• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebuah kasus menjadi paraplegia akibat kecelakaan jauh berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebuah kasus menjadi paraplegia akibat kecelakaan jauh berbeda"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebuah kasus menjadi paraplegia akibat kecelakaan jauh berbeda dengan paraplegia dari sejak lahir, tidak mudah bagi seseorang untuk menerima secara langsung kondisinya yang mengalami perubahan. Perlu terapi psikologis khusus agar seseorang dapat menerima kenyataan yang dialaminya. Kondisi ini tentu menimbulkan penolakan dan trauma, rasa sedih timbul akibat perubahan penampilan fisik, serta hilangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas tertentu.

Paraplegia adalah suatu kondisi kelumpuhan atau tidak berfungsinya kedua anggota tubuh bagian bawah sebagaimana semestinya yang disebabkan oleh kerusakan saraf pada tulang belakang, yang dapat terjadi pada individu dari sejak lahir maupun setelah lahir yang dikemukakan oleh Soeharso (1995). Sedangkan menurut Bromley (1985), paraplegia adalah kelumpuhan sebagian anggota tubuh bagian bawah dan tulang belakang yang disebabkan karena kerusakan pada tulang belakang trokal, lumbal atau sacral, kelumpuhan ini bisa pada sebagian tubuh bagian bawah, atas ataupun keseluruhan.

Paraplegia sendiri bukanlah suatu penyakit, paraplegia merupakan kondisi cedera pada sumsum tulang belakang yang mengenai sistem saraf pusat dan kebanyakan disebabkan karena jatuh dari ketinggian, kecelakaan parah dan ada juga karena penyakit bawaan. Kebanyakan pasien paraplegia mengalami kelumpuhan pada kedua kaki dan mati rasa pada bagian perut hingga ujung kaki akibat cedera sumsum tulang belakang sehingga menyebabkan pasien

(2)

paraplegia menggunakan kursi roda dan alat bantu lainnya untuk mendukung hidup mereka (Arif, 2013).

Chapin, M. H., Miller, S. M., Ferrin, J. M., Chan, F., & Rubin, E. S. (2004) menyebutkan bahwa penyandang cacat cenderung memiliki kualitas hidup yang rendah dibandingkan orang yang tanpa cacat, sebab mereka cenderung mengalami keterbatasan ruang gerak sehingga kurang bebas dalam melakukan kegiatan kemasyarakatan. Masalah aksesbilitas penyandang cacat juga masih rendah, banyak fasilitas umum yang belum mendukung terhadap penyandang cacat paraplegia sehingga menghambat akses partisipasi mereka pada berbagai bidang.Mereka juga sering mengalami diskriminasi ganda terutama penyandang cacat paraplegia yang hidupnya tergantung pada kursi roda. Dengan berbagai masalah yang dihadapi paraplegia, wajar saja jika mereka merasa tidak dihargai, kecewa, sedih, marah, sehingga menyebabkan mereka semakin stres dan depresi. Lebih lanjut Hurlock (2004) menyatakan penyandang cacat tubuh yang tidak dapat menerima dirinya secara realistis, cenderung menganggap dirinya tidak berharga dan merasa orang lain mengaggapnya negatif dan rendah.

Data dari Dinas Kepedudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta tahun 2012, tercatat bahwa jumlah penduduk penyandang cacat di Kota Surakarta berjumlah 1.237 jiwa. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Surakarta 545.653 jiwa hanya 0,23 %. Penyandang cacat terbesar berada di Kecamatan Banjarsari, yaitu 419 orang, kemudian Kecamatan Jebres 348 orang, dan terkecil berada di Kecamatan Serengan 118 orang. Dilihat dari jenis kecacatan, jumlah terbesar adalah penyandang cacat fisik, yaitu 354 orang kemudian penyandang cacat mental/jiwa sebesar 311 orang, dan terkecil adalah penyandang cacat fisik dan mental, yaitu 70 orang. Jika dikaitkan dengan jenis

