membeli produk bersertifikasi dan belum pernah membeli produk ramah lingkungan. Dengan kata lain, apabila kemampuan konsumen dalam membayar mebel bersertifikasi serta kapasitas industri atau produsen mebel dalam memproduksi mebel bersertifikasi cukup rendah, maka sertifikasi menjadi tantangan tersendiri bagi produsen mebel atau industri mebel di Jepara.

Penelitian selanjutnya ditulis oleh Ramania (2011), yang menekankan pada kebijakan pemerintah dalam meningkatkan daya saing industri furniture serta posisi Indonesia sebagai eksportir furniture kayu dalam tingkat global. Posisi Indonesia dalam kawasan ASEAN, termasuk peringkat ke-4 dan merupakan pengekspor utama

(7)

7 dari negara-negara lainnya seperti Vietnam. Namun posisi Indonesia melemah, dikarenakan di tahun 2008 secara drastis volume furniture Vietnam meningkat sebesar 40%. Sedangkan pada saat ini, posisi Indonesia di kawasan Asia berada di urutan lima besar setelah China dan Malaysia.

Menurut pandangan Ramania, lemahnya posisi Indonesia dari negara-negara lainnya dikarenakan beberapa faktor seperti: kualitas sumber daya manusia (SDM), permasalahan bahan baku, serta pengelolaan rantai nilai di industri furniture. Selain beberapa faktor tersebut, faktor lainnya seperti: hambatan ekspor dengan menggunakan isu lingkungan, krisis ekonomi, dan kinerja pesaing regional seperti China, yang mampu mengungguli kekuatan industri lokal. Dari beberapa faktor tersebut, upaya produsen mebel dalam meningkatkan daya saing industri atau perusahaan dengan melakukan up-grading meliputi: pemasaran, proses manufaktur, dan penguatan kualitas bahan melalui sertifikasi. Terkait dengan sertifikasi, Ramania berpendapat bahwa sertifikasi yang menuntut akan kepatuhan standar secara global dapat membuka peluang pada peningkatan daya saing industri furniture Indonesia.

Secara umum, penelitian yang diajukan oleh Purnomo, Irawati dan Wulan mengenai sertifikasi dalam industri mebel, bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan oleh Ramania. Hal ini dikarenakan, sertifikasi yang menjadi fokus penelitian oleh Purnomo dan kawan-kawan, merupakan sertifikasi yang bersifat sukarela, dengan sampel berfokus pada industri kecil dan tidak melihat kondisi industri skala menengah maupun skala besar sebagai salah satu produsen mebel yang

(8)

8 cukup berpengaruh di Kabupaten Jepara. Pada akhirnya, dinamika dari proses pelaksanaan serta pengaruh sertifikasi disetiap kalangan industri mebel di Kabupaten Jepara belum dapat terlihat secara keseluruhan.

Lain halnya penjelasan yang diberikan oleh Ramania mengenai sertifikasi. Penjelasan yang diberikan mengenai sertifikasi yaitu SVLK, hanya gambaran umum dengan menggunakan perbandingan antara sertifikasi yang bersifat sukarela dan wajib. Jadi, pendekatan negara sebagai aktor utama dan basis analisis dalam mencapai kepentingannya, untuk melindungi dan meningkatkan kapasitas industri dalam negeri khususnya industri mebel di Indonesia tidak terlihat sama sekali. Hal ini terlihat di dalam tulisannya, bahwa SVLK dapat bersifat sukarela apabila suatu unit usaha telah mendapatkan sertifikasi Chain of Custody dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sebagai pihak ketiga dalam mengeluarkan sertifikasi. Kemungkinan terjadinya pembiasan dalam pandangan peneliti, lebih menekankan pada faktor-faktor yang melemahkan daya saing industri mebel di Indonesia, melalui unit analisis yaitu rantai nilai mebel dan tidak melihat fakta faktual secara dinamis dengan mengambil salah studi kasus yang terjadi di lapangan.

Secara kasat mata, peneliti berpandangan bahwa SVLK sebagai salah satu kebijakan pemerintah untuk mematuhi kerjasama internasional antara Indonesia dan Uni Eropa dalam konteks perdagangan internasional. Pada akhirnya, industri dalam negeri khususnya industri mebel di Kabaupaten Jepara yang menggantungkan

(9)

9 aktivitasnya dari kayu, mendapat keuntungan akibat pelaksanaan SVLK dengan meningkatnya ekspor produk-produk mebel di Uni Eropa.

