BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi
Awalnya, sapi diidentifikasi sebagai tiga spesies terpisah, yakni Bos taurus
atau sapi Eropa, Bos indicus atau zebu, dan Bos primigenius atau ourochs yang
merupakan leluhur sapi domestik. Kini, keluarga sapi tersebut dijadikan satu
spesies, yakni Bos primigenius. Sementara itu, Bos p. taurus dan Bos p. indicus
dijadikan subspesies. Berikut ini adalah klasifikasi ternak sapi :
o Kerajaan : Animalia
o Filum : Chordata
o Kelas : Mamalia
o Subkelas : Eutheria
o Ordo : Artiodactyla
o Famili : Bovidae
o Subfamili : Bovinae
o Genus : Bos
o Spesies : B. primigenius
o Subspesies : B. p. taurus, B. p. indicus, B. p. javanicus
(Setiadi, 2012)
Parasit
Parasit adalah organisme yang eksistensinya tergantung adanya organisme
lain yang dikenal sebagai induk semang atau hospes. Organisme yang hidup
sebagai parasit seperti cacing telah dikenal beratus-ratus tahun yang lalu oleh
nenek moyang kita. Hewan-hewan parasit telah dikenal dan dibicarakan semenjak
Ilmu parasit sendiri berkembang setelah manusia menyadari pentingnya ilmu
parasit dalam bidang biologi. Redi (1626-1698), sebagai bapak parasitologi,
adalah seorang Itali yang pertama kali mendiskripsi secara detail Fasciola
hepatica. Setelah ditemukan alat pembesar oleh Leeuwenhock (1632-1723) dari
Belanda, hewan-hewan parasit bersel satu banyak ditemukan (Sumartono, 2010).
Parasit pada Sapi
Trematoda
Trematoda disebut juga cacing daun, trematoda adalah subfilum dari filum
Platyhelmintes dan tidak memiliki rongga tubuh serta semua organ dalam jaringan
parenkimnya berbeda. Parasit jenis ini juga memiliki tubuh pipih dorsoventral dan
tidak berligmen, serta mempunyai 2 alat penghisap, dimana satu alat
penghisapnya mengelilingi mulut dan yang lainnya berada di dekat pertengahan
tubuh atau pada ujung posterior. Sebagian besar trematoda adalah hemafrodit
yang berarti memiliki kelamin ganda, yaitu kelamin jantan dan betina (Levine,
1990).
Fasciola sp. Fasciola hepatica (Gambar 1) terdapat di dalam empedu domba, sapi, kambing, kelinci, manusia, dan hampir semua mamalia lainnya di
seluruh dunia. Parasit dewasa berbentuk daun, mencapai panjang 5 cm dan lebar
1,5 cm. Mereka mempunyai “bahu” yang nyata tetapi di belakang kerucut.
(a) (b)
Gambar 1. (a) Telur cacing Fasciola sp. (Thienpont,1986), (b) Cacing Fasciola Hepatica (Vickers, 2011).
Siklus hidup parasit ini sangat komplek, pendek dan cepat penularannya.
Fasciola sp. mengalami mata rantai siklus perkembangan atau stadium dalam
siklus hidupnya sampai ke saluran empedu. Daur hidup cacing hati dimulai dari
telur yang dikeluarkan dari uterus cacing masuk ke saluran empedu, kantung
empedu, atau saluran hati dari induk semang. Telur terbawa ke dalam usus dan
meninggalkan tubuh bersama tinja. Dalam sehari, Fasciola hepatica dapat
memproduksi rata-rata 1331 butir telur pada domba dan 2628 butir telur pada sapi
(Dixon, 1964).
Paramphistomum sp. Cacing Paramphistomum sp. (Gambar 2)
mempunyai panjang sekitar 10-12 mm dan lebar 2-4 mm. Cacing ini berotot dan
bertubuh tebal, menyerupai bentuk kerucut, dengan satu penghisap mengelilingi
(a) (b)
Gambar 2. (a) Telur cacing Paramphistomum (Thienpont, 1986), (b) Cacing Paramphistomum (Jyoti, 2014).
Parasit ini tumbuh pada siput sederhana yang hidup di air tawar. Di dalam
tubuh siput, seperti halnya pada Fasciola, Paramphistomum juga mengalami daur
dalam bentuk sporokista, redia, dan cercaria. Cercaria dalam kista yang menempel
pada daun akan termakan ternak, dan tumbuh di duodenum sebagai cacing muda,
dan setelah dewasa selanjutnya migrasi ke abomasum dan retikulum. Seluruh daur
hidup diselesaikan dalam waktu 6 minggu sampai 4 bulan (Subronto, 2001).
