• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. agama, ideologi, budaya, dan sejarahnya. Dalam Ilmu Tata Negara terdapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. agama, ideologi, budaya, dan sejarahnya. Dalam Ilmu Tata Negara terdapat"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Nilai Kebangsaan

Bangsa adalah sekumpulan manusia yang bersatu pada satu wilayah dan memepunyai keterikatan dengan wilayah tersebut. Sekumpulan manusia tersebut yang dianggap memilik identitas bersama, dan mempunyai kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya, dan sejarahnya. Dalam Ilmu Tata Negara terdapat berbagai pengertian mengenai istilah bangsa. Mengenai pengertian ada beberapa batasan seperti di bawah ini.

1. Ernest Rinan (Perancis). Bangsa terbentuk karena adanya keinginan untuk hidup bersama (hasrat bersatu) dengan perasaan setia kawan yang agung. 2. Otto Bauer (Jerman). Bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai

persamaan karakter. Karakteristik tumbuh karena adanya persamaan nasib. 3. Hans Kohn (Jerman). Bangsa adalah buah hasil hidup manusia dalam sejarah. Suatu bangsa merupakan golongan yang beraneka ragam dan tidak bisa dirumuskan secara eksak. Kebanyakan bangsa memiliki faktor-faktor obyektif tertentu yang membedakannya dengan bangsa lain. Faktor-faktor itu berupa persamaan keturunan, wilayah, bahasa, adat istiadat, kesamaan politik, perasaan, dan agama.( Winarno, 2009)

Di dunia terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda. Setiap bangsa memiliki nilai yang menjadi falsafah hidup atau pandangan hidup yang dibuat demi keberlangsungan bangsa itu sendiri. Nilai kebangsaan yang disepakati bersama dan diwujudkan menjadi falsafah hidup dan identitas suatu bangsa, tidak

(2)

terjadi begitu saja tetapi melewati proses konstruksi sosial. Kesadaran akan perbedaan dari tiap individu atau kelompok yang dapat mendorong terjadinya pergesekan dan menimbulkan konflik. Dalam menjaga keseimbangan dan stabilitas, maka dibentuklah satu konsensi atau kesepakatan bersama yang membentuk nilai-nilai yang disepakati bersama menjadi pedoman hidup. Sejalan dengan adanya perubahan-perubahan sosial akibat adanya eksternalisasi individu, maka nilai-nilai tersebut menjadi landasan untuk membentuk aturan sosial atau hukum pada lembaga sosial sebagai proses objektivasi. Aturan soaial yang bersifat memaksa secara dialektis sebagai tujuan untuk menjaga kestabilan kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak dapat menghindari adanya eksternalisasi individu. Sehingga perlu adanya internalisasi agar terbentuk kesadaran subjektif, sehingga terjadi proses eksternalisasi individu lebih seiring atau sesuai dengan nilai atau aturan yang berlandaskan nilai kebangsaan.

Bangsa Indonesia mengandung nilai kebangsaan yang bersumber dari dan mengakar dalam budaya, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ada 3 (tiga) tingkatan nilai, yaitu: nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis. 1. Nilai dasar yaitu asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat

sedikit banyak mutlak. Kita menerima nilai dasar itu sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi.

2. Nilai instrumental sebagai pelaksanaan umum dari nilai dasar. Umumnya berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.

(3)

3. Nilai praktis yaitu nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai praktis sesungguhnya menjadi batu ujian, apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tersebut termasuk nilai etik atau nilai moral. Nilai-nilai dalam Pancasila termasuk dalam nilai tingkat dasar. (Winarno, 2009)

Pancasila sebagai ideologi nasional melandasi pandangan (cara pandang) atau falsafah hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta sekaligus menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia. Sebagai nilai instrumental, nilai-nilai kebangsaan tersebut melandasi segala kegiatan pemerintahan negara, baik dalam pengelolaan pemerintahan negara maupun dalam membangun hubungan dengan negara-negara lain, juga menjadi etika bagi penyelenggara negara.