Untuk itu, penelitian yang akan dilakukan kali ini merupakan penelitian yang membahas SVLK, dengan melihat proses dibalik pembuatan atau dikeluarkannya SVLK serta aktor-aktor yang terlibat dalamnya. Adapun cakupan penelitian ini meliputi: industri skala besar, menengah maupun kecil di Kabupaten Jepara dengan tujuan pasar Uni Eropa dengan melihat kepentingan Indonesia serta implikasi yang terjadi setelah pelaku industri mebel mematuhi dan menerapkan SVLK.

Adapun pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Jepara dikarenakan, industri mebel di Kabupaten Jepara merupakan salah satu sentra industri mebel di Indonesia yang salah satu pangsa pasar ekspor terbesarnya yaitu Uni Eropa, dengan mengandalkan keunggulan pada ukiran kayu produk mebel mereka yang telah diwariskan sejak turun-temurun dan mempunyai sistem produksi yang khas. Selain itu, diperkirakan ekspor industri mebel di Kabupaten Jepara menyumbang sekitar 10%, dari total ekspor mebel Indonesia dan merupakan salah satu industri vital yang menopang perekonomian di Kabupaten Jepara. Jadi, apabila SVLK dapat mengganggu ekspor mebel di Kabupaten Jepara, maka devisa negara yang diperoleh dari ekspor mebel akan semakin berkurang.

1.4 Kerangka Pemikiran

Dunia yang semakin terintegrasi dan kompleks, yang mana negara-negara merupakan bagian di dalamnya menuntut suatu kebijakan domestik, bilateral maupun

(10)

10 regional untuk mengatasi masalah-masalah yang kompleks di bidang politik, ekonomi maupun sosial. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dibutuhkan suatu kebijakan yang merupakan pelaksanaan dan kesepakatan dari suatu perjanjian internasional.

Perjanjian internasional atau pengaturan hukum lainnya merupakan pilihan politik yang mana dirumuskan dan dirancang untuk menyimpulkan serta memastikan bahwa hasil akhirnya, akan mewakili beberapa derajat maupun akomodasi kepentingan negara dalam proses negosiasi (Chayes (a) & Chayes, 1993, p. 180). Dalam perjanjian internasional yang menjadi mainstream atas berjalannya sebuah kesepakatan, adalah konsistensi dan bagaimana negara-negara yang telah menyepakati perjanjian mempunyai kuasa penuh atas tindakan maupun kebijakan yang akan diberlakukan. Pada dasarnya, beberapa perjanjian merupakan pernyataan prinsip umum sementara yang lain, mengandung resep rinci yang didefiniskan sebagai interaksi dan payung suatu perjanjian untuk membangun konsensus untuk mempersiapkan peraturan yang lebih spesifik (Chayes (a) & Chayes, 1993, p. 176). Ketika negara-negara masuk ke dalam perjanjian internasional, mereka mengubah perilaku mereka, hubungan mereka, dan harapan mereka dari satu sama lain dari waktu ke waktu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional.

Menurut Abram Chayes dan Antonio Handler Chayes, dalam teori compliance ada tiga alasan utama yang mendasari tindakan sebuah negara dalam mematuhi

(11)

11 perjanjian internasional, yaitu: efisiensi, kepentingan dan norma (Chayes (b) & Chayes, 1995, p. 4). Negara sebagai aktor rasional, dapat dikatakan telah bertindak secara efisien apabila mematuhi aturan dan kesepakatan yang terdapat dalam perjanjian internasional. Pentingnya efesiensi dalam pertimbangan suatu negara mematuhi perjanjian internasonal sebab, efisensi menentukan kelangsungan dari kebijakan yang dibuat dengan mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan. Selain itu, dengan mematuhi kesepakatan maka akan mempunyai implikasi yang lebih baik bagi suatu negara daripada melanggar perjanjian. Dalam berbagai kasus, negara-negara yang melanggar perjanjian internasional yang telah disepakati bersama, negara tersebut akan mengalami pengucilan dari negara-negara lainnya.

Selain atas dasar efisiensi, tindakan setiap negara dalam mematuhi perjanjian internasional juga didasarkan pada kepentingan-kepentingan tertentu yang sering disebut sebagai kepentingan nasional. Dari sudut pandang realis kontemporer, menganggap bahwa kepentingan merupakan timbal balik dari suatu perjanjian dengan pihak lain, atau kepentingan yang lebih umum dengan melibatkan reputasi suatu negara sebagai mitra yang dipercaya dan harus dihitung dalam biaya serta manfaat yang didasarkan pada keputusan yang telah dibuat atau dikeluarkan. Negara tersebut akan patuh pada kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat bersama dengan negara lainnya apabila point-point dalam perjanjian yang dimaksud mewakili atau mencerminkan kepentingan nasionalnya. Dengan kata lain, negara perlu tidak masuk ke dalam perjanjian yang tidak sesuai dengan kepentingannya.

