• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN POLA HUBUNGAN MASYARAKAT PASCA BENCANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MEMBANGUN POLA HUBUNGAN MASYARAKAT PASCA BENCANA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBANGUN POLA HUBUNGAN

MASYARAKAT PASCA BENCANA

Pada Seminar Manajemen Bencana

di Hotel Inna Garuda Yogyakarta

Tanggal 28 Nopember 2007

Nara Sumber :

DR. G.R. Lono Lastoro Simatupang, MA, P.Hd

UGM Yogyakarta

Moderator :

Drs. Santosa, M.Si

Widyaiswara Madya

DEPARTEMEN DALAM NEGERI

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN REGIONAL

YOGYAKARTA

(2)

MEMBANGUN POLA HUBUNGAN MASYARAKAT PASCA BENCANA1 G. R. Lono Lastoro Simatupang2

Pendahuluan

Bencana, khususnya bencana alam, merupakan malapetaka yang seakan-akan datang

tiba-tiba, dan acapkali tidak dapat diperkirakan secara akurat. Gempa bumi, air bah,

angin puting beliung, menerjang secepat kilat; menghantam dan meluluh-lantakkan

segala sesuatu yang menghadang, dan kemudian secepat itu pula pergi – meninggalkan jejak berupa kerusakan alam dan kehidupan umat manusia. Segala kemudahan hidup

yang telah dibangun dan dipelihara manusia selama berpuluh hingga ratusan tahun,

segala jerih payah yang telah diberikan para leluhur dan yang dihidupkan serta dihidupi

anak-keturunannya seakan-akan tidak berdaya, masyarakat yang tertimpa bencana jadi

lumpuh total. Bencana merontokkan topeng keangkuhan manusia, sehingga terkuak

wajah asli manusia sebagai mahluk yang sangat rapuh di hadapan dahsyatnya kekuatan

alam.

Namun kita tidak boleh berlama-lama dalam keadaan pingsan atau bahkan mati-suri

akibat bencana alam. Berbagai upaya untuk membangunkan kembali masyarakat

korban bencana dari kelumpuhan telah dilakukan. Di sana-sini muncul apresiasi positif

terhadap upaya recovery yang telah dan sedang dilakukan, namun tak kurang pula

komentar negative terhadap upaya-upaya tersebut. Kini saatnya bagi kita untuk

merefleksi secara kritis hal-hal yang sudah dan sedang dilakukan, untuk mencapai hasil

yang lebih baik.

Makalah pendek ini pada garis besarnya akan membahas gagasan seputar

upaya-upaya pembangunan kembali masyarakat yang terlumpuhkan oleh bencana, khususnya

perihal pola hubungan antar warganya. Dalam pembahasan akan ditawarkan cara

pandang dialektis terhadap bencana alam, yang modelnya dipinjam dan dikembangkan

dari pemahaman ritual sebagaimana dikemukakan oleh seorang antropolog Victor W.

Turner. Untuk itu akan disampaikan terlebih dulu, secara singkat, pendapat Turner

tersebut; barulah kemudian disajikan penerapan konsep tersebut pada persoalan

bencana alam.

1Disampaikan dalam “Seminar Manajemen Bencana”, diselenggarakan oleh Pusdiklat Depdagri Regional Yogyakarta,

28 November 2007, di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta.

(3)

Proses Ritual

Victor W. Turner adalah antropolog yang menaruh perhatian akademisnya pada

persoalan ritual. Ia mengembangkan pemikiran seputar ritual berdasarkan penelitiannya

pada masyarakat Ndembu di Afrika. Salah satu konsep terpenting yang beliau ajukan

berkenaan dengan pemahaman ritual – khususnya ritus-ritus peralihan – sebagai sebuah proses yang memiliki pola atau struktur tertentu – oleh karenanya teorinya dikenal sebagai teori processual structuralism atau strukturalisme prosesual. Secara

ringkat pendapat Turner adalah sebagai berikut.