Sebagai jati diri bangsa, nilai-nilai kebangsaan tersebut berwujud menjadi sikap dan perilaku yang nampak pada atau ditunjukkan oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Misalnya, bagaimana seseorang bangsa Indonesia harus bersikap dan berperilaku dalam kebersamaan sebagai anggota masyarakat, bagaimana ia harus bersikap dan berperilaku sebagai komponen bangsa, serta bagaimana ia harus bersikap dan berperilaku sebagai warga negara Indonesia.

Nilai kebangsaan tersebut dapat menghilang apabila tidak di internalisasikan atau ditanamakan kepada generasi selanjutnya. Terutama pada generasi muda sebagai tonggak pembangunan. Untuk itu pemerintah mengembangkan nilai-nilai kebangsaan dimulai sejak dini salah satunya dalam

(4)

dunia pendidikan. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan nilai kebangsaan teridentifikasi sejumlah nilai sebagai berikut.

Tabel 2.1 Nilai kebangsaan yang dikembangkan pada pendidikan No. Nilai Deskripsi

1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam

melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan

dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.

3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya

sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk

menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8. Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang

menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa ingin tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10. Semangat

kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11. Cinta tanah air

Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

(5)

prestasi menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain.

13. Bersahabat/ Komunikatif

Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14. Cinta damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15. Gemar Membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16. Peduli lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17. Peduli sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberikan bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18. T a n g g u n g

jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,

lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

(Sumber: Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah, Kemendiknas, 2010)

Proses konstruk terjadi melalui pembiasaan tindakan sehingga aktor mengetahui bahwa tindakan itu berulang-ulang dan memperlihatkan keteraturan. Berger dan Luckman (Maliki, 2008) menjelaskan bahwa makna-makna umum yang dimiliki bersama dan diterima tetap dilihat sebagai dasar dari organisasi sosial, namun makna yang berkembang di luar makna-makan umum merupakan hasil manusia yang muncul dari lingkungan sosial yang diciptakannya. Lingkungan ini adalah nilai-nilai dan makna-makana yang selalu berkembang, yang mulanya bersifat religi, yang memberikan fokus yang sesungguhnya dari

(6)

organisasi sosial dan yang dimiliki secara bersama-sama oleh setiap orang. Makna-makna ini berkembang dan di-obyektivasi-kan di dalam institusi-institusi sosial dan karena itu mensosialisasi anggota baru dari suatu masyarakat.

Pada penelitian tentang internalisasi nilai kebangsaan dalam kegiatan Ekspedisi NKRI 2015 lebih memfokuskan pada internalisasi nilai toleransi (kesediaan bekerjasama dengan berbeda suku), nilai solidaritas (kerjasama antara sipil dan militer dalam menjaga kedaulatan rakyat), mengenal wilayah Indonesia, memperteguh ke-bhineka-an bangsa Indonesia, peduli Lingkungan, dan cinta tanah air.

2.2 Teori Konstruksi Sosial

Nilai Kebangsaan sebagai falsafah suatu bangsa yang membentuk identitas bangsa, merupakan serangkaian pemaknaan dari berbagai peranan yang melalui proses. Proses tersebut merupakan serangkaian konstruksi sosial yang terbentuk dari produk-produk buatan manusia. Konstruksi sosial (social construction) merupakan teori sosiologi kontemporer yang dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teori ini dimaksudkan sebagai suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis). Tetapi lebih menekankan pada tindakan manusia sebagai aktor yang kreatif dan realitas sosialnya. Realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah sosok korban sosial, namun merupakan sebagai mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Bungin, 2001:4).