(3)

kelamin, maka penyandang cacat terbesar adalah penduduk berjenis kelamin laki-laki dengan jenis kecacatan adalah cacat fisik, yaitu sebesar 205 orang, diikuti cacat mental/jiwa yaitu 196 orang. Hal yang sama juga terjadi pada penyandang cacat perempuan, yaitu sebesar 149 orang adalah penyandang cacat fisik dan 115 orang penyandang cacat mental/jiwa. Dari data di atas terbukti bahwa jumlah terbesar dari penyandang cacat di Kota Surakarta adalah cacat fisik. Cacat fisik disini meliputi paraplegia atau kelumpuhan anggota tubuh bagian bawah (Dinas Kepedudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, 2012).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam World Report On Disability (WHO, 1999) disebutkan bahwa dalam aspek kesehatan penyadang disabilitas cenderung mengalami berbagai penyakit kronis dan penyakit lainnya dibandingkan dengan nonpenyandang disabilitas. Ada tiga kategori yang terjadi pada kondisi kesehatan penyandang disabilitas. Pertama, permasalahan kesehatan pada kerusakan atau kelainan fungsi biologisnya, seperti kelainan atau kerusakan syaraf pada tulang belakang yang menyebabkan kelumpuhan anggota gerak. Kedua, permasalahan kesehatan sebagai akibat dari kondisi pertama.Ketiga, kondisi kesehatan yang berkaitan dengan kategori sebelumnya yang berpengaruh secara langsung pada kualitas atau harapan hidupnya, misalnya kanker rahim atau gagal ginjal.

Selain efek fisik pasien paraplegia juga mengalami efek psikis yang akan timbul pada diri pasien. Berbagai masalah timbul sejak pasien mengalami paraplegia, selama dirawat di rumah sakit maupun setelah pasien diizinkan pulang atau berobat jalan yang mengakibatkan pasien paraplegia mengalami tekanan psikologis ditandai dengan penurunan konsentrasi dan kognitif yang buruk (Valentine & Meyers, 2001), perasaan tidak berdaya (Perry, 2000),

(4)

ketakutan (Xuereb & Dunlop, 2003), depresi dan kecemasan (Courneya, Keats, & Turner, 2000), dan penurunan yang nyata dalam bentuk tubuh dan disfungsi seksual disebabkan oleh efek samping dari pengobatan (Isikhan, V., Guner, P., Komurcu, S., Ozet, A., Arpaci, F., & Ozturk, B. et al, 2001. ; Xuereb & Dunlop, 2003). Faktor- faktor sosial yang terkait diantaranya termasuk kehilangan pekerjaan, masalah keuangan, penarikan sosial, masalah keluarga, dan beberapa pasien serta keluarga pasien harus menghadapi beban tambahan geografis relokasi dari daerah-daerah untuk menerima perawatan spesialis di kota besar (McGrath, 2001).

Seorang pasien paraplegia dari Solo, Awan Sigit usia 53 tahun sempat putusasa dan berniat bakar diri karena usahanya mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dari Pemkot Solo tak bisa dipenuhi, yaitu berupa jaminan kesehatan bagi warga yang tidak mampu dan membutuhkan (Solo Pos, 6 Mei 2013). Padahal bagi seorang paraplegia yang sudah mengalami luka yang parah, diharuskan menjalani operasi bedah serta perawatan yang intensif. Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perawatan tidaklah sedikit, jika keadaan tersebut dialami pada pasien yang tidak mampu secara ekonomi maka sudah barang tentu akan mendapatkan kesulitan untuk pembayaran biaya rumah sakit serta menjadi permasalahan lagi bagi pasien paraplegia. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis pada diri pasien paraplegia.Padahal salah satu indikator kesejahteraan psikologis adalah kemandirian yang dikemukakan oleh Ryff (1989).

Berdasarkan data awal yang diperoleh peneliti di tempat penelitian selain efek psikis pasien paraplegia juga mengalami efek psikologis yang menjadikan mereka menyesuaikan diri dengan perubahan yang dialaminya. Hal ini

(5)

menyebabkan perubahan kesejahteraan psikologis dari paraplegia. Kegagalan dalam penyesuaian diri dapat diakibatkan oleh ketidakmampuan atau kelelahan untuk menghadapinya. Ketidakmampuan dan kelelahan ini mengakibatkan perubahan dalam kesejahteraan psikologis paraplegia dan merupakan awal dari gangguan psikologis.