Mengikuti pendapat Arnold van Gennep, Turner menyatakan bahwa ritus-ritus peralihan

(rites de passage) merupakan peristiwa sosial yang berlangsung melalui tiga tahap: 1)

pemisahan (separation), 2) ambang (liminal), dan 3) penyatuan kembali

(reincorporation). Pada tahap pertama peserta ritual mengalami pemisahan simbolik dari

struktur atau tatanan sosial yang biasanya berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Pada

tahap ini dibuat simbol-simbol (benda, bahasa, perilaku) khusus yang menandai bahwa

peserta ritual akan memasuki ruang dan peristiwa yang berbeda dari kehidupan

sehari-hari.

Tahap pemisahan ini kemudian disusul dengan tahap berikutnya, yaitu tahap ambang

(liminal). Secara harafiah limen, akar kata dari liminal, berarti ambang. Seperti halnya

sebuah ambang pintu, limen merujuk pada situasi antara (in-between): ambang pintu

terletak di antara ruang dalam dan ruang luar, bukan di luar – tetapi bukan pula di dalam, atau sekaligus di luar maupun di dalam. Dengan kata lain, dalam konsep liminal

terkandung pengertian situasi yang ambigu – serba tidak jelas, ragu-ragu.

Mengembangkan pemikiran van Gennep, Turner menunjukkan bahwa pada tahap

liminal ini peserta ritual mengalami keadaan pemutar-balikan simbol-simbol yang

biasanya digunakan untuk menopang struktur atau tatanan kehidupan sehari-hari.

Kiri-kanan, atas-bawah, tinggi-rendah, laki-laki-perempuan, penguasa-rakyat, kaya-miskin,

kuat-lemah, dan tanda-tanda lain yang ada dalam kehidupan sehari-hari, semuanya

hadir berbaur dalam tatanan pasangan yang janggal, tidak pada tempatnya. Situasi

yang chaotic (kacau-balau) itu disebutnya anti-struktur. Namun, lebih lanjut Turner

menyatakan, situasi anti-struktur yang sengaja dibikin (bahkan dilembagakan, menjadi

(4)

dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tahap liminal ini perbedaan-perbedaan yang

menandai masing-masing peserta ritual ditanggalkan, semuanya berbaur sebagai

sebuah communita (Turner memakai istilah ini untuk membedakan dari community yang

merujuk pada pengertian kesatuan hidup masyarakat dalam struktur sehari-hari).

Pemutar-balikan tatanan itu dilaksanakan dengan maksud agar peserta ritual dapat

melakukan refleksi atau mawas-diri terhadap tatanan yang biasa berlaku dalam

kehidupan sehari-hari. Tujuan akhir dari pemutar-balikan struktur adalah pembaharuan

kesadaran peserta ritual terhadap tatanan atau struktur yang berlaku dalam kehidupan

sehari-hari, yang dicapai melalui tahap ritual terakhir: reintegration– penyatuan kembali. Lewat tahap reintegrasi tersebut lahirlah manusia-manusia baru yang siap memasuki

dan menempatkan diri dalam tatanan sosial yang berlaku. Dapat ditambahkan di sini,

bahwa dalam ritual peralihan akil-balik, atau ritual perkawinan, unsur ke-baru-an

tersebut tampil dalam wujud masuknya seseorang atau pasangan ke dalam status sosial

baru.

Proses ritual tersebut dapat digambarkan dalam bagan berupa spiral segitiga sebagai

berikut:

Dalam bagan di atas posisi tahap reintegration diletakkan lebih tinggi dari posisi tahap

separation untuk menggambarkan ‘ke-baru-an’ yang dihasilkan dari rangkaian proses ritual peralihan, meskipun tetap berada dalam struktur segitiga yang serupa.

separation

liminal

reintegration Proses ritual

Struktur normal

(5)

Dari Ritual ke Bencana Alam

Pemikiran Turner tentang proses ritual sebagaimana telah dijelaskan secara ringkas di

atas, dalam pandangan saya, dapat kita terapkan sebagai model untuk menanggapi

bencana alam dan upaya pemulihan kembali. Di sini proses ritual akan dianalogikan

dengan natural-disaster management system (sistem pengelolaan bencana alam).