(7)

Bagi Berger, masyarakat adalah produk manusia, berakar pada fenomena eksternalisasi. Individu terpenjara oleh epoch sejarah di mana dia dilahirkan, anak dari budaya masyarakat tempatnya berada. Individu tumbuh berkembang, berbahasa, berperilaku, menggagas, memperoleh pengetahuan, pemahaman serta persepsi yang diperoleh dari budaya sekitar. Sehingga individu terdorong untuk melakukan konformasi dengan nilai-nilai dan apa saja yang berlaku di masyarakat dimana mereka hidup. Tetapi sebagai manusia bebas, individu memiliki konsep, ide, mimpi, penafsiran dan konstruk individu yang subyektif, sehingga tidak dapat menjalankan konformasi begitu saja tetapi juga berperan untuk mengelolanya. Dengan demikian manusia sejatinya dikontrol dari dalam dirinya (from within)

dan sekaligus dikontrol dari luar dirinya (from without).

Realitas atau kenyataan dan pengetahuan adalah istilah kunci dalam teori konstruksi sosial. Sosiologi pengetahuan harus mampu melihat pengetahuan dalam struktur kesadaran individual dan bisa membedakan antara (pengetahuan dan kesadaran). Pengetahuan adalah kegiatan yang menjadikan suatu kenyataan menjadi kurang lebih diungkapkan, sedangkan kesadaran menjadikan saya lebih mengenal diri sendiri yang sedang berhadapan dengan kenyataan tertentu. Pengetahuan lebih berurusan antara subjek dengan kenyataan tertentu dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik. Kenyataan didefinisikan sebgai suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen-fenomen yang kita akui sebagai pemilik keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri (kita tidak dapat “meniadakannya dengan angan-angan”).

Berger melihat masyarakat sebagai realitas objektif dan realitas Subjektif. Masyarakat sebagai realitas subjektif, mempelajari bagaimana realitas telah

(8)

menghasilkan dan terus menghasilkan individu. Konsep-konsep atau penemuan-penemuan baru manusia menjadi bagian dari realitas kita (sebuah proses yang disebutnya reifikasi). Manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan objektif memengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif). Kenyataan sosial itu tersirat dalam pergaulan sosial yang diungkapkan secara sosial lewat berbagai tindakan sosial seperti komunikasi lewat bahasa bekerjasama lewat bentuk-bentuk organisasi sosial. Kenyataan sosial ini disebut konsep intersubjektivitas menujuk pada dimensi struktur kesadaran umum ke kesadaran individual dalam suatu kelompok khusus yang sedang saling berintegrasi dan berinteraksi. Berger memandang masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat.

Berger dan Luckman memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang stimulant, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi serta masalah legitimasi yang berdimensi kognitif dan normatif, inilah yang dinamakan kenyataan sosial. Hal tersebut merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, ke masa kini, dan menuju masa depan. (Endang Sriningsih. 2010)

2.1 Bagan pemikiran Berger: Konstruksi sosial (sumber: Ishardanti. 2011)

Masyarakat

Individu

OBJEKTIFITASI Pelembagaan, Legistimasi, dan

reifikasi Eksternalisasi: Pembiasaan Tipifikasi pengendapan Internalisasi: Sosialisasi

(9)

Peter L. Berger bersama-sama dengan Thomas Luckman menyebutkan proses terciptanya konstruksi realitas sosial melalui adanya tiga tahap, yakni Eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan melalui proses institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya). Secara singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut:

A. Eksternalisasi

Manusia melakukan eksternalisasi sebagai suatu keharusan dikarenakan untuk menjadi manusia ia harus mengalami perkembangan kepribadian dan perolehan budaya sebagai kelengkapan biologisnya. Sebagai bagian dalam masyarakat yang memiliki produk sosial, manusia harus terus-menerus menginternalisasikan (penyesuaian diri) dalam aktivitasnya sebagai bagian dari produk manusia. Sehingga dunia yang dibentuk (dikonstruksi) merupakan aktivitas manusia sendiri; ia harus membentuk dunianya sendiri dalam hubungannya dengan dunia. Berger dan Luckmann menyatakan bahwa tidak mungkin bagi manusia untuk berkembang sebagai manusia dalam keadaan terisolasi untuk menghasilkan suatu lingkungan manusiawi. Maka itu, manusia selalu hidup dalam kolektivitas, dan akan kehilangan kolektivitasnya jika terisolir dari manusia lainnya. Aktivitas manusia dalam membangun-dunia pada hakikatnya merupakan aktivitas kolektif. Kolektivitas itulah yang melakukan pembangunan-dunia, yang merupakan realitas sosial. Manusia

(10)

menciptakan alat-alat, bahasa, menganut nilai-nilai, dan membentuk lembaga-lembaga. Produk aktivitas manusia--yang berupa produk-produk sosial terlahir dari eksternalisasi.