Nematoda
Cacing Nematoda saluran pencernaan yang paling banyak menimbulkan
gangguan produksi adalah cacing Haemonchus contortus, Trichostrongylus sp.
dan Oesophagostomum colombianum. Cacing ini dibagi dalam tiga kelompok,
yaitu kelompok Strongyles (Haemonchus sp., Cooperia sp., Oesophagostomum
sp., Trichostrongylus sp., Bunostomum sp.), kelompok Strongyloides dan
kelompok cacing lainnya seperti Trichuris sp., Capilaris sp., Ascaris sp. dan
Moniezia sp. (Kosasih, 2003).
yang bersifat partenogenetik. Mereka mempunyai esophagus sangat panjang dan
berbentuk hampir silindris, vulva pada bagian pertengahan tubuh posterior, ekor
pendek berbentuk kerucut, uterus amfidelf (dengan cabang ke depan maupun ke
belakang), dan telur telah berembrio (Levine, 1990).
Siklus hidup cacing betina parasitik menghasilkan telur berembrio atau
larva yang keluar bersama tinja. Larva stadium pertama rabditiform dan makan
mikroorganisme dalam tinja. Mereka menyilih menjadi larva stadium kedua, juga
rabditiform, yang juga makan mikroorganisme dalam tinja. Larva ini menyilih
menjadi larva stadium ketiga dalam 2 tipe. Beberapa larva stadium ketiga
mempunyai esophagus silindris. Mereka menginfeksi induk semang vertebrata
dengan menembus kulit atau tertelan. Apabila mereka telah memasuki kulit,
mereka pergi ke kapiler dan terbawa oleh darah ke paru-paru, kemudian mereka
merusak dinding kapiler, masuk kedalam saluran udara, dan berimigrasi ke trakea
dan turun ke esophagus menuju usus halus, mereka menyilih mejadi larva stadium
ke empat dan menjadi dewasa (Levine, 1990).
Oesophagostomum. Oesophagostomum sering disebut cacing benjol pada
ternak (Gambar 8). Mulutnya mengarah ke depan dan dikelilingi oleh kerah mulut
yang mempunyai papila-papila dan dibatasi oleh cincin cekung di sebelah
posterior. Kapsula bukal dangkal berbentuk cincin dan terdapat lanset pada
corong esophageal. Spikulumnya sama besar dan vulva cacing betina parasit ini
(a) (b)
Gambar 3. (a) Telur cacing Oesophagostomum (Thienpont, 1986), (b) Cacing Oesophagostomum sp. (Agustina, 2013).
Sapi dapat terinfeksi dengan menelan latva stadium ketiga ketika makan
rumput. Larva masuk kedalam dinding usus halus dan usus besar, di tempat itu
mereka menyilih menjadi larva stadium keempat dalam 5-7 hari, kembali ke
lumen usus 7-14 hari sesudah infeksi, dan menyilih menjadi stadium dewasa
didalam usus besar 17-22 hari sesudah infeksi. Telur terdapat pada tinja 32-42
hari sesudah infeksi (Levine, 1990).
Cestoda
Cestoda disebut juga cacing pita, mereka tidak mempunyai rongga badan
dan semua organ-organ tersimpan didalam jaringan parenkim. Semua cacing pita
ini bersifat parasit. Tubuhnya biasanya panjang, pipih seperti pita, dan biasanya
terdiri dari 3 daerah. Kepala (skoles atau alat berpegangan), leher pendek, dan
diikuti badan atau strobila (Levine, 1990).
Coccidia
Coccidia adalah protista dari sub-filum Apicomplexa yang uniseluler,
illinoisensis, E. pellita, E. supspherica, E. wyomingensis, E. zuernii (1). Tiga belas
spesies Eiimeria umumnya diterima sebagai parasit pada sapi. Eiimeria
merupakan spesies yang sangat spesifik dalam menginfeksi inangnya dalam
bentuk ookista. Ookista bersporulasi ke dalam usus hewan mulai dari beberapa
hari sampai beberapa minggu, tergantung pada kelembaban temperatur spesies,
dan faktor lingkungan lainnya. Ookista sangat tahan dan bisa bertahan di bawah
kondisi yang menguntungkan pada suhu minus 400⁰C untuk waktu yang lama
yang dapat bertahan sepanjang musim dingin. Eiimeria bovis berukuran lebar
17-23 μm, panjang 17-23-34 μm, berbentuk ovoid dan tidak simetris, berwarna
coklat/kuning, mempunyai 2 dinding sel, tidak punya microphyle, oosit tidak
polar, terdapat 2 gumpalan sporozoit, dan panjang x lebar sekitar 5-8 x 13-18
(Ahmad, 2008).