Kesejahteraan psikologis merupakan sebuah konsep yang dikembangkan oleh Ryff (1989), yaitu sebuah gambaran kesehatan psikologis seseorang diri, berhubungan positif dengan orang lain, mampu menguasai lingkungan, memiliki kemandirian, memiliki tujuan hidup dan mampu melakukan pengembangan diri dengan menyadari potensi dan melakukan perbaikan sehingga berpengaruh secara positif terhadap kehidupannya. Menurut Eid & Larsen (2008) kesejahteraan psikologis dapat dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya adalah sosiodemografis, penilaian terhadap pengalaman hidup, kepribadian, religiusitas, dan dukungan sosial.

Dukungan sosial adalah sumber emosional dan informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang disekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan Pierce (dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Sarafino (2006) menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya atau menghargainya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zainurrofikoh (2006) bahwa dukungan sosial dan optimisme berkorelasi pada peningkatan kesejahteraan psikologis.

Pasien paraplegia yang memiliki dukungan sosial yang tinggi baik berupa materi ataupun non materi akan mampu mempengaruhi kondisi emosi seseorang

(6)

ketika menghadapi permasalahan yang menekan, seperti perasaan sedih, cemas dan kehilangan harga diri. Perasaan akan menjadi tenang dan permasalahan akan berkurang setelah memperoleh kehangatan dukungan dan bantuan dari orang-orang terdekat (Taylor, 1995). Lebih lanjut Compton (2005) menyatakan bahwa dukungan sosial mempengaruhi kesehatan, yaitu dukungan sosial dapat membantu penurunan dampak negatif akibat kondisi kesehatan yang buruk, misalnya penurunan stres. Dukungan sosial dapat membantu peningkatan emosi positif seperti harapan, kepercayaan diri, dan juga rasa aman.

Terkadang menerima dukungan sosial membuat pasien paraplegia merasakan dalam dirinya berhutang budi dan tak mampu berbuat apapun. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo (2008) disebutkan bahwa dukungan sosial selain dapat meningkatkan resiliensi, juga dapat menjadi penghambatan penderita paraplegia dalam hal kemandirian. Ketika seseorang menderita penyakit yang sudah lama dan serius, keluarganya mungkin terlalu melindungi, sehingga menghambat keinginan pasien untuk menjadi lebih aktif atau bekerja kembali. Ini dapat mengacaukan program rehabilitasi dan membuat pasien semakin tergantung dan tak mampu berbuat apa-apa. Banyak situasi dimana ikatan sosial dengan orang-orang malahan membahayakan kesehatan (Sarafino,1990).

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa penyandang paraplegia umumnya rentan mengalami depresi. Hal ini dikarenakan faktor fisiologis dan psikologis. Secara fisiologis, adanya komplikasi baik berupa gangguan motorik, infeksi ginjal, infeksi saluran pernafasan, gangguan saluran kemih, gangguan organ seksual, gangguan saraf simpatis, dan luka decubitus. Secara psikologis, penyandang paraplegia karena kecelakaan mengalami kondisi psikologis yang

(7)

jauh berbeda dengan penyandang paraplegia dari sejak lahir, sehingga permasalahan yang diderita sepanjang hidup oleh individu dapat menggangu kondisi psikologisnya dan dapat menimbulkan depresi. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh penyandang paraplegia karena kecelakaan untuk menjalani kesehariannya, mempercepat proses penerimaan diri, dan penyesuaian diri terhadap perubahan fisik.

Faktor lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis adalah religiusitas (Eid & Larsen, 2008). O’Connor M, Guilfoyle A, Breen L, Mukhardt F, & Fisher C. (2007) dalam penelitiannya mengatakan bahwa kesejahteraan spiritual berkorelasi positif dengan kualitas hidup bagi orang yang hidup dengan leukemia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cotton, dkk (dalam O’Coonor, dkk, 2007) bahwa ada korelasi positif antara kesejahteraan rohani dengan kualitas hidup pada pasien kanker payudara. Para peneliti juga menemukan korelasi yang signifikan antara spiritual dan semangat juang serta korelasi negatif antara kualitas hidup dan keputusasaan. Lebih lanjut Mabruri (2004), mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepribadian tangguh dan religiusitas dengan kesejahteraan psikologis korban bencana alam di Yogyakarta.