(12)

12 Pengambilan keputusan atau kebijakan domestik maupun luar negeri yang berorientasi kepada tuntutan politik, serta difokuskan kepada biaya dan manfaat jangka pendek dalam proses pembuatan kebijakan, dapat befungsi untuk mengidentifikasi dan memperkuat kepentingan. Dalam proses pembuatan kebijakan itu sendiri, secara khasnya dapat melibatkan perdebatan antar pemerintah yang tidak hanya melingkupi tingkatan secara nasional, tetapi juga birokrasi internasional dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Governmental Organization (NGO) yang terkait (Chayes (a) & Chayes, 1993, p. 182).

Terkait dengan perjanjian itu sendiri secara normatif, perjanjian internasional dipahami dan diakui sebagai salah satu instrumen, untuk mengupayakan terciptanya hubungan yang harmonis dan saling mendukung satu sama lain antara negara-negara dan bersifat mengikat. Akibat dari cara pandang di atas, yaitu perjanjian internasional sebagai norma hukum yang harus dipatuhi oleh negara-negara yang meratifikasi perjanjian internasional yang pada akhirnya mengubah perilaku negara-negara tersebut. Alasan-alasan inilah, yang selalu menjadi dasar pertimbangan maupun tindakan sebuah negara dalam mematuhi perjanjian internasional.

Kepatuhan Indonesia mematuhi perjanjian internasional dengan Uni Eropa seperti kerjasama bilateral dalam bidang perdagangan yaitu VPA-FLEGT, pemerintah dapat melihat bahwa SVLK dapat meningkatkan ekspor mebel Indonesia dan mempermudah akses pasar ke Uni Eropa tanpa melakukan kewajiban zero risk, sehingga produk mebel Indonesia tidak menimbulkan biaya yang tinggi akibat

(13)

13 dikembalikan ke negara asal karena tidak bisa masuk ke Uni Eropa (Departemen Kehutanan, 2013). Pada akhirnya, devisa yang diperoleh dari ekspor mebel semakin meningkat dan pelaku industri mebel di Indonesia tidak mengalami kerugiaan. Selain itu, dengan meratifikasi perjanjian VPA-FLEGT dan melibatkan aktor-aktor yang terkait proses pembuatan kebijakan, maka kredibilitas dan pengakuan produk-produk kayu termasuk mebel dari Indonesia akan diperoleh dari Uni Eropa.

Bagi pelaku industri mebel yang merupakan aktor non-negara dan driver dari pembangunan, yang terlibat dalam proses pembuatan SVLK tidak dapat menolak dan harus mematuhi SVLK. Hal ini dikarenakan, suatu kebijakan yang telah dibuat secara bersama-sama mencerminkan kepentingan-kepentingan aktor-aktor yang hidup dibawah kebijakan tersebut. Selain itu, kebijakan tersebut secara tidak langsung dapat memberikan implikasi bagi aktor terkait khususnya pelaku industri mebel di Kabupaten Jepara yang telah mematuhi dan menerapkan SVLK.

1.5 Argumen Utama

Dengan menggunakan teori compliance di atas maka, penulis menjelaskan bahwa SVLK dibuat dengan melibatkan berbagai aktor seperti: pemerintah, NGO dan pelaku industri untuk mematuhi dan mengikuti kerjasama internasional antara Indonesia dan Uni Eropa yaitu Voluntary Partnership Agreements-Forest Law Enforcement

Governance and Trade (VPA-FLEGT). Selain itu, Indonesia mengeluarkan SVLK

sebagai wujud kepatuhan dalam kerangka kerjasama VPA-FLEGT, karena SVLK dinilai dapat mencegah produk-produk kayu tropis ilegal dan meningkatkan ekspor

(14)

14 produk mebel di Uni Eropa. SVLK juga memberikan implikasi pada kapasitas, harga jual serta akses pasar bagi pelaku industri mebel di Kabupaten Jepara.

1.6 Jangkauan Penelitian

Penelitian ini akan berfokus kepada proses perjalanan dibuatnya SVLK dan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya dengan mengambil data-data sebelum dan sesudah SVLK dikeluarkan yaitu pada rentang waktu tahun 2003 – 2009 dan 2009 – 2014. Selain itu, untuk melihat kepentingan Indonesia serta implikasi SVLK pada industri mebel di Kabupaten Jepara. Karena secara resmi, pemerintah Indonesia mengeluarkan SVLK pada tahun 2009.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Metodologi Penelitian

Suatu disiplin ilmu, dalam melakukan penelitian terikat oleh suatu prosedur ilmiah. Prosedur ilmiah dalam suatu keilmuan biasanya disebut metode penelitian. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian Kualitatif merupakan jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik, atau bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran angka.