B. Objektivasi

Objektivasi berarti disandangnya produk-produk aktivitas (baik fisis maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan produsennya semula, dalam bentuk kefaktaan (faktisitas) yang bersifat eksternal. Dunia yang diproduksi manusia memperoleh sifat realitas objektif. Dunia sosial yang telah memperoleh sifat objektif, tetap tidak dapat dilepaskan dari status ontologisnya, dari aktivitas manusia yang menghasilkannya. Individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini berlangsung tanpa harus mereka saling bertemu. Artinya, proses ini bisa terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, dan tanpa harus terjadi tatap muka antar individu dan pencipta produk sosial.

Semua aktivitas manusia yang terjadi dalam eksternalisasi, menurut Berger dan Luckmann, dapat mengalami proses pembiasaan (habitualisasi) yang kemudian mengalami pelembagaan (institusionalisasi). Setiap tindakan yang sering diulangi, akan menjadi pola. Pembiasaan, yang berupa pola, dapat dilakukan kembali di masa mendatang dengan cara yang sama, dan juga dapat dilakukan di mana saja. Di balik pembiasaan ini, juga sangat mungkin terjadi inovasi. Namun, proses-proses pembiasaan mendahului sikap pelembagaan. (Manuaba.

(11)

2011). Dunia kelembagaan adalah aktivitas manusia yang diobjektivasi. Tatanan kelembagaan itu diobjektivasi dengan cara reifikasi. Lembaga-lembaga juga mengendalikan perilaku manusia dengan menciptakan pola-pola perilaku. Pola-pola-pola inilah yang kemudian mengontrol yang melekat pada pelembagaan. Pada tahap ini, sebuah produk sosial berada proses institusionalisasi.

Hal terpenting dalam Objektivasi adalah pembuatan signifikasi karena tujuannya yang eksplisit sebagai isyarat atau indeks bagi pemaknaan subjektif, maka objektivasi juga dapat digunakan sebagai tanda, meskipun semula tidak dibuat untuk maksud itu. Pembuatan tanda-tanda oleh manusia sehingga membedakan antara objektivasi-objektivasi. Agama, filsafat, kesenia dan ilmu pengetahuan, secara historis merupakan sistem – sistem simbol paling penting semacam ini. Bahasa merupakan alat simbolis untuk melakukan signifikasi, yang mana logika ditambahkan secara mendasar kepada dunia sosial yang diobjektivasi. C. Internalisasi

Masyarakat dipahami juga sebagai kenyataan subjektif, yang dilakukan melalui internalisasi. Internalisasi adalah suatu pemahaman atau penafsiran individu secara langsung atas peristiwa objektif sebagai pengungkapan makna. Proses di mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.

Terdapat dua pemahaman dasar dari proses internalisasi secara umum. pertama, pemahaman mengenai individu dan orang lain; kedua,

(12)

pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial. Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif ditafsiri secara subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah berlangsung internalisasi.

Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk memahami dunia yang sedang dihuni sesamanya. Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder. Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individupun bahkan hanya mampu memahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.

2.3Internalisasi Nilai Kebangsaan dalam Konstruksi Sosial Berger

Internalisasi dalam teori konstruksi sosial merupakan proses mentransformasikan realitas oleh manusia dari dunia objektif menuju kesadaran subjektif. Proses Internalisasi tersebut dilakukan dengan sosialisasi, terbagi menjadi dua macam yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder.