Analogi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Dalam model ini bencana alam diletakkan sebagai sebuah peristiwa yang ‘tidak normal’, yang ‘keluar’ dari kondisi yang biasanya terjadi. Peristiwa itu merupakan kejadian istimewa/luar biasa, khusus. Tahap pemisahan (separation) dalam bencana alam terjadi

sebagai akibat dari proses alam maupun ulah manusia mempengaruhi alam, atau akibat

keduanya. Tahap ini tentunya mempunyai tanda-tandanya sendiri, yang sebaiknya kita

ketahui dan kenali dengan baik agar dapat menyusun sistem peringatan dini (early

warning system). Hal yang banyak berurusan dengan persoalan teknologi ini tidak akan

dibahas di sini. Namun demikian, perlu diingat bahwa tradisi-tradisi lesan yang hidup di

masyarakat pun sebenarnya ada yang memuat semacam early warning system.

Sekiranya tradisi-tradisi lesan semacam itu pada masa kini dipandang tidak masuk akal,

tidak rasional, itu tidak berarti bahwa sistem peringatan dini semacam itu tidak

diperlukan lagi. Itu tetap diperlukan, namun barangkali sistem peringatan itu perlu wujud

baru yang lebih dapat diterima akal sehat manusia sekarang.

Bencana alam itu sendiri ditempatkan pada tahap liminal, di mana tatanan alam dan

sosial yang berlaku dalam kondisi normal tidak berjalan sebagaimana mestinya. Di sini

penting untuk diperhatikan kondisi chaotic yang memberi peluang kepada manusia

(6)

untuk merefleksikan posisi dirinya dalam berhubungan dengan alam semesta – maupun dalam hubungan antar manusia. Sebenarnyalah bahwa proses mawas diri atau reflexive

semacam itu telah terjadi dalam pengalaman bencana yang melanda negeri kita

baru-baru ini. Di situ berbagai pihak; masyarakat umum, surat kabar, pemuka agama,

ilmuwan, pejabat pemerintah, menyampaikan pertanyaan dan pernyataan reflexive

mereka tentang nilai-nilai kemanusiaan, hakekat hubungan manusia dengan alam dan

Tuhan, dan sebagainya. Keadaan menyimpang yang berlaku dalam kondisi bencana

alam memunculkan berbagai pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi

manusia – baik dari hal-hal yang positive maupun negative.

Namun, mawas-diri semacam itu tidak boleh berhenti pada tahap liminalitas, ia harus

menjadi titik tolak bagi tindakan dalam tahap berikutnya, yaitu recovery (pemulihan

kembali). Recovery, sebaiknya, tidak dipandang sebagai upaya mengembalikan pada

situasi dan kondisi semula. Lebih dari itu, recovery berpeluang untuk menata kembali

(7)

Biodata:

Nama Lengkap : Gabriel Roosmargo Lono Lastoro Simatupang

Pendidikan : S1 Antropologi, Fakultas Sastra UGM

MA Antropologi, Monash University, Australia

Ph.D. Antropologi, University of Sydney, Australia

Pekerjaan : Dosen Antropologi, FIB, UGM, juga mengajar di Sekolah Pasca

(8)

Pertanyaan :

Pak Joko: mudah dikatakan susah dilakukan. Bantuan – dinas social dituduh, perlu sistem yang baru. Bagaimana? Kondisi lumpuh.

Pak Edi-Klaten: apa sdh ada recovery berupa pemetaan masalah, basis-basis

kehidupan masy; apakah pelaku recovery berasal dari level-level tsb.

Pak Wansyah: bencana datang tiba-tiba. Bagaimana mengatasi bencana yang sudah

sering terjadi?

Ibu Lies Sugiarti – Pusdiklat Depdagri Regional Yogya: tindakan ritual manusia tidak selalu rasional – mandikan kucing utk hujan.