Perubahan yang luar biasa pada diri pasien paraplegia dapat merugikan sertamempengaruhi kesejahteraan psikologis pasien paraplegia. Upaya memaksimalkan kesejahteraan psikologis bagi orang yang hidup dengan paraplegia yaitu dengan cara meningkatkan kepercayaan diri melalui dukungan sosial serta pendekatan religiusitasnya. Penguatan dan pemberdayaan keluarga melalui edukasi, memberikan perhatian yang lebih serta dukungan sosial dan

(8)

perawatan pasien membuat seorang pasien yang mengalami berbagai penyakit kronis lebih bisa bertahan dalam kehidupannya (O’ Connor, dkk, 2007).

Berdasarkan informasi yang diperoleh saat pra penelitian dilakukan dengan pasien paraplegia di RS Orthopedi Surakarta, kebanyakan pasien paraplegia termasuk golongan ekonomi yang tidak mampu.Mereka adalah pejuang bagi keluarganya untuk memenuhi nafkah keluarga. Banyak kasus pasien paraplegia kebanyakan pulang dengan proses rehabilitasi yang belum optimal, mereka pulang kebanyakan dengan status atas permintaan sendiri, meskipun biaya perawatan dan pengobatan gratis, mereka keberatan disegi ongkos keluarga yang menunggu lamanya perawatan dan pasien sebagian besar adalah tulang punggung keluarga.

Dampak lain dari hal tersebut bagi pasien, diantaranya pasien akhirnya dirawat kembali di rumah sakit dengan kondisi yang jauh lebih parah bila dibandingkan dengan saat baru pulang dari rumah sakit. Pasien yang tidak mampu untuk kembali ke rumah sakit akan menjalani hidup yang tragis dan mengenaskan bila tanpa proses rehabilitasi dan edukasi yang baik. Upaya untuk dapat memandirikan pasien dan keluarga adalah dengan memberikan dukungan sosial serta religiusitas bagi mereka untuk meminimalkan dampak tersebut sehingga tercapainya kesejahteraan psikologis pasien paraplegia.

Data lain di lapangan yang diperoleh melalui wawancara dengan salah satu pasien paraplegia diperoleh kesimpulan bahwa kecelakaan yang dialami merupakan suatu kondisi yang sangat buruk dan mempengaruhi kondisi fisik dan mental pasien paraplegia. Namun, beratnya kondisi yang mereka alami tersebut,

(9)

tidak menimbulkan keputusasaan yang berlebihan dan mereka berusaha kembali pada kehidupan semula, meskipun dengan kondisi yang serba kekurangan.

Disisi lain seorang paraplegia juga bisa sukses berwirausaha meskipun dengan keterbatasan fisik. Suheri, pria usia 60 tahun mengalami kecelakaan dan harus duduk di kursi roda seumur hidupnya. Cacat fisik baginya bukan suatu hambatan untuk terus maju dan bangkit dari keterpurukan dengan dukungan dari keluarga. Paraplegia ini bahkan bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain (Pranoto, 2009).

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah penelitian di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, apakah persepsi dukungan sosial dan religiusitas berperan terhadap kesejahteraan psikologis pasien paraplegia di Rumah Sakit Orthopedi Soeharso Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ingin diketahui, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Untuk mengetahui peran persepsi dukungan sosial dan religiusitas terhadap kesejahteraan psikologis pada pasien paraplegia.

(10)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat memperkaya dan menambah referensi ilmiah bagi psikologi, khususnya psikologi klinis yang berkaitan dengan peran persepsi dukungan sosial dan religisusitas terhadapkesejahteraan psikologis pasien paraplegia.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai alat ukur kesejahteraan psikologis, sehingga dapat memberikan informasi tentang paraplegia pada pihak rumah sakit, keluarga, pasien paraplegia, serta dapat dijadikan dasar penelitian pada lingkup yang luas bagi peneliti selanjutnya.

E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Zainurrofikoh (2006) melakukan penelitian tentang dukungan sosial pasangan dan optimisme terhadap kesejahteraan psikologis pada penderita infeksiTorch (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes Simplex Virus).Subyek dalam penelitian ini adalah penderita Torch yang telah didiagnosa oleh dokter, dan berusia subur (20-36 tahun).Hasilnya adalah dukungan sosial dan optimisme berberkorelasi dalam peningkatan kesejahteraan psikologis.