Sosialisasi primer adalah sosialisasi pertama yang dialami individu dalam masa kanak-kanak, dimana anak mengidentifikasi peranan dan sikap orang-orang yang berpengaruh baginya lalu menginternalisasi yang kemudian menjadikannya sebagai peranan sikap dirinya (identitas). Hal yang pertama sekali harus diinternalisasi adalah bahasa. Ia sudah merupakan anggota masyarakat dan secara

(13)

subjektif telah memiliki suatu diri dan sebuah dunia. Anak menginternalisasinya sebagai dunia satu-satunya yang ada dan yang dapat dipahami. Oleh karena itulah dunia yang diinternalisasi dalam sosialisasi primer jauh lebih kuat tertanam dalam kesadaran dibandingkan dengan dunia-dunia yang diinternalisasi dalam sosialisasi sekunder.

Sosialisasi sekunder, adalah setiap proses berikutnya saat anak masuk ke dalam sektor-sektor baru dunia objektif masyarakatnya (sejumlah “subdunia” kelembagaan, atau yang berlandaskan lembaga). Lingkup jangkauan dan sifat sosialisasi ini, ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya. Sosialisasi sekunder adalah proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan peranannya (role specific knowledge), dan peranan ditentukan berdasarkan pembagian kerja.

Jika sosialisasi tidak berhasil menginternalisasi sedikit dari makna paling penting dari suatu masyarakat, maka masyarakat itu tidak akan berhasil membentuk tradisi dan menjamin kelestarian masyarakat itu sendiri. Dalam sosialisasi primer, cenderung melihat bahwa kegagalan sosialisasi dapat disebabkan karena pengasuh yang berlainan mengantarkan berbagai kenyataan objektif kepada individu. Kegagalan sosialisasi dapat merupakan akibat heterogenitas di kalangan personil sosialisasinya.

Identitas merupakan satu unsur kunci kenyataan subjektif dan berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Proses-proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Masyarakat mempunyai sejarah dan di dalam perjalanan sejarah itu muncul identitas-identitas khusus;

(14)

tetapi sejarah-sejarah itu dibuat oleh manusia dengan identitas-identitas tertentu. Jika kita memahami dialektika ini, kita akan dapat menghindari pengertian yang menyesatkan tentang identitas-identitas kolektif yang tidak memperhitungkan keunikan dari eksistensi individu. Hanya dengan mengalihkan dunia sosial kepada generasi baru maka dialektika sosial yang mendasar dapat tampil dalam totalitasnya. Hanya dengan munculnya satu generasi baru, kita benar-benar dapat berbicara tentang suatu dunia sosial.

Pada penelitian ini melihat bagaimana jalannya kegiatan Ekspedisi NKRI 2015 dalam menginternalisasikan nilai kebangsaan pada mahasiswa. Menanamkan nilai kebangsaan agar dipahami anggotannya terutama mahasiswa dalam mengidentifikasi dirinya dengan nilai yang diterima dalam kegiatan Ekspedisi NKRI 2015 adalah salah satu tujuan khusus dari kegiatan tersebut. Mahasiswa sebagai individu yang bebas dan kritis mampu menginterpretasikan nilai kebangsaan sesuai dengan pemahamannya, walau dengan penginternalisasian terdapat proses penanaman nilai kebangsaan yang sama terhadap semua anggotanya. Maka dalam internalisasi yang dilakukan Ekspedisi NKRI 2015 dapat dipahami dengan beragam cara dan diaplikasikan dengan beragam cara, sesuai bagaimana individu mengkonstruksikan realitas sosial dalam pemahamannya.