Telah dibentuk K3S (Kelompok Kesetiakawanan Sosial), masy+pengusaha+pemuka

agama – kesetiakawanan. Ada Pekerja Sosial Masyarakat (guru, ibu-ibu PKK/Dawis). Sebenarnya tidak sulit membangun kalau dapat bergotong royong. Potensi-potensi

social lain (Pramuka).

Jawaban :

1. Masalah penanganan bencana alam kadang-kadang mudah diucapkan tapi

susah dilaksanakan itu benar sekali, sehingga masuk akal dalam peristiwa

bencana alam sering timbul banjir bantuan tetapi justru yang penting

kadang-kadang bukan masalah bantuan yang utama karena dalam pemberian bantuan

tersebut sering menimbulkan kelumpuhan tatanan kehidupan yang sudah

terbangun karena kebersamaan oleh sebab bencana alam tersebut termasuk

diantaranya membuat sikap ketergantungan, sikap iri hati, kecemburuan diantara

masyarakat korban gempa tersebut, apalagi dalam pemberian bantuan tersebut

sering ada muatan-muatan politik.

2. Salah satu permasalahan dalam penanganan bencana alam baik yang dilakukan

oleh birokrasi maupun LSM kadang-kadang lebih diartikulasikan seperti halnya

proyek dalam arti kata siapa yang pegang proyek itu, oleh sebab itu sering yang

timbul justru masalah ego sektor dalam penanganan bencana alam.

3. Dalam pemberian bantuan yang sering terjadi bentuk bantuan tersebut bukan

didasarkan oleh kebutuhan korban bencana tapi justru lebih banyak keinginanan

(9)

Kesimpulan :

1. Inti dari materi ini lebih diarahkan pada perspektif yang dapat dilakukan dalam

pola hubungan masyarakat dalam penanganan bencana alam.

2. Bencana alam pada dasarnya kejadiannya sulit diduga sehingga sangat jarang

dapat dikaitkan dengan keilmuan, seandainya ada itu sifatnya adalah perspektif

belaka, dalam bencana alam kadang-kadang sering merontokkan topeng-topeng

manusia (membedakan strata kehidupan tapi justru menimbulkan rasa

kebersamaan).

3. Model ritual dari F. Bernard pakar antropologi dianalogikan sebagai manajemen

penanganan bencana alam dalam ritual sebagai proses mempunyai pola struktur

tertentu berupa tahapan yaitu tahapan pemisahan, tahapan ambang dan

tahapan penyatuan kembali.

4. Dengan bantuan menjadi suatu kebutuhan yang menciptakan masyarakat

ketergantungan/kurang mandiri. Justru dengan adanya pola kebersamaan

karena terjadinya bencana alam itu harus dilestarikan dalam kehidupan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Antara reaksi utama Hydration baik direct ataupun indirect yang menghasilkan Isopropil Alkohol (IPA) dan reaksi samping Dehydration atau Etherification yang menghasilkan

Pihak kedua akan memberikan supervisi yang diperlukan serta akan melakukan evaluasi akuntabilitas kinerja terhadap capaian kinerja dari perjanjian ini dan mengambil

Pada siklus III (tindakan 2) terjadi peningkatan rata-rata kompetensi sebesar 2,0% dan jumlah kelulusan peserta didik meningkat menjadi 25 peserta didik dari semula

Keimanan dan keamanan adalah dua hal yang saling mendukung. Keamanan secara fisik sebagaimana yang diberikan Allah swt kepada bangsa ini, harus kita sykuri bersama. Bentuk syukur

Beberapa tanaman galur 4D dan 5D padi transgenik Nipponbare-OsDREB1A generasi T1 pada pengujian salinitas 25 mM NaCl menunjukkan respon pertumbuhan yang lebih baik

So the writer wants to use reader response criticsm to analyze characteristics of the main character Oliver Twist in Charles Dickens ’s , Oliver Twist because