Mabruri (2004) menghubungkan kepribadian tangguh (hardiness) dan religiusitas dengan kesejahteraan psikologis pada korban bencana alam di Yogyakarta. Subyek dalam penelitian ini adalah korban bencana alam yang tinggal di desa Segoroyoso kabupaten Bantul. Usia subyek berkisar 20-65 tahun. Hasilnya adalah adanya kepribadian tangguh dan optimisme berkorelasi dengan

(11)

kesejahteraan psikologis. Terdapat korelasi positif kepribadian tangguh dan kesejahteraan psikologis, namun religiusitas tidak berpengaruh pada kesejahteraan psikologis.

Shuldo, M. S., Friedrich, A. A., White, T., Fatmer, J., Minch, D., & Michalowski, J. (2009) meneliti mengenai persepsi terhadap dukungan guru terhadap kesejahteraan remaja. Subyek dalam penelitian ini sebanyak 401 remaja; 50 remaja diantaranya bergabung dalam Focused GroupDiscussion (FGD) untuk membahas mengenai dukungan sosial dari guru yang telah mereka terima. Hasilnya adalah dukungan guru meningkatkan 16% kesejahteraan remaja, dukungan ini berupa dukungan emosional dan dukungan instrumental. Hasil dari FGD ditemukan bahwa guru mereka mempunyai hubungan yang baik dengan muridnya, mereka menggunakan strategi tepat untuk pembelajaran, mereka memahami dan dapat mendorong pada kesuksesan akademik, serta lingkungan kelas yang diciptakan guru sangat nyaman dan membuat siswa semangat.

Kef dan Decovic (2004) meneliti mengenai pentingnya peran dukungan orangtua dan teman sebaya untuk kesejahteraan psikologis remaja. Remaja dalam penelitian ini rata-rata berusia 16 tahun di Belanda. Penelitian ini membandingkan subyek remaja dengan dan tanpa gangguan penglihatan. Pada remaja yang mengalami gangguan, dukungan teman sebaya dapat meningkatkan kesejahteraan, namun pada remaja yang mempunyai penglihatan normal tidak begitu berpengaruh. Hasil yang kedua adalah dukungan orang tua sangat berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan psikologis remaja tanpa gangguan penglihatan.

(12)

Penelitian tentang Resilience pada Paraplegia, Purnomo (2008).Hasil penelitian menunjukan bahwa Dukungan sosial selain dapat meningkatkan resiliensi, juga dapat menjadi penghambatan penderita paraplegia dalam hal kemandirian. Resiliensi pada paraplegia berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Penelitian oleh Fitri (2010) yang meneliti tentang peran nyeri, regulasi emosi, dan dukungansosial keluarga terhadap kualitas hidup penyintas SCI (Spinal Cord Injury) korbangempa bantul, hasil penelitiannya menunjukan adanya hubungan yang signifikanantara nyeri, regulasi emosi, dan dukungan sosial keluarga secara bersama-sama dengan kualitas hidup penyintas SCI.

Penelitian tentang peran persepsi dukungan sosial dan religiusitas terhadap kesejahteraan psikologis pada pasien paraplegia sepanjang pengetahuan peneliti belum ada keterkaitan variabel, subyek dan metode penelitian yang sama dengan penelitian ini, maka peneliti beranggapan bahwa Insya Allah penelitian ini adalah asli, berbeda dengan penelitian sebelumnya dan dapat dipertanggungjawabkan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini ditujukan untuk pengembangan sistem informasi administrasi, diharapkan dapat menghasilkan sebuah produk berupa Sistem Informasi Administrasi Santri Pada

[r]

Berdasarkan hasil seleksi Panitia Rekrutmen Tenaga Pendamping LKK Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Koperasi dan Usaha Mikro Kota Madiun Tahun

DAN PR.ESTAS1 PtKADEMTS STSWA SEKOT,AH DASAR.. TIT YOGYARARTA

Dukungan suami baik namun tidak memberikan ASI eksklusif sebanyak 15 (38,5 %), dan dukungan suami cukup yang tidak memberikan ASI eksklusif 13 (81,2 %), responden yang

ADLN - Perpustakaan Universitas

Jika setelah berakhirnya perjanjian kerja ke-2 ternyata PIHAK KEDUA tidak diajukan untuk pengangkatan sebagai karyawan tetap oleh PIHAK PERTAMA, maka perjanjian kerja kontrak

• Testosteron bertanggung jawab terhadap maskulinisasi • Karena setelah pubertas terjadi peningkatan testis terjadi.. perkembangan primer dan sekunder