Dengan menginternalisasikan nilai kebangsaan kepada para peserta mahasiswa, pemaknaan akan nilai kebangsaan dapat diidentifikasikan sebagai sesuatu yang harus dijaga karena realitanya telah terjadi kemunduran dari nilai kebangsaan Indonesia akibat bergesernya nilai tersebut dengan masuknya nilai – nilai asing maupun nilai kelompok kepentingan. Sebagai bagian dalam masyarakat yang memiliki produk sosial, mahasiswa perlu menginternalisasikan

(15)

(penyesuaian diri) dalam aktivitasnya sebagai bagian dari produk manusia. Sehingga dunia yang dibentuk (dikonstruksi) merupakan aktivitas manusia sendiri; ia harus membentuk dunianya sendiri dalam hubungannya dengan dunia. Sehingga dalam kegiatan Ekspedisi NKRI Koridor Kepulauan Nusa Tenggara 2015 penginternalisasian nilai kebangsaan melalui sosialisasi dan kegiatan yang berbobot nilai kebangsaan, mahasiswa menginternalisasikannya dalam aktivitasnya selama kegiatan berlangsung. Selama itu juga terjadi proses pemaknaan nilai tersebut mengidentifikasikannya dalam dirinya dan ikut berperan aktif dalam melakukan perubahan dalam masyarakatnya.

2.4Internalisasi Nilai Kebangsaan pada Militer

Militer sebagai angkatan bersenjata memiliki peran penting dalam menjaga pertahanan negara. UUD 1945 menetapkan sistem pertahanan negara yang menempatkan rakyat sebagai pemeran yang vital, bahwa pertahanan negara dilaksanakan dengan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta. Makna yang terkandung dalam Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta adalah bahwa rakyat adalah yang utama dan dalam kesemestaan, baik dalam semangat maupun dalam mendayagunakan segenap kekuatan dan sumber daya nasional, untuk kepentingan pertahanan dalam membela eksistensi NKRI. Undang-undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, pada Bab III pasal 9 mengamanatkan :

a. Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela Negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan Negara.

(16)

b. Keikutsertaan warga Negara dalam upaya bela Negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan melalui : (a) pendidikan kewarganeraan; (b) pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; (c) Pengabdian sebagai TNI Prajurit TNI secara sukarela atau secara wajib; (d) Pengabdian sesuai dengan Profesi.

Diwujudkannya sistem pertahanan dan keamanan yang mampu menjamin keselamatan seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan negara, menjaga seluruh garis batas negara di darat, laut dan udara dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Rote, termasuk di pulau – pulau terluar dan terpencil. Sarana dan prasarana sistem pertahanan dan keamanan haruslah didukung oleh kemajuan teknologi persenjataan baik fisik maupun non fisik, yang militer maupun non militer. Pertahanan negara merupakan bentuk nasionalisme dan patriotisme bangsa Indonesia yang harus terwujud secara nyata (living realities) dalam seluruh peri kehidupan masyarakat dan pemerintahan negara sehari – hari, dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan kerja serta dalam kebijakan dan tindakan pemerintahan negara. Nasionalisme adalah sikap bangsa sedangkan patriotisme adalah sikap individunya.

Sebagai pertahanan dan keamanan negara memiliki jiwa yang menjunjung nilai kebangsaan sangat diperlukan bagi prajurit. The core of any army is its soldiers, no matter how sophisticated its equipment, its performance is solely dependent on its soldiers. Douglas MacArthur, General, US Army,

1945. Ungkapan salah seorang komandan militer yang cukup terkenal, yaitu

Jendral MacArthur. Seorang Jendral AS yang pernah menjadi panglima mandala Pasukan Sekutu di Pasifik pada era Perang Dunia ke-2 (1941-1945) dan

(17)

selanjutnya menjadi panglima mandala Pasukan Gabungan PBB semasa Perang Korea (1951-1955). Esensi pada peran sumber daya manusia sebagai unsur yang paling kritis dalam setiap proses pengembangan suatu entitas tertentu. Untuk itu diperlukan pembentukan karakter yang mendukung pertahanan negara, melalui internalisasi kepada para prajurit. Internalisasi dilakukan melalui nilai-nilai yang ada dalam organisasi militer; kebiasaan-kebiasaan, visi dan misi, yang memiliki makna tersendiri. Salah satu bentuk kebiasaan-kebiasaan tersebut yaitu baris berbaris.