Letak Geografis
Kabupaten Kulonprogo. Geografis Kabupaten Kulonprogo terletak
diantara 7⁰ 45’ - 7⁰ 55’ LS dan 110⁰ 1’ - 110⁰ 16’ BT. Luas wilayah Kabupaten
Kulonprogo mencapai ±20.068 hektar. Kondisi iklim sebagian besar beriklim
basah. Bulan basah rata-rata tahunan selama 10 tahun terakhir 6 – 8 dan bulan
kering < 2, mempunyai curah hujan 2000 – 3000 mm/tahun dengan pola ganda
(Anonim, 2016c).
Kabupaten Sleman. Geografis Kabupaten Sleman terbentang mulai 110⁰ 15’ 13” sampai dengan 110⁰ 33’ 00” Bujur Timut dan 7⁰ 34’ 51” sampai dengan
atau 574,82 km² atau sekitar 18% dari luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta yang seluas 3,185,80 km² (Anonim , 2016a)
Kabupaten Gunungkidul. Geografis Kabupaten Gunungkidul terletak
antara 7⁰46’ - 8⁰12’ Lintang Selatan dan 110⁰21’ - 110⁰ 50’ Bujur Timur. Luas
wilayahnya mencapai 1.485,36 km², atau 46,63% dari seluruh wilayah daratan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Gunungkidul memiliki curah
hujan rata-rata sebesar 2145 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 115
hari per tahun. Bulan basah 4 sampai 6 bulan, sedangkan bulan kering berkisar
antara 4 sampai bulan. Musim hujan dimulai pada bulan Oktober – November
dan berakhir pada bulan Mei – Juni setiap tahunnya. Puncak curah hujan dicapai
pada bulan Desember – Febuari (Anonim, 2015).
Kabupaten Bantul. Secara geografis Kabupaten Bantul terletak antara
07⁰ 44’ 04” - 08⁰ 00’ 27” Lintang Selatan da 110⁰ 12’ 34” - 110⁰ 31’ 08” Bujur
Timur. Luas wilayahnya 506,85 km² dengan topografi sebagai dataran rendah
40% dan 60% daerah perbukitan yang kurang subur (Anonim, 2016d).
Iklim
Dilihat dari letak geografisnya wilayah DIY ini beriklim tropis dengan
keadaan cuaca panas dan lembab. Keadaan cuaca yang panas dan lembab dapat
mempengaruhi status kesehatan hewan. Variasi perubahan cuaca akan
tinggi, prevalensi penyakit dapat berkembang dan meningkat salah satunya adalah
infeksi parasit (Winarso, 2012)
Umur
Untuk beberapa parasit seperti Toxocara lebih banyak menginfeksi sapi
jantan dibanding sapi betina, karena pada sapi betina yang terinfeksi larva kedua
(L2) tidak berkembang menjadi L3 tetapi akan mengalami dormansi dan tetap
tinggal di dalam jaringan. Larva ketiga akan berkembang pada saat sapi betina
bunting dan pada masa menjelang partus, akan terjadi transplacental infection
atau transmamary infection pada janin. Cacing memiliki tingkat morbiditas dan
mortalitas yang tinggi bagi pedet berumur 15 sampai 50 hari. Apabila infeksi di
lapangan tidak ditanggulangi, prevalensi bisa mencapai 100% pada pedet dan bisa
berlanjut menjadi kematian bila kondisi nutrisi buruk (Stark-Buzetti, 2006).
Pencegahan dan Pemberantasan Parasit
Tindakan yang paling efektif dalam usaha pencegahan dan pemberantasan
parasit adalah dengan jalan memotong atau mengganggu daur hidup parasit.
Program pencegahan parasitisme perlu dilakukan dan tidak perlu menunggu
terjadinya parasitisme klinis, hingga perubahan pada hospes yang sifatnya
ireversibel maupun kerugian ekonomi yang besar dapat dihindari. Untuk
mengendalikan parasitisme yang sifatnya subklinis diperlukan pemeriksaan rutin
terhadap adanya parasit gastrointestinal. Usaha-usaha yang banyak dianjurkan
untuk menghindari dan mengatasi parasitisme adalah sebagai berikut (1) sanitasi
dengan tindakan kebersihan baik disertai atau tanpa obat-obatan antiseptika, (2)
perbaikan manajemen perkandangan, (3) perbaikan kualitas pakan, dan (4)
pengobatan (Subronto dan Tjahajati, 2001)
Untuk pengobatan pada sapi yang telah terinfeksi dapat dilakukan dengan
obat cacing berspektrum luas seperti levamisol, piperazine, albendazole, dan
panacur. Pengobatan pertama dilakukan 3 minggu setelah datangnya musim
hujan, kemudian diulangi dengan selang waktu 6 minggu sampai permulaan
musim kemarau. Dapat pula diberi obat Valbazen yang dicampur dengan air
minuman. Pemberian obat ini dilakukan setiap 4-5 kali bulan sekali. Pada kasus