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam tahap penyusunan penelitian, ada beberapa macam teknik dalam mengumpulkan data salah satunya yaitu dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara. Studi Kepustakaan yaitu mendapatkan sumber-sumber maupun

(15)

15 referensi-referensi dalam melakukan penelitian melalui literatur, buletin, buku-buku, majalah, jurnal berkala, situs internet, booklet, leaflet, laporan institusi dan asosiasi terkait seperti Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, Asosiasi Industri Permebelan & Kerajinan Indonesia (ASMINDO) Komda Jepara serta Asosiasi Pengrajin Kayu Jepara (APKJ) dalam menjelaskan dan menganalisis permasalahan yang ada secara deskriptif. Wawancara yaitu dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada pihak-pihak yang terlibat langsung seperti pengusaha mebel skala kecil dan menengah maupun pengusaha besar serta best practice yang berada di Kabupaten Jepara.

1.7.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, adalah untuk memperkaya studi-studi mengembangkan kemampuan analitik dan sikap kritis dari sudut pandang yang berbeda dalam memahami fenomena-fenomena yang berkaitan dengan studi ekonomi politik internasional khususnya kepentingan Indonesia terkait isu-isu lingkungan yang menggunakan sertifikasi untuk mempengaruhi kebijakan di dalam industri mebel Indonesia.Selain itu, penelitian ini dapat dipergunakan untuk menambah pengetahuan dan literatur untuk penelitian selanjutnya. Sedangkan bagi pemangku kepentingan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan maupun landasan pemikiran dalam mengambil keputusan atau kebijakan yang berkaitan dengan industri mebel.

(16)

16 1.8 Sistematika Penulisan

Penulisan dalam penelitian ini, terbagi dalam beberapa bab, yang mana bab-bab tersebut terdiri dari:

Bab pertama, merupakan penjelasan singkat mengenai dan permasalahan industri mebel di Indonesia khususnya industri mebel di Kabupaten Jepara. Selanjutnya, permasalahan tersebut dirumuskan dalam pertanyaan penelitian berdasarkan tinjauan pustaka, yang didukung oleh kerangka pemikiran untuk memperkuat argumentasi yang ada sehingga membentuk suatu hipotesa.

Bab kedua, akan memberikan gambaran mengenai perjalanan munculnya SVLK dan aktor-aktor yang terlibat berserta kepentingannya dalam merumuskan SVLK.

Bab ketiga, akan menganalisis alasan Indonesia dalam mengeluarkan SVLK dalam meraih kepentingannya melalui perdagangan internasional.

Bab keempat, akan menggambarkan implikasi yang ditimbulkan oleh SVLK terhadap pelaku industri mebel di Kabupaten Jepara serta respon-respon yang dikemukan oleh pelaku industri mebel.

Bab kelima, yaitu menyimpulkan dari hasil keseluruhan penulisan dari bab-bab sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Tes tertulis : Menilai ranah pengetahuan tentang peran pelaku kegiatan ekonomi dalam bentuk objektif dan uraian: Unjuk kerja: Menilai kemampuan diskusi/presentasi

: lnplemcntrsi Kebijakatr Pemerbtrh Kot3 yogyakrfa dahm Pengelolarn Sampah (Studi: Pcnturan Deerah Kota yogyakrrtr Nomorl0 Trhun2012 tentang Pengeloharl

digunakan bagi siswa kelas V di SD Negeri 1 Kaliprau Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang. Produk model permainan tradisional bontengan adu sudah dapat digunakan

Dari hasil penelitian yang meliputi uji kekerasan dan struktur mikro maka dapat diambil kesimpulan bahwa pada aluminium paduan Al-Cu dengan Variasi paduan Cu

Sedangkan F tabel sebesar 2,47 jadi F hitung > F tabel yaitu 10,447 > 2,47 maka hipotesis diterima sehingga terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan atau

merupakan hasil diskusi dengan Dinas ESDM berdasarkan pertimbangan daya listrik yang dihasilkan, kemudahan untuk diakses, dan manfaat yang didapat. Hasil PLTMH

Perubahan formal yang terjadi adalah rincian detil bidang urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah

Berita” terhadap kebutuhan informasi lokal pada mahasiswa Universitas Sumatera.