Dalam militer baris berbaris adalah elemen paling dasar yang harus diberikan kepada prajurit baru. Tujuan dari latihan baris-berbaris ini tidak lain adalah untuk menanamkan nilai melalui gerak fisik dan konsentrasi diri. Setiap prajurit diajarkan untuk cermat bertindak sesuai dengan aba-aba, perintah dan pelaksanaan gerak yang harus seragam. sebagai pembentukan sikap dan penanaman nilai disiplin pada diri setiap prajurit, meskipun tentunya ditunjang oleh materi pendidikan lainnya.

Dalam kaitan propaganda politik, baris berbaris merupakan salah satu cara untuk membangun suatu pandangan bagi tentara dan warga negara. Hal ini dibuktikan oleh parade pasukan NAZI Jerman di tahun 1930 yang benar-benar mengagumkan, cepat dan kuat. Mereka jelas sekali menggunakan parade tersebut sebagai alat manipulasi psikologis, sehingga mampu membuat masyarakat merasa kuat dan bangga, membuat mereka bahagia berada dibelakang para pasukan yang sangat berdedikasi dan menginspirasi. Contoh lain berasal dari Korea Utara Tahun 2002/2003 disaat menghadapi politik agresif Amerika Serikat terkait pengembangan senjata nuklir. Korea Utara menempatkan sejumlah besar parade

(18)

militer, yang terkadang beberapa regu yang terdiri dari anak-anak dengan memainkan instrument dan menampilkan Rigid Dance (tarian dalam formasi baris berbaris). Hingga tindakan ini menarik perhatian masyarakat melalui liputan berita yang disiarkan, hingga dari setiap liputan tersebut berkomentar betapa modern militer dan tentara Korea Utara. Tentunya ini adalah strategi untuk membangun suatu persepsi tentang betapa terlatihnya dan siapnya tentara Korea Utara terhadap ganguan apa saja yang mungkin akan dialami oleh negaranya.

Salah satu tugas pokok TNI, yaitu melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), Ekspedisi NKRI adalah bentuk dari OMSP untuk membantu pemerintah dalam mempercepat proses pembangunan serta pemberdayaan masyarakat, pelaksanaan TNI dalam hal ini Kopassus (TNI AD) bermitra dengan berbagai komponen bangsa lainnya (kementrian, lembaga, dinas, instasi, badan, perguruan tinggi, lsm, ormas dll) yang secara bahu membahu terjun ke wilayah terpencil dan terisolir untuk membangun serta memberdayakan masyarakat.

Gambar

Tabel 2.1 Nilai kebangsaan yang dikembangkan pada pendidikan  No.  Nilai  Deskripsi

Referensi

Dokumen terkait

Aspek afektif siswa yang dapat terlihat setelah melakukan praktik dengan berpedoman buku panduan guru penilaian kinerja menggambar bentuk adalah kepedulian, disiplin, tekun,

kebijakan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional kemudian diambil kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas

Penulis meneliti mengenai penghematan kata pada kolom Surat Pembaca surat kabar harian Suara Merdeka edisi Oktober 2013, yaitu bentuk penggunaan dan proses pembetulan

plantarum kik-MAG minyak kelapa seperti asam organik diantaranya asam laktat, asetat, sitrat, dan asam-asam lemak jenuh rantai pendek dan menengah diduga kuat penyebab dalam

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa kelas IV SD Negeri 1 Jlumpang pada mata pelajaran bahasa

Siray salah satu graffiti artist UMK yang berbeda dengan sentuhan gradasi warna yang halus pada karakter gambarnya, terjun di graffiti sejak tahun 2008, material yang di

Pemilukada secara langsung dipilih oleh rakyat mempunyai dampak positif diantaranya adalah dapat memutus oligarki yang dilakukan sekelompok elit dalam penentuan

Agus Jamal, M.Eng., selaku Ketua Program Studi Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan sebagai Dosen Pembimbing Utama Skripsi yang telah